Yetti A. KA
http://harianhaluan.com/
Pencitraan negatif yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap Timur banyak terdapat dalam kisah-kisah perjalanan. Dalam buku-buku itu, bangsa Timur sering digambarkan sebagai bangsa terbelakang dan asing. Faruk (2001) berpendapat bahwa, berdasarkan bacaannya atas buku Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature karangan Rob Nieuwenhuys, imperialisme dan kolonialisasi tidak hanya menempatkan wilayah jajahan sebagai suatu wilayah tempat terbukanya peluang bagi eksploitasi sumber-sumber ekonomi, melainkan juga sebagai sebuah dunia sosial dan kultural yang asing, yang berbeda dari dunia penjajah. Perbedaan itu tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan yang netral, horizontal, melainkan mengandung nilai yang bersifat hierarkis dan vertikal. Bangsa penjajah memosisikan diri sebagai kelompok sosial yang berposisi sebagai subjek, arogan, superior, di hadapan masyarakat setempat.
Dalam teks sastra, persoalan Barat dan Timur juga banyak menyuarakan hal serupa, di mana bangsa Timur cenderung dalam posisi lebih rendah dari bangsa Barat, misalnya saja dalam cerita pendek karya pengarang muda Dwicipta berjudul Tuan Hillario dan Taman Magdalena (selanjutnya THTM) dimuat di Media Indonesia, 13 Mei 2007 dan Tanah Merah (selalanjutnya TM) dimuat di Kompas, 13 Januari 2008. Dua cerita pendek tersebut berlatar cerita masa pemerintahan Hindia Belanda. THTM dan TM sama-sama mengangkat tokoh utama seorang Eropa. Perbedaan dari kedua tokoh ini terletak pada karakter protagonis dan antagonis. Hillario dalam THTM seorang yang kikir, kejam, dan culas, sedangkan Kapten Becking dalam TM seorang yang baik hati, kalau tidak bisa dikatakan berhati ‘Timur’. Dalam kedua cerpen ini terjadi relasi antara Eropa dan pribumi, di mana digambarkan orang Eropa sangat berkuasa dan kaya, sementara itu pribumi sebagai pembantu rumah tangga, pemberontak, manusia kelas rendah. Selain itu, dua cerita pendek ini, sesungguhnya berbicara tentang kegelisahan seorang Eropa yang berada di tanah jajahan. Kegelisahan ini menarik dikaji karena berkaitan dengan keberpihakan dan ketidakberpihakan terhadap pribumi, di luar mereka sebagai penguasa. Perspektif Postkolonialisme
Relasi Barat dan Timur merupakan hubungan kekuatan, dominasi, dan hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks (Edward Said, 2001). Selanjutnya postkolonialitas dipaksa untuk menegosiasikan pelbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historisnya yang tak dapat disangkal, pos-kolonialitasnya, atau derivasi politis dan kronologis dari kolonialismenya, di satu sisi, dan kewajiban kulturalnya untuk menjadi kokoh dan inventif secara bermakna di sisi lain. Oleh sebab itu, peristiwa kedatangannya yang aktual menuju kemerdekaan didasarkan pada kemampuannya untuk membayangkan dan melakukan pemisahan awal yang menentukan dari masa lalu kolonial secara berhasil (Gandhi, 2007).
Dalam kajian sastra, postkolonialisme kemudian dipahami sebagai upaya membicarakan teks-teks sastra dengan berbagai caranya mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yakni konfrontasi antarras, antarbangsa, antarbudaya, dalam kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara. Dengan kata lain postkolonialisme adalah istilah untuk pendekatan kritis dalam memahami efek-efek kolonialisme yang ada di dalam teks (Day dan Foulcher, 2008).
Identitas, Kedudukan, dan Hibriditas
Pada banyak penelitian, fokus kajian postkolonial banyak diarahkan pada persoalan identitas dan kedudukan antara dua ras, biasanya Timur dan Barat, yang kemudian memperlihatkan hibriditas antarkeduanya.
Hibriditas yang dimaksudkan berkenaan dengan terjadinya tumpah tindih antara satu budaya dengan budaya lain, dalam hal ini penjajah dan daerah yang dijajah yang kemudian menjadi satu kesatuan kebudayaan baru. Bagi Bhaba, bentuk konfliktual hibriditas ini khususnya kuat dalam situasi kolonial, sebab baginya otoritas kolonial, sebagaimana semua sistem dominasi, bersuara tunggal: kalau efek kekuasaan kolonial dipandang sebagai produksi hibridisasi, dan bukan komando ribut otoritas kolonialis atau represi diam tradisi pribumi, maka yang terjadi perubahan perspektif yang penting (dalam Day dan Foulcher, 2008).
Dalam cerita pendek THTM identitas seorang Eropa masih memisahkan diri dengan tegas terhadap orang pribumi. Di sana tampak tidak terjadi persinggungan hibriditas antara Barat dan Timur. Barat demikian mendominasi hingga pribumi nyaris tanpa suara. Barat diwakilkan dengan kehadiran seorang dokter berkebangsaan Spanyol bernama Hillario. Dokter Hillario memiliki kedudukan yang tinggi sebab ia berhasil mengumpulkan kekayaan dari pekerjaannya itu. Berbeda halnya dengan pribumi yang bekerja sebagai pembantu di rumah Hillario. Mayar dan Sanikem berada di bawah dominasi Hillario. Bahkan kedua pembantu itu diperlakukan lebih rendah dari perempuan simpanan Hillario yang berasal dari Eropa. Di sini tampak sekali perbedaan identitas akan menentukan pula kedudukan seseorang. Dan identitas itu sangat ditentukan pula apakah ia berasal dari Barat atau Timur.
Relasi Barat-Timur telah memisahkan Hillario dan perempuan simpanan Eropa-nya berseberangan dengan Mayar dan Sanikem. Identitas mereka sebagai masyarakat dari bangsa penjajah dan terjajah juga memperlihatkan relasi terjadi secara ketat. Mayar dan Sanikem menjalani kehidupan mereka sebagai pribumi yang tahu diri, sementara Hillario dan perempuan Eropa menyadari betul bahwa mereka berkuasa.
Hal yang cukup menarik dari cerita pendek THTM bahwa Hillario yang digambarkan berwatak jahat itu berasal dari Spanyol, bukan Belanda. Latar cerita ini berada di Batavia ketika Belanda menguasai nusantara dan menamakan daerah jajahannya itu sebagai Hindia Belanda. Pengarang juga memunculkan tokoh lain yang berdarah Belanda, tapi justru tokoh itu dikalahkan oleh seorang Spanyol yang licik. Seorang Belanda yang kalah itu seakan-akan hadir sebagai pahlawan yang mati di medan perang. Ia dikenang oleh Mayar sebagai dokter Belanda yang setidaknya lebih baik dari Hillario. Bahkan Mayar tampak bersimpati pada dokter dari Belanda itu dan sebaliknya menganggap dokter Hillario sebagai seseorang yang kejam. Di sanalah hibriditas menunjukkan jejaknya, bahwa telah terjadi perpaduan perasaan antara seorang Belanda dan pribumi; antara dokter Belanda dan Mayar yang peduli. Meski tentunya mereka tetap saja tidak dipertemukan dalam suatu relasi yang nyata. Semua itu hanya terjadi dalam ingatan Mayar atas desas-desus yang pernah beredar, untuk mendukung penilaiannya terhadap Hillario yang jahat dan tidak memikirkan orang lain.
Cerpen TM justru lebih jelas memperlihatkan terjadinya hibriditas secara konkrit antara Barat dan Timur. Identitas tokoh Eropa dan pribumi memang masih terpisah secara tegas. Orang Eropa digambarkan sebagai opsir Belanda yang menjabat sebagai Jenderal, Kapten dan Letnan. Sementara itu pribumi digambarkan sebagai pemberontak yang kalah. Di antara rombongan ekspedisi itu, bahkan tahanan pribumi dirantai kakinya.
Saat rombongan ekspedisi tiba di Digul, mereka bertemu dengan penghuni hutan yang tidak lain masyarakat setempat, penduduk Digul, sebagai manusia yang hidup di hutan, liar dan cukup membuat takut para opsir Belanda. Namun kesan itu mencair setelah Kapten Becking yakin kedatangan penduduk Digul ke perkemahan mereka bukan untuk maksud menyerang tapi justru ingin mengadakan tukar-menukar barang. Di sanalah kemudian terjadi pertemuan antara Barat dan Timur secara seimbang. Namun demikian, dalam banyak hal, Barat tetap saja melampaui Timur, terlebih dalam hal identifikasi ras sebagaimana kutipan di bawah ini:
Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajahnya ia mengajak mereka menukar tembakau tersebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong garam dan barang-barang perhiasan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberikan kepada pemimpin penghuni hutan, mereka membalasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan (TM).
Identitas penduduk Digul diterangkan dengan sebutan ‘orang-orang hitam, ‘penghuni hutan’, juga ‘manusia-manusia hitam’. Hal ini merujuk pada persoalan ras yang sesungguhnya amat merendahkan. Selain itu penduduk Digul juga digambarkan belum terbiasa dengan teknologi sehingga mereka keheranan ketika melihat gramofon. Tingkah laku penduduk Digul saat memerhatikan gramofon itu justru menjadi hiburan tersendiri bagi opsir Belanda. Relasi antara opsir Belanda dan penduduk Digul adalah hubungan antara bangsa yang telah beradab dengan masyarakat terbelakang.
Hibriditas terjadi justru pada sosok Kapten Becking. Sekali lagi, pengarang seakan memunculkan tokoh Belanda sebagai ‘orang baik’. Kapten Becking, seorang opsir Belanda itu memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap penderitaan pribumi, terutama para tahanan. Kapten Becking bahkan memiliki perasaan yang sangat ‘Timur’ sehingga penugasan dirinya ke Digul amat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Ini bisa dipahami karena Kapten Becking sudah bertahun-tahun tinggal di Hindia Belanda dan perasaannya yang mendalam terhadap nasib para tahanan adalah bukti bahwa telah terjadi perpaduan ‘rasa’ antara Barat dan Timur dalam dirinya.
Persoalan Timur dan Barat dalam karya sastra memang sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih serius, sebagaimana latar masa kolonial belakangan ini seolah-olah memiliki pesona sendiri bagi teks sastra, terutama beberapa cerita pendek yang terbit di koran (hari) Minggu.
*) Mahasiswa Program Pascasarjana UGM
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 30 November 2011
Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia
Berthold Damshauser
http://majalah.tempointeraktif.com/
Ini laporan tentang sebuah diskusi mengenai tema “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia“. Diskusi itu melibatkan mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Bonn/Jerman dan dosennya (saya sendiri).
Pada salah satu kuliah bagi mahasiswa tingkat akhir program Master, saya berupaya menanam rasa bangga di hati mahasiswa yang sejak lima tahun dengan tekun dan tabah mempelajari bahasa Indonesia: “Tak lama lagi, Anda akan tamat. Perlu kiranya Anda ketahui bahwa bahasa yang kini cukup Anda kuasai, berpeluang besar untuk menjadi ‘bahasa dunia’, ‘bahasa internasional’, atau ‘bahasa peradaban dunia’. Tentang itu telah banyak tulisan di berbagai media Indonesia.”
Wajah segelintir mahasiswa mendadak cerah. Mereka menyimpulkan bahwa prospek baik bahasa Indonesia pasti akan meningkatkan prospek mereka di lapangan kerja. Namun, sejumlah besar wajah menunjukkan roman skeptis yang cukup mengganggu. Salah seorang skeptiswan angkat bicara: ”Bahasa Dunia atau lingua franca internasional adalah bahasa yang secara global digunakan dalam bidang diplomasi, hubungan dagang, juga penyebaran ilmu pengetahuan. Alangkah jauh bagi bahasa Indonesia untuk diterima sebagai bahasa yang berhak memainkan peranan itu.”
Dahi saya mengerut. “Jangan terlalu pesismis, dong. Harap diingat, penutur bahasa Melayu-Indonesia cukup banyak, jauh melebihi jumlah penutur bahasa Jerman atau Italia, misalnya. Bahasa itu digunakan di berbagai negara: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Timor-Leste dan Muangthai. Harap jangan anggap enteng!.”
Skeptiswan itu langsung terdiam. Namun, skeptiswan lain dari sayap kiri langsung menyambar: “Bukankah yang menjadikan sebuah bahasa menjadi bahasa dunia adalah proses sejarah alias proses penuh paksaan. Harus menjajah dulu, baru bahasanya ikut berkuasa, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol …”
Mendengar itu, saya langsung memasang wajah bijak dan menjawab kalem: “Ingat! Masa kegelapan imperialisme sudah lewat! Karena itu, sama sekali tak masalah kalau bangsa Indonesia tak pernah dan takkan bersemangat imperialistis, baik politis-ideologis, geostragis maupun ekonomis. Pada masa kini, tingginya budi dan keagungan budaya para penutur yang menentukan kedudukan sebuah bahasa dalam pergaulan internasional!”
“Juga prestasi di bidang sains dan ilmu humaniora?” tanya seorang mahasiwi dengan berhati-hati. “Tentu saja” jawab saya seraya menambahkan: “Termasuk prestasi di bidang keberaksaraan modern, misalnya kesusastraan.“ Tak terduga, si mahasiswi mulai berprovokasi: “Memang budaya aksara modern sudah berkembang gemilang di Indonesia? Jumlah pembaca buku sudah banyak? Apakah bangsa Indonesia sendiri cukup bangga dengan budaya aksaranya? Bukankah yang disuguhkan ke manca negara biasanya budaya lisan, misalnya tarian atau musik tradisional?”
“Jangan bertele-tele”, saya menegur murid itu, “yang kita bicarakan adalah perihal bahasa, jangan menjauh dari itu!” “Baik, Pak”, saran mahasiswa yang termasuk paling pintar, “mari kita kembali pada bahasa Indonesia. Bahasa ini gampang dipelajari, dan ini potensial menjadi bahasa dunia. Sayang, kegampangan itu agak semu. Di kuliah sebelumnya kita belajar, bahwa memahami teks Indonesia agak sulit, justru karena kesederhanaan tata bahasa yang menyebabkan tingkat ambiguitas sangat tinggi. Kadang-kadang, teks hukum saja kurang jelas. Ingat teks Pancasila, khususnya sila keempat yang membicarakan ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’?“
Ia melanjutkan bahwa ia meminta teman-teman Indonesia untuk menjelaskan maknanya dan betapa mereka kesulitan susah menjawab hanya karena memiliki tafsir yang berbeda-beda. Selain itu, paling sedikit menurut kesannya „bahasa Indonesia yang digunakan para penulis Indonesia, termasuk wartawan dan politikus, jauh dari baik dan benar, bahkan sering mengabaikan logika kalimat. Tak jarang kami putus asa mengurus teks demikian.”
“Iya”, jawab saya, “yang Anda katakan ada benarnya juga. Tapi, bagaimana pun kita jangan melupakan perkembangan luar biasa yang ditempuh bahasa itu sejak hampir seadab. Sudah banyak sekali kemajuannya. Patut dihargai upaya bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi bahasa persatuannya!“
“Menjunjung tinggi? Beberapa minggu yang lalu saya membaca laporan Tempointeraktif berjudul ‘Pidato Presiden Bertaburan Istilah Inggeris’. Hanya ada dua kemungkinan: Kosakata bahasa Indonesia tidak mencukupi untuk menyampaikan hal-hal pelik, atau yang berpidato lebih suka kepada bahasa dunia sejati, bahasa Inggris.”
Saya terdiam. Merenung. Tak mungkin saya berdalih bahwa cara berpidato adalah hak prerogatif, hak indidivu, atau hak asasi yang lain. Sambil menghempaskan diri ke kursi saya menjawab lemah tapi tegas: Kosakata Bahasa Indonesia tentu mencukupi! Masak tidak!
„Nah, kalau begitu“, sindir suara dari belakang ruang kuliah, „segala kemungkinan masih terbuka. Bapak masih ada harapan menjadi dosen sebuah bahasa dunia.“
Aduh, saya pikir, ini sudah keterlaluan. Saya tidak mau terpancing. Dengan anggun, saya katakan: „Begini, ya. Kota Roma tidak dibangun dalam sehari. Semua hal membutuhkan kesabaran dan kerja keras. Bangsa Indonesia tentu menyadarinya. Mereka sanggup memilih jalan terbaik. Kini sedang diupayakan untuk menjadikan bahasa Indonesia bahasa resmi AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly). Mana mungkin orang Filipina, Myanmar, Laos dan negara Asean lainnya tega menolak usul itu. Oke, diskusi ini kita lanjutkan pada kesempatan lain.”
*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia, Universitas Bonn; Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan redaktur Jurnal Sajak.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/berthold-damsh%C3%A4user/ini-teks-lengkap-dari-tulisan-saya-bahasa-indonesia-sebagai-bahasa-dunia/10150386058037423
http://majalah.tempointeraktif.com/
Ini laporan tentang sebuah diskusi mengenai tema “Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Dunia“. Diskusi itu melibatkan mahasiswa jurusan Bahasa Indonesia di Universitas Bonn/Jerman dan dosennya (saya sendiri).
Pada salah satu kuliah bagi mahasiswa tingkat akhir program Master, saya berupaya menanam rasa bangga di hati mahasiswa yang sejak lima tahun dengan tekun dan tabah mempelajari bahasa Indonesia: “Tak lama lagi, Anda akan tamat. Perlu kiranya Anda ketahui bahwa bahasa yang kini cukup Anda kuasai, berpeluang besar untuk menjadi ‘bahasa dunia’, ‘bahasa internasional’, atau ‘bahasa peradaban dunia’. Tentang itu telah banyak tulisan di berbagai media Indonesia.”
Wajah segelintir mahasiswa mendadak cerah. Mereka menyimpulkan bahwa prospek baik bahasa Indonesia pasti akan meningkatkan prospek mereka di lapangan kerja. Namun, sejumlah besar wajah menunjukkan roman skeptis yang cukup mengganggu. Salah seorang skeptiswan angkat bicara: ”Bahasa Dunia atau lingua franca internasional adalah bahasa yang secara global digunakan dalam bidang diplomasi, hubungan dagang, juga penyebaran ilmu pengetahuan. Alangkah jauh bagi bahasa Indonesia untuk diterima sebagai bahasa yang berhak memainkan peranan itu.”
Dahi saya mengerut. “Jangan terlalu pesismis, dong. Harap diingat, penutur bahasa Melayu-Indonesia cukup banyak, jauh melebihi jumlah penutur bahasa Jerman atau Italia, misalnya. Bahasa itu digunakan di berbagai negara: Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Timor-Leste dan Muangthai. Harap jangan anggap enteng!.”
Skeptiswan itu langsung terdiam. Namun, skeptiswan lain dari sayap kiri langsung menyambar: “Bukankah yang menjadikan sebuah bahasa menjadi bahasa dunia adalah proses sejarah alias proses penuh paksaan. Harus menjajah dulu, baru bahasanya ikut berkuasa, seperti bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Spanyol …”
Mendengar itu, saya langsung memasang wajah bijak dan menjawab kalem: “Ingat! Masa kegelapan imperialisme sudah lewat! Karena itu, sama sekali tak masalah kalau bangsa Indonesia tak pernah dan takkan bersemangat imperialistis, baik politis-ideologis, geostragis maupun ekonomis. Pada masa kini, tingginya budi dan keagungan budaya para penutur yang menentukan kedudukan sebuah bahasa dalam pergaulan internasional!”
“Juga prestasi di bidang sains dan ilmu humaniora?” tanya seorang mahasiwi dengan berhati-hati. “Tentu saja” jawab saya seraya menambahkan: “Termasuk prestasi di bidang keberaksaraan modern, misalnya kesusastraan.“ Tak terduga, si mahasiswi mulai berprovokasi: “Memang budaya aksara modern sudah berkembang gemilang di Indonesia? Jumlah pembaca buku sudah banyak? Apakah bangsa Indonesia sendiri cukup bangga dengan budaya aksaranya? Bukankah yang disuguhkan ke manca negara biasanya budaya lisan, misalnya tarian atau musik tradisional?”
“Jangan bertele-tele”, saya menegur murid itu, “yang kita bicarakan adalah perihal bahasa, jangan menjauh dari itu!” “Baik, Pak”, saran mahasiswa yang termasuk paling pintar, “mari kita kembali pada bahasa Indonesia. Bahasa ini gampang dipelajari, dan ini potensial menjadi bahasa dunia. Sayang, kegampangan itu agak semu. Di kuliah sebelumnya kita belajar, bahwa memahami teks Indonesia agak sulit, justru karena kesederhanaan tata bahasa yang menyebabkan tingkat ambiguitas sangat tinggi. Kadang-kadang, teks hukum saja kurang jelas. Ingat teks Pancasila, khususnya sila keempat yang membicarakan ‘kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’?“
Ia melanjutkan bahwa ia meminta teman-teman Indonesia untuk menjelaskan maknanya dan betapa mereka kesulitan susah menjawab hanya karena memiliki tafsir yang berbeda-beda. Selain itu, paling sedikit menurut kesannya „bahasa Indonesia yang digunakan para penulis Indonesia, termasuk wartawan dan politikus, jauh dari baik dan benar, bahkan sering mengabaikan logika kalimat. Tak jarang kami putus asa mengurus teks demikian.”
“Iya”, jawab saya, “yang Anda katakan ada benarnya juga. Tapi, bagaimana pun kita jangan melupakan perkembangan luar biasa yang ditempuh bahasa itu sejak hampir seadab. Sudah banyak sekali kemajuannya. Patut dihargai upaya bangsa Indonesia untuk menjunjung tinggi bahasa persatuannya!“
“Menjunjung tinggi? Beberapa minggu yang lalu saya membaca laporan Tempointeraktif berjudul ‘Pidato Presiden Bertaburan Istilah Inggeris’. Hanya ada dua kemungkinan: Kosakata bahasa Indonesia tidak mencukupi untuk menyampaikan hal-hal pelik, atau yang berpidato lebih suka kepada bahasa dunia sejati, bahasa Inggris.”
Saya terdiam. Merenung. Tak mungkin saya berdalih bahwa cara berpidato adalah hak prerogatif, hak indidivu, atau hak asasi yang lain. Sambil menghempaskan diri ke kursi saya menjawab lemah tapi tegas: Kosakata Bahasa Indonesia tentu mencukupi! Masak tidak!
„Nah, kalau begitu“, sindir suara dari belakang ruang kuliah, „segala kemungkinan masih terbuka. Bapak masih ada harapan menjadi dosen sebuah bahasa dunia.“
Aduh, saya pikir, ini sudah keterlaluan. Saya tidak mau terpancing. Dengan anggun, saya katakan: „Begini, ya. Kota Roma tidak dibangun dalam sehari. Semua hal membutuhkan kesabaran dan kerja keras. Bangsa Indonesia tentu menyadarinya. Mereka sanggup memilih jalan terbaik. Kini sedang diupayakan untuk menjadikan bahasa Indonesia bahasa resmi AIPA (ASEAN Inter-Parliamentary Assembly). Mana mungkin orang Filipina, Myanmar, Laos dan negara Asean lainnya tega menolak usul itu. Oke, diskusi ini kita lanjutkan pada kesempatan lain.”
*) Kepala Program Studi Bahasa Indonesia, Universitas Bonn; Pemimpin Redaksi Orientierungen, dan redaktur Jurnal Sajak.
Dijumput dari: http://www.facebook.com/notes/berthold-damsh%C3%A4user/ini-teks-lengkap-dari-tulisan-saya-bahasa-indonesia-sebagai-bahasa-dunia/10150386058037423
Dekonstruksi Derrida dan Pengaruhnya pada Kajian Budaya (I)
Zuriati
http://harianhaluan.com/
Dekonstruksi cenderung dilihat sebagai sesuatu yang antiteori dan antimetode. Karena kecenderungan yang antiteori dan antimetode itu, ia mendapat tanggapan yang serius dari berbagai kalangan (ilmuwan), terutama kaum positivis dan kaum modernis. Mereka keberatan dengan dekonstruksi, karena ia cenderung relativis atau bahkan nihilistik terhadap diskursus, sehingga ia dikatakan sebagai intellectual gimmick, yang berarti ‘tipu muslihat intelektual’, yang tidak berisi apa-apa selain permainan kata-kata. Dekonstruksi juga dikatakan merupakan tantangan terhadap arus filsafat analitik dan sains. Bahkan, untuk dekonstruksinya itu, gelar doktor honoris causa yang diperoleh Derrida dari Universitas Cambridge pernah diprotes oleh dua belas intelektual Amerika pada tahun 1992 (lihat Al-Fayyadl, 2006: 8-9).
Meskipun begitu, yang jelas, dekonstruksi merupakan satu arus pemikiran yang besar, yang menandai munculnya pos-strukturalisme dan modernisme. Dengan tanpa bermaksud mengabaikan tokoh pos-strukturalis lainnya, seperti Bataille, Deleuze, Foucault, dan Levinas (lihat Lechte, 2007: 153-190), pembicaraan tentang pos-struturalisme tidak akan berarti tanpa dekonstruksi Derrida. Bahkan, pos-strukturalisme itu sendiri sudah identik dengan dekonstruksi, atau sebaliknya, dekonstruksi identik dengan pos-strukturalisme. Sejak munculnya hingga sekarang, dekonstruksi sebagai sebuah metode pembacaan teks mempunyai pengaruh yang besar pada kajian budaya. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mencoba melihat dan menjelaskan dekonstruksi Derrida itu dan pengaruhnya pada kajian budaya.
Sekilas tentang Derrida
Derrida yang mempunyai nama lengkap Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil, pada 15 Juli 1930. Pada 1949, Derrida pindah ke Prancis untuk melanjutkan sekolah. Pada 1952, Derrida resmi belajar di École Normal Supériuere, sekolah elite yang dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf garda depan Prancis. Namun, pada 1957-1959, dia kembali ke Aljazair untuk memenuhi kewajiban militernya dengan mengajar bahasa Prancis dan Inggris untuk anak-anak tentara di sana. Setelah dua tahun di Aljazair, Derrida kembali ke Prancis pada 1959. Selain di École Normal Supériuere, dia menyempatkan diri belajar di Husserl Archive, yakni salah satu pusat kajian fenomenologi di Louvain, Prancis.
Setelah meraih gelar kesarjanaannya yang pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl Archive. Pada 1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Empat tahun kemudian, sejak 1964 sampai dengan 1984, Derrida mengajar di École Normal Supériuere. Pada akhir tahun 1965, dia mulai memperoleh perhatian publik melalui dua artikelnya yang membahas buku-buku tentang sejarah dan bentuk penulisan yang dimuat dalam jurnal Critique. Pada 1966, dia menyampaikan sebuah ceramah legendaris di Universitas John Hopkins, dengan judul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences”.
Tahun 1967, Derrida mulai dikenal sebagai tokoh penting dalam pemikiran Prancis melalui dua karyanya, yakni: Pertama, La Voix et le Phenomene, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Speech and Phenomena (1973) oleh David Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis gagasan Husserl tentang tanda. Kedua, De la Gramatologie, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh Gayatri Spivak. Masih pada tahun yang sama, dia juga menerbitkan L’ecriture et la Difference, yang kemudian diterjemahkan oleh Allan Bas menjadi Writing and Difference (1978).
Karyanya yang tersebut kedua ditujukan, terutama bagi karangan Rousseau, berjudul Essay on the Origin of Language, yang dianalisisnya dari sudut sejarah pemikiran tentang tanda. Dalam Of Gramatology ini, Derrida memulai sebuah proyek filsafat yang berbasis pada tulisan, sebagai perlawanan terhadap dominasi logosentrisme dalam metafisika Barat. Selain itu, karya ini juga mengkritik paradigma strukturalisme yang berasal dari Ferdinand de Saussure, yang mementingkan bahasa lisan di atas bahasa tulis, sinkroni di atas diakroni. Karya ini mengangkat tulisan sebagai bahasa yang man
diri dan memenuhi dirinya sendiri. Karya ini mendekonstruksi pementingan pada konsep dan melawannya dengan menunjukkan, bahwa historisitas harus menjadi bagian dari analisis struktural. Sebagaimana diakuinya dan tampak dalam tulisan-tulisannya, pemikiran Derrida dipengaruhi oleh pemikiran Heidegger, Nietzsche, Adorno, Levinas, Husserl, Freud, dan de Saussure.
Kemudian, pada 1980, Derrida memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul “The Time of a Thesis: Punctuations”. Pada 1986, dia resmi diangkat sebagai guru besar humaniora di Universitas California, Irvine. Hingga kini, universitas ini tercatat sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang memiliki koleksi lengkap tulisan-tulisan Derrida, terutama arsip-arsip yang belum dipublikasikan. Atas berbagai karyanya, kemudian, Derrida menerima bermacam penghargaan. Gelar doktor kehormatan diterimanya dari Universitas Cambridge, Universitas Columbia, the New School for Sosial Research, Universitas Essex, Universitas Louvain, dan William College. Kemudian, dia dikukuhkan sebagai anggota honorer American Academy of Arts and Science. Pada 2001, dia menerima Anugrah Adorno (Adorno-Preis) yang sangat prestisius di Jerman. Namun, pada 2003, dia harus menerima kenyataan, menderita kanker hati. Akhirnya, pada 9 Oktober 2004, Derrida meninggal dunia tersebab kanker hati yang dideritanya itu.
Apa Itu Dekonstruksi?
Menurut Derrida, pemaknaan merupakan suatu proses dengan cara membongkar dan menganalisis secara kritis hal yang dimaknai. Proses pemahaman makna tidak hanya karena ada proses oposisi atau diferensiasi (difference), tetapi karena ada proses ‘penundaan’ hubungan antara penanda dan petanda untuk menemukan makna yang baru. Proses penundaan hubungan inilah yang disebut Derrida sebagai proses dekonstruksi.
Dekonstruksi dipahami sebagai sebuah metode pembacaan untuk memahami sebuah teks secara lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, Barbara Johnson mengatakan, bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Dekonstruksi dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Dengan demikian, dekonstruksi atau pembacaan dekonstruktif tidak menghancurkan makna sebuah teks, tetapi menghancurkan klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar daripada pemaknaan lain yang berbeda.
Bermula dari pembacaan dekonstruktif Derrida terhadap teks-teks filsafat dan juga sastra, dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat (univokal). Menurut Derrida, setiap satuan bahasa, penanda selalu mengisyaratkan permainan bipolar di antara berbagai hal yang sebetulnya ambivalen dan terlalu kompleks untuk disederhanakan ke dalam satu bentuk penanda. Oleh karena itu, Derrida menyatakan, bahwa pembacaan selalu diarahkan pada hubungan tertentu, yang tidak diterima oleh penulis, antara apa yang dituntut dan apa yang tidak dituntut dari pola-pola bahasa yang digunakannya.
Makna yang univokal itu merupakan makna yang diinginkan oleh teks atau yang dengan sengaja dimunculkan secara jelas oleh hubungan logis dari teks itu (dominan). Namun, pembacaan dekonstruktif akan menghasilkan suatu makna tersembunyi atau yang tidak dikatakan oleh teks, yang tidak selalu sejalan dengan makna yang dominan itu. Makna itu merupakan makna sekunder yang disepelekan. Makna itu dihasilkan dari paradoks-paradoks yang ambigu, yang melemahkan pembacaan yang dominan itu. Logika permainan yang dibentuk oleh pembacaan dekonstruktif menunjukkan, bahwa sebuah teks dapat saja menyangkal sesuatu yang ditegaskannya, meskipun sering dalam bentuk implisit dan samar. Dengan demikian, pembacaan dekonstruktif menghasilkan makna yang majemuk (polivokal). Dalam pembacaan dekonstruktif, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja (lihat Al-Fayyadl, 2006: 80-82).
Dengan bertolak dari konsep de Saussure tentang penanda-petanda, dekonstruksi memandang relasi atau hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat statis, tetapi dapat ‘ditunda’ untuk memperoleh hubungan yang baru. Makna suatu tanda diperoleh tidak berdasarkan pembedaan antartanda, melainkan dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda (dinamis) melalui differance. Differance adalah sebuah neologi yang diciptakan Derrida yang menggambarkan sifat dasar yang terbagi, yang berarti menangguhkan sekaligus membedakan. Pengertian ganda pada kata differance ini disebabkan oleh ambivalensi huruf a dalam differ(a)nce, yang memiliki dua makna, yakni ‘membedakan’ atau ‘menjadi berbeda’ (to differ) dan ‘menunda’ (to defer). Huruf a, sekaligus, menggabungkan dua makna tersebut dalam satu kata. Penggantian huruf e dengan a pada kata differ(e)nce menunjukkan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambigu bahasa. Makna yang senantiasa ditangguhkan tidak pernah hadir secara lengkap, senantiasa tidak ada dan ada (lebih jauh lihat Al-Fayyadl, 2006: 109-112).
Penundaan oleh Derrida bersifat melingkar, dalam prinsip, bahwa ‘penundaan’ itu berlangsung secara tidak terhingga. Makna substansial, pada hakikatnya, tidak ada, dalam arti, tidak berakar pada dunia empiris yang berada di luar tanda. Makna yang pasti, baru terwujud dalam kaitan dengan suatu wacana tertentu dan makna itu akan mengalami perubahan atau mempunyai nilai berlainan dalam konteks wacana yang berbeda (lebih jauh, lihat Storey, 2008).
Hubungan antara penanda-petanda melingkar terus tanpa berhenti pada realitas yang kongkret. Penanda-petanda tidak mempunyai realitas yang kongkret, karena merupakan unit-unit mental. Penanda tidak menghasilkan petanda, tetapi memproduksi lebih banyak penanda. Makna sebuah kata di kamus, misalnya, menggambarkan penundaan makna yang tiada tara, karena satu penanda menghasilkan sebuah petanda, yang pada gilirannya menjadi penanda lainnya. Hanya dalam sebuah wacana dan dibaca dalam sebuah kontekslah terdapat perhentian sementara bagi permainan penanda ke penanda yang tiada akhir. Bahkan, wacana dan konteks tidak dapat sepenuhnya mengontrol makna.
Untuk memperjelas hal itu, dengan meminjam contoh yang diberikan Masinambow (2004: 26), kata sepak, misalnya, merupakan penanda, yang merujuk pada kata atau bermakna ‘tendang’ (petanda). Namun, kata ‘tendang’ kembali menjadi penanda, yang merujuk pada kata atau bermakna ‘terjang’ (petanda). Seterusnya, kata terjang kembali menjadi penanda, yang kembali merujuk atau bermakna sepak (petanda). Dengan demikian, hubungan antara penanda-petanda itu melingkar terus, tanpa berhenti pada realitas yang kongkret (Bersambung)
*) Kandidat Doktor Ilmu Budaya di UI.
http://harianhaluan.com/
Dekonstruksi cenderung dilihat sebagai sesuatu yang antiteori dan antimetode. Karena kecenderungan yang antiteori dan antimetode itu, ia mendapat tanggapan yang serius dari berbagai kalangan (ilmuwan), terutama kaum positivis dan kaum modernis. Mereka keberatan dengan dekonstruksi, karena ia cenderung relativis atau bahkan nihilistik terhadap diskursus, sehingga ia dikatakan sebagai intellectual gimmick, yang berarti ‘tipu muslihat intelektual’, yang tidak berisi apa-apa selain permainan kata-kata. Dekonstruksi juga dikatakan merupakan tantangan terhadap arus filsafat analitik dan sains. Bahkan, untuk dekonstruksinya itu, gelar doktor honoris causa yang diperoleh Derrida dari Universitas Cambridge pernah diprotes oleh dua belas intelektual Amerika pada tahun 1992 (lihat Al-Fayyadl, 2006: 8-9).
Meskipun begitu, yang jelas, dekonstruksi merupakan satu arus pemikiran yang besar, yang menandai munculnya pos-strukturalisme dan modernisme. Dengan tanpa bermaksud mengabaikan tokoh pos-strukturalis lainnya, seperti Bataille, Deleuze, Foucault, dan Levinas (lihat Lechte, 2007: 153-190), pembicaraan tentang pos-struturalisme tidak akan berarti tanpa dekonstruksi Derrida. Bahkan, pos-strukturalisme itu sendiri sudah identik dengan dekonstruksi, atau sebaliknya, dekonstruksi identik dengan pos-strukturalisme. Sejak munculnya hingga sekarang, dekonstruksi sebagai sebuah metode pembacaan teks mempunyai pengaruh yang besar pada kajian budaya. Sehubungan dengan itu, tulisan ini mencoba melihat dan menjelaskan dekonstruksi Derrida itu dan pengaruhnya pada kajian budaya.
Sekilas tentang Derrida
Derrida yang mempunyai nama lengkap Jacques Derrida ini adalah seorang keturunan Yahudi. Ia lahir di El-Biar, salah satu wilayah Aljazair yang agak terpencil, pada 15 Juli 1930. Pada 1949, Derrida pindah ke Prancis untuk melanjutkan sekolah. Pada 1952, Derrida resmi belajar di École Normal Supériuere, sekolah elite yang dikelola oleh Michel Foucault, Louis Althusser, dan sejumlah filsuf garda depan Prancis. Namun, pada 1957-1959, dia kembali ke Aljazair untuk memenuhi kewajiban militernya dengan mengajar bahasa Prancis dan Inggris untuk anak-anak tentara di sana. Setelah dua tahun di Aljazair, Derrida kembali ke Prancis pada 1959. Selain di École Normal Supériuere, dia menyempatkan diri belajar di Husserl Archive, yakni salah satu pusat kajian fenomenologi di Louvain, Prancis.
Setelah meraih gelar kesarjanaannya yang pertama, Derrida resmi mengajar di Husserl Archive. Pada 1960, dia diminta untuk mengajar filsafat di Universitas Sorbonne. Empat tahun kemudian, sejak 1964 sampai dengan 1984, Derrida mengajar di École Normal Supériuere. Pada akhir tahun 1965, dia mulai memperoleh perhatian publik melalui dua artikelnya yang membahas buku-buku tentang sejarah dan bentuk penulisan yang dimuat dalam jurnal Critique. Pada 1966, dia menyampaikan sebuah ceramah legendaris di Universitas John Hopkins, dengan judul “Structure, Sign, and Play in the Discourse of the Human Sciences”.
Tahun 1967, Derrida mulai dikenal sebagai tokoh penting dalam pemikiran Prancis melalui dua karyanya, yakni: Pertama, La Voix et le Phenomene, diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Speech and Phenomena (1973) oleh David Allison. Karya ini ditujukan untuk menganalisis gagasan Husserl tentang tanda. Kedua, De la Gramatologie, yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi Of Gramatology (1976) oleh Gayatri Spivak. Masih pada tahun yang sama, dia juga menerbitkan L’ecriture et la Difference, yang kemudian diterjemahkan oleh Allan Bas menjadi Writing and Difference (1978).
Karyanya yang tersebut kedua ditujukan, terutama bagi karangan Rousseau, berjudul Essay on the Origin of Language, yang dianalisisnya dari sudut sejarah pemikiran tentang tanda. Dalam Of Gramatology ini, Derrida memulai sebuah proyek filsafat yang berbasis pada tulisan, sebagai perlawanan terhadap dominasi logosentrisme dalam metafisika Barat. Selain itu, karya ini juga mengkritik paradigma strukturalisme yang berasal dari Ferdinand de Saussure, yang mementingkan bahasa lisan di atas bahasa tulis, sinkroni di atas diakroni. Karya ini mengangkat tulisan sebagai bahasa yang man
diri dan memenuhi dirinya sendiri. Karya ini mendekonstruksi pementingan pada konsep dan melawannya dengan menunjukkan, bahwa historisitas harus menjadi bagian dari analisis struktural. Sebagaimana diakuinya dan tampak dalam tulisan-tulisannya, pemikiran Derrida dipengaruhi oleh pemikiran Heidegger, Nietzsche, Adorno, Levinas, Husserl, Freud, dan de Saussure.
Kemudian, pada 1980, Derrida memperoleh gelar doktor dengan disertasi berjudul “The Time of a Thesis: Punctuations”. Pada 1986, dia resmi diangkat sebagai guru besar humaniora di Universitas California, Irvine. Hingga kini, universitas ini tercatat sebagai satu-satunya perguruan tinggi yang memiliki koleksi lengkap tulisan-tulisan Derrida, terutama arsip-arsip yang belum dipublikasikan. Atas berbagai karyanya, kemudian, Derrida menerima bermacam penghargaan. Gelar doktor kehormatan diterimanya dari Universitas Cambridge, Universitas Columbia, the New School for Sosial Research, Universitas Essex, Universitas Louvain, dan William College. Kemudian, dia dikukuhkan sebagai anggota honorer American Academy of Arts and Science. Pada 2001, dia menerima Anugrah Adorno (Adorno-Preis) yang sangat prestisius di Jerman. Namun, pada 2003, dia harus menerima kenyataan, menderita kanker hati. Akhirnya, pada 9 Oktober 2004, Derrida meninggal dunia tersebab kanker hati yang dideritanya itu.
Apa Itu Dekonstruksi?
Menurut Derrida, pemaknaan merupakan suatu proses dengan cara membongkar dan menganalisis secara kritis hal yang dimaknai. Proses pemahaman makna tidak hanya karena ada proses oposisi atau diferensiasi (difference), tetapi karena ada proses ‘penundaan’ hubungan antara penanda dan petanda untuk menemukan makna yang baru. Proses penundaan hubungan inilah yang disebut Derrida sebagai proses dekonstruksi.
Dekonstruksi dipahami sebagai sebuah metode pembacaan untuk memahami sebuah teks secara lebih mandiri, tanpa didominasi pemikiran yang sudah tertanam dalam masyarakat. Sehubungan dengan itu, Barbara Johnson mengatakan, bahwa dekonstruksi adalah strategi mengurai teks. Dekonstruksi dimaksudkan sebagai strategi mengurai struktur dan medan pemaknaan dalam teks daripada operasi yang merusak teks itu sendiri. Oleh karena itu, tujuan dekonstruksi adalah mengungkap oposisi-oposisi hierarkis yang implisit dalam teks. Dengan demikian, dekonstruksi atau pembacaan dekonstruktif tidak menghancurkan makna sebuah teks, tetapi menghancurkan klaim bahwa satu bentuk pemaknaan terhadap teks lebih benar daripada pemaknaan lain yang berbeda.
Bermula dari pembacaan dekonstruktif Derrida terhadap teks-teks filsafat dan juga sastra, dekonstruksi menggugat modus pemaknaan yang terpusat dan cenderung bulat (univokal). Menurut Derrida, setiap satuan bahasa, penanda selalu mengisyaratkan permainan bipolar di antara berbagai hal yang sebetulnya ambivalen dan terlalu kompleks untuk disederhanakan ke dalam satu bentuk penanda. Oleh karena itu, Derrida menyatakan, bahwa pembacaan selalu diarahkan pada hubungan tertentu, yang tidak diterima oleh penulis, antara apa yang dituntut dan apa yang tidak dituntut dari pola-pola bahasa yang digunakannya.
Makna yang univokal itu merupakan makna yang diinginkan oleh teks atau yang dengan sengaja dimunculkan secara jelas oleh hubungan logis dari teks itu (dominan). Namun, pembacaan dekonstruktif akan menghasilkan suatu makna tersembunyi atau yang tidak dikatakan oleh teks, yang tidak selalu sejalan dengan makna yang dominan itu. Makna itu merupakan makna sekunder yang disepelekan. Makna itu dihasilkan dari paradoks-paradoks yang ambigu, yang melemahkan pembacaan yang dominan itu. Logika permainan yang dibentuk oleh pembacaan dekonstruktif menunjukkan, bahwa sebuah teks dapat saja menyangkal sesuatu yang ditegaskannya, meskipun sering dalam bentuk implisit dan samar. Dengan demikian, pembacaan dekonstruktif menghasilkan makna yang majemuk (polivokal). Dalam pembacaan dekonstruktif, makna lebih dialami sebagai proses dari penafsiran dan bukan hasil yang sudah jadi dan dapat dinikmati begitu saja (lihat Al-Fayyadl, 2006: 80-82).
Dengan bertolak dari konsep de Saussure tentang penanda-petanda, dekonstruksi memandang relasi atau hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat statis, tetapi dapat ‘ditunda’ untuk memperoleh hubungan yang baru. Makna suatu tanda diperoleh tidak berdasarkan pembedaan antartanda, melainkan dapat berubah-ubah sesuai kehendak pemakai tanda (dinamis) melalui differance. Differance adalah sebuah neologi yang diciptakan Derrida yang menggambarkan sifat dasar yang terbagi, yang berarti menangguhkan sekaligus membedakan. Pengertian ganda pada kata differance ini disebabkan oleh ambivalensi huruf a dalam differ(a)nce, yang memiliki dua makna, yakni ‘membedakan’ atau ‘menjadi berbeda’ (to differ) dan ‘menunda’ (to defer). Huruf a, sekaligus, menggabungkan dua makna tersebut dalam satu kata. Penggantian huruf e dengan a pada kata differ(e)nce menunjukkan strategi tekstual untuk menunjukkan watak ambigu bahasa. Makna yang senantiasa ditangguhkan tidak pernah hadir secara lengkap, senantiasa tidak ada dan ada (lebih jauh lihat Al-Fayyadl, 2006: 109-112).
Penundaan oleh Derrida bersifat melingkar, dalam prinsip, bahwa ‘penundaan’ itu berlangsung secara tidak terhingga. Makna substansial, pada hakikatnya, tidak ada, dalam arti, tidak berakar pada dunia empiris yang berada di luar tanda. Makna yang pasti, baru terwujud dalam kaitan dengan suatu wacana tertentu dan makna itu akan mengalami perubahan atau mempunyai nilai berlainan dalam konteks wacana yang berbeda (lebih jauh, lihat Storey, 2008).
Hubungan antara penanda-petanda melingkar terus tanpa berhenti pada realitas yang kongkret. Penanda-petanda tidak mempunyai realitas yang kongkret, karena merupakan unit-unit mental. Penanda tidak menghasilkan petanda, tetapi memproduksi lebih banyak penanda. Makna sebuah kata di kamus, misalnya, menggambarkan penundaan makna yang tiada tara, karena satu penanda menghasilkan sebuah petanda, yang pada gilirannya menjadi penanda lainnya. Hanya dalam sebuah wacana dan dibaca dalam sebuah kontekslah terdapat perhentian sementara bagi permainan penanda ke penanda yang tiada akhir. Bahkan, wacana dan konteks tidak dapat sepenuhnya mengontrol makna.
Untuk memperjelas hal itu, dengan meminjam contoh yang diberikan Masinambow (2004: 26), kata sepak, misalnya, merupakan penanda, yang merujuk pada kata atau bermakna ‘tendang’ (petanda). Namun, kata ‘tendang’ kembali menjadi penanda, yang merujuk pada kata atau bermakna ‘terjang’ (petanda). Seterusnya, kata terjang kembali menjadi penanda, yang kembali merujuk atau bermakna sepak (petanda). Dengan demikian, hubungan antara penanda-petanda itu melingkar terus, tanpa berhenti pada realitas yang kongkret (Bersambung)
*) Kandidat Doktor Ilmu Budaya di UI.
Dekonstruksi Derrida dan Pengaruhnya pada Kajian Budaya (II)
Zuriati
http://harianhaluan.com/
Differance merupakan struktur dasar dari setiap teks. Derrida menolak mendefinisikan differance, karena ia bukanlah konsep atau apa pun yang merujuk pada isi (petanda) yang merupakan substitusi dari kehadiran. Ia hanyalah strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk melalui oposisi atau hierarki yang dibangun oleh teks. Oleh karena itu, menurutnya, differance bukanlah sesuatu yang hadir dan ada, tetapi ia juga bukanlah sesuatu yang absen (sebagai lawan dari kehadiran), melainkan permainan yang mengatasi kategori kehadiran/absensi. Ia bermain antara ada dan tiada, keberadaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keberadaannya. Ia membayangi setiap teks dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, seringkali tidak terduga.
Dengan demikian, differance itu merujuk pada sebuah strategi untuk memperlihatkan perpedaan-perbedaan yang implisit, sekaligus, menyodorkan tantangan terhadap totalitas makna dalam teks. Sebagai sebuah strategi, ia dapat ditemukan dalam setiap sistem pemikiran, institusi penafsiran, sejarah, atau apa pun bentuk upaya untuk membakukan makna, memberi tafsiran tunggal terhadap realitas, atau menghadirkan satu pembacaan terhadap segala sesuatu. Bagi Derrida, semua itu adalah teks dan sejauh dipahami sebagai teks, ia akan terbuka untuk dibaca, dibongkar, dan ditafsirkan ulang secara tidak berhingga. Differance menggerakkan seluruh permukaan teks yang terlihat datar dengan memfungsikan kembali ‘logika permainan’ yang direpresi oleh logika dominan (pengarang). Dengan differance, asumsi-asumsi yang mapan terus dipertanyakan dan mengujinya dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal dan paradoksal. Ia adalah ruang untuk mencari berbagai perspektif terhadap teks. Oleh karena itu, teks harus dibiarkan apa adanya; tidak stabil, ambigu, dan rentan dengan paradoks.
Pengaruh Dekonstruksi pada Kajian Budaya
Sebagai suatu metode pembacaan atau penafsiran teks, dekonstruksi Derrida sangat berpengaruh pada kajian sastra, terutama kajian terhadap karya sastra sebagai salah satu bentuk teks budaya. Dengan bahasa yang penuh ambiguitas, teks-teks sastra sangat memungkinkan dianalisis secara dekonstruksi. Melalui dekonstruksi, penafsiran atau pemaknaan terhadap satu teks sastra tidak lagi menghasilkan satu makna atau tema pokok sebagaimana yang dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya, tetapi dapat menghasilkan makna-makna atau tema-tema kecil, yang tidak dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya. Dengan dekonstruksi, tema-tema kecil yang kehadirannya sering tersembunyi dalam teks itu dapat menjadi sesuatu yang besar, meski kadangkala, menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan warga sastra.
Setuju dengan Hoed (2008: 15-16). dengan dekonstruksi, pemahaman teks sastra tidak dapat sekedar memahami secara sistematis, tetapi menunda kaitan antara unsur ekspresi teks (penanda) dan unsur isi (petanda). Hal itu dilakukan untuk memperoleh makna lain atau makna baru teks. Metode dekonstruksi yang bersifat ketat dapat meningkatkan nilai kritik sastra. Metode ini dapat mendorong pemikiran kritis dan dapat menghasilkan analisis yang handal. Ia dapat menghasilkan pemikiran yang sifatnya individual dan mungkin kontroversial, tetapi pembaharu dan kreatif.
Dalam perkembangannya, kajian budaya tidak melihat budaya sebagai objek keadiluhungan estetis (seni tinggi), seperti teks sastra tinggi sebagaimana yang dimaksudkan oleh penjelasan pada dua paragraf di atas. Begitupun, budaya tidak juga dilihat sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual, tetapi dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Pengertian budaya terakhir itu dikatakan mencakup dua pengertian budaya sebelumnya itu, yang juga dapat mencakup kajian budaya pop. Dalam konteks itu, kajian budaya menganggap, bahwa budaya bersifat politis, dalam arti yang spesifik, yakni sebagai ranah konflik dan pergumulan (Storey, 2008: 2-3).
Dalam konteks kajian budaya seperti yang dimaksudkan di atas, dekonstruksi banyak dipakai sebagai perangkat untuk membaca gejala-gejala budaya, terutama sebagai sebuah teks. Pembacaan dekonstruktif yang dilakukan terhadap teks-teks budaya itu telah melahirkan berbagai pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran baru, terutama berkenaan dengan nasional-poskolonial-transnasional-global, budaya pop, dan identitas budaya, seperti ras, gender, kelas, etnisitas, dan agama. Pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran atau makna-makna baru itu diperoleh melalui differance yang ada dalam teks-teks yang mengandung hal-hal tersebut. Dengan dekonstruksi, Hoed (2008: 103-108), misalnya, dapat menemukan pengertian baru terhadap kata globalisasi, yang berbeda maknanya dari makna yang sudah dipahami secara umum. Begitu juga, Budianta (2000), misalnya, melalui pembacaan dekonstuktif terhadap teks-teks media massa Indonesia tentang globalisasi dan identitas, menemukan, bahwa ada pertentangan pada pendapat-pendapat atau pandangan-pandangan orang tentang globalisasi. Ternyata, menurut Melani, globalisasi itu juga ada di dalam diri kita sendiri.
Pengaruh dekonstruksi itu tampak pula pada analisis terhadap teks-teks yang memuat tentang seksualitas. Konsep differance pada pembacaan dekonstruktif dapat menjadi alat analisis untuk menjelaskan dan memaknai bagaimana seksualitas itu terbentuk. Berkenaan dengan itu, menurut Derrida, segala sesuatu, termasuk seksualitas, dikonstruksi melalui prosedur logosentris. Dalam prosedur itu, heteroseksualitas bukan didasarkan pada kualitas yang inheren melekat padanya, melainkan berdasarkan pada pelabelan negatif terhadap praktik seksual lain yang nonprokreatif, seperti seksualitas sesama jenis dan masturbasi. Dalam logosentrisme, heteroseksualitas bukan hanya dibedakan, melainkan juga dianggap lebih tinggi derajatnya atas praktik nonhetero. Bentuk seksualitas yang lain diberi sebutan negatif, direndahkan melalui strategi patologis, abnormalisasi, dan kriminalitas (lihat Alim, 2004: 37-38).
Sebagai penutup bagian ini, saya ingin menampilkan satu contoh sederhana pembacaan dekonstruktif terhadap sebuah teks dalam bentuk cerita bergambar, berjudul “(Huru-Hara) Hura-Hura Pemilu’99″, karya Benny & Mice. Penundaan makna atau differance pada teks itu difokuskan pada kata-kata (huru-hara) hura-hura. Dengan begitu, kata-kata itu merupakan differance dalam teks itu. Penulisan huru-hara dalam tanda kurung telah menggerogoti kata hura-hura yang ditulis sesudahnya. Sebagai sebuah pesta demokrasi, pemilu merupakan sebuah pesta yang penuh dengan hura-hura. Hal itu ditunjukkan oleh penggambaran situasi masyarakat yang bergembira menyambut dan menjalani pemilu itu dengan senang hati dan bergembira. Namun, adanya kata huru-hara dalam tanda kurung itu menjadikan makna itu ditunda, untuk kemudian muncul makna yang baru. Makna baru itu berbeda dengan makna yang terkandung dalam teks atau makna yang mungkin dimaksudkan oleh pengarangnya.
Melalui penggambaran yang sedikit, yakni tentang beberapa kekhawatiran jika pemilu dengan banyak partai berlangsung, makna lain dari pemilu itu tersembunyi dalam teks. Penundaan terhadap makna yang pertama menghasilkan makna yang baru, yang dikandung oleh kata-kata (huru-hara). Selain mengandung makna hura-hura, ternyata, pemilu itu juga bermakna huru-hara. Dengan begitu, teks itu mengandung makna yang ambigu, yang bertentangan. Pemilu bermakna hura-hura, sekaligus, bermakna huru-hara. Makna baru yang diperoleh dari teks itu merupakan makna baru yang, mungkin, bertentangan dengan pandangan umum yang sudah dipahami oleh masyarakat selama ini.n (Habis)
*) Kandidat Doktor Ilmu Budaya di UI. /01 May 2011
http://harianhaluan.com/
Differance merupakan struktur dasar dari setiap teks. Derrida menolak mendefinisikan differance, karena ia bukanlah konsep atau apa pun yang merujuk pada isi (petanda) yang merupakan substitusi dari kehadiran. Ia hanyalah strategi permainan yang tidak terencana dengan tujuan mengusik stabilitas teks dan mencairkan pengertian tunggal yang terbentuk melalui oposisi atau hierarki yang dibangun oleh teks. Oleh karena itu, menurutnya, differance bukanlah sesuatu yang hadir dan ada, tetapi ia juga bukanlah sesuatu yang absen (sebagai lawan dari kehadiran), melainkan permainan yang mengatasi kategori kehadiran/absensi. Ia bermain antara ada dan tiada, keberadaannya adalah ketiadaannya, dan ketiadaannya adalah keberadaannya. Ia membayangi setiap teks dengan kemungkinan-kemungkinan lain yang menawarkan kejutan, seringkali tidak terduga.
Dengan demikian, differance itu merujuk pada sebuah strategi untuk memperlihatkan perpedaan-perbedaan yang implisit, sekaligus, menyodorkan tantangan terhadap totalitas makna dalam teks. Sebagai sebuah strategi, ia dapat ditemukan dalam setiap sistem pemikiran, institusi penafsiran, sejarah, atau apa pun bentuk upaya untuk membakukan makna, memberi tafsiran tunggal terhadap realitas, atau menghadirkan satu pembacaan terhadap segala sesuatu. Bagi Derrida, semua itu adalah teks dan sejauh dipahami sebagai teks, ia akan terbuka untuk dibaca, dibongkar, dan ditafsirkan ulang secara tidak berhingga. Differance menggerakkan seluruh permukaan teks yang terlihat datar dengan memfungsikan kembali ‘logika permainan’ yang direpresi oleh logika dominan (pengarang). Dengan differance, asumsi-asumsi yang mapan terus dipertanyakan dan mengujinya dengan kemungkinan-kemungkinan baru yang lebih radikal dan paradoksal. Ia adalah ruang untuk mencari berbagai perspektif terhadap teks. Oleh karena itu, teks harus dibiarkan apa adanya; tidak stabil, ambigu, dan rentan dengan paradoks.
Pengaruh Dekonstruksi pada Kajian Budaya
Sebagai suatu metode pembacaan atau penafsiran teks, dekonstruksi Derrida sangat berpengaruh pada kajian sastra, terutama kajian terhadap karya sastra sebagai salah satu bentuk teks budaya. Dengan bahasa yang penuh ambiguitas, teks-teks sastra sangat memungkinkan dianalisis secara dekonstruksi. Melalui dekonstruksi, penafsiran atau pemaknaan terhadap satu teks sastra tidak lagi menghasilkan satu makna atau tema pokok sebagaimana yang dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya, tetapi dapat menghasilkan makna-makna atau tema-tema kecil, yang tidak dimaksudkan oleh teks atau pengarangnya. Dengan dekonstruksi, tema-tema kecil yang kehadirannya sering tersembunyi dalam teks itu dapat menjadi sesuatu yang besar, meski kadangkala, menimbulkan kontroversi, terutama di kalangan warga sastra.
Setuju dengan Hoed (2008: 15-16). dengan dekonstruksi, pemahaman teks sastra tidak dapat sekedar memahami secara sistematis, tetapi menunda kaitan antara unsur ekspresi teks (penanda) dan unsur isi (petanda). Hal itu dilakukan untuk memperoleh makna lain atau makna baru teks. Metode dekonstruksi yang bersifat ketat dapat meningkatkan nilai kritik sastra. Metode ini dapat mendorong pemikiran kritis dan dapat menghasilkan analisis yang handal. Ia dapat menghasilkan pemikiran yang sifatnya individual dan mungkin kontroversial, tetapi pembaharu dan kreatif.
Dalam perkembangannya, kajian budaya tidak melihat budaya sebagai objek keadiluhungan estetis (seni tinggi), seperti teks sastra tinggi sebagaimana yang dimaksudkan oleh penjelasan pada dua paragraf di atas. Begitupun, budaya tidak juga dilihat sebagai sebuah proses perkembangan estetik, intelektual, dan spiritual, tetapi dipahami sebagai teks dan praktik hidup sehari-hari. Pengertian budaya terakhir itu dikatakan mencakup dua pengertian budaya sebelumnya itu, yang juga dapat mencakup kajian budaya pop. Dalam konteks itu, kajian budaya menganggap, bahwa budaya bersifat politis, dalam arti yang spesifik, yakni sebagai ranah konflik dan pergumulan (Storey, 2008: 2-3).
Dalam konteks kajian budaya seperti yang dimaksudkan di atas, dekonstruksi banyak dipakai sebagai perangkat untuk membaca gejala-gejala budaya, terutama sebagai sebuah teks. Pembacaan dekonstruktif yang dilakukan terhadap teks-teks budaya itu telah melahirkan berbagai pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran baru, terutama berkenaan dengan nasional-poskolonial-transnasional-global, budaya pop, dan identitas budaya, seperti ras, gender, kelas, etnisitas, dan agama. Pandangan-pandangan atau pemikiran-pemikiran atau makna-makna baru itu diperoleh melalui differance yang ada dalam teks-teks yang mengandung hal-hal tersebut. Dengan dekonstruksi, Hoed (2008: 103-108), misalnya, dapat menemukan pengertian baru terhadap kata globalisasi, yang berbeda maknanya dari makna yang sudah dipahami secara umum. Begitu juga, Budianta (2000), misalnya, melalui pembacaan dekonstuktif terhadap teks-teks media massa Indonesia tentang globalisasi dan identitas, menemukan, bahwa ada pertentangan pada pendapat-pendapat atau pandangan-pandangan orang tentang globalisasi. Ternyata, menurut Melani, globalisasi itu juga ada di dalam diri kita sendiri.
Pengaruh dekonstruksi itu tampak pula pada analisis terhadap teks-teks yang memuat tentang seksualitas. Konsep differance pada pembacaan dekonstruktif dapat menjadi alat analisis untuk menjelaskan dan memaknai bagaimana seksualitas itu terbentuk. Berkenaan dengan itu, menurut Derrida, segala sesuatu, termasuk seksualitas, dikonstruksi melalui prosedur logosentris. Dalam prosedur itu, heteroseksualitas bukan didasarkan pada kualitas yang inheren melekat padanya, melainkan berdasarkan pada pelabelan negatif terhadap praktik seksual lain yang nonprokreatif, seperti seksualitas sesama jenis dan masturbasi. Dalam logosentrisme, heteroseksualitas bukan hanya dibedakan, melainkan juga dianggap lebih tinggi derajatnya atas praktik nonhetero. Bentuk seksualitas yang lain diberi sebutan negatif, direndahkan melalui strategi patologis, abnormalisasi, dan kriminalitas (lihat Alim, 2004: 37-38).
Sebagai penutup bagian ini, saya ingin menampilkan satu contoh sederhana pembacaan dekonstruktif terhadap sebuah teks dalam bentuk cerita bergambar, berjudul “(Huru-Hara) Hura-Hura Pemilu’99″, karya Benny & Mice. Penundaan makna atau differance pada teks itu difokuskan pada kata-kata (huru-hara) hura-hura. Dengan begitu, kata-kata itu merupakan differance dalam teks itu. Penulisan huru-hara dalam tanda kurung telah menggerogoti kata hura-hura yang ditulis sesudahnya. Sebagai sebuah pesta demokrasi, pemilu merupakan sebuah pesta yang penuh dengan hura-hura. Hal itu ditunjukkan oleh penggambaran situasi masyarakat yang bergembira menyambut dan menjalani pemilu itu dengan senang hati dan bergembira. Namun, adanya kata huru-hara dalam tanda kurung itu menjadikan makna itu ditunda, untuk kemudian muncul makna yang baru. Makna baru itu berbeda dengan makna yang terkandung dalam teks atau makna yang mungkin dimaksudkan oleh pengarangnya.
Melalui penggambaran yang sedikit, yakni tentang beberapa kekhawatiran jika pemilu dengan banyak partai berlangsung, makna lain dari pemilu itu tersembunyi dalam teks. Penundaan terhadap makna yang pertama menghasilkan makna yang baru, yang dikandung oleh kata-kata (huru-hara). Selain mengandung makna hura-hura, ternyata, pemilu itu juga bermakna huru-hara. Dengan begitu, teks itu mengandung makna yang ambigu, yang bertentangan. Pemilu bermakna hura-hura, sekaligus, bermakna huru-hara. Makna baru yang diperoleh dari teks itu merupakan makna baru yang, mungkin, bertentangan dengan pandangan umum yang sudah dipahami oleh masyarakat selama ini.n (Habis)
*) Kandidat Doktor Ilmu Budaya di UI. /01 May 2011
Jumat, 25 November 2011
Stanislavski, Iswadi, dan Teater Realis
Asarpin
http://sastra-indonesia.com/
Sudah banyak yang menggugat fenomen teater yang menampilkan dialog yang tidak cerdas dan hanya berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk persiapan batin seorang aktor, apalagi sampai menggarap detail di tingkat tubuh aktor. Wajar saja jika suatu waktu orang rindu lagi dengan teater monolog sebagai jalur alternatif menghadapi kebuntuan. Tapi ternyata tak mudah dan orang kembali ke teater dialog dengan mempelajari buku-buku aktor dari Constantin Stanislavski.
Seperti sudah banyak diketahui, Stanislavski adalah si empunya teater realisme yang punya pengaruh kuat di sini sejak jaman ATNI hingga Teater Garasi Yogyakarta dan Teater Satu di Lampung. Tak lengkap rasanya jika kita bicara panjang-lebar tentang teater realis kalau tidak menyitir Stanislavski. Salah satu aspek mustahak dalam teater realisme yang ditekankan Stanislavski adalah persiapan seorang aktor menjadi intelektual, punya bobot emosional yang terjaga baik, bukan cuma pemain. Stanislavski menekankan dialog dengan penafsiran secara liris kata demi kata, kalimat demi kalimat, sampai si aktor dapat merasakan kata dan kalimat itu.
Intonasi dialog, diksi yang bernyanyi, gestur dan mimik, dan berbagai prasyarat pelik, anehnya membuat Stanislavski tak mati-mati di negeri ini. Padahal masih diragukan apakah dalam mempelajari karya-karya Stanislavski calon aktor betah digembleng secara tahap demi tahap dengan merasakan secara praktik-pikiran-pikiran seni peragaan sastra Stanislavski. Walau banyak juga yang pernah mencak-mencak karena membuat teater Indonesia modern jadi seragam, lalu muncul Arifin C. Noer yang sempat menganggap Stanislavski bersama David Garrick hingga Steve Lim (Teguh Karya) telah lama mati.
Metode akting yang dikembangkan dari garis tebal realisme Stanislavski itu juga pernah dikritik Afrizal Malna, Remy Silado dan banyak lagi. Namun tokoh Teater Seni Moskwa itu tak juga mati. Para kru Teater Garasi tahun lalu harus menerjemahkan satu buku lagi karya Stanislavski: Membangun Tokoh (judul Inggris: Building A Character).
Di Lampung, Iswadi Pratama dekat sekali dengan arahan Stanislavski. Dalam melatih calon aktor, Iswadi secara fanatik menekankan keterampilan di bidang intonasi dialog dan sangat habitual pada bentuk-bentuk antara bacaan hafalan dan bacaan kata per kata, atau resiatif dan mentrastik. Mungkin karena begitu sulit mencari aktor berbakat, maka Iswadi jadi pengekor Stanislavski.
Kecuali beberapa aktor yang lahir dari Teater Garasi, dan sedikit dari Teater Satu (seperti Hamidah), tak banyak aktor mutakhir yang keberhasilannya bisa bertahan lama. Maka anjuran Iswadi agar para calon aktor terus membaca karya-karya Stanislavski tidak sia-sia, sebab setelah sosok Hamidah disebut oleh Tempo (15 Desember 2008) sebagai seorang diri yang sanggup menghadirkan dunia batin seorang perempuan yang terluka, dan dinobatkan majalah yang sama sebagai satu di antara aktor teater terbaik 2008, Iswadi tak bisa menyembunyikan keterpesonaannya pada Stanislavski.
Tentu saja Stanislavski masih mempesona untuk sebuah teater monolog, walau pun dialog paling mendapat tekanan dalam karya-karyanya. Dialah sang inovator, aktor, sutradara, dan kritikus teater Rusia yang pengaruhnya terhadap penekanan terhadap rasa kata atau diksi dan bernyanyi bisa kita lihat dalam lakon Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang karya Iswadi. Tak sia-sia, setelah di pentaskan kali pertama 2003 di Jakarta, lakon ini menyabet empat penghargaan sekaligus: Naskah Terbaik, Sutradara Terbaik, Grup Terbaik, dan Kelompok Artis Terbaik. Patutlah kita berbangga karena ternyata ada sutradara dari Lampung yang berkelas dan dapat disejajarkan dengan Yudi Ahmad Tajudin.
Sebagai sutradara, Iswadi menekankan bagaimana memberi bentuk fisik peran/karakter yang dimainkan sehingga citraan-citraan lahir maupun batin peran bisa sampai. “Bahkan, tidak jarang ada semacam keraguan di kalangan mereka untuk menentukan apakah aspek-aspek batin peran terlebih dahulu yang harus diserap aktor kemudian diberi bentuk fisik; ataukah citraan-citraan fisikal lebih dahulu yang dikejar aktor barulah ‘jiwa’ peran diberikan?“
Beberapa kali saya dengar kritikus teater menyebut tentang kekuatan sebuah teater justru ada pada person. John Perreault dan Michael Kirby mendedah lakon Oedipus, a New Work dan menemukan daya pukau dan daya sihir sebuah teater justru pada matrik tokoh dan kisahan yang menampakkan kekuatan person, alih-alih aktor.
Sambutan Tempo yang menobatkan Iswadi sebagai satu dari tujuh tokoh terbaik 2008 tak terlepas dari keberhasilan lakon Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang. Bukan semata-mata karena karyanya jadi penyelamat aktor, tapi karena gaya hibrid yang kuat, persenyawaan antar berbagai seni pertunjukan, pertemuan gerak balet dan serimpi, bahasa kebisuan dan ritme wicara yang puitis, intonasi yang terjaga, mimik yang khas, dan pengucapan epikal, bukan lirikal.
Dari sini kita tahu bahwa tokoh punya peran penting bagi teater, tapi bukan segalanya. Aktor yang baik tidak selalu baik karena piawai menampilkan dialog dan monolog batin, melainkan mampu menghubungkan momen batinnya dalam keadaan khusuk seperti orang semadi dengan sejumlah persyaratan lain yang tentu tidak sedikit. Teater dialog maupun monolog tetap membutuhkan semacam tempo-ritme. Dalam berbicara maupun membisu, bergerak maupun diam, kata Stanislavski, kita harus pula mengikuti tempo-ritme. Tanpa memperhatikan tempo dan ritme, sulit sekali dialog atau monolog berlangsung dengan intim dan khidmat.
Iswadi hampir sepenuhnya meyakini definisi aktor teater dari gabungan antara Stanislavski dan Goenawan Mohammad, di mana keterampilan seorang tokoh merupakan hal yang paling signifikan. Keterampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukkan, untuk menjadikan seni pertunjukan menjadi suatu realitas tersendiri yaitu realitas pertunjukan teater, di mata Goenawan adalah hal paling mendasar. Terlebih lagi dalam teater monolog yang memang menempatkan aktor sebagai pusat gravitasi.
Tengok pernyataan Goenawan dalam Lakon dan Lelucon, betapa dekat dengan semangat esai Iswadi berjudul Buku ‘Penyelamat Aktor: “persoalan yang dihadapi oleh seorang sutradara dewasa ini“, kata Goenawan, adalah “ketika metode akting Stanilavsky tampaknya tidak pernah diikhtiarkan lagi dan ketika karya-karya yang sering dipanggungkan di Indonesia sekitar tahun 1950-1960-an (Chekhov, Ibsen, Strindberg, misalnya, atau beberapa lakon Indonesia oleh Motinggo Boesje dan Nasyah Djamin) tidak pernah muncul kembali.
Di pentas di Indonesia sekarang mungkin hanya Studi Teater Bandung yang masih meneruskan apa yang dulu dirintis oleh Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan tentu saja oleh Jim Adilimas. Kita tak pernah lagi menyaksikan Pinangan atau Kebun Cheri, di mana aktor dituntut menampilkan drama batin, karakterisasi, suasana hati (lebih penting ketimbang alur cerita), dengan fokus pada segi tragikomedi dari kejadian-kejadian yang sering banal“.
Beruntung buku Persiapan Seorang Aktor masih bisa saya baca di perpustakaan daerah Lampung, di mana Stanislavski meyakinkan saya melalui pengalaman personalnya tentang makna sesungguhnya dari monolog batin: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening“, tulis Stanilavsky, “maka aku akan menikmatinya“.
Sekali pun dengan harga cukup mahal, kusempatkan membeli buku Membangun Tokoh karena di buku ini saya diajarkan bagaimana menubuhkan tokoh dengan penekanan pada aksen bicara, penokohan batin, mimik wajah, intonasi, jeda, diksi, keliatan gerak, tempo-ritme, dan seperangkat persiapan lain yang tak mudah .
Saya tahu sekarang bahwa teater monolog berhubungan erat dengan aktor yang memiliki sifat silent soliloquy. Tentu saja, monolog di atas panggung bukan hal yang mudah dikerjakan, seperti diakui sendiri oleh Stanislavski. Iswadi sendiri tampak lebih berhasil melakukan percakapan dengan diri sendiri dalam puisi, ketimbang di teater. Tapi monolog batin itulah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa tahun lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi selera dan dahaga keduanya.
Kala itu saya ingin mengatakan: kalian berdua terlampau ketat dibayangi Stanislavski sehingga penilaian pun begitu ketat. Dalam hal ini, Iswadi tampak secara harafiah mengikuti petuah Stanilavsky tentang bermain dalam diam. Dalam puisi, Iswadi lebih dekat dengan ucapan Carlos Fuentes: menulis dalam diam. Sebab siapa lagi yang dikenal cukup intim dalam menghadirkan semesta batin di tengah cuaca dramaturgi dan puisi yang tengah bergayut mendung, kecuali Iswadi.
Tak jarang saya membayangkan tokoh lakon Iswadi di atas panggung sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, menarah keperihan dan kegelisahan dengan rintih-diam sambil membisikkan sajak Pushkin di akhir buku Membangun Tokoh Stanislavski: …“dari ketinggian/dapat memindai dengan mata berbinar/Lembah tempat tenda-tenda putih tersemat/Dan, jauh selespasnya, laut/serta layar terkembang melaju pesat“.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
http://sastra-indonesia.com/
Sudah banyak yang menggugat fenomen teater yang menampilkan dialog yang tidak cerdas dan hanya berlarat-larat sehingga tidak mempunyai ruang untuk persiapan batin seorang aktor, apalagi sampai menggarap detail di tingkat tubuh aktor. Wajar saja jika suatu waktu orang rindu lagi dengan teater monolog sebagai jalur alternatif menghadapi kebuntuan. Tapi ternyata tak mudah dan orang kembali ke teater dialog dengan mempelajari buku-buku aktor dari Constantin Stanislavski.
Seperti sudah banyak diketahui, Stanislavski adalah si empunya teater realisme yang punya pengaruh kuat di sini sejak jaman ATNI hingga Teater Garasi Yogyakarta dan Teater Satu di Lampung. Tak lengkap rasanya jika kita bicara panjang-lebar tentang teater realis kalau tidak menyitir Stanislavski. Salah satu aspek mustahak dalam teater realisme yang ditekankan Stanislavski adalah persiapan seorang aktor menjadi intelektual, punya bobot emosional yang terjaga baik, bukan cuma pemain. Stanislavski menekankan dialog dengan penafsiran secara liris kata demi kata, kalimat demi kalimat, sampai si aktor dapat merasakan kata dan kalimat itu.
Intonasi dialog, diksi yang bernyanyi, gestur dan mimik, dan berbagai prasyarat pelik, anehnya membuat Stanislavski tak mati-mati di negeri ini. Padahal masih diragukan apakah dalam mempelajari karya-karya Stanislavski calon aktor betah digembleng secara tahap demi tahap dengan merasakan secara praktik-pikiran-pikiran seni peragaan sastra Stanislavski. Walau banyak juga yang pernah mencak-mencak karena membuat teater Indonesia modern jadi seragam, lalu muncul Arifin C. Noer yang sempat menganggap Stanislavski bersama David Garrick hingga Steve Lim (Teguh Karya) telah lama mati.
Metode akting yang dikembangkan dari garis tebal realisme Stanislavski itu juga pernah dikritik Afrizal Malna, Remy Silado dan banyak lagi. Namun tokoh Teater Seni Moskwa itu tak juga mati. Para kru Teater Garasi tahun lalu harus menerjemahkan satu buku lagi karya Stanislavski: Membangun Tokoh (judul Inggris: Building A Character).
Di Lampung, Iswadi Pratama dekat sekali dengan arahan Stanislavski. Dalam melatih calon aktor, Iswadi secara fanatik menekankan keterampilan di bidang intonasi dialog dan sangat habitual pada bentuk-bentuk antara bacaan hafalan dan bacaan kata per kata, atau resiatif dan mentrastik. Mungkin karena begitu sulit mencari aktor berbakat, maka Iswadi jadi pengekor Stanislavski.
Kecuali beberapa aktor yang lahir dari Teater Garasi, dan sedikit dari Teater Satu (seperti Hamidah), tak banyak aktor mutakhir yang keberhasilannya bisa bertahan lama. Maka anjuran Iswadi agar para calon aktor terus membaca karya-karya Stanislavski tidak sia-sia, sebab setelah sosok Hamidah disebut oleh Tempo (15 Desember 2008) sebagai seorang diri yang sanggup menghadirkan dunia batin seorang perempuan yang terluka, dan dinobatkan majalah yang sama sebagai satu di antara aktor teater terbaik 2008, Iswadi tak bisa menyembunyikan keterpesonaannya pada Stanislavski.
Tentu saja Stanislavski masih mempesona untuk sebuah teater monolog, walau pun dialog paling mendapat tekanan dalam karya-karyanya. Dialah sang inovator, aktor, sutradara, dan kritikus teater Rusia yang pengaruhnya terhadap penekanan terhadap rasa kata atau diksi dan bernyanyi bisa kita lihat dalam lakon Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang karya Iswadi. Tak sia-sia, setelah di pentaskan kali pertama 2003 di Jakarta, lakon ini menyabet empat penghargaan sekaligus: Naskah Terbaik, Sutradara Terbaik, Grup Terbaik, dan Kelompok Artis Terbaik. Patutlah kita berbangga karena ternyata ada sutradara dari Lampung yang berkelas dan dapat disejajarkan dengan Yudi Ahmad Tajudin.
Sebagai sutradara, Iswadi menekankan bagaimana memberi bentuk fisik peran/karakter yang dimainkan sehingga citraan-citraan lahir maupun batin peran bisa sampai. “Bahkan, tidak jarang ada semacam keraguan di kalangan mereka untuk menentukan apakah aspek-aspek batin peran terlebih dahulu yang harus diserap aktor kemudian diberi bentuk fisik; ataukah citraan-citraan fisikal lebih dahulu yang dikejar aktor barulah ‘jiwa’ peran diberikan?“
Beberapa kali saya dengar kritikus teater menyebut tentang kekuatan sebuah teater justru ada pada person. John Perreault dan Michael Kirby mendedah lakon Oedipus, a New Work dan menemukan daya pukau dan daya sihir sebuah teater justru pada matrik tokoh dan kisahan yang menampakkan kekuatan person, alih-alih aktor.
Sambutan Tempo yang menobatkan Iswadi sebagai satu dari tujuh tokoh terbaik 2008 tak terlepas dari keberhasilan lakon Nostalgia Sebuah Kota, Kenangan tentang Tanjungkarang. Bukan semata-mata karena karyanya jadi penyelamat aktor, tapi karena gaya hibrid yang kuat, persenyawaan antar berbagai seni pertunjukan, pertemuan gerak balet dan serimpi, bahasa kebisuan dan ritme wicara yang puitis, intonasi yang terjaga, mimik yang khas, dan pengucapan epikal, bukan lirikal.
Dari sini kita tahu bahwa tokoh punya peran penting bagi teater, tapi bukan segalanya. Aktor yang baik tidak selalu baik karena piawai menampilkan dialog dan monolog batin, melainkan mampu menghubungkan momen batinnya dalam keadaan khusuk seperti orang semadi dengan sejumlah persyaratan lain yang tentu tidak sedikit. Teater dialog maupun monolog tetap membutuhkan semacam tempo-ritme. Dalam berbicara maupun membisu, bergerak maupun diam, kata Stanislavski, kita harus pula mengikuti tempo-ritme. Tanpa memperhatikan tempo dan ritme, sulit sekali dialog atau monolog berlangsung dengan intim dan khidmat.
Iswadi hampir sepenuhnya meyakini definisi aktor teater dari gabungan antara Stanislavski dan Goenawan Mohammad, di mana keterampilan seorang tokoh merupakan hal yang paling signifikan. Keterampilan dalam memahami, menghayati, dan memainkan peran serta menghidupkan pertunjukkan, untuk menjadikan seni pertunjukan menjadi suatu realitas tersendiri yaitu realitas pertunjukan teater, di mata Goenawan adalah hal paling mendasar. Terlebih lagi dalam teater monolog yang memang menempatkan aktor sebagai pusat gravitasi.
Tengok pernyataan Goenawan dalam Lakon dan Lelucon, betapa dekat dengan semangat esai Iswadi berjudul Buku ‘Penyelamat Aktor: “persoalan yang dihadapi oleh seorang sutradara dewasa ini“, kata Goenawan, adalah “ketika metode akting Stanilavsky tampaknya tidak pernah diikhtiarkan lagi dan ketika karya-karya yang sering dipanggungkan di Indonesia sekitar tahun 1950-1960-an (Chekhov, Ibsen, Strindberg, misalnya, atau beberapa lakon Indonesia oleh Motinggo Boesje dan Nasyah Djamin) tidak pernah muncul kembali.
Di pentas di Indonesia sekarang mungkin hanya Studi Teater Bandung yang masih meneruskan apa yang dulu dirintis oleh Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan tentu saja oleh Jim Adilimas. Kita tak pernah lagi menyaksikan Pinangan atau Kebun Cheri, di mana aktor dituntut menampilkan drama batin, karakterisasi, suasana hati (lebih penting ketimbang alur cerita), dengan fokus pada segi tragikomedi dari kejadian-kejadian yang sering banal“.
Beruntung buku Persiapan Seorang Aktor masih bisa saya baca di perpustakaan daerah Lampung, di mana Stanislavski meyakinkan saya melalui pengalaman personalnya tentang makna sesungguhnya dari monolog batin: “Jika aku berkesempatan untuk mengadakan hubungan batin dengan perasaanku sendiri dalam keadaan hening“, tulis Stanilavsky, “maka aku akan menikmatinya“.
Sekali pun dengan harga cukup mahal, kusempatkan membeli buku Membangun Tokoh karena di buku ini saya diajarkan bagaimana menubuhkan tokoh dengan penekanan pada aksen bicara, penokohan batin, mimik wajah, intonasi, jeda, diksi, keliatan gerak, tempo-ritme, dan seperangkat persiapan lain yang tak mudah .
Saya tahu sekarang bahwa teater monolog berhubungan erat dengan aktor yang memiliki sifat silent soliloquy. Tentu saja, monolog di atas panggung bukan hal yang mudah dikerjakan, seperti diakui sendiri oleh Stanislavski. Iswadi sendiri tampak lebih berhasil melakukan percakapan dengan diri sendiri dalam puisi, ketimbang di teater. Tapi monolog batin itulah yang juga sedang dicari bentuknya dalam tiap kali pementasan Teater Satu. Bahkan dalam lomba teater monolog beberapa tahun lalu di Lampung, Iswadi Pratama dan Ari Pahala mengeluh dengan sulitnya mencari teater monolog yang memenuhi selera dan dahaga keduanya.
Kala itu saya ingin mengatakan: kalian berdua terlampau ketat dibayangi Stanislavski sehingga penilaian pun begitu ketat. Dalam hal ini, Iswadi tampak secara harafiah mengikuti petuah Stanilavsky tentang bermain dalam diam. Dalam puisi, Iswadi lebih dekat dengan ucapan Carlos Fuentes: menulis dalam diam. Sebab siapa lagi yang dikenal cukup intim dalam menghadirkan semesta batin di tengah cuaca dramaturgi dan puisi yang tengah bergayut mendung, kecuali Iswadi.
Tak jarang saya membayangkan tokoh lakon Iswadi di atas panggung sedang berpegangan pada sebatang jerami kering, menarah keperihan dan kegelisahan dengan rintih-diam sambil membisikkan sajak Pushkin di akhir buku Membangun Tokoh Stanislavski: …“dari ketinggian/dapat memindai dengan mata berbinar/Lembah tempat tenda-tenda putih tersemat/Dan, jauh selespasnya, laut/serta layar terkembang melaju pesat“.
__________
*) ASARPIN, lahir di dekat hilir Teluk Semangka, propinsi Lampung, 08 Januari 1975. Pernah kuliah di jurusan Perbandingan Agama IAIN Raden Intan Bandar Lampung. Setelah kuliah, bergabung dengan Urban Poor Consortium (UPC), 2002-2005. Koordinator Uplink Lampung, 2005-2007. Pada 2009 mengikuti program penulisan Mastera untuk genre Esai di Wisma Arga Mulya, 3-8 Agustus 2009. Tahun 2005 pulang lagi ke Lampung, dengan membuka cabang Urban Poor Linkage (UPLINK). Di UPLINK pernah menjabat koordinator (2005-2007). Menulis esai sudah menjadi bagian perjalanan hidup, yang bukan untuk mengelak dari kebosanan, tapi ingin memuaskan dahaga pengetahuan. Sejak 2005 hampir setiap bulan esai sastra dan keagamaan terbit di Lampung Post. Kini telah beristri Nurmilati dan satu anak Kaila Estetika. Alamat blognya: http://kailaestetika.blogspot.com/
Minamoto Yorimasa (1106-1180)
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=422
Minamoto Yorimasa (1106-1180), penyair Jepang yang karya-karyanya muncul di banyak antologi. Dialah seorang samurai hebat, ketua Pengawal Kerajaan, pernah memimpin pasukan Minamoto dalam perang Genpei. Tahun 1150, membunuh monster Nue dengan sebuah anak panah, atas jasanya Kaisar Konoe menghadiahkan pedang. Tahun 1156, mengikuti pemberontakan Hogen. 1179 berhenti dari pasukan Kiyomori, berubah fikiran melawan klannya sendiri, pada akhirnya menjadi pendeta Budha. Mei 1180, mengirimkan permohonan kepada ketua Minamoto yang lain, ke kuil juga biara yang pernah diserangnya. Yorimasa meninggal dalam perang Genpei (1180-1185), ketika pasukannya terjepit dan menyelamatkan diri ke kuil Byodo-in. Sebelum harakiri, Yorimasa menghadap ke arah barat, mengatubkan tangannya sambil bersenandung “Sambutlah Amida Budha” berkali-kali bersuara lantang, kemudian menuliskan puisi, serupa di bawah ini:
Seperti sebuah pohon tua
Yang tak pernah berbunga
Kesedihan adalah hidupku
Kesedihan, tetap menghantui
hingga akhir hidupku
Sudah takdir, tiada berbuah.
Setelah mengucapkannya, Yorimasa menusukkan ujung pedang ke perutnya. Menundukkan kepala ke tanah, dengan pisau menembus tubuhnya, lantas mati. {keterangan singkat dari buku Sang Samurai, penerbit Pinus, 2009, disusun Agata P. Ranjabar}
***
Tidak tersangkal, bangsa tangguh yang sanggup melesat laksana kilatan cahaya menembus masa depan. Karena anak-anaknya bermental pemberani dalam menjaga harga diri.
Bangsa Jepang kurasa dapat dipercontohkan kini. Dari keterpurukan pengeboman di Hiroshima pula Nagasaki, pada serangan nuklir Perang Dunia ke II.
Seperti ada sesuatu dibanggakan, selepas kerja suntuk. Dan nilai-nilai warisan nenek moyang dipelihara dengan hormat, bukan mengangkat terlalu tinggi, lantas berbesar hati.
Namun kesungguhan keras menghujami sanubari, hingga yang hadir bukan kesombongan. Tapi rasa syukur tidak pernah puas, terus belajar membenahi diri, demi martabat berbudhi pekerti.
Yorimasa, seperti para jawara pedang dan ahli memanah lain di negeri Sakura, sudah melewati peperangan besar pula kecil.
Jemari tangannya menyatu kuat; kilatan senjata, sambaran matanya menyerupai bara, atas pande besi menempa sebilah niat.
Seakan ada yang harus diselesaikan sebelum gugurnya daun-daun, jatuhnya salju semalam, angin membinasakan, juga menghidupkan nafas-nafas rumput ilalang.
Pepohon bambu menggarit langit biru menggaris nasibnya pada awan gemawan, sedang senyum dinginnya sulit diartikan.
Di perbatasan tertentu, perhitungan menjadi jalannya takdir. Detik-detik mawas diri mengunci jiwa, tak lepas serupa merpati terlena, memagut percumbuan kasih.
Senafas bau baja yang tajam, tercium hidung mengagumkan, dan gurat di lengan bertanda waktu pernah dilalui beringas, kasar menawan keterlenaan.
Manakala dielus wanita menuju anganan, yang melumpuhkan pancaindra, jikalau dirinya tidak dilambari kadikjayaan ilmu serta pengalaman.
Seorang samurai sejati, meski gerak pedangnya selesatan petir, menyambar pepohonan membakar amarah musuh-musuhnya, berkobar di medan perang;
Ingatannya bening bersimpan dalam bathin, sejernih renungan petapa, tidak terlewat meski sebisik masa peristiwa. Manakala menyambar hasrat, kelepakkan sayap-sayap nyawa lawan tanding.
Saat terjepit, tak begitu saja pasrah sebagai tawanan tanpa muka. Ialah keberanian setia, tangguh membela harga diri, sampai tetesan darah penghabisan.
Daripada menyerah, lebih baik memutuskan nasib atas harakiri, demi akhir penghormatan terhadap hidup.
Pun menanjaki kemenangan, rasa hormat pada musuhnya tetap ada, tidak kurang terhadap kawan-kawannya.
Menyelami puisi Yorimasa yang tercipta di ambang mati, yang ditandatangani harakiri. Bersimpan makna sesalan akhir hayati, meski telah banyak kemenangan di masa hayatnya.
Bayang-bayang kekalahan tampak kelam pekat seperti kebutaan di dalam goa. Hidup berwarna-warni hilang lenyap, bau-bau sedap bunga sirna cepat, manakala mengakhiri semua tidak di medan tempur.
Pohon tua tidak berbunga tak melahirkan buah, tinggi meranggas mencakar langit tiada payung awan sentausa. Dirasanya tiada berkah hidup, kecuali sejumput pun diterbangkan angin lupa.
Bukan pedang pendek ditakuti menghujami perut, tapi kejayaan perjuangan; hawatir semangatnya tidak menetesi kening menemui para generasi.
Inilah kesedihan dalam, kepedihan tanpa air mata, tetapi darah segar kucuran perasaan menggelora, panas merambati udara, diterbangkan angin amis menjauh.
Debu-debu menjelma kata, mata-mata menyaksikan terpanah jantung mudanya. Langit sulit mengeja nilai pertumpahan darah, hanyalah niat menentukan nafas-nafas selanjutnya.
Burung-burung bangkai tertawa memekatkan telinga, memukul kendang angkasa. Hanya angin dari tekanan udara bergesak gravitasi, menyimpan tumbal bagi bumi tercinta.
Yorimasa khidmat menatap maut, bibirnya bergetar menyerupai kecupan akhir kekasih, lantas berhembus sudah.
http://pustakapujangga.com/?p=422
Minamoto Yorimasa (1106-1180), penyair Jepang yang karya-karyanya muncul di banyak antologi. Dialah seorang samurai hebat, ketua Pengawal Kerajaan, pernah memimpin pasukan Minamoto dalam perang Genpei. Tahun 1150, membunuh monster Nue dengan sebuah anak panah, atas jasanya Kaisar Konoe menghadiahkan pedang. Tahun 1156, mengikuti pemberontakan Hogen. 1179 berhenti dari pasukan Kiyomori, berubah fikiran melawan klannya sendiri, pada akhirnya menjadi pendeta Budha. Mei 1180, mengirimkan permohonan kepada ketua Minamoto yang lain, ke kuil juga biara yang pernah diserangnya. Yorimasa meninggal dalam perang Genpei (1180-1185), ketika pasukannya terjepit dan menyelamatkan diri ke kuil Byodo-in. Sebelum harakiri, Yorimasa menghadap ke arah barat, mengatubkan tangannya sambil bersenandung “Sambutlah Amida Budha” berkali-kali bersuara lantang, kemudian menuliskan puisi, serupa di bawah ini:
Seperti sebuah pohon tua
Yang tak pernah berbunga
Kesedihan adalah hidupku
Kesedihan, tetap menghantui
hingga akhir hidupku
Sudah takdir, tiada berbuah.
Setelah mengucapkannya, Yorimasa menusukkan ujung pedang ke perutnya. Menundukkan kepala ke tanah, dengan pisau menembus tubuhnya, lantas mati. {keterangan singkat dari buku Sang Samurai, penerbit Pinus, 2009, disusun Agata P. Ranjabar}
***
Tidak tersangkal, bangsa tangguh yang sanggup melesat laksana kilatan cahaya menembus masa depan. Karena anak-anaknya bermental pemberani dalam menjaga harga diri.
Bangsa Jepang kurasa dapat dipercontohkan kini. Dari keterpurukan pengeboman di Hiroshima pula Nagasaki, pada serangan nuklir Perang Dunia ke II.
Seperti ada sesuatu dibanggakan, selepas kerja suntuk. Dan nilai-nilai warisan nenek moyang dipelihara dengan hormat, bukan mengangkat terlalu tinggi, lantas berbesar hati.
Namun kesungguhan keras menghujami sanubari, hingga yang hadir bukan kesombongan. Tapi rasa syukur tidak pernah puas, terus belajar membenahi diri, demi martabat berbudhi pekerti.
Yorimasa, seperti para jawara pedang dan ahli memanah lain di negeri Sakura, sudah melewati peperangan besar pula kecil.
Jemari tangannya menyatu kuat; kilatan senjata, sambaran matanya menyerupai bara, atas pande besi menempa sebilah niat.
Seakan ada yang harus diselesaikan sebelum gugurnya daun-daun, jatuhnya salju semalam, angin membinasakan, juga menghidupkan nafas-nafas rumput ilalang.
Pepohon bambu menggarit langit biru menggaris nasibnya pada awan gemawan, sedang senyum dinginnya sulit diartikan.
Di perbatasan tertentu, perhitungan menjadi jalannya takdir. Detik-detik mawas diri mengunci jiwa, tak lepas serupa merpati terlena, memagut percumbuan kasih.
Senafas bau baja yang tajam, tercium hidung mengagumkan, dan gurat di lengan bertanda waktu pernah dilalui beringas, kasar menawan keterlenaan.
Manakala dielus wanita menuju anganan, yang melumpuhkan pancaindra, jikalau dirinya tidak dilambari kadikjayaan ilmu serta pengalaman.
Seorang samurai sejati, meski gerak pedangnya selesatan petir, menyambar pepohonan membakar amarah musuh-musuhnya, berkobar di medan perang;
Ingatannya bening bersimpan dalam bathin, sejernih renungan petapa, tidak terlewat meski sebisik masa peristiwa. Manakala menyambar hasrat, kelepakkan sayap-sayap nyawa lawan tanding.
Saat terjepit, tak begitu saja pasrah sebagai tawanan tanpa muka. Ialah keberanian setia, tangguh membela harga diri, sampai tetesan darah penghabisan.
Daripada menyerah, lebih baik memutuskan nasib atas harakiri, demi akhir penghormatan terhadap hidup.
Pun menanjaki kemenangan, rasa hormat pada musuhnya tetap ada, tidak kurang terhadap kawan-kawannya.
Menyelami puisi Yorimasa yang tercipta di ambang mati, yang ditandatangani harakiri. Bersimpan makna sesalan akhir hayati, meski telah banyak kemenangan di masa hayatnya.
Bayang-bayang kekalahan tampak kelam pekat seperti kebutaan di dalam goa. Hidup berwarna-warni hilang lenyap, bau-bau sedap bunga sirna cepat, manakala mengakhiri semua tidak di medan tempur.
Pohon tua tidak berbunga tak melahirkan buah, tinggi meranggas mencakar langit tiada payung awan sentausa. Dirasanya tiada berkah hidup, kecuali sejumput pun diterbangkan angin lupa.
Bukan pedang pendek ditakuti menghujami perut, tapi kejayaan perjuangan; hawatir semangatnya tidak menetesi kening menemui para generasi.
Inilah kesedihan dalam, kepedihan tanpa air mata, tetapi darah segar kucuran perasaan menggelora, panas merambati udara, diterbangkan angin amis menjauh.
Debu-debu menjelma kata, mata-mata menyaksikan terpanah jantung mudanya. Langit sulit mengeja nilai pertumpahan darah, hanyalah niat menentukan nafas-nafas selanjutnya.
Burung-burung bangkai tertawa memekatkan telinga, memukul kendang angkasa. Hanya angin dari tekanan udara bergesak gravitasi, menyimpan tumbal bagi bumi tercinta.
Yorimasa khidmat menatap maut, bibirnya bergetar menyerupai kecupan akhir kekasih, lantas berhembus sudah.
Kota yang Tenggelam dalam Seribu Karangan Bunga
Afrizal Malna*
Kompas, 13 Juli 2008
SELAMAT tinggal kedaerahan… Selamat tinggal lelaki dan perempuan…
Selamat tinggal ”nasionalisme sastra” yang terperangkap dalam masalah-masalahnya sendiri.
Kita bukan lagi suku-suku, kita adalah manusia. Kita bukan lagi lelaki dan perempuan, kita adalah manusia. Suatu hari nanti, dan kalau lebih bergegas lagi, sekarang juga: selamat tinggal tradisi, kalau globalisasi begitu mencemaskan kita. Dan kecemasan itu menjadi celaka ketika lewat tradisi, kita justru kembali lagi ke dalam bentuk kolonialisme baru manakala tradisi itu sendiri ternyata adalah hasil seleksi sejarah yang dilakukan kekuasaan kolonial, manakala tradisi itu telah jadi salah satu ikon dari struktur penindasan kolonial yang akar keberadaannya telah mengalami kosmetika.
Kita adalah generasi pasca-Indonesia, kata YB Mangunwijaya, yang sadar bahwa Indonesia adalah ikon pasca-kolonial justru dari hasil konstruksi sejarah kolonial. Dan nasionalisme kita lebih luas dari Indonesia itu sendiri.
Globalisasi tidak lantas dihadapi lewat teori-teori konflik, seperti budaya tanding, dengan mengedepankan kembali budaya lokal. Percayalah, sejarah akan menenggelamkan kita kembali untuk bisa bersama-sama menemukan bahasa dunia dalam persamaan dan perbedaan kita. Kita tidak akan pernah mencapai ”multikulturalisme” yang kini sedang menjadi isu global kalau perbedaan ditempatkan sebagai posisi yang paling artikulatif. Sama gentingnya kalau persamaan juga ditempatkan dalam posisi yang paling artikulatif.
Imajinasi kita ada dalam suara hujan yang bersayap. Imajinasi kita menembus nama-nama kita, menembus ketakutan-ketakutan kita dan kita bertemu kembali dengan kenyataan tak terbantahkan bahwa kita hidup dengan pagi dan malam yang sama, walaupun kita memiliki musim yang berbeda.
Dunia kritik sastra kita masih berdiri di belakang, bahkan di sebuah tikungan antara fiksi, kenyataan, dan metode membaca sastra dari balik jendela berkaca. Kritik yang masih ragu-ragu melihat bahwa sebenarnya karya- karya sastra kita masa kini sudah memasuki tema-tema ”trans-lokal”, ”trans-jender”, dan ”trans- pop”. Hubungan yang akrab dengan data, sains, dan filsafat sebagai wacana yang tidak lagi berada di menara gading, melainkan ada dekat di sekitar mereka. Generasi yang memperlakukan setting dalam novel-novel mereka seperti mengganti wallpaper dalam cover komputer, tetapi mereka menguasai detail setting itu lewat penelitian yang mencengangkan.
Sebagian dari generasi itu, bukan lagi generasi sastra dengan pergaulan komunitas sastra. Sastra bagi mereka mungkin tidak lebih dari sekadar media individual dan tidak harus menjadi bagian dari komunitas sastra yang menghabiskan waktu-waktu mereka, mengorbankan berbagai momen dari pertemuan, pergaulan dan realitas yang lain yang mungkin terjadi.
Kesan-kesan seperti ini, walaupun tidak terlalu eksplisit, dapat ditangkap dalam uraian Sunaryono Basuki ketika menjelaskan karya-karya prosa (cerita pendek maupun novel) yang terbit setelah reformasi. Terutama karya- karya yang ditulis para sastrawan perempuan. Pembicaraan yang dilakukan dalam forum ”Temu Sastra Indonesia 1” di Jambi, 7-10 Juli kemarin.
Ketika sastra bergaul kian dekat dengan filsafat, sains, dan sejarah, seakan-akan wacana-wacana ini ada di halaman belakang rumah kita dan bukan di halaman depan, maka kita juga bisa mengatakan dengan rela: sastra sudah mati. Sastra sudah menyelusup jauh memasuki berbagai wacana utama dan merajut kembali wacana-wacana itu dalam rajutan baru di mana kita mulai bisa berpikir dengan imajinasi, menembus cadar politik pemaknaan untuk membaca sistem makna yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita lewat imajinasi dan data.
Pada saat itu, karya sastra mulai menyimpan harapan untuk lahirnya masyarakat sastra yang membaca dan menulis dengan kesadaran sebagai ”politik wacana”. Dan bertanya lagi: masa depan seperti apa, kehidupan bersama seperti apa yang mungkin tumbuh dari sistem makna yang mereka jalani sekarang?
Politik wacana yang mengerti bahwa setiap kemerdekaan dibatasi dengan kemerdekaan orang lain, sampai kemerdekaan itu tidak ada, sampai kemerdekaan itu mati, seperti dinyatakan Putu Wijaya dalam monolognya di forum itu. Ketika kemerdekaan memang mulai dibatasi dengan adanya kemerdekaan lain, maka orang tidak perlu lagi meneriakkan kemerdekaan, tidak perlu lagi mengemis kemerdekaan, karena kemerdekaan telah menjadi makna dari keberadaan kita.
Forum ini, di samping membicarakan tema-tema kritik sastra (Sunaryono Basuki, Harris Effendi Thahar, Suminto A Sayuti, Hary S Harjono, Ahda Imran, dan Maizar Karim), juga dilengkapi dengan tema-tema advokasi dan promoting sastra dengan menghadirkan profesi hukum dan beberapa redaktur media massa cetak (Abdul Bari Azed, Fadillah, Ahmadun Y Herfanda, Kartini Nurdin, dan Triyanto Triwikromo).
Tema advokasi ini mencoba mendudukkan bahwa kedewasaan kehidupan publik ditentukan oleh kesadaran yang berjalan seimbang antara hak dan kewajiban. Keduanya tidak harus saling menghukum atau meniadakan yang lain, dengan menempatkan karya yang dihasilkan individu dari kehidupan publik itu sebagai sesuatu yang mudah dihancurkan. Perapuhan terhadap posisi individu, pada gilirannya berimplikasi menghasilkan kehidupan publik yang tidak pernah dewasa, sensitif, dan mudah diprovokasi yang membakar dirinya sendiri.
Para sastrawan yang datang dalam forum ini dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera dan, Nusa Tenggara Barat, dari Shantinet sampai Ratna Dewi.
Lewat forum ini pula, yang memang tidak memiliki tema yang eksplisit, juga tidak melahirkan isu yang cukup artikulatif, Jambi menyediakan diri untuk menampung kemungkinan berdirinya wadah sastra Indonesia (Firdaus, Acep Zamzam Noor). Hadirnya Jambi dalam pentas sastra Indonesia bisa dibaca sebagai fenomena munculnya kota-kota yang mencoba menggunakan sastra sebagai ikon mereka. Jambi merasa memiliki sejarah dan latar belakang trans-lokal untuk memasuki pentas sastra itu.
Fenomena munculnya kota- kota yang mendekatkan diri kepada sastra, juga bagian dari politik otonomi di mana pemilihan kepala daerah kini telah menjadi seremoni baru di banyak kota. Peristiwa politik yang juga mencoba menanamkan investasi nilai pada sastra dan sebaliknya.
Fenomena di mana kian mendekatnya sastra ke politik ini, menjadi sebaliknya dengan fenomena seni rupa yang kian dekat dengan ekonomi. Kedekatan itu akan membawa posisi yang dilematis antara keduanya manakala infrastruktur dan suprastruktur seni dalam masyarakat kita tidak berjalan seimbang. Yang satu mengalami dilematis secara politis, yang lain mengalami dilematis dalam hukum-hukum pasar yang mengatasinya.
Fenomena itu mungkin juga bagian dari tanda bahwa masyarakat urban kian membutuhkan seni yang mampu mewakili nilai-nilai mereka, sekaligus mereka bisa melakukan investasi dalam nilai-nilai itu. Berbagai pertemuan sastra, yang tidak mampu mendesain dirinya lewat fenomena ini, termasuk lewat perkembangan sastra itu sendiri; kuratorial yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dan menenggelamkan visi hanya untuk terjadinya seremoni kuantitas, tidak akan pernah bertemu dengan apa yang pernah disebut Iwan Simatupang dalam salah satu karyanya: Kota yang tenggelam dalam seribu karangan bunga.
Dan orang mengenang, kita pernah datang ke kota itu. Merayakan imajinasi untuk impian-impian lainnya.
* Afrizal Malna, Pekerja Seni
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/esai-kota-yang-tenggelam-dalam-seribu.html
Kompas, 13 Juli 2008
SELAMAT tinggal kedaerahan… Selamat tinggal lelaki dan perempuan…
Selamat tinggal ”nasionalisme sastra” yang terperangkap dalam masalah-masalahnya sendiri.
Kita bukan lagi suku-suku, kita adalah manusia. Kita bukan lagi lelaki dan perempuan, kita adalah manusia. Suatu hari nanti, dan kalau lebih bergegas lagi, sekarang juga: selamat tinggal tradisi, kalau globalisasi begitu mencemaskan kita. Dan kecemasan itu menjadi celaka ketika lewat tradisi, kita justru kembali lagi ke dalam bentuk kolonialisme baru manakala tradisi itu sendiri ternyata adalah hasil seleksi sejarah yang dilakukan kekuasaan kolonial, manakala tradisi itu telah jadi salah satu ikon dari struktur penindasan kolonial yang akar keberadaannya telah mengalami kosmetika.
Kita adalah generasi pasca-Indonesia, kata YB Mangunwijaya, yang sadar bahwa Indonesia adalah ikon pasca-kolonial justru dari hasil konstruksi sejarah kolonial. Dan nasionalisme kita lebih luas dari Indonesia itu sendiri.
Globalisasi tidak lantas dihadapi lewat teori-teori konflik, seperti budaya tanding, dengan mengedepankan kembali budaya lokal. Percayalah, sejarah akan menenggelamkan kita kembali untuk bisa bersama-sama menemukan bahasa dunia dalam persamaan dan perbedaan kita. Kita tidak akan pernah mencapai ”multikulturalisme” yang kini sedang menjadi isu global kalau perbedaan ditempatkan sebagai posisi yang paling artikulatif. Sama gentingnya kalau persamaan juga ditempatkan dalam posisi yang paling artikulatif.
Imajinasi kita ada dalam suara hujan yang bersayap. Imajinasi kita menembus nama-nama kita, menembus ketakutan-ketakutan kita dan kita bertemu kembali dengan kenyataan tak terbantahkan bahwa kita hidup dengan pagi dan malam yang sama, walaupun kita memiliki musim yang berbeda.
Dunia kritik sastra kita masih berdiri di belakang, bahkan di sebuah tikungan antara fiksi, kenyataan, dan metode membaca sastra dari balik jendela berkaca. Kritik yang masih ragu-ragu melihat bahwa sebenarnya karya- karya sastra kita masa kini sudah memasuki tema-tema ”trans-lokal”, ”trans-jender”, dan ”trans- pop”. Hubungan yang akrab dengan data, sains, dan filsafat sebagai wacana yang tidak lagi berada di menara gading, melainkan ada dekat di sekitar mereka. Generasi yang memperlakukan setting dalam novel-novel mereka seperti mengganti wallpaper dalam cover komputer, tetapi mereka menguasai detail setting itu lewat penelitian yang mencengangkan.
Sebagian dari generasi itu, bukan lagi generasi sastra dengan pergaulan komunitas sastra. Sastra bagi mereka mungkin tidak lebih dari sekadar media individual dan tidak harus menjadi bagian dari komunitas sastra yang menghabiskan waktu-waktu mereka, mengorbankan berbagai momen dari pertemuan, pergaulan dan realitas yang lain yang mungkin terjadi.
Kesan-kesan seperti ini, walaupun tidak terlalu eksplisit, dapat ditangkap dalam uraian Sunaryono Basuki ketika menjelaskan karya-karya prosa (cerita pendek maupun novel) yang terbit setelah reformasi. Terutama karya- karya yang ditulis para sastrawan perempuan. Pembicaraan yang dilakukan dalam forum ”Temu Sastra Indonesia 1” di Jambi, 7-10 Juli kemarin.
Ketika sastra bergaul kian dekat dengan filsafat, sains, dan sejarah, seakan-akan wacana-wacana ini ada di halaman belakang rumah kita dan bukan di halaman depan, maka kita juga bisa mengatakan dengan rela: sastra sudah mati. Sastra sudah menyelusup jauh memasuki berbagai wacana utama dan merajut kembali wacana-wacana itu dalam rajutan baru di mana kita mulai bisa berpikir dengan imajinasi, menembus cadar politik pemaknaan untuk membaca sistem makna yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita lewat imajinasi dan data.
Pada saat itu, karya sastra mulai menyimpan harapan untuk lahirnya masyarakat sastra yang membaca dan menulis dengan kesadaran sebagai ”politik wacana”. Dan bertanya lagi: masa depan seperti apa, kehidupan bersama seperti apa yang mungkin tumbuh dari sistem makna yang mereka jalani sekarang?
Politik wacana yang mengerti bahwa setiap kemerdekaan dibatasi dengan kemerdekaan orang lain, sampai kemerdekaan itu tidak ada, sampai kemerdekaan itu mati, seperti dinyatakan Putu Wijaya dalam monolognya di forum itu. Ketika kemerdekaan memang mulai dibatasi dengan adanya kemerdekaan lain, maka orang tidak perlu lagi meneriakkan kemerdekaan, tidak perlu lagi mengemis kemerdekaan, karena kemerdekaan telah menjadi makna dari keberadaan kita.
Forum ini, di samping membicarakan tema-tema kritik sastra (Sunaryono Basuki, Harris Effendi Thahar, Suminto A Sayuti, Hary S Harjono, Ahda Imran, dan Maizar Karim), juga dilengkapi dengan tema-tema advokasi dan promoting sastra dengan menghadirkan profesi hukum dan beberapa redaktur media massa cetak (Abdul Bari Azed, Fadillah, Ahmadun Y Herfanda, Kartini Nurdin, dan Triyanto Triwikromo).
Tema advokasi ini mencoba mendudukkan bahwa kedewasaan kehidupan publik ditentukan oleh kesadaran yang berjalan seimbang antara hak dan kewajiban. Keduanya tidak harus saling menghukum atau meniadakan yang lain, dengan menempatkan karya yang dihasilkan individu dari kehidupan publik itu sebagai sesuatu yang mudah dihancurkan. Perapuhan terhadap posisi individu, pada gilirannya berimplikasi menghasilkan kehidupan publik yang tidak pernah dewasa, sensitif, dan mudah diprovokasi yang membakar dirinya sendiri.
Para sastrawan yang datang dalam forum ini dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera dan, Nusa Tenggara Barat, dari Shantinet sampai Ratna Dewi.
Lewat forum ini pula, yang memang tidak memiliki tema yang eksplisit, juga tidak melahirkan isu yang cukup artikulatif, Jambi menyediakan diri untuk menampung kemungkinan berdirinya wadah sastra Indonesia (Firdaus, Acep Zamzam Noor). Hadirnya Jambi dalam pentas sastra Indonesia bisa dibaca sebagai fenomena munculnya kota-kota yang mencoba menggunakan sastra sebagai ikon mereka. Jambi merasa memiliki sejarah dan latar belakang trans-lokal untuk memasuki pentas sastra itu.
Fenomena munculnya kota- kota yang mendekatkan diri kepada sastra, juga bagian dari politik otonomi di mana pemilihan kepala daerah kini telah menjadi seremoni baru di banyak kota. Peristiwa politik yang juga mencoba menanamkan investasi nilai pada sastra dan sebaliknya.
Fenomena di mana kian mendekatnya sastra ke politik ini, menjadi sebaliknya dengan fenomena seni rupa yang kian dekat dengan ekonomi. Kedekatan itu akan membawa posisi yang dilematis antara keduanya manakala infrastruktur dan suprastruktur seni dalam masyarakat kita tidak berjalan seimbang. Yang satu mengalami dilematis secara politis, yang lain mengalami dilematis dalam hukum-hukum pasar yang mengatasinya.
Fenomena itu mungkin juga bagian dari tanda bahwa masyarakat urban kian membutuhkan seni yang mampu mewakili nilai-nilai mereka, sekaligus mereka bisa melakukan investasi dalam nilai-nilai itu. Berbagai pertemuan sastra, yang tidak mampu mendesain dirinya lewat fenomena ini, termasuk lewat perkembangan sastra itu sendiri; kuratorial yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dan menenggelamkan visi hanya untuk terjadinya seremoni kuantitas, tidak akan pernah bertemu dengan apa yang pernah disebut Iwan Simatupang dalam salah satu karyanya: Kota yang tenggelam dalam seribu karangan bunga.
Dan orang mengenang, kita pernah datang ke kota itu. Merayakan imajinasi untuk impian-impian lainnya.
* Afrizal Malna, Pekerja Seni
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/esai-kota-yang-tenggelam-dalam-seribu.html
Pesta Puisi di Kediri
D. Zawawi Imron
Jawa Pos, 13 Juli 2008
SEKITAR 50 sastrawan dari kawasan Asia Tenggara berkumpul di Kediri, 30 Juni sampai 3 Juli 2008. Mereka mengadakan ”Pesta Penyair Nusantara 2008”. Di antaranya ada Ahmadun Yosi Herfanda, Viddy A. Daery dari Jakarta, Dinullah Rayes dari Sumbawa, dan Anil Hukma dari Makassar. Di samping itu, banyak lagi penyair dari Tegal, Bandung, Jogjakarta, Medan, Pekanbaru, Samarinda, dan lain-lain. Dari Malaysia datang Dato’ Kemala dan Malim Ghozali, sastrawan dan ahli matematika Alquran.
Meskipun disebut ”Pesta Penyair Nusantara 2008”, acaranya tidak hanya baca puisi saja. Tak kalah pentingnya ialah seminar dan diskusi tentang perkembangan puisi di Asia Tenggara.
Penyair berdiskusi sesama penyair tentu saja seru. Aneka argumentasi disampaikan yang harus dijawab dengan argumentasi yang lebih akurat. Diskusi-diskusi tentang puisi tidak hanya menarik kalangan penyair saja. Nuruddin Hasan, anggota DPRD Kodya Kediri, selalu hadir sejak pembukaan sampai diskusi hari terakhir. Meskipun bukan penyair, ia masih ingin mendapatkan suara nurani para penyair di samping ingin mendapatkan informasi terbaru tentang perkembangan puisi mutakhir. Sebagai seorang aktivis politik mungkin ia sepaham dengan ucapan Presiden Amerika, John F. Kennedy bahwa, ”Kalau politik kotor puisilah yang akan membersihkannya.”
Dikisahkan, ketika Kennedy dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, ia tidak lupa kepada puisi. Buktinya, ia mengundang Robert Frost, penyair besar Amerika pada pertengahan abad ke-20 untuk membaca puisi. Itu artinya, acara pesta puisi yang berlangsung di Kediri selama 4 hari itu tidak lain sebagai sejenis jawaban terhadap keresahan dan suara-suara sumbang dari perilaku sebagian politikus di tanah air. Konon ada orang politik jadi makelar penebangan hutan, ada calon lurah, bupati, dan gubernur membiarkan konstituennya ngamuk ketika kalah pilkada, dan lain-lain. Belum politikus yang memecah partainya sendiri seperti memecah gelas atau cangkir, di samping berita ketidakramahan lainnya yang mencerminkan sebagian (kecil?) dari tokoh-tokoh bangsa kita kehilangan rasa santun.
Pesta puisi yang digelar di Kediri itu adalah upaya para penyair untuk tetap bersama dengan nurani bangsa ini. Kata begawan Budi Darma, titik berat kepenyairan ialah perjuangan penggabungan dulce et utile, keindahan, dan manfaat. Dalam utile, terdapat unsur moral yang bisa dipetik oleh pembaca, lengkap dengan kearifan untuk hidup damai. Budi Darma memang tidak setuju utile yang terlalu eksplisit, karena bisa menganggu dulce, keindahan puisi itu sendiri.
Jika puisi benar-benar digunakan untuk menghormati kehidupan dan kemanusiaan seperti yang tersirat pada pendapat Budi Darma di atas, maka puisi, atau pesta penyair akan menjadi sejenis ”oase”, tempat para pengembara kehidupan dari berbagai sektor dan lapisan bisa meneguk air nurani, atau air kehidupan. Bukankah dulu orang Jawa minum kejujuran dari Serat Kalatida-nya Ronggowarsito dan puisi-puiti tembang lainnya?
Pesta Penyair Nusantara 2008 memang berlangsung sederhana. Panitia sendiri mengaku kesulitan dana. Itulah nasib perjuangan kebudayaan. Namun di balik kesederhanaan itu ada nilai, yaitu sinyal adanya orang-orang yang masih setia kepada kemanusiaan dan keindahan. Orang yang rindu meneguk kejernihan sukma sejati.
Seminar dan diskusi yang berlangsung di aula Universitas Kediri berjalan seru. Tetapi di luar gedung seminar, para peserta minum kopi di warung di seberang aula, yang asalnya hanya omong-omong santai, kadang-kadang meningkat menjadi pembicaraan serius, tentang sastra dan seni antarnegara. Saya lihat pianis Agus Bing (Indonesia) yang berdiskusi dengan Malim Ghozali (Malaysia) tiba-tiba menjalin kesepakatan. Keduanya akan berkolaborasi pada 30 Agustus nanti. Malim Ghozali akan meluncurkan dan membaca puisi di Kualalumpur dengan iringan musik Agus Bing.
Bagus, puisi yang murni memang membuat orang mudah untuk bersatu jiwa dalam kedamaian. Tapi, seberapa banyak orang yang hidupnya memerlukan puisi? Itulah hal yang menjadi pikiran saya sepulang dari Pesta Penyair Nusantara di Kediri minggu yang lalu. ***
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/pesta-puisi-di-kediri.html
Jawa Pos, 13 Juli 2008
SEKITAR 50 sastrawan dari kawasan Asia Tenggara berkumpul di Kediri, 30 Juni sampai 3 Juli 2008. Mereka mengadakan ”Pesta Penyair Nusantara 2008”. Di antaranya ada Ahmadun Yosi Herfanda, Viddy A. Daery dari Jakarta, Dinullah Rayes dari Sumbawa, dan Anil Hukma dari Makassar. Di samping itu, banyak lagi penyair dari Tegal, Bandung, Jogjakarta, Medan, Pekanbaru, Samarinda, dan lain-lain. Dari Malaysia datang Dato’ Kemala dan Malim Ghozali, sastrawan dan ahli matematika Alquran.
Meskipun disebut ”Pesta Penyair Nusantara 2008”, acaranya tidak hanya baca puisi saja. Tak kalah pentingnya ialah seminar dan diskusi tentang perkembangan puisi di Asia Tenggara.
Penyair berdiskusi sesama penyair tentu saja seru. Aneka argumentasi disampaikan yang harus dijawab dengan argumentasi yang lebih akurat. Diskusi-diskusi tentang puisi tidak hanya menarik kalangan penyair saja. Nuruddin Hasan, anggota DPRD Kodya Kediri, selalu hadir sejak pembukaan sampai diskusi hari terakhir. Meskipun bukan penyair, ia masih ingin mendapatkan suara nurani para penyair di samping ingin mendapatkan informasi terbaru tentang perkembangan puisi mutakhir. Sebagai seorang aktivis politik mungkin ia sepaham dengan ucapan Presiden Amerika, John F. Kennedy bahwa, ”Kalau politik kotor puisilah yang akan membersihkannya.”
Dikisahkan, ketika Kennedy dilantik menjadi Presiden Amerika Serikat, ia tidak lupa kepada puisi. Buktinya, ia mengundang Robert Frost, penyair besar Amerika pada pertengahan abad ke-20 untuk membaca puisi. Itu artinya, acara pesta puisi yang berlangsung di Kediri selama 4 hari itu tidak lain sebagai sejenis jawaban terhadap keresahan dan suara-suara sumbang dari perilaku sebagian politikus di tanah air. Konon ada orang politik jadi makelar penebangan hutan, ada calon lurah, bupati, dan gubernur membiarkan konstituennya ngamuk ketika kalah pilkada, dan lain-lain. Belum politikus yang memecah partainya sendiri seperti memecah gelas atau cangkir, di samping berita ketidakramahan lainnya yang mencerminkan sebagian (kecil?) dari tokoh-tokoh bangsa kita kehilangan rasa santun.
Pesta puisi yang digelar di Kediri itu adalah upaya para penyair untuk tetap bersama dengan nurani bangsa ini. Kata begawan Budi Darma, titik berat kepenyairan ialah perjuangan penggabungan dulce et utile, keindahan, dan manfaat. Dalam utile, terdapat unsur moral yang bisa dipetik oleh pembaca, lengkap dengan kearifan untuk hidup damai. Budi Darma memang tidak setuju utile yang terlalu eksplisit, karena bisa menganggu dulce, keindahan puisi itu sendiri.
Jika puisi benar-benar digunakan untuk menghormati kehidupan dan kemanusiaan seperti yang tersirat pada pendapat Budi Darma di atas, maka puisi, atau pesta penyair akan menjadi sejenis ”oase”, tempat para pengembara kehidupan dari berbagai sektor dan lapisan bisa meneguk air nurani, atau air kehidupan. Bukankah dulu orang Jawa minum kejujuran dari Serat Kalatida-nya Ronggowarsito dan puisi-puiti tembang lainnya?
Pesta Penyair Nusantara 2008 memang berlangsung sederhana. Panitia sendiri mengaku kesulitan dana. Itulah nasib perjuangan kebudayaan. Namun di balik kesederhanaan itu ada nilai, yaitu sinyal adanya orang-orang yang masih setia kepada kemanusiaan dan keindahan. Orang yang rindu meneguk kejernihan sukma sejati.
Seminar dan diskusi yang berlangsung di aula Universitas Kediri berjalan seru. Tetapi di luar gedung seminar, para peserta minum kopi di warung di seberang aula, yang asalnya hanya omong-omong santai, kadang-kadang meningkat menjadi pembicaraan serius, tentang sastra dan seni antarnegara. Saya lihat pianis Agus Bing (Indonesia) yang berdiskusi dengan Malim Ghozali (Malaysia) tiba-tiba menjalin kesepakatan. Keduanya akan berkolaborasi pada 30 Agustus nanti. Malim Ghozali akan meluncurkan dan membaca puisi di Kualalumpur dengan iringan musik Agus Bing.
Bagus, puisi yang murni memang membuat orang mudah untuk bersatu jiwa dalam kedamaian. Tapi, seberapa banyak orang yang hidupnya memerlukan puisi? Itulah hal yang menjadi pikiran saya sepulang dari Pesta Penyair Nusantara di Kediri minggu yang lalu. ***
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/pesta-puisi-di-kediri.html
Sastra yang Mencerdaskan
Aprinus Salam *
Seputar Indonesia, 13 Juli 2008
BEBERAPA tahun lalu Taufiq Ismail pernah mengeluhkan rendahnya minat baca para pelajar terhadap karya sastra. Bahkan, beliau mensinyalir, minat baca pelajar Jakarta terhadap karya sastra nyaris nol.
Temuan Taufiq Ismail itu seperti melaporkan rendahnya peradaban nasional yang melanda bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, kemudian beliau menggalakan sastra masuk sekolah. Walaupun masih prematur, barangkali program penggalakan yang dikerjakan Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu sudah perlu ditinjau kembali seberapa jauh hasil dan pengaruhnya.
Saya mendukung sepenuhnya program itu sejauh dimaksudkan bahwa para pelajar perlu dan penting membaca karya-karya sastra yang memberi pengetahuan dan cerita berbagai kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan perkembangan budaya teknologi di Indonesia.
Karya sastra yang mencerdaskan adalah karya yang memberi informasi, mengayakan pengalaman, memberikan pemahaman-pemahaman baru, memperbaiki kesadaran yang tidak benar (kesadaran palsu), dan secara keseluruhan mampu mengeksplorasi persoalan kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, karya sastra yang mencerdaskan adalah karya yang mampu memberikan pemahaman dan pencerahan terkait hal-hal yang dihadapi bangsa dan negara ini.
Karya sastra itu harus jeli mengangkat persoalan masyarakat seperti masalah kriminalitas,kekerasan,atau lemahnya kesadaran hukum. Pada awal sastra modern Indonesia, seperti terlihat dalam beberapa novel yang dinilai sebagai kanon, misalnya Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Azab dan Sengsara,Layar Terkembang, hingga Belenggu, karya-karya sastra itu dengan jeli mengungkap persoalan sosial,politik,dan budaya masyarakat.
Pembaca akhirnya sadar bahwa terdapat sejumlah masalah yang perlu dipikirkan bersama. Di sini, tidak seluruh karya sastra dibicarakan. Saya ingin meloncat pada generasi sastra (khususnya novel) pada 1980-an hingga 1990-an.
Pada periode ini terdapat sejumlah karya sastra yang memang sangat layak dibaca masyarakat Indonesia,misalnya novel-novel tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, trilogi Dukuh Paruk,dan Bekisar Merahkarya Ahmad Tohari,Cantingkarya Arswendo Atmowiloto, Para Priyayi karya Umar Kayam,Burung-Burung Manyar karya Manungwijaya, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, dan lain-lain.
Novel-novel tersebut secara tidak langsung dan simbolis mencoba mengeksplorasi masalah-masalah kekuasaan dan politik yang keruh,mandulnya kreativitas budaya, prosesproses perubahan sosial,sebab-sebab kemiskinan,korupsi,jual beli hukum, dan sejumlah persoalan lain yang dihadapi masyarakat.
Beberapa novel mutakhir yang sangat layak dan perlu dibaca karena akan memberikan pencerdasan, antara lain Proyek karya Ahmad Tohari, Saman dan Larung karya Ayu Utami, Jalan Menikung karya Umar Kayam, Ketika Lampu Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti, Ular Keempat karya Gus TF Sakai,Mantra Penjinak Ular, serta Wasripin dan Satinahkarya Kuntowijoyo, atau Kitab Omong Kosong karya Seno Gemira Ajidarma dan beberapa novel lain.
Dengan membaca karya sastra di atas, pembaca akan mendapatkan pengalaman yang lebih substansial berkaitan dengan persoalan yang dihadapi bangsa dan masyarakat Indonesia. Saat ini,karena kemajuan teknologi, karya sastra dapat diterbitkan dengan cepat dan banyak. Kira-kira 10 tahun terakhir ini, karya sastra, baik novel, puisi, maupun kumpulan cerpen, terbit dalam ratusan dan mungkin mendekati ribuan judul.Masalahnya, tidak semua karya sastra dapat dimasukkan ke kategori mencerdaskan.
Banyak karya sastra mutakhir diterbitkan karena mengikuti tren pasar. Para penerbit berlomba-lomba menerbitkan novel atau cerita ringanringan karena semata-mata ingin mengeruk keuntungan. Setahun yang lampau,seorang mahasiswi meminta bantuan saya untuk menerbitkan novelnya. Novel itu secara serius mempersoalkan kegelisahan seorang wanita yang berusaha mencari identitas,berusaha mengatasi persoalan ekonomi hidupnya karena orangtuanya miskin, dan digarap dengan teknik narasi yang kaya dan sangat informatif.
Beberapa penerbit saya hubungi dan beberapa hari kemudian penerbit tersebut memberi informasi bahwa novel terebut tidak bisa diterbitkan dengan alasan terlalu serius, membuat pembaca mengerutkan kening. Menurut perkiraan penerbit tersebut, novel itu tidak akan laku dan penerbit tidak berani mengambil risiko rugi. Tulisan ini memang mempersoalkan novel.
Namun,fenomena seni sastra sebetulnya melingkupi pengertian yang luas jika hal tersebut dimaksudkan sebagai cerita. Di dalamnya termasuk film dan sinetron. Jika kita memasuki persoalan ini, masalahnya menjadi lebih runyam. Karya sinetron kita,misalnya,jauh lebih menyedihkan karena tidak mampu menggarap masalah pendidikan, masalah politik, hukum, dan masalah peranan teknologi.
Sinetron kita hanya menggarap dunia samarsamar yang kita sama-sama tidak tahu.Jadi,tidak bisa dipersoalkan selain hanya berefek sensasional,yakni dunia klenik,mistik,hantu,tuyul,dan sebagainya. Alasan para pekerja sinetron lagilagi karena alasan pasar (dan ini sangat membodohi masyarakat). Karena mereka menganggap cerita itulah yang disenangi dan terbukti sinetron itu memiliki rating tinggi.
Yang pasti, setelah menonton sinetron,penonton nyaris tidak mendapatkan apa-apa. Apalagi, jika hal itu dimaksudkan sebagai pengetahuan atau terbentuknya kesadaran baru dalam memahami persoalan bangsa Indonesia. Seperti halnya karya sastra yang tidak memberikan pengetahuan apaapa, untuk seni sastra sinetron pun saya ingin mengatakan bahwa jika perlu, (sinetron) tidak usah ditonton saja.
Masyarakat Indonesia jangan mau terus-menerus dianggap berselera rendah dan dianggap bodoh. Kita harus memilih karya seni sastra yang mencerdaskan,yang memberi pengetahuan, inspirasi,pemahaman,dan informasi tentang realitas bangsa Indonesia.
*) Aprinus Salam, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/sastra-yang-mencerdaskan.html
Seputar Indonesia, 13 Juli 2008
BEBERAPA tahun lalu Taufiq Ismail pernah mengeluhkan rendahnya minat baca para pelajar terhadap karya sastra. Bahkan, beliau mensinyalir, minat baca pelajar Jakarta terhadap karya sastra nyaris nol.
Temuan Taufiq Ismail itu seperti melaporkan rendahnya peradaban nasional yang melanda bangsa Indonesia. Itulah sebabnya, kemudian beliau menggalakan sastra masuk sekolah. Walaupun masih prematur, barangkali program penggalakan yang dikerjakan Taufiq Ismail dan kawan-kawan itu sudah perlu ditinjau kembali seberapa jauh hasil dan pengaruhnya.
Saya mendukung sepenuhnya program itu sejauh dimaksudkan bahwa para pelajar perlu dan penting membaca karya-karya sastra yang memberi pengetahuan dan cerita berbagai kehidupan sosial, budaya, ekonomi, politik, dan perkembangan budaya teknologi di Indonesia.
Karya sastra yang mencerdaskan adalah karya yang memberi informasi, mengayakan pengalaman, memberikan pemahaman-pemahaman baru, memperbaiki kesadaran yang tidak benar (kesadaran palsu), dan secara keseluruhan mampu mengeksplorasi persoalan kemanusiaan. Dalam konteks Indonesia, karya sastra yang mencerdaskan adalah karya yang mampu memberikan pemahaman dan pencerahan terkait hal-hal yang dihadapi bangsa dan negara ini.
Karya sastra itu harus jeli mengangkat persoalan masyarakat seperti masalah kriminalitas,kekerasan,atau lemahnya kesadaran hukum. Pada awal sastra modern Indonesia, seperti terlihat dalam beberapa novel yang dinilai sebagai kanon, misalnya Siti Nurbaya, Salah Asuhan, Azab dan Sengsara,Layar Terkembang, hingga Belenggu, karya-karya sastra itu dengan jeli mengungkap persoalan sosial,politik,dan budaya masyarakat.
Pembaca akhirnya sadar bahwa terdapat sejumlah masalah yang perlu dipikirkan bersama. Di sini, tidak seluruh karya sastra dibicarakan. Saya ingin meloncat pada generasi sastra (khususnya novel) pada 1980-an hingga 1990-an.
Pada periode ini terdapat sejumlah karya sastra yang memang sangat layak dibaca masyarakat Indonesia,misalnya novel-novel tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer, trilogi Dukuh Paruk,dan Bekisar Merahkarya Ahmad Tohari,Cantingkarya Arswendo Atmowiloto, Para Priyayi karya Umar Kayam,Burung-Burung Manyar karya Manungwijaya, Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi AG, dan lain-lain.
Novel-novel tersebut secara tidak langsung dan simbolis mencoba mengeksplorasi masalah-masalah kekuasaan dan politik yang keruh,mandulnya kreativitas budaya, prosesproses perubahan sosial,sebab-sebab kemiskinan,korupsi,jual beli hukum, dan sejumlah persoalan lain yang dihadapi masyarakat.
Beberapa novel mutakhir yang sangat layak dan perlu dibaca karena akan memberikan pencerdasan, antara lain Proyek karya Ahmad Tohari, Saman dan Larung karya Ayu Utami, Jalan Menikung karya Umar Kayam, Ketika Lampu Berwarna Merah karya Hamsad Rangkuti, Ular Keempat karya Gus TF Sakai,Mantra Penjinak Ular, serta Wasripin dan Satinahkarya Kuntowijoyo, atau Kitab Omong Kosong karya Seno Gemira Ajidarma dan beberapa novel lain.
Dengan membaca karya sastra di atas, pembaca akan mendapatkan pengalaman yang lebih substansial berkaitan dengan persoalan yang dihadapi bangsa dan masyarakat Indonesia. Saat ini,karena kemajuan teknologi, karya sastra dapat diterbitkan dengan cepat dan banyak. Kira-kira 10 tahun terakhir ini, karya sastra, baik novel, puisi, maupun kumpulan cerpen, terbit dalam ratusan dan mungkin mendekati ribuan judul.Masalahnya, tidak semua karya sastra dapat dimasukkan ke kategori mencerdaskan.
Banyak karya sastra mutakhir diterbitkan karena mengikuti tren pasar. Para penerbit berlomba-lomba menerbitkan novel atau cerita ringanringan karena semata-mata ingin mengeruk keuntungan. Setahun yang lampau,seorang mahasiswi meminta bantuan saya untuk menerbitkan novelnya. Novel itu secara serius mempersoalkan kegelisahan seorang wanita yang berusaha mencari identitas,berusaha mengatasi persoalan ekonomi hidupnya karena orangtuanya miskin, dan digarap dengan teknik narasi yang kaya dan sangat informatif.
Beberapa penerbit saya hubungi dan beberapa hari kemudian penerbit tersebut memberi informasi bahwa novel terebut tidak bisa diterbitkan dengan alasan terlalu serius, membuat pembaca mengerutkan kening. Menurut perkiraan penerbit tersebut, novel itu tidak akan laku dan penerbit tidak berani mengambil risiko rugi. Tulisan ini memang mempersoalkan novel.
Namun,fenomena seni sastra sebetulnya melingkupi pengertian yang luas jika hal tersebut dimaksudkan sebagai cerita. Di dalamnya termasuk film dan sinetron. Jika kita memasuki persoalan ini, masalahnya menjadi lebih runyam. Karya sinetron kita,misalnya,jauh lebih menyedihkan karena tidak mampu menggarap masalah pendidikan, masalah politik, hukum, dan masalah peranan teknologi.
Sinetron kita hanya menggarap dunia samarsamar yang kita sama-sama tidak tahu.Jadi,tidak bisa dipersoalkan selain hanya berefek sensasional,yakni dunia klenik,mistik,hantu,tuyul,dan sebagainya. Alasan para pekerja sinetron lagilagi karena alasan pasar (dan ini sangat membodohi masyarakat). Karena mereka menganggap cerita itulah yang disenangi dan terbukti sinetron itu memiliki rating tinggi.
Yang pasti, setelah menonton sinetron,penonton nyaris tidak mendapatkan apa-apa. Apalagi, jika hal itu dimaksudkan sebagai pengetahuan atau terbentuknya kesadaran baru dalam memahami persoalan bangsa Indonesia. Seperti halnya karya sastra yang tidak memberikan pengetahuan apaapa, untuk seni sastra sinetron pun saya ingin mengatakan bahwa jika perlu, (sinetron) tidak usah ditonton saja.
Masyarakat Indonesia jangan mau terus-menerus dianggap berselera rendah dan dianggap bodoh. Kita harus memilih karya seni sastra yang mencerdaskan,yang memberi pengetahuan, inspirasi,pemahaman,dan informasi tentang realitas bangsa Indonesia.
*) Aprinus Salam, Dosen Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/sastra-yang-mencerdaskan.html
Minggu, 20 November 2011
Kekuatan Sastra Hingga ke Pelaminan
Sabrank Suparno
http://sastra-indonesia.com/
“Jodoh, Rizqi, Mati, iku mung siji, tapi sewu dalane.”
A. Prolog
Kaidah filsafat Jawa di atas, sepintas ndemel terdengar, tapi akan terus menguntit-ngiang di telinga orang yang serius mendalami filsafat dan apalagi jika hendak menjadikan konsep pemikiran dan laku hidup. Coba fikirkan sejenak! Jodoh dimaksutkan untuk menyebut idiom pertemuan dua hal atau lebih yang saling menguntungkan (simbiosis mutualis).
http://sastra-indonesia.com/
“Jodoh, Rizqi, Mati, iku mung siji, tapi sewu dalane.”
A. Prolog
Kaidah filsafat Jawa di atas, sepintas ndemel terdengar, tapi akan terus menguntit-ngiang di telinga orang yang serius mendalami filsafat dan apalagi jika hendak menjadikan konsep pemikiran dan laku hidup. Coba fikirkan sejenak! Jodoh dimaksutkan untuk menyebut idiom pertemuan dua hal atau lebih yang saling menguntungkan (simbiosis mutualis).
Syair, Songket, dan Sungai
Acep Zamzam Noor*
Pikiran Rakyat, 13 Jan 2007
INDONESIA International Poetry Festival 2006 yang berlangsung di Palembang beberapa waktu yang lalu, selain menghadirkan para penyair terkemuka dari sejumlah negara, juga menghadirkan seniman-seniman lokal yang menampilkan sastra tutur. Di wilayah Sumatra Selatan (termasuk Lampung dan Bengkulu) tradisi sastra tutur atau yang lebih kita kenal dengan sebutan sastra lisan terdapat hampir di setiap kabupaten meskipun yang masih benar-benar hidup hanya tinggal di beberapa tempat. Penampilan sastra tutur di arena festival menjadi menarik karena bahasa lokal bersanding dengan bahasa-bahasa internasional seperti Finlandia, Rumania, Italia, Belanda, Jerman, Arab, Turki, Cina, Inggris, yang tentu saja bagi pendengaran saya sama-sama asingnya.
Di panggung, setiap penyair asing tampil membawakan puisi dalam bahasanya masing-masing. Mendengarkan puisi-puisi yang mereka bacakan, bagi saya dan mungkin juga sebagian besar penonton, seperti mendengarkan dukun yang sedang membacakan mantra. Memang untuk puisi-puisi berbahasa asing dibacakan juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, namun yang menarik dari festival semacam ini justru ketika kita mendengar langsung bahasa aslinya dituturkan oleh penyairnya sendiri. Seperti halnya mendengar mantra, kita bisa menikmati apa yang mereka bacakan meski tidak mengerti apa maknanya.
Meskipun gaya membaca penyair-penyair asing ini seperti para pembaca puisi umumnya, pengucapan mereka punya irama dan aksen yang khas. Mendengar puisi-puisi Anni Sumari (Finlandia), Peter Zilahy (Rumania), Martin Jankowski (Jerman) atau Tseud Bruinja (yang menulis dalam bahasa Frisian, salah satu bahasa lokal di Belanda) seperti mendengar rangkaian bunyi tanpa makna. Begitu juga ketika Ahmad Abdul Mu’thi Hijazi (Mesir) membacakan puisi-puisinya, saya seperti mendengar seorang kiai yang sedang berkhotbah atau berdoa, dengan kemerduan bunyi bahasa Arab yang luar biasa. Atau ketika Duoduo tampil, penyair pelarian asal Cina itu seperti sedang membacakan narasi dalam sebuah film kungfu. Ya, begitulah puisi. Kekuatannya bukan hanya terdapat pada makna, namun juga bunyi kata-katanya itu sendiri.
Ahmad Bastari Suan, penutur tradisional dari Lahat, membuka festival ini dengan membawakan syair dari Guritan dan Tadut, dua jenis sastra tutur dalam bahasa Basemah. Bastari Suan bersenandung dengan suara baritonnya yang berat. Ia duduk di atas tikar sambil menundukkan kepala dengan dagu yang disangga sebilah bambu. Entah apa fungsi yang sebenarnya dari bambu ini, apakah semacam alat bantu untuk memperkeras suara atau hanya penyangga dagu agar tidak pegal jika menunduk dalam waktu yang cukup lama. Tak banyak gerak yang dilakukan oleh seniman ini selain tangan yang kadang membuka lembaran naskah atau membetulkan posisi bambu. Ia membawakan sejumlah syair dengan khidmat dan khusyuk. Ia seperti seorang dukun yang sedang membacakan mantra.
Bagi saya yang tidak mengerti bahasa Basemah, menikmati syair dari Guritan dan Tadut ini seperti halnya mendengarkan puisi-puisi Finlandia, Rumania, Jerman, Belanda atau Cina. Cerita apa di balik syair yang Bastari Suan senandungkan, jelas saya tidak mengerti. Ketika hal ini saya tanyakan kepada T. Wijaya, seorang penyair Palembang, menurutnya syair tersebut bercerita tentang kepahlawanan. Namun ia sendiri tidak paham betul karena Basemah adalah salah satu bahasa lokal yang terdapat di Sumatra Selatan. “Di sekitar Palembang banyak sekali bahasa yang tidak semuanya saya dipahami, memang mirip dengan bahasa Palembang namun sebenarnya merupakan bahasa tersendiri,” katanya sambil menjelaskan bahwa bahasa atau budaya yang berbeda-beda itu hampir semuanya berkaitan dengan Sungai Musi, baik langsung maupun tidak. Dengan kata lain bahasa dan budaya yang berbeda-beda itu seperti disatukan oleh aliran Sungai Musi, yang merupakan sumber utama kehidupan dan kebudayaan mereka.
Palembang terkenal dengan kain songketnya yang indah, yakni tenunan tradisional yang biasa dikerjakan oleh kaum perempuan sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang juga terkenal dengan sastra tuturnya yang sangat kaya, mulai dari legenda, cerita rakyat sampai syair-syair yang berkisah tentang perang atau kepahlawanan. Syair-syair patriotik ini biasanya dituturkan oleh dan untuk kalangan bangsawan, sementara legenda dan cerita rakyat populer di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain itu, Palembang juga dikenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panjang. Kota yang bersejarah ini konon dialiri oleh sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi. Sembilan sungai ini melambangkan beragam suku dan bahasa yang terdapat di wilayah Palembang dan sekitarnya, yang dikenal sebagai kawasan Batanghari Sembilan.
Tiga ikon Palembang ini, yakni syair, songket dan sungai, diangkat oleh Lingkar Studi Teater Palembang (LSTP) menjadi sebuah pergelaran sastra tutur kreasi baru dengan judul “Tenunan Syair Batanghari Sembilan”. Tidak seperti Bastari Suan yang membawakan syair-syairnya secara tradisional, LSTP memadukan banyak unsur menjadi sebuah kolaborasi sastra tutur yang cukup menghibur. Syair yang menjadi materi pergelaran bukan hanya dituturkan atau disenandungkan, namun pada bagian-bagian tertentu juga dibawakan secara teatrikal. Jika Bastari Suan hanya bertutur sendirian tanpa pengiring, LSTP membawakannya dalam sebuah ensambel. Ada gitar, ada bass, ada jimbe, dan terebang. Tentu saja ada juga alat-alat tradisional dari bambu semacam celempung serta bambu berisi pasir yang digerak-gerakkan. Selain itu tampil pula seorang perempuan tua yang sedang menenun songket. Perempuan ini bukan hanya dipajang sebagai hiasan, namun bagian penting dari pergelaran. Bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari alat tenunnya menjadikan musik lebih kaya. Pergelaran menjadi semakin meriah karena di samping para pemain yang memakai pakaian tradisional dari songket, setting panggungnya pun menggunakan lembaran-lembaran kain songket yang gemerlapan.
“Songket tidak hanya terdapat di Palembang tapi juga di Medan, Padang, Jambi, dan Lampung. Songket itu milik kebudayaan Melayu, jadi terdapat juga di beberapa tempat di Malaysia. Hanya songket Palembang memang lebih dikenal orang, mungkin karena kehalusannya atau entah karena apanya,” kata Anwar Putera Bayu, penyair Palembang yang lain. Di Palembang kerajinan songket ini masih hidup dan berkembang, sejumlah pengrajin bahkan mencoba mengangkatnya menjadi kain yang bergengsi dan mahal. Anna Kumari misalnya, dengan kreatif memadukan motif-motif songket dengan tenun ikat, tenun tajung (seperti tenunan untuk kain sarung), batik jumputan, dan batik prada sehingga menghasilkan corak dan warna yang indah. Fungsinya pun bukan hanya untuk pakaian tradisional, tapi untuk keperluan-keperluan yang lebih luas seperti jas, kemeja, gaun wanita, busana Muslim bahkan jilbab. “Songket juga cocok untuk gordin jendela, bed cover, taplak meja, tas tangan, kipas, bantal, hiasan dinding atau dekorasi panggung seperti ini,” ujar seorang pegawainya dengan bangga.
Pergelaran LSTP pada penutupan festival puisi internasional ini membawakan salah satu bagian dari Syair Perang Menteng yang sangat panjang. “Pergelaran ini mencoba mengangkat 22 bait bagian awal. Secara keseluruhan syair ini berisi 260 bait yang menceritakan peperangan antara Kesultanan Palembang Darussalam melawan penjajah Belanda,” kata Vebri Al-Litani yang menjadi vokalis dari kelompok ini. Menteng berasal dari kebiasaan orang-orang Palembang ketika mengucapkan nama Mutinghe, seorang komisaris yang diangkat pemerintahan kolonial untuk memimpin wilayah Palembang dan Bangka pada tahun 1817. Jadi kata Menteng diambil dari nama seorang komisaris Belanda.
Syair Perang Menteng sendiri ditulis sekitar tahun 1819-1821, ketika peperangan tengah berlangsung. Syair ini menceritakan bagaimana peperangan dimulai, yakni sewaktu Belanda dan Ambon yang dipimpin Ideler Mutinghe alias Menteng bersama-sama menyerang Kesultanan Palembang. Namun rakyat Palembang yang dipimpin oleh Haji Zein bahu-membahu mempertahankan diri sekuat tenaga. Dalam syair ini diceritakan pula bagaimana kegigihan rakyat Palembang dengan senjata apa adanya yang berjuang tanpa rasa takut berhasil memukul mundur pasukan kolonial meskipun Haji Zein, sang komandan, harus gugur sebagai syuhada.
Vebri Al-Litani juga menjelaskan, dalam pergelarannya ditampilkan berbagai gaya bertutur dari tradisi-tradisi yang ada di Sumatra Selatan, seperti Bekisoh yang merupakan gaya bertutur untuk kalangan bangsawan, Guritan dan Tadut gaya bertutur dari Basemah, Senjang gaya bertutur dari Sekayu serta Irama Batanghari Sembilan, sejenis pantun yang biasa dinyanyikan dengan iringan gitar tunggal. “Kami mencoba menampilkan kekayaan tradisi yang dimiliki Sumatra Selatan ini dalam sebuah paket pergelaran, tentu dengan upaya-upaya untuk bisa menemukan pengucapan baru yang segar,” katanya seusai pertunjukan.
Bagi saya, yang menjadi salah seorang peserta dalam festival ini, pergelaran Tenunan Syair Batanghari Sembilan merupakan sebuah terobasan yang perlu dicatat dari seniman-seniman muda Palembang, khususnya dalam mengangkat berbagai kekayaan lokal. Terobosan yang memberikan semacam aksentuasi bagi sebuah festival puisi internasional yang berlangsung di daerahnya. Yang mereka pergelarkan bukan sekadar sastra tutur, musik dengan alat-alat tradisional atau kain songket dengan beragam corak yang membalut pementasan, namun semacam instalasi yang menenun unsur-unsur budaya dengan meriah, semacam bunga rampai yang merajut tradisi-tradisi yang masih ada. Tradisi-tradisi yang tentu masih dan akan terus hidup dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya.
_____________________
*) Acep Zamzam Noor, Penulis, Penyair dan pelukis.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/01/esai-syair-songket-dan-sungai_13.html
Pikiran Rakyat, 13 Jan 2007
INDONESIA International Poetry Festival 2006 yang berlangsung di Palembang beberapa waktu yang lalu, selain menghadirkan para penyair terkemuka dari sejumlah negara, juga menghadirkan seniman-seniman lokal yang menampilkan sastra tutur. Di wilayah Sumatra Selatan (termasuk Lampung dan Bengkulu) tradisi sastra tutur atau yang lebih kita kenal dengan sebutan sastra lisan terdapat hampir di setiap kabupaten meskipun yang masih benar-benar hidup hanya tinggal di beberapa tempat. Penampilan sastra tutur di arena festival menjadi menarik karena bahasa lokal bersanding dengan bahasa-bahasa internasional seperti Finlandia, Rumania, Italia, Belanda, Jerman, Arab, Turki, Cina, Inggris, yang tentu saja bagi pendengaran saya sama-sama asingnya.
Di panggung, setiap penyair asing tampil membawakan puisi dalam bahasanya masing-masing. Mendengarkan puisi-puisi yang mereka bacakan, bagi saya dan mungkin juga sebagian besar penonton, seperti mendengarkan dukun yang sedang membacakan mantra. Memang untuk puisi-puisi berbahasa asing dibacakan juga terjemahannya dalam bahasa Indonesia, namun yang menarik dari festival semacam ini justru ketika kita mendengar langsung bahasa aslinya dituturkan oleh penyairnya sendiri. Seperti halnya mendengar mantra, kita bisa menikmati apa yang mereka bacakan meski tidak mengerti apa maknanya.
Meskipun gaya membaca penyair-penyair asing ini seperti para pembaca puisi umumnya, pengucapan mereka punya irama dan aksen yang khas. Mendengar puisi-puisi Anni Sumari (Finlandia), Peter Zilahy (Rumania), Martin Jankowski (Jerman) atau Tseud Bruinja (yang menulis dalam bahasa Frisian, salah satu bahasa lokal di Belanda) seperti mendengar rangkaian bunyi tanpa makna. Begitu juga ketika Ahmad Abdul Mu’thi Hijazi (Mesir) membacakan puisi-puisinya, saya seperti mendengar seorang kiai yang sedang berkhotbah atau berdoa, dengan kemerduan bunyi bahasa Arab yang luar biasa. Atau ketika Duoduo tampil, penyair pelarian asal Cina itu seperti sedang membacakan narasi dalam sebuah film kungfu. Ya, begitulah puisi. Kekuatannya bukan hanya terdapat pada makna, namun juga bunyi kata-katanya itu sendiri.
Ahmad Bastari Suan, penutur tradisional dari Lahat, membuka festival ini dengan membawakan syair dari Guritan dan Tadut, dua jenis sastra tutur dalam bahasa Basemah. Bastari Suan bersenandung dengan suara baritonnya yang berat. Ia duduk di atas tikar sambil menundukkan kepala dengan dagu yang disangga sebilah bambu. Entah apa fungsi yang sebenarnya dari bambu ini, apakah semacam alat bantu untuk memperkeras suara atau hanya penyangga dagu agar tidak pegal jika menunduk dalam waktu yang cukup lama. Tak banyak gerak yang dilakukan oleh seniman ini selain tangan yang kadang membuka lembaran naskah atau membetulkan posisi bambu. Ia membawakan sejumlah syair dengan khidmat dan khusyuk. Ia seperti seorang dukun yang sedang membacakan mantra.
Bagi saya yang tidak mengerti bahasa Basemah, menikmati syair dari Guritan dan Tadut ini seperti halnya mendengarkan puisi-puisi Finlandia, Rumania, Jerman, Belanda atau Cina. Cerita apa di balik syair yang Bastari Suan senandungkan, jelas saya tidak mengerti. Ketika hal ini saya tanyakan kepada T. Wijaya, seorang penyair Palembang, menurutnya syair tersebut bercerita tentang kepahlawanan. Namun ia sendiri tidak paham betul karena Basemah adalah salah satu bahasa lokal yang terdapat di Sumatra Selatan. “Di sekitar Palembang banyak sekali bahasa yang tidak semuanya saya dipahami, memang mirip dengan bahasa Palembang namun sebenarnya merupakan bahasa tersendiri,” katanya sambil menjelaskan bahwa bahasa atau budaya yang berbeda-beda itu hampir semuanya berkaitan dengan Sungai Musi, baik langsung maupun tidak. Dengan kata lain bahasa dan budaya yang berbeda-beda itu seperti disatukan oleh aliran Sungai Musi, yang merupakan sumber utama kehidupan dan kebudayaan mereka.
Palembang terkenal dengan kain songketnya yang indah, yakni tenunan tradisional yang biasa dikerjakan oleh kaum perempuan sejak zaman Kesultanan Palembang Darussalam. Palembang juga terkenal dengan sastra tuturnya yang sangat kaya, mulai dari legenda, cerita rakyat sampai syair-syair yang berkisah tentang perang atau kepahlawanan. Syair-syair patriotik ini biasanya dituturkan oleh dan untuk kalangan bangsawan, sementara legenda dan cerita rakyat populer di kalangan masyarakat kebanyakan. Selain itu, Palembang juga dikenal dengan sungai-sungainya yang lebar dan panjang. Kota yang bersejarah ini konon dialiri oleh sembilan sungai yang semuanya bermuara ke Sungai Musi. Sembilan sungai ini melambangkan beragam suku dan bahasa yang terdapat di wilayah Palembang dan sekitarnya, yang dikenal sebagai kawasan Batanghari Sembilan.
Tiga ikon Palembang ini, yakni syair, songket dan sungai, diangkat oleh Lingkar Studi Teater Palembang (LSTP) menjadi sebuah pergelaran sastra tutur kreasi baru dengan judul “Tenunan Syair Batanghari Sembilan”. Tidak seperti Bastari Suan yang membawakan syair-syairnya secara tradisional, LSTP memadukan banyak unsur menjadi sebuah kolaborasi sastra tutur yang cukup menghibur. Syair yang menjadi materi pergelaran bukan hanya dituturkan atau disenandungkan, namun pada bagian-bagian tertentu juga dibawakan secara teatrikal. Jika Bastari Suan hanya bertutur sendirian tanpa pengiring, LSTP membawakannya dalam sebuah ensambel. Ada gitar, ada bass, ada jimbe, dan terebang. Tentu saja ada juga alat-alat tradisional dari bambu semacam celempung serta bambu berisi pasir yang digerak-gerakkan. Selain itu tampil pula seorang perempuan tua yang sedang menenun songket. Perempuan ini bukan hanya dipajang sebagai hiasan, namun bagian penting dari pergelaran. Bunyi-bunyian yang dikeluarkan dari alat tenunnya menjadikan musik lebih kaya. Pergelaran menjadi semakin meriah karena di samping para pemain yang memakai pakaian tradisional dari songket, setting panggungnya pun menggunakan lembaran-lembaran kain songket yang gemerlapan.
“Songket tidak hanya terdapat di Palembang tapi juga di Medan, Padang, Jambi, dan Lampung. Songket itu milik kebudayaan Melayu, jadi terdapat juga di beberapa tempat di Malaysia. Hanya songket Palembang memang lebih dikenal orang, mungkin karena kehalusannya atau entah karena apanya,” kata Anwar Putera Bayu, penyair Palembang yang lain. Di Palembang kerajinan songket ini masih hidup dan berkembang, sejumlah pengrajin bahkan mencoba mengangkatnya menjadi kain yang bergengsi dan mahal. Anna Kumari misalnya, dengan kreatif memadukan motif-motif songket dengan tenun ikat, tenun tajung (seperti tenunan untuk kain sarung), batik jumputan, dan batik prada sehingga menghasilkan corak dan warna yang indah. Fungsinya pun bukan hanya untuk pakaian tradisional, tapi untuk keperluan-keperluan yang lebih luas seperti jas, kemeja, gaun wanita, busana Muslim bahkan jilbab. “Songket juga cocok untuk gordin jendela, bed cover, taplak meja, tas tangan, kipas, bantal, hiasan dinding atau dekorasi panggung seperti ini,” ujar seorang pegawainya dengan bangga.
Pergelaran LSTP pada penutupan festival puisi internasional ini membawakan salah satu bagian dari Syair Perang Menteng yang sangat panjang. “Pergelaran ini mencoba mengangkat 22 bait bagian awal. Secara keseluruhan syair ini berisi 260 bait yang menceritakan peperangan antara Kesultanan Palembang Darussalam melawan penjajah Belanda,” kata Vebri Al-Litani yang menjadi vokalis dari kelompok ini. Menteng berasal dari kebiasaan orang-orang Palembang ketika mengucapkan nama Mutinghe, seorang komisaris yang diangkat pemerintahan kolonial untuk memimpin wilayah Palembang dan Bangka pada tahun 1817. Jadi kata Menteng diambil dari nama seorang komisaris Belanda.
Syair Perang Menteng sendiri ditulis sekitar tahun 1819-1821, ketika peperangan tengah berlangsung. Syair ini menceritakan bagaimana peperangan dimulai, yakni sewaktu Belanda dan Ambon yang dipimpin Ideler Mutinghe alias Menteng bersama-sama menyerang Kesultanan Palembang. Namun rakyat Palembang yang dipimpin oleh Haji Zein bahu-membahu mempertahankan diri sekuat tenaga. Dalam syair ini diceritakan pula bagaimana kegigihan rakyat Palembang dengan senjata apa adanya yang berjuang tanpa rasa takut berhasil memukul mundur pasukan kolonial meskipun Haji Zein, sang komandan, harus gugur sebagai syuhada.
Vebri Al-Litani juga menjelaskan, dalam pergelarannya ditampilkan berbagai gaya bertutur dari tradisi-tradisi yang ada di Sumatra Selatan, seperti Bekisoh yang merupakan gaya bertutur untuk kalangan bangsawan, Guritan dan Tadut gaya bertutur dari Basemah, Senjang gaya bertutur dari Sekayu serta Irama Batanghari Sembilan, sejenis pantun yang biasa dinyanyikan dengan iringan gitar tunggal. “Kami mencoba menampilkan kekayaan tradisi yang dimiliki Sumatra Selatan ini dalam sebuah paket pergelaran, tentu dengan upaya-upaya untuk bisa menemukan pengucapan baru yang segar,” katanya seusai pertunjukan.
Bagi saya, yang menjadi salah seorang peserta dalam festival ini, pergelaran Tenunan Syair Batanghari Sembilan merupakan sebuah terobasan yang perlu dicatat dari seniman-seniman muda Palembang, khususnya dalam mengangkat berbagai kekayaan lokal. Terobosan yang memberikan semacam aksentuasi bagi sebuah festival puisi internasional yang berlangsung di daerahnya. Yang mereka pergelarkan bukan sekadar sastra tutur, musik dengan alat-alat tradisional atau kain songket dengan beragam corak yang membalut pementasan, namun semacam instalasi yang menenun unsur-unsur budaya dengan meriah, semacam bunga rampai yang merajut tradisi-tradisi yang masih ada. Tradisi-tradisi yang tentu masih dan akan terus hidup dan dihidupi oleh masyarakat pendukungnya.
_____________________
*) Acep Zamzam Noor, Penulis, Penyair dan pelukis.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/01/esai-syair-songket-dan-sungai_13.html
? (Aku tidak Tahu)
Hasnan Bachtiar
http://sastra-indonesia.com/
Ada satu pertanyaan yang tak pernah terjawab, mungkin takkan terjawab. Dunia ini apa?
Itulah, satu hal yang menjamin ketekunan beribu filsuf. Segala produktivitas pengetahuan, berjuta tulisan, beribu uji laboratorium dan perenungan yang tak berhingga telah tersulut oleh hanya pertanyaan itu. Tak urung karenanya, bapakku yang hanya merawat ayam di kandang, pernah sekali waktu hadir dalam wacana kuasa semesta. Barangkali semua manusia, pernah pula merasakan momen spesial sebagai filsuf yang sejati.
Sulit memulainya, meskipun Plato pernah menjawab, “Dunia ini mengagumkan.” Hanya itu. Malahan Kant mengarifi bahwa, “Aku tidak mampu menjawabnya.” Bodhi Satwa mengajarkan dengan senyuman beserta isyarat telunjuk yang diacungkan di bibir, “Sst..” Aku pula pernah kaget setengah mati tatkala bapak menjawabnya dengan berteriak membentak, “Ku tempeleng kalau kau menanyakan itu lagi!” Ujarnya demikian.
Apa itu dunia? Profesor Armahedi Mahzar dalam bukunya yang membuat kerutan di antara dua alis mata, “Revolusi Integralisme Islam” (2004), dalam arus pikir holisme berpendapat, “Itulah Yang Maha Kuasa.” Lalu siapa Dia? Terjawab, “(…..).” Dalam bahasa yang dituliskan, tidak ada apapun. Dengan perasaan yang cemas, lalu menunjuk kepada Nagarjuna. Sang guru menuliskan dalam Mulamadyamakakarika dan menyebut Sunyata atau kosong. Kosong adalah bukan apapun, bahkan pikiran sekalipun (MK XXIV: 11).
Hal yang sama pula diungkapkan oleh filsuf Yunani kuno, Gorgias. Dengan ketajaman alam pikirnya, Ia menyebut dengan tegas bahwa, “Tidak ada sesuatunya, jikalau kebenaran itu pun ada, maka bukanlah pengetahuan dan seandainya benar ada kau tak semestinya berbicara, diamlah.” Friedrich Nietzsche mengamini semua itu. Takut-takut kiranya dibicarakan, akan disalahgunakan. Karena lazimnya memang menarik untuk mengunduh keuntungan hasrat.
Apakah agama memiliki petunjuk? Mungkin buku-buku ajaib yang ditulis di langit, lalu sengaja dibiarkan terbaca di bumi ini, bisa memberi jalan keluar, asal dapat memecahkan teka-tekinya. Tapi bertanya tentang dunia atau semesta, kiranya penting untuk mendengarkan pendapat dari ilmuan, karena mereka memiliki sudut pandang yang spesifik. Doktor di bidang fisika Universitas Hirosima, Jepang, Agus Purwanto dalam buku Ayat-Ayat Semesta (2007) menjelaskan bahwa, memang ada keterangan-keterangan dalam huruf-huruf Arab itu (al-Quran) yang mengisyaratkan tentang hukum-hukum semesta. Salah satunya bahwa, keterangan itu tidak dapat diketahui secara hakiki, karena semesta tidak akan selesai dipahami.
Nampaknya, akal biasa memang selalu tidak melegakan. Mungkin hati atau olah rasa bisa memberi sedikit nasehat tentang dunia. Salah satu alternatifnya, kita bertanya kepada guru mistik seperti misalnya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Menurut bisikan gaib yang menjelaskan, dunia sejatinya adalah kekosongan. Dalam kitab Serat Hidayat Jati tertulis bahwa, Sajatine ora ana apa-apa/ awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji/ kang ana dingin iku ingsun (sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena pada waktu dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu, yang ada adalah aku). (Ronggowarsito: 5).
Bisakah suatu hal yang dijelaskan dengan kekuatan akal yang sedikit dan dengan relung hati yang sejumput pula? Entahlah, yang jelas betapapun manusia berputus asa, Ia tak akan berhenti bertanya, hingga berhenti dengan sendirinya.
Namun pada Rabu 5 Oktober 2011, ada berita mengejutkan di harian Jawa Pos pada kolom internasional. Di Stockholm, penghargaan bergengsi Nobel Fisika 2011 jatuh ke tangan para ilmuan. Saul Perlmutter, Adam riess dan Brian P. Schmidt yang bertahun-tahun meneliti bunga api angkasa (supernova), telah menemukan sesuatu. Apakah itu yang disebut dunia? Bukan, tapi paling tidak temuannya melengkapi pengetahuan sebelumnya.
Setelah bergumul dengan ilmu sekian lama dan beruban putih, para astronom itu menyimpulkan bahwa semesta bergerak dengan kecepatan yang tetap, bukan berkurang, malahan elemen-elemen penyusunnya seperti bintang-bintang selalu menambah kecepatannya. “Kesimpulan tersebut memberikan fakta baru dalam ilmu tentang semesta. Yakni bahwa sebuah tempat dengan temperatur yang sangat rendah dan langit berwarna hitam sama sekali tak terpengaruh kilatan galaksi yang bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dengan kecepatan supertinggi… Menurut mereka, pergerakan alam semesta tercipta akibat dark energy. Yakni, kekuatan kosmik yang sampai sekarang masih menjadi misteri terbesar dari semesta” (JP: 11).
Kekuatan hitam? Ya kekuatan hitam. Hitam itu disebut sebagai warna, padahal bukanlah warna. Tapi kekosongan. Tidak ada apapun, bukan sesuatupun tapi punya kekuatan. Menurut Fritjof Capra, itulah kekuatan yang mengendalian semua hal, bahkan daun renta yang jatuh dari pohon, terikat kekuatan itu. Frithjof Schuon tanpa beban menyebut bahwa kekuatan itu telah diramalkan oleh semua agama. Gary Zukav, Ilya Prigogine, dan Ken Wilber, serempak mengamini bahwa hitam adalah hal yang mengagumkan, canggih, namun dekat sekali dengan hidup kita. Dalam bahasa agama, kekuatan itu lebih dekat dari urat leher kita, tidak ada jalan keluar.
Bagaimana menjawab pertanyaan yang belum terjawab ini, mungkin tak akan pernah terjawab? Mungkin ini bukan kesimpulan, bahwa kosong yang penuh, utuh adalah hitam. Kosong yang bukan apapun bukanlah kering, tapi bermakna, abadi. Dengan bertanya tentang dunia, kita akan selalu bertanya tentang Yang Maha Kuasa, sekaligus tentang siapa diri kita sendiri. Mungkin kita bisa merenungkan permakluman oleh Fyodor Dostoevsky (2008), seorang sastrawan Russia. “Manusia, hingga setua ini aku tak tahu apapun tentangnya, padahal itu diriku sendiri.”
Sesungguhnya manusia tidak pernah mengakhiri “dunia, Tuhan dan dirinya sendiri”. Namun, betapapun dengan keras memikirkannya sepanjang hidup, akan memberi tahu suatu hal yang sangat penting, “Semakin mendalami tentang itu semua, akan memahami bahwa, kita tak tahu apapun.”
Oktober 2011
http://sastra-indonesia.com/
Ada satu pertanyaan yang tak pernah terjawab, mungkin takkan terjawab. Dunia ini apa?
Itulah, satu hal yang menjamin ketekunan beribu filsuf. Segala produktivitas pengetahuan, berjuta tulisan, beribu uji laboratorium dan perenungan yang tak berhingga telah tersulut oleh hanya pertanyaan itu. Tak urung karenanya, bapakku yang hanya merawat ayam di kandang, pernah sekali waktu hadir dalam wacana kuasa semesta. Barangkali semua manusia, pernah pula merasakan momen spesial sebagai filsuf yang sejati.
Sulit memulainya, meskipun Plato pernah menjawab, “Dunia ini mengagumkan.” Hanya itu. Malahan Kant mengarifi bahwa, “Aku tidak mampu menjawabnya.” Bodhi Satwa mengajarkan dengan senyuman beserta isyarat telunjuk yang diacungkan di bibir, “Sst..” Aku pula pernah kaget setengah mati tatkala bapak menjawabnya dengan berteriak membentak, “Ku tempeleng kalau kau menanyakan itu lagi!” Ujarnya demikian.
Apa itu dunia? Profesor Armahedi Mahzar dalam bukunya yang membuat kerutan di antara dua alis mata, “Revolusi Integralisme Islam” (2004), dalam arus pikir holisme berpendapat, “Itulah Yang Maha Kuasa.” Lalu siapa Dia? Terjawab, “(…..).” Dalam bahasa yang dituliskan, tidak ada apapun. Dengan perasaan yang cemas, lalu menunjuk kepada Nagarjuna. Sang guru menuliskan dalam Mulamadyamakakarika dan menyebut Sunyata atau kosong. Kosong adalah bukan apapun, bahkan pikiran sekalipun (MK XXIV: 11).
Hal yang sama pula diungkapkan oleh filsuf Yunani kuno, Gorgias. Dengan ketajaman alam pikirnya, Ia menyebut dengan tegas bahwa, “Tidak ada sesuatunya, jikalau kebenaran itu pun ada, maka bukanlah pengetahuan dan seandainya benar ada kau tak semestinya berbicara, diamlah.” Friedrich Nietzsche mengamini semua itu. Takut-takut kiranya dibicarakan, akan disalahgunakan. Karena lazimnya memang menarik untuk mengunduh keuntungan hasrat.
Apakah agama memiliki petunjuk? Mungkin buku-buku ajaib yang ditulis di langit, lalu sengaja dibiarkan terbaca di bumi ini, bisa memberi jalan keluar, asal dapat memecahkan teka-tekinya. Tapi bertanya tentang dunia atau semesta, kiranya penting untuk mendengarkan pendapat dari ilmuan, karena mereka memiliki sudut pandang yang spesifik. Doktor di bidang fisika Universitas Hirosima, Jepang, Agus Purwanto dalam buku Ayat-Ayat Semesta (2007) menjelaskan bahwa, memang ada keterangan-keterangan dalam huruf-huruf Arab itu (al-Quran) yang mengisyaratkan tentang hukum-hukum semesta. Salah satunya bahwa, keterangan itu tidak dapat diketahui secara hakiki, karena semesta tidak akan selesai dipahami.
Nampaknya, akal biasa memang selalu tidak melegakan. Mungkin hati atau olah rasa bisa memberi sedikit nasehat tentang dunia. Salah satu alternatifnya, kita bertanya kepada guru mistik seperti misalnya Raden Ngabehi Ronggowarsito. Menurut bisikan gaib yang menjelaskan, dunia sejatinya adalah kekosongan. Dalam kitab Serat Hidayat Jati tertulis bahwa, Sajatine ora ana apa-apa/ awit duk maksih awang uwung durung ana sawiji-wiji/ kang ana dingin iku ingsun (sesungguhnya tidak ada apa-apa, karena pada waktu dalam keadaan kosong, belum ada sesuatu, yang ada adalah aku). (Ronggowarsito: 5).
Bisakah suatu hal yang dijelaskan dengan kekuatan akal yang sedikit dan dengan relung hati yang sejumput pula? Entahlah, yang jelas betapapun manusia berputus asa, Ia tak akan berhenti bertanya, hingga berhenti dengan sendirinya.
Namun pada Rabu 5 Oktober 2011, ada berita mengejutkan di harian Jawa Pos pada kolom internasional. Di Stockholm, penghargaan bergengsi Nobel Fisika 2011 jatuh ke tangan para ilmuan. Saul Perlmutter, Adam riess dan Brian P. Schmidt yang bertahun-tahun meneliti bunga api angkasa (supernova), telah menemukan sesuatu. Apakah itu yang disebut dunia? Bukan, tapi paling tidak temuannya melengkapi pengetahuan sebelumnya.
Setelah bergumul dengan ilmu sekian lama dan beruban putih, para astronom itu menyimpulkan bahwa semesta bergerak dengan kecepatan yang tetap, bukan berkurang, malahan elemen-elemen penyusunnya seperti bintang-bintang selalu menambah kecepatannya. “Kesimpulan tersebut memberikan fakta baru dalam ilmu tentang semesta. Yakni bahwa sebuah tempat dengan temperatur yang sangat rendah dan langit berwarna hitam sama sekali tak terpengaruh kilatan galaksi yang bergerak dari satu tempat ke tempat lainnya dengan kecepatan supertinggi… Menurut mereka, pergerakan alam semesta tercipta akibat dark energy. Yakni, kekuatan kosmik yang sampai sekarang masih menjadi misteri terbesar dari semesta” (JP: 11).
Kekuatan hitam? Ya kekuatan hitam. Hitam itu disebut sebagai warna, padahal bukanlah warna. Tapi kekosongan. Tidak ada apapun, bukan sesuatupun tapi punya kekuatan. Menurut Fritjof Capra, itulah kekuatan yang mengendalian semua hal, bahkan daun renta yang jatuh dari pohon, terikat kekuatan itu. Frithjof Schuon tanpa beban menyebut bahwa kekuatan itu telah diramalkan oleh semua agama. Gary Zukav, Ilya Prigogine, dan Ken Wilber, serempak mengamini bahwa hitam adalah hal yang mengagumkan, canggih, namun dekat sekali dengan hidup kita. Dalam bahasa agama, kekuatan itu lebih dekat dari urat leher kita, tidak ada jalan keluar.
Bagaimana menjawab pertanyaan yang belum terjawab ini, mungkin tak akan pernah terjawab? Mungkin ini bukan kesimpulan, bahwa kosong yang penuh, utuh adalah hitam. Kosong yang bukan apapun bukanlah kering, tapi bermakna, abadi. Dengan bertanya tentang dunia, kita akan selalu bertanya tentang Yang Maha Kuasa, sekaligus tentang siapa diri kita sendiri. Mungkin kita bisa merenungkan permakluman oleh Fyodor Dostoevsky (2008), seorang sastrawan Russia. “Manusia, hingga setua ini aku tak tahu apapun tentangnya, padahal itu diriku sendiri.”
Sesungguhnya manusia tidak pernah mengakhiri “dunia, Tuhan dan dirinya sendiri”. Namun, betapapun dengan keras memikirkannya sepanjang hidup, akan memberi tahu suatu hal yang sangat penting, “Semakin mendalami tentang itu semua, akan memahami bahwa, kita tak tahu apapun.”
Oktober 2011
Menulis di Atas Mantera
Sutardji Calzoum Bachri
Media Indonesia, 16 Des 2007
SUDAH lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sikap kepenyairan saya paparkan di berbagai kesempatan, antara lain seperti dalam acara pembacaan sajak. Sedikitnya masyarakat pecinta puisi agaknya sudah tahu.
Saya adalah penyair yang menulis tidak dari suatu kekosongan. Saya menulis di atas kertas yang telah berisi tulisan. Saya menulis di atas tulisan. Tulisan itu adalah hasil budaya dari subkultur yang sangat saya akrabi, yaitu budaya Riau berupa mantra.
Dengan atau dari atau di atas mantra itulah saya menulis. Dalam aktivitas menulis, kadang bagian-bagian mantra itu saya pertebal dengan tulisan saya. Kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan saya yang berada di atasnya. Memang salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.
Maka menulis di atas tulisan atau di atas mantra bukanlah sekadar menerima mantra sebagai sesuatu nilai yang siap pakai, tetapi suatu pertemuan atau dialog kritis kreatif yang pada akhirnya memberikan upaya perpanjangan makna bagi mantra lewat kemampuan kreatif dari penyairnya.
Kita tahu sejak tahun 70-an banyak penyair dan para sastrawan lainnya yang kembali mengakrabi subkulturnya masing-masing. Tanpa gembar-gembor untuk memperkaya kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah, para sastrawan dan seniman memberikan ventilasi ekspresi daerahnya tanpa pula menghilangkan ciri khasnya sebagai individu seniman. Mereka betah dengan kultur daerahnya dan tidak merasa terasing atau mendurhakainya. Ia tidak seperti seniman sebelumnya yang antara lain merasa dirinya sebagai binatang jalang yang terbuang, atau malin kundang atau dianggap manusia terbatas terhadap nilai-nilai dari kultur daerahnya.
Kultur lokal ini memberikan kebetahan batin dan menimbulkan rangsangan kreatif bagi para seniman untuk menciptakan karya-karyanya dan sekaligus karakternya.
Kebudayaan tanpa karakter bisa mengakibatkan pelakunya jatuh pada kekosongan dan kehampaan makna. Hidup menjadi pragmatis praktis dan manusia bisa dipandang sebagai nomor-nomor fungsional belaka.
Dalam kancah pemikiran kebudayaan di Indonesia, kesadaran akan pencarian kepribadian menjadi sangat penting. Boleh dikatakan upaya mencari karakter ini hampir sama bermula dengan sejarah kesusastraan modern kita yaitu mulai dari zaman Pujangga Baru sekitar tahun 30-an.
Sebelum Indonesia merdeka, para budayawan dan seniman kita telah merenungkan dan memperdebatkan karakter apa yang akan dianut atau yang menjadi model bagi Indonesia yang kelak merdeka.
Polemik Kebudayaan yang bertahun-tahun berlangsung sejak sekitar tahun tiga puluhan, sebenarnya adalah upaya mencari model lokalitas budaya yang ingin dianut dalam skala besar: Barat atau Timur dengan tokoh-tokohnya Takdir Alisyahbana yang ingin mengadopsi Barat versus Sanusi Pane dan kawan-kawannya yang menyarankan jangan melupakan Timur.
Lewat keberhasilan karya-karya Chairil Anwar yang penuh dengan vitalitas individual, buat sementara, kelompok yang menjagokan Barat memenangi polemik itu.
Namun sejak tahun 70-an, para sastrawan dan seniman lainnya tidak lagi memedulikan masalah Barat atau Timur. Bagi mereka, familiaritas atau keakraban pada suatu nilai dari kultur tertentulah yang menjadi dasar pijakan dan rangsangan untuk berkarya. Ilham mereka muncul dari nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan yang sangat familier untuk mereka.
Karena biasanya yang sangat dikenal dan diakrabi adalah kultur lokal atau tradisi daerah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Oleh sebab itu warna lokal, kultur setempat, tradisi, dan mitos-mitosnya menjadi acuan bagi pergulatan kerja kesenian mereka. Akibat kerja mereka, nilai-nilai tradisi lokal menjadi modern, segar kembali. Di tangan para seniman ini, tradisi yang dulunya sering bersikap defensif menjadi kreatif. Unsur kreatif ini akan memperpanjang eksistensi nilai-nilai tradisi atau warna lokal dalam kehidupan masyarakat mendatang, dalam menciptakan sejarah.
Dalam menciptakan sejarah, puisi memiliki peran yang unik. Di satu sisi ia adalah buah dari sejarah. Di sisi lain, ia adalah benih untuk sejarah. Buah pahit bagi Belanda dari sejarah kolonialismenya adalah sebuah puisi besar yang berjudul Sumpah Pemuda, diciptakan oleh sekumpulan pemuda yang tidak mengklaim diri sebagai penyair.
Sumpah Pemuda selama ini memang tidak dikenal sebagai puisi. Tetapi jika kita lihat apa yang dikandung dalam teksnya adalah imajinasi yang ditampilkan lewat kata-kata yang padat, ringkas, dan kuat makna. Karena itu, ia memiliki syarat sebagai sebuah puisi, sebagai karya imajinasi yang padat kata dan kuat makna.
“Kami putra-putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia”. Dalam kenyataannya, pada waktu itu tahun 1928 belum ada atau tidak ada putra-putri Indonesia, yang ada putra-putri Jawa, Sumatra, Sunda, Maluku, Sulawesi dan seterusnya. Juga tidak ada bangsa Indonesia atau tanah air Indonesia, yang nyata ada adalah Hindia Belanda. Tidak ada bahasa Indonesia yang ada bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Sebagaimana halnya puisi, kandungan teks Sumpah Pemuda adalah imajinasi. Suatu imajinasi yang diungkapkan dengan bahasa yang ringkas, padat, ketat, dan tangkas, suatu hal yang lazim disyaratkan pada puisi.
Puisi Sumpah Pemuda inilah yang merupakan benih yang kelak menumbuhkan sejarah perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan, menjadikan imajinasi yang terkandung dalam sajak itu sebagai kenyataan.
Puisi-puisi besar atau sekelompok sajak dari beberapa penyair bisa merupakan firasat atau pertanda zaman untuk suatu perbaikan martabat manusia dan kehidupan. Ia bisa memberikan inspirasi untuk menciptakan sejarah.
Maraknya perpuisian yang kembali pada kultur dan tradisi daerah yang heterogen bisa dilihat sebagai koreksi terhadap penafsiran kesatuan dari teks puisi Sumpah Pemuda yang cenderung homogen, seraya mengisyaratkan imbauan untuk lebih memerhatikan warna-warni keragaman kultural dan kepentingan daerah masing-masing.
Tetapi gerakan sastra subkultur yang bermula di tahun 70-an itu barulah mendapatkan ventilasi sosial-politiknya setelah datangnya era Reformasi berupa maraknya otonomi daerah sekitar tahun 2000-an. Keterlambatan 30 tahun ini bisa menunjukkan bahwa suatu politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita.
* Sutardji Calzoum Bachri, Penyair
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/
Media Indonesia, 16 Des 2007
SUDAH lebih dari tiga puluh tahun yang lalu sikap kepenyairan saya paparkan di berbagai kesempatan, antara lain seperti dalam acara pembacaan sajak. Sedikitnya masyarakat pecinta puisi agaknya sudah tahu.
Saya adalah penyair yang menulis tidak dari suatu kekosongan. Saya menulis di atas kertas yang telah berisi tulisan. Saya menulis di atas tulisan. Tulisan itu adalah hasil budaya dari subkultur yang sangat saya akrabi, yaitu budaya Riau berupa mantra.
Dengan atau dari atau di atas mantra itulah saya menulis. Dalam aktivitas menulis, kadang bagian-bagian mantra itu saya pertebal dengan tulisan saya. Kadang mantra itu malah tertutup, terhapus, atau terlupakan karena tulisan saya yang berada di atasnya. Memang salah satu peran menulis ialah upaya untuk menutup atau melupa, yakni melupakan nilai-nilai atau ihwal yang tak lagi relevan untuk masa-masa kini atau masa depan, dengan demikian lebih terfokuskan (tambahan makna) pada bagian-bagian atau nilai-nilai yang masih bermakna untuk masa kini ataupun untuk masa mendatang.
Maka menulis di atas tulisan atau di atas mantra bukanlah sekadar menerima mantra sebagai sesuatu nilai yang siap pakai, tetapi suatu pertemuan atau dialog kritis kreatif yang pada akhirnya memberikan upaya perpanjangan makna bagi mantra lewat kemampuan kreatif dari penyairnya.
Kita tahu sejak tahun 70-an banyak penyair dan para sastrawan lainnya yang kembali mengakrabi subkulturnya masing-masing. Tanpa gembar-gembor untuk memperkaya kebudayaan nasional dengan kebudayaan daerah, para sastrawan dan seniman memberikan ventilasi ekspresi daerahnya tanpa pula menghilangkan ciri khasnya sebagai individu seniman. Mereka betah dengan kultur daerahnya dan tidak merasa terasing atau mendurhakainya. Ia tidak seperti seniman sebelumnya yang antara lain merasa dirinya sebagai binatang jalang yang terbuang, atau malin kundang atau dianggap manusia terbatas terhadap nilai-nilai dari kultur daerahnya.
Kultur lokal ini memberikan kebetahan batin dan menimbulkan rangsangan kreatif bagi para seniman untuk menciptakan karya-karyanya dan sekaligus karakternya.
Kebudayaan tanpa karakter bisa mengakibatkan pelakunya jatuh pada kekosongan dan kehampaan makna. Hidup menjadi pragmatis praktis dan manusia bisa dipandang sebagai nomor-nomor fungsional belaka.
Dalam kancah pemikiran kebudayaan di Indonesia, kesadaran akan pencarian kepribadian menjadi sangat penting. Boleh dikatakan upaya mencari karakter ini hampir sama bermula dengan sejarah kesusastraan modern kita yaitu mulai dari zaman Pujangga Baru sekitar tahun 30-an.
Sebelum Indonesia merdeka, para budayawan dan seniman kita telah merenungkan dan memperdebatkan karakter apa yang akan dianut atau yang menjadi model bagi Indonesia yang kelak merdeka.
Polemik Kebudayaan yang bertahun-tahun berlangsung sejak sekitar tahun tiga puluhan, sebenarnya adalah upaya mencari model lokalitas budaya yang ingin dianut dalam skala besar: Barat atau Timur dengan tokoh-tokohnya Takdir Alisyahbana yang ingin mengadopsi Barat versus Sanusi Pane dan kawan-kawannya yang menyarankan jangan melupakan Timur.
Lewat keberhasilan karya-karya Chairil Anwar yang penuh dengan vitalitas individual, buat sementara, kelompok yang menjagokan Barat memenangi polemik itu.
Namun sejak tahun 70-an, para sastrawan dan seniman lainnya tidak lagi memedulikan masalah Barat atau Timur. Bagi mereka, familiaritas atau keakraban pada suatu nilai dari kultur tertentulah yang menjadi dasar pijakan dan rangsangan untuk berkarya. Ilham mereka muncul dari nilai-nilai kemanusiaan dan kehidupan yang sangat familier untuk mereka.
Karena biasanya yang sangat dikenal dan diakrabi adalah kultur lokal atau tradisi daerah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan. Oleh sebab itu warna lokal, kultur setempat, tradisi, dan mitos-mitosnya menjadi acuan bagi pergulatan kerja kesenian mereka. Akibat kerja mereka, nilai-nilai tradisi lokal menjadi modern, segar kembali. Di tangan para seniman ini, tradisi yang dulunya sering bersikap defensif menjadi kreatif. Unsur kreatif ini akan memperpanjang eksistensi nilai-nilai tradisi atau warna lokal dalam kehidupan masyarakat mendatang, dalam menciptakan sejarah.
Dalam menciptakan sejarah, puisi memiliki peran yang unik. Di satu sisi ia adalah buah dari sejarah. Di sisi lain, ia adalah benih untuk sejarah. Buah pahit bagi Belanda dari sejarah kolonialismenya adalah sebuah puisi besar yang berjudul Sumpah Pemuda, diciptakan oleh sekumpulan pemuda yang tidak mengklaim diri sebagai penyair.
Sumpah Pemuda selama ini memang tidak dikenal sebagai puisi. Tetapi jika kita lihat apa yang dikandung dalam teksnya adalah imajinasi yang ditampilkan lewat kata-kata yang padat, ringkas, dan kuat makna. Karena itu, ia memiliki syarat sebagai sebuah puisi, sebagai karya imajinasi yang padat kata dan kuat makna.
“Kami putra-putri Indonesia berbangsa satu bangsa Indonesia, bertanah air satu tanah air Indonesia, berbahasa satu bahasa Indonesia”. Dalam kenyataannya, pada waktu itu tahun 1928 belum ada atau tidak ada putra-putri Indonesia, yang ada putra-putri Jawa, Sumatra, Sunda, Maluku, Sulawesi dan seterusnya. Juga tidak ada bangsa Indonesia atau tanah air Indonesia, yang nyata ada adalah Hindia Belanda. Tidak ada bahasa Indonesia yang ada bahasa-bahasa daerah dan bahasa Melayu sebagai lingua franca.
Sebagaimana halnya puisi, kandungan teks Sumpah Pemuda adalah imajinasi. Suatu imajinasi yang diungkapkan dengan bahasa yang ringkas, padat, ketat, dan tangkas, suatu hal yang lazim disyaratkan pada puisi.
Puisi Sumpah Pemuda inilah yang merupakan benih yang kelak menumbuhkan sejarah perjuangan bangsa untuk meraih kemerdekaan, menjadikan imajinasi yang terkandung dalam sajak itu sebagai kenyataan.
Puisi-puisi besar atau sekelompok sajak dari beberapa penyair bisa merupakan firasat atau pertanda zaman untuk suatu perbaikan martabat manusia dan kehidupan. Ia bisa memberikan inspirasi untuk menciptakan sejarah.
Maraknya perpuisian yang kembali pada kultur dan tradisi daerah yang heterogen bisa dilihat sebagai koreksi terhadap penafsiran kesatuan dari teks puisi Sumpah Pemuda yang cenderung homogen, seraya mengisyaratkan imbauan untuk lebih memerhatikan warna-warni keragaman kultural dan kepentingan daerah masing-masing.
Tetapi gerakan sastra subkultur yang bermula di tahun 70-an itu barulah mendapatkan ventilasi sosial-politiknya setelah datangnya era Reformasi berupa maraknya otonomi daerah sekitar tahun 2000-an. Keterlambatan 30 tahun ini bisa menunjukkan bahwa suatu politik yang berlandaskan kultural memang masih merupakan cita-cita.
* Sutardji Calzoum Bachri, Penyair
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/
Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri *
Ignas Kleden **
Bentara, Kompas, Sabtu, 04 Agu 2007
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Bentara, Kompas, Sabtu, 04 Agu 2007
Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi.
Sentuhan Sufisme dalam Sastra Indonesia
Ahmad Fatoni*
http://www.pelita.or.id/
Sastra sufi atau sastra yang bercorak sufistik mulai mengemuka dalam sejarah sastra Indonesia sejak 1970-an. Hangatnya perbincangan tentang lahirnya sastra jenis ini, kala itu, tidak lepas dari kegigihan salah seorang penggiat dan pembelanya, penyair Abdul Hadi WM, yang pada 1980-an berhasil memopulerkan gaya sastra sufistik melalui berbagai bentuk tulisan.
Menurut Abdul Hadi (1985), beberapa tokoh utama sastra sufistik 1970-an, di antaranya para prosais seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
Mereka ini selain menciptakan karya-karya dengan ciri-ciri sufistik, juga memelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya secara serius serta getol menerjemahkan karya-karya para penyair sufi. Kecenderungan sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an pada penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha Ainun Nadjib.
Karya sastra sufistik, masih menurut Abdul Hadi, sebenarnya telah dirintis oleh Amir Hamzah si Raja Penyair Pujangga Baru pada 1930-an. Karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi merupakan dokumen pencarian dan perjalanan ruhani Amir hamzah menuju Yang Satu. Dalam perjalanan mengarungi perjalanan ruhani itulah sang penyair menemukan dirinya yang sejati. Munculnya karya-karya sastra yang mencari akar ke tasawuf, tampak menarik untuk dicermati.
Sebagaimana kita maklumi, tasawuf yang ekstrem dapat memicu pendapat yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Maka tidak mengherankan jika kehadiran karya-karya yang bertolak dari sufisme di negeri ini selalu menyisakan polemik.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak ingin terlibat dalam pro dan kontra, tetapi lebih melihat peran sastra sufistik sebagai karya yang dapat menohok kesadaran manusia di hadapan Tuhannya. Seperti dikatakan Danarto bahwa pengarang atau penyair mencipta bukan karena adanya pantun atau syair, namun karena kesadaran akan pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan.
Sejalan dengan Danarto, Taufik Ismail menegaskan, bentuk sastra apa pun yang digunakan tidaklah penting, melainkan bobot karya itu sendirilah yang paling penting. Dengan demikian, keindahan estetis tidak lebih merupakan akibat dari kesadaran religius, sebab pada dasarnya, kesadaran religius secara kodrati telah memiliki kualitas estetis.
Dalam hal ini pula penyair Iqbal pernah berujar, keindahan itu jangan dicari di luar diri sebab ia berada dalam diri. Seorang sastrawan yang berpegang teguh atas prinsip ini menemukan keindahan bukan karena mencari, tapi merupakan hasil pergulatan batinnya dalam mengakrabi Tuhan dan ciptaan-Nya. Penghayatan terhadap nilai-nilai Ketuhanan secara intens akan sangat penting untuk membentuk karakter pribadi yang mulia, terutama ketika dekadensi moral mengoyak-ngoyak peradaban manusia.
Berangkat dari kesadaran ini para sastrawan membutuhkan Tuhan yang bisa diajak dialog dengan penuh kekhusyukan. Akan tetapi, tidak setiap sastrawan bisa langsung menggeluti sastra sufistik dari awal. Chairil Anwar, contohnya. Dia mengawali kepenyairannya dengan sikap seperti binatang jalang lalu akhirnya menyerah kepada Tuhan:
Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling/ (Doa). Sedangkan Sutardji Calzoum Bachri memulai bersajak dengan memanggil Tuhan dengan cara yang agak liar: /rasa yang dalam/ datang Kau padaku/ aku telah mengecup luka/ aku telah membelai aduhai/ aku telah harap-harap/ aku telah mencium aum/ aku telah dipukau au/ aku telah merasa celah lobang pintu/ aku telah tinggalkan puri pura-puraMu/.
Dimensi sufistik Sutardji juga tampak dalam petikan sajak berikut: /Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?/. Berondongan kata dalam sajak ini hendak menegaskan bahwa jalan takdir yang ditempuh manusia tidak akan terelak.
Keunikan Sutardji ialah ketika ia membacakan sajak-sajaknya sambil minum bir. Mabuk baginya sesuatu yang fardhu sebagai anggur cinta kepada Tuhan. Saat itu Sutardji memang masih diterjang gelombang gelisah yang meguasai jiwanya. Lalu dalam sajak Mari, Sutardji berusaha mengungkapkan ekspresi perubahan jiwa dengan daya yang amat keras.
Ia melukiskan botol merupakan suatu penampungan berbagai perasaan. /……mari pecahkan botol-botol/ ambil lukanya/ jadikan bunga/ mari pecahkan tik-tok jam/ ambil jarumnya/ jadikan diam/ (Mari). Sajak-sajak Sutardji, ungkap D Zawawi Imron, nilai religiusnya sangat kuat meski belum jelas sosok keislamannya, kalau tampak masih terlalu implisit. Tapi karena sejak semula Sutardji lahir sebagai muslim (sekalipun menyukai bir) maka Tuhan yang disebutnya ialah Tuhan dalam konsep tauhid.
Bahkan perkembangan terakhir dari kepenyairan Sutardji ialah kutukannya terhadap alkohol yang diinsyafi sebagai kesalahan: /…..Maka pagi ini/ Kukenankan ziarah la ilaaha illallah/ Aku pakai sepatu sirathal mustaqim/ Aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat ied/ Aku bawa masjid dalam diriku/ Kuhamparkan di lapangan/ Kutegakkan sholat/ Dan kurayakan kelahiran kembali di sana/.
Berbeda dengan Taufiq Ismail yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga sakinah yang islami, dia sudah mulai menulis sajak di antaranya berbunyi: /jika ada orang yang harus kau agungkan/ ialah hanya rosul Tuhan/ jika ada kesempatan memilih mati/ ialah syahid di jalan Ilahi. Taufiq Ismail mengatakan, standar estetika sastra sufistik ialah mengingatkan orang kepada Pencipta alam semesta.
Karya-sarya sastra yang hanya mengingat dunia, terlena, atau mabuk kepayang, tidak memenuhi syarat sastra sufistik. Standar kedua adalah bahasa, pemilihan kata dan hal-hal konvensional lainnya. Salah satu sajak Taufiq yang mencerminkan itu:
/ada sejadah panjang/ dari kaki buaian/ sampai ke tepi kuburan/ (Sejadah Panjang). Kendati ditulis dengan berbagai ekspresi dan bentuk pengucapan, mengutip Tjahjono Widarmanto (Pikiran Rakyat 6/9/2008)., sastra sufistik memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi itu di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah. Para penyair selalu tertarik pada wilayah sunyi. Sunyi akibat merasa jauh dari kekasih hatinya, yaitu Allah.
Ketertarikan pada dunia sunyi yang penuh jeritan rindu kepada Tuhannya itu, bisa diamati begitu dominan pada puisi-puisi Amir Hamzah, Acep Zam-Zam Noor, dan Jamal D. Rahman. Untuk menggambarkan kerinduan, pencarian, dan kecintaan (mahabbah) pada Tuhannya itu, para penyair sufi sering menggunakan simbol burung (pada puisi-puisi Jamal D.Rahman), kekasih (digunakan Amir Hamzah, Emha Ainun Nadjib, Acep Zam-Zam Noor), gadis atau dara, api, dsb.
Dan muara gelombang sunyi itu bagi para penyair sufi ini adalah berakhir pada kepasrahan. Kepasrahan ini menyiratkan betapa para penyair sufi ini mengakui kehinaan dan kekerdilan dirinya sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhannya. Pengakuan ini jelas tergambar dalam ekspresi Jamal D Rahman:
/mengetuk pintu demi pintu. jam berdetak/ di lantai. dinding pun terjaga. dan ombak bangkit/ dari jendela. aku tersungkur lewat pintu-pintu itu,/ angin mengusung zikirku dari alif ke alif, dan asmamu/ mengerang di padang-padang sembahyang/ (Di Padang Sembahyang).
Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam tasawuf dikenal dengan istilah wihdatul wujud, suatu konsep kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati sebab Dia juga Mahadekat.
Sebagai penutup, penulis minta maaf sebab tidak dapat mengulas semua karya-karya yang bernafaskan sufistik seperti Khotbah di Atas Bukit karangan Kuntowijoyo, Anak Laut Anak Angin karya Abdul Hadi WM, 99 untuk Tuhanku tulisan Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Namun yang penting dicatat bahwa sufisme turut mewarnai karya-karya sastra Indonesia.
*) Penulis adalah penyair, analis pada Laboratorium Bahasa Arab UMM.
http://www.pelita.or.id/
Sastra sufi atau sastra yang bercorak sufistik mulai mengemuka dalam sejarah sastra Indonesia sejak 1970-an. Hangatnya perbincangan tentang lahirnya sastra jenis ini, kala itu, tidak lepas dari kegigihan salah seorang penggiat dan pembelanya, penyair Abdul Hadi WM, yang pada 1980-an berhasil memopulerkan gaya sastra sufistik melalui berbagai bentuk tulisan.
Menurut Abdul Hadi (1985), beberapa tokoh utama sastra sufistik 1970-an, di antaranya para prosais seperti Danarto, Kuntowijoyo, M. Fudoli Zaini, dan juga para penyair seperti Sutardji Calzoum Bachri, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain.
Mereka ini selain menciptakan karya-karya dengan ciri-ciri sufistik, juga memelajari ajaran-ajaran tasawuf dan kesusastraannya secara serius serta getol menerjemahkan karya-karya para penyair sufi. Kecenderungan sufistik para sastrawan 1970-an kemudian berlanjut hingga 1980-an pada penyair-penyair seperti D Zawawi Imron, Afrizal Malna, Heru Emka, dan Emha Ainun Nadjib.
Karya sastra sufistik, masih menurut Abdul Hadi, sebenarnya telah dirintis oleh Amir Hamzah si Raja Penyair Pujangga Baru pada 1930-an. Karya-karya Amir Hamzah dalam Buah Rindu dan Nyanyi Sunyi merupakan dokumen pencarian dan perjalanan ruhani Amir hamzah menuju Yang Satu. Dalam perjalanan mengarungi perjalanan ruhani itulah sang penyair menemukan dirinya yang sejati. Munculnya karya-karya sastra yang mencari akar ke tasawuf, tampak menarik untuk dicermati.
Sebagaimana kita maklumi, tasawuf yang ekstrem dapat memicu pendapat yang kontradiktif antara satu dengan yang lain. Maka tidak mengherankan jika kehadiran karya-karya yang bertolak dari sufisme di negeri ini selalu menyisakan polemik.
Dalam tulisan ini tentu saya tidak ingin terlibat dalam pro dan kontra, tetapi lebih melihat peran sastra sufistik sebagai karya yang dapat menohok kesadaran manusia di hadapan Tuhannya. Seperti dikatakan Danarto bahwa pengarang atau penyair mencipta bukan karena adanya pantun atau syair, namun karena kesadaran akan pengetahuan yang dianugerahkan Tuhan.
Sejalan dengan Danarto, Taufik Ismail menegaskan, bentuk sastra apa pun yang digunakan tidaklah penting, melainkan bobot karya itu sendirilah yang paling penting. Dengan demikian, keindahan estetis tidak lebih merupakan akibat dari kesadaran religius, sebab pada dasarnya, kesadaran religius secara kodrati telah memiliki kualitas estetis.
Dalam hal ini pula penyair Iqbal pernah berujar, keindahan itu jangan dicari di luar diri sebab ia berada dalam diri. Seorang sastrawan yang berpegang teguh atas prinsip ini menemukan keindahan bukan karena mencari, tapi merupakan hasil pergulatan batinnya dalam mengakrabi Tuhan dan ciptaan-Nya. Penghayatan terhadap nilai-nilai Ketuhanan secara intens akan sangat penting untuk membentuk karakter pribadi yang mulia, terutama ketika dekadensi moral mengoyak-ngoyak peradaban manusia.
Berangkat dari kesadaran ini para sastrawan membutuhkan Tuhan yang bisa diajak dialog dengan penuh kekhusyukan. Akan tetapi, tidak setiap sastrawan bisa langsung menggeluti sastra sufistik dari awal. Chairil Anwar, contohnya. Dia mengawali kepenyairannya dengan sikap seperti binatang jalang lalu akhirnya menyerah kepada Tuhan:
Tuhanku/ di pintuMu aku mengetuk/ aku tidak bisa berpaling/ (Doa). Sedangkan Sutardji Calzoum Bachri memulai bersajak dengan memanggil Tuhan dengan cara yang agak liar: /rasa yang dalam/ datang Kau padaku/ aku telah mengecup luka/ aku telah membelai aduhai/ aku telah harap-harap/ aku telah mencium aum/ aku telah dipukau au/ aku telah merasa celah lobang pintu/ aku telah tinggalkan puri pura-puraMu/.
Dimensi sufistik Sutardji juga tampak dalam petikan sajak berikut: /Dengan seribu gunung langit tak runtuh dengan seribu perawan hati tak jatuh dengan seribu sibuk sepi tak mati dengan seribu beringin ingin tak teduh. Dengan siapa aku mengeluh?/. Berondongan kata dalam sajak ini hendak menegaskan bahwa jalan takdir yang ditempuh manusia tidak akan terelak.
Keunikan Sutardji ialah ketika ia membacakan sajak-sajaknya sambil minum bir. Mabuk baginya sesuatu yang fardhu sebagai anggur cinta kepada Tuhan. Saat itu Sutardji memang masih diterjang gelombang gelisah yang meguasai jiwanya. Lalu dalam sajak Mari, Sutardji berusaha mengungkapkan ekspresi perubahan jiwa dengan daya yang amat keras.
Ia melukiskan botol merupakan suatu penampungan berbagai perasaan. /……mari pecahkan botol-botol/ ambil lukanya/ jadikan bunga/ mari pecahkan tik-tok jam/ ambil jarumnya/ jadikan diam/ (Mari). Sajak-sajak Sutardji, ungkap D Zawawi Imron, nilai religiusnya sangat kuat meski belum jelas sosok keislamannya, kalau tampak masih terlalu implisit. Tapi karena sejak semula Sutardji lahir sebagai muslim (sekalipun menyukai bir) maka Tuhan yang disebutnya ialah Tuhan dalam konsep tauhid.
Bahkan perkembangan terakhir dari kepenyairan Sutardji ialah kutukannya terhadap alkohol yang diinsyafi sebagai kesalahan: /…..Maka pagi ini/ Kukenankan ziarah la ilaaha illallah/ Aku pakai sepatu sirathal mustaqim/ Aku pun lurus menuju lapangan tempat shalat ied/ Aku bawa masjid dalam diriku/ Kuhamparkan di lapangan/ Kutegakkan sholat/ Dan kurayakan kelahiran kembali di sana/.
Berbeda dengan Taufiq Ismail yang sejak kecil dibesarkan dalam lingkungan keluarga sakinah yang islami, dia sudah mulai menulis sajak di antaranya berbunyi: /jika ada orang yang harus kau agungkan/ ialah hanya rosul Tuhan/ jika ada kesempatan memilih mati/ ialah syahid di jalan Ilahi. Taufiq Ismail mengatakan, standar estetika sastra sufistik ialah mengingatkan orang kepada Pencipta alam semesta.
Karya-sarya sastra yang hanya mengingat dunia, terlena, atau mabuk kepayang, tidak memenuhi syarat sastra sufistik. Standar kedua adalah bahasa, pemilihan kata dan hal-hal konvensional lainnya. Salah satu sajak Taufiq yang mencerminkan itu:
/ada sejadah panjang/ dari kaki buaian/ sampai ke tepi kuburan/ (Sejadah Panjang). Kendati ditulis dengan berbagai ekspresi dan bentuk pengucapan, mengutip Tjahjono Widarmanto (Pikiran Rakyat 6/9/2008)., sastra sufistik memiliki karakteristik kecenderungan estetika yang sama. Kecenderungan estetika sastra sufi itu di antaranya adalah ekspresi kerinduan kepada Allah. Para penyair selalu tertarik pada wilayah sunyi. Sunyi akibat merasa jauh dari kekasih hatinya, yaitu Allah.
Ketertarikan pada dunia sunyi yang penuh jeritan rindu kepada Tuhannya itu, bisa diamati begitu dominan pada puisi-puisi Amir Hamzah, Acep Zam-Zam Noor, dan Jamal D. Rahman. Untuk menggambarkan kerinduan, pencarian, dan kecintaan (mahabbah) pada Tuhannya itu, para penyair sufi sering menggunakan simbol burung (pada puisi-puisi Jamal D.Rahman), kekasih (digunakan Amir Hamzah, Emha Ainun Nadjib, Acep Zam-Zam Noor), gadis atau dara, api, dsb.
Dan muara gelombang sunyi itu bagi para penyair sufi ini adalah berakhir pada kepasrahan. Kepasrahan ini menyiratkan betapa para penyair sufi ini mengakui kehinaan dan kekerdilan dirinya sebagai makhluk yang tak berdaya di hadapan Tuhannya. Pengakuan ini jelas tergambar dalam ekspresi Jamal D Rahman:
/mengetuk pintu demi pintu. jam berdetak/ di lantai. dinding pun terjaga. dan ombak bangkit/ dari jendela. aku tersungkur lewat pintu-pintu itu,/ angin mengusung zikirku dari alif ke alif, dan asmamu/ mengerang di padang-padang sembahyang/ (Di Padang Sembahyang).
Karakteristik estetika sufi yang lain adalah ekspresi khas sufi tentang penyatuan hamba dengan Tuhannya. Dalam tasawuf dikenal dengan istilah wihdatul wujud, suatu konsep kesatuan dalam kegandaan serta kegandaan dalam kesatuan. Tuhan tidaklah dihayati sebagai Dia yang berada di sana namun juga hadir bersama manusia. Tuhan memang tak terjangkau tapi bisa didekati sebab Dia juga Mahadekat.
Sebagai penutup, penulis minta maaf sebab tidak dapat mengulas semua karya-karya yang bernafaskan sufistik seperti Khotbah di Atas Bukit karangan Kuntowijoyo, Anak Laut Anak Angin karya Abdul Hadi WM, 99 untuk Tuhanku tulisan Emha Ainun Nadjib dan lain-lain. Namun yang penting dicatat bahwa sufisme turut mewarnai karya-karya sastra Indonesia.
*) Penulis adalah penyair, analis pada Laboratorium Bahasa Arab UMM.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati