Jumat, 25 November 2011

Kota yang Tenggelam dalam Seribu Karangan Bunga

Afrizal Malna*
Kompas, 13 Juli 2008

SELAMAT tinggal kedaerahan… Selamat tinggal lelaki dan perempuan…
Selamat tinggal ”nasionalisme sastra” yang terperangkap dalam masalah-masalahnya sendiri.

Kita bukan lagi suku-suku, kita adalah manusia. Kita bukan lagi lelaki dan perempuan, kita adalah manusia. Suatu hari nanti, dan kalau lebih bergegas lagi, sekarang juga: selamat tinggal tradisi, kalau globalisasi begitu mencemaskan kita. Dan kecemasan itu menjadi celaka ketika lewat tradisi, kita justru kembali lagi ke dalam bentuk kolonialisme baru manakala tradisi itu sendiri ternyata adalah hasil seleksi sejarah yang dilakukan kekuasaan kolonial, manakala tradisi itu telah jadi salah satu ikon dari struktur penindasan kolonial yang akar keberadaannya telah mengalami kosmetika.

Kita adalah generasi pasca-Indonesia, kata YB Mangunwijaya, yang sadar bahwa Indonesia adalah ikon pasca-kolonial justru dari hasil konstruksi sejarah kolonial. Dan nasionalisme kita lebih luas dari Indonesia itu sendiri.

Globalisasi tidak lantas dihadapi lewat teori-teori konflik, seperti budaya tanding, dengan mengedepankan kembali budaya lokal. Percayalah, sejarah akan menenggelamkan kita kembali untuk bisa bersama-sama menemukan bahasa dunia dalam persamaan dan perbedaan kita. Kita tidak akan pernah mencapai ”multikulturalisme” yang kini sedang menjadi isu global kalau perbedaan ditempatkan sebagai posisi yang paling artikulatif. Sama gentingnya kalau persamaan juga ditempatkan dalam posisi yang paling artikulatif.

Imajinasi kita ada dalam suara hujan yang bersayap. Imajinasi kita menembus nama-nama kita, menembus ketakutan-ketakutan kita dan kita bertemu kembali dengan kenyataan tak terbantahkan bahwa kita hidup dengan pagi dan malam yang sama, walaupun kita memiliki musim yang berbeda.

Dunia kritik sastra kita masih berdiri di belakang, bahkan di sebuah tikungan antara fiksi, kenyataan, dan metode membaca sastra dari balik jendela berkaca. Kritik yang masih ragu-ragu melihat bahwa sebenarnya karya- karya sastra kita masa kini sudah memasuki tema-tema ”trans-lokal”, ”trans-jender”, dan ”trans- pop”. Hubungan yang akrab dengan data, sains, dan filsafat sebagai wacana yang tidak lagi berada di menara gading, melainkan ada dekat di sekitar mereka. Generasi yang memperlakukan setting dalam novel-novel mereka seperti mengganti wallpaper dalam cover komputer, tetapi mereka menguasai detail setting itu lewat penelitian yang mencengangkan.

Sebagian dari generasi itu, bukan lagi generasi sastra dengan pergaulan komunitas sastra. Sastra bagi mereka mungkin tidak lebih dari sekadar media individual dan tidak harus menjadi bagian dari komunitas sastra yang menghabiskan waktu-waktu mereka, mengorbankan berbagai momen dari pertemuan, pergaulan dan realitas yang lain yang mungkin terjadi.

Kesan-kesan seperti ini, walaupun tidak terlalu eksplisit, dapat ditangkap dalam uraian Sunaryono Basuki ketika menjelaskan karya-karya prosa (cerita pendek maupun novel) yang terbit setelah reformasi. Terutama karya- karya yang ditulis para sastrawan perempuan. Pembicaraan yang dilakukan dalam forum ”Temu Sastra Indonesia 1” di Jambi, 7-10 Juli kemarin.

Ketika sastra bergaul kian dekat dengan filsafat, sains, dan sejarah, seakan-akan wacana-wacana ini ada di halaman belakang rumah kita dan bukan di halaman depan, maka kita juga bisa mengatakan dengan rela: sastra sudah mati. Sastra sudah menyelusup jauh memasuki berbagai wacana utama dan merajut kembali wacana-wacana itu dalam rajutan baru di mana kita mulai bisa berpikir dengan imajinasi, menembus cadar politik pemaknaan untuk membaca sistem makna yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari kita lewat imajinasi dan data.

Pada saat itu, karya sastra mulai menyimpan harapan untuk lahirnya masyarakat sastra yang membaca dan menulis dengan kesadaran sebagai ”politik wacana”. Dan bertanya lagi: masa depan seperti apa, kehidupan bersama seperti apa yang mungkin tumbuh dari sistem makna yang mereka jalani sekarang?

Politik wacana yang mengerti bahwa setiap kemerdekaan dibatasi dengan kemerdekaan orang lain, sampai kemerdekaan itu tidak ada, sampai kemerdekaan itu mati, seperti dinyatakan Putu Wijaya dalam monolognya di forum itu. Ketika kemerdekaan memang mulai dibatasi dengan adanya kemerdekaan lain, maka orang tidak perlu lagi meneriakkan kemerdekaan, tidak perlu lagi mengemis kemerdekaan, karena kemerdekaan telah menjadi makna dari keberadaan kita.

Forum ini, di samping membicarakan tema-tema kritik sastra (Sunaryono Basuki, Harris Effendi Thahar, Suminto A Sayuti, Hary S Harjono, Ahda Imran, dan Maizar Karim), juga dilengkapi dengan tema-tema advokasi dan promoting sastra dengan menghadirkan profesi hukum dan beberapa redaktur media massa cetak (Abdul Bari Azed, Fadillah, Ahmadun Y Herfanda, Kartini Nurdin, dan Triyanto Triwikromo).

Tema advokasi ini mencoba mendudukkan bahwa kedewasaan kehidupan publik ditentukan oleh kesadaran yang berjalan seimbang antara hak dan kewajiban. Keduanya tidak harus saling menghukum atau meniadakan yang lain, dengan menempatkan karya yang dihasilkan individu dari kehidupan publik itu sebagai sesuatu yang mudah dihancurkan. Perapuhan terhadap posisi individu, pada gilirannya berimplikasi menghasilkan kehidupan publik yang tidak pernah dewasa, sensitif, dan mudah diprovokasi yang membakar dirinya sendiri.

Para sastrawan yang datang dalam forum ini dari Kalimantan, Jawa, Bali, Sumatera dan, Nusa Tenggara Barat, dari Shantinet sampai Ratna Dewi.

Lewat forum ini pula, yang memang tidak memiliki tema yang eksplisit, juga tidak melahirkan isu yang cukup artikulatif, Jambi menyediakan diri untuk menampung kemungkinan berdirinya wadah sastra Indonesia (Firdaus, Acep Zamzam Noor). Hadirnya Jambi dalam pentas sastra Indonesia bisa dibaca sebagai fenomena munculnya kota-kota yang mencoba menggunakan sastra sebagai ikon mereka. Jambi merasa memiliki sejarah dan latar belakang trans-lokal untuk memasuki pentas sastra itu.

Fenomena munculnya kota- kota yang mendekatkan diri kepada sastra, juga bagian dari politik otonomi di mana pemilihan kepala daerah kini telah menjadi seremoni baru di banyak kota. Peristiwa politik yang juga mencoba menanamkan investasi nilai pada sastra dan sebaliknya.

Fenomena di mana kian mendekatnya sastra ke politik ini, menjadi sebaliknya dengan fenomena seni rupa yang kian dekat dengan ekonomi. Kedekatan itu akan membawa posisi yang dilematis antara keduanya manakala infrastruktur dan suprastruktur seni dalam masyarakat kita tidak berjalan seimbang. Yang satu mengalami dilematis secara politis, yang lain mengalami dilematis dalam hukum-hukum pasar yang mengatasinya.

Fenomena itu mungkin juga bagian dari tanda bahwa masyarakat urban kian membutuhkan seni yang mampu mewakili nilai-nilai mereka, sekaligus mereka bisa melakukan investasi dalam nilai-nilai itu. Berbagai pertemuan sastra, yang tidak mampu mendesain dirinya lewat fenomena ini, termasuk lewat perkembangan sastra itu sendiri; kuratorial yang lebih mementingkan kuantitas daripada kualitas dan menenggelamkan visi hanya untuk terjadinya seremoni kuantitas, tidak akan pernah bertemu dengan apa yang pernah disebut Iwan Simatupang dalam salah satu karyanya: Kota yang tenggelam dalam seribu karangan bunga.

Dan orang mengenang, kita pernah datang ke kota itu. Merayakan imajinasi untuk impian-impian lainnya.

* Afrizal Malna, Pekerja Seni
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/07/esai-kota-yang-tenggelam-dalam-seribu.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati