Yetti A. KA
http://harianhaluan.com/
Pencitraan negatif yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap Timur banyak terdapat dalam kisah-kisah perjalanan. Dalam buku-buku itu, bangsa Timur sering digambarkan sebagai bangsa terbelakang dan asing. Faruk (2001) berpendapat bahwa, berdasarkan bacaannya atas buku Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature karangan Rob Nieuwenhuys, imperialisme dan kolonialisasi tidak hanya menempatkan wilayah jajahan sebagai suatu wilayah tempat terbukanya peluang bagi eksploitasi sumber-sumber ekonomi, melainkan juga sebagai sebuah dunia sosial dan kultural yang asing, yang berbeda dari dunia penjajah. Perbedaan itu tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan yang netral, horizontal, melainkan mengandung nilai yang bersifat hierarkis dan vertikal. Bangsa penjajah memosisikan diri sebagai kelompok sosial yang berposisi sebagai subjek, arogan, superior, di hadapan masyarakat setempat.
Dalam teks sastra, persoalan Barat dan Timur juga banyak menyuarakan hal serupa, di mana bangsa Timur cenderung dalam posisi lebih rendah dari bangsa Barat, misalnya saja dalam cerita pendek karya pengarang muda Dwicipta berjudul Tuan Hillario dan Taman Magdalena (selanjutnya THTM) dimuat di Media Indonesia, 13 Mei 2007 dan Tanah Merah (selalanjutnya TM) dimuat di Kompas, 13 Januari 2008. Dua cerita pendek tersebut berlatar cerita masa pemerintahan Hindia Belanda. THTM dan TM sama-sama mengangkat tokoh utama seorang Eropa. Perbedaan dari kedua tokoh ini terletak pada karakter protagonis dan antagonis. Hillario dalam THTM seorang yang kikir, kejam, dan culas, sedangkan Kapten Becking dalam TM seorang yang baik hati, kalau tidak bisa dikatakan berhati ‘Timur’. Dalam kedua cerpen ini terjadi relasi antara Eropa dan pribumi, di mana digambarkan orang Eropa sangat berkuasa dan kaya, sementara itu pribumi sebagai pembantu rumah tangga, pemberontak, manusia kelas rendah. Selain itu, dua cerita pendek ini, sesungguhnya berbicara tentang kegelisahan seorang Eropa yang berada di tanah jajahan. Kegelisahan ini menarik dikaji karena berkaitan dengan keberpihakan dan ketidakberpihakan terhadap pribumi, di luar mereka sebagai penguasa. Perspektif Postkolonialisme
Relasi Barat dan Timur merupakan hubungan kekuatan, dominasi, dan hubungan berbagai derajat hegemoni yang kompleks (Edward Said, 2001). Selanjutnya postkolonialitas dipaksa untuk menegosiasikan pelbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historisnya yang tak dapat disangkal, pos-kolonialitasnya, atau derivasi politis dan kronologis dari kolonialismenya, di satu sisi, dan kewajiban kulturalnya untuk menjadi kokoh dan inventif secara bermakna di sisi lain. Oleh sebab itu, peristiwa kedatangannya yang aktual menuju kemerdekaan didasarkan pada kemampuannya untuk membayangkan dan melakukan pemisahan awal yang menentukan dari masa lalu kolonial secara berhasil (Gandhi, 2007).
Dalam kajian sastra, postkolonialisme kemudian dipahami sebagai upaya membicarakan teks-teks sastra dengan berbagai caranya mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yakni konfrontasi antarras, antarbangsa, antarbudaya, dalam kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara. Dengan kata lain postkolonialisme adalah istilah untuk pendekatan kritis dalam memahami efek-efek kolonialisme yang ada di dalam teks (Day dan Foulcher, 2008).
Identitas, Kedudukan, dan Hibriditas
Pada banyak penelitian, fokus kajian postkolonial banyak diarahkan pada persoalan identitas dan kedudukan antara dua ras, biasanya Timur dan Barat, yang kemudian memperlihatkan hibriditas antarkeduanya.
Hibriditas yang dimaksudkan berkenaan dengan terjadinya tumpah tindih antara satu budaya dengan budaya lain, dalam hal ini penjajah dan daerah yang dijajah yang kemudian menjadi satu kesatuan kebudayaan baru. Bagi Bhaba, bentuk konfliktual hibriditas ini khususnya kuat dalam situasi kolonial, sebab baginya otoritas kolonial, sebagaimana semua sistem dominasi, bersuara tunggal: kalau efek kekuasaan kolonial dipandang sebagai produksi hibridisasi, dan bukan komando ribut otoritas kolonialis atau represi diam tradisi pribumi, maka yang terjadi perubahan perspektif yang penting (dalam Day dan Foulcher, 2008).
Dalam cerita pendek THTM identitas seorang Eropa masih memisahkan diri dengan tegas terhadap orang pribumi. Di sana tampak tidak terjadi persinggungan hibriditas antara Barat dan Timur. Barat demikian mendominasi hingga pribumi nyaris tanpa suara. Barat diwakilkan dengan kehadiran seorang dokter berkebangsaan Spanyol bernama Hillario. Dokter Hillario memiliki kedudukan yang tinggi sebab ia berhasil mengumpulkan kekayaan dari pekerjaannya itu. Berbeda halnya dengan pribumi yang bekerja sebagai pembantu di rumah Hillario. Mayar dan Sanikem berada di bawah dominasi Hillario. Bahkan kedua pembantu itu diperlakukan lebih rendah dari perempuan simpanan Hillario yang berasal dari Eropa. Di sini tampak sekali perbedaan identitas akan menentukan pula kedudukan seseorang. Dan identitas itu sangat ditentukan pula apakah ia berasal dari Barat atau Timur.
Relasi Barat-Timur telah memisahkan Hillario dan perempuan simpanan Eropa-nya berseberangan dengan Mayar dan Sanikem. Identitas mereka sebagai masyarakat dari bangsa penjajah dan terjajah juga memperlihatkan relasi terjadi secara ketat. Mayar dan Sanikem menjalani kehidupan mereka sebagai pribumi yang tahu diri, sementara Hillario dan perempuan Eropa menyadari betul bahwa mereka berkuasa.
Hal yang cukup menarik dari cerita pendek THTM bahwa Hillario yang digambarkan berwatak jahat itu berasal dari Spanyol, bukan Belanda. Latar cerita ini berada di Batavia ketika Belanda menguasai nusantara dan menamakan daerah jajahannya itu sebagai Hindia Belanda. Pengarang juga memunculkan tokoh lain yang berdarah Belanda, tapi justru tokoh itu dikalahkan oleh seorang Spanyol yang licik. Seorang Belanda yang kalah itu seakan-akan hadir sebagai pahlawan yang mati di medan perang. Ia dikenang oleh Mayar sebagai dokter Belanda yang setidaknya lebih baik dari Hillario. Bahkan Mayar tampak bersimpati pada dokter dari Belanda itu dan sebaliknya menganggap dokter Hillario sebagai seseorang yang kejam. Di sanalah hibriditas menunjukkan jejaknya, bahwa telah terjadi perpaduan perasaan antara seorang Belanda dan pribumi; antara dokter Belanda dan Mayar yang peduli. Meski tentunya mereka tetap saja tidak dipertemukan dalam suatu relasi yang nyata. Semua itu hanya terjadi dalam ingatan Mayar atas desas-desus yang pernah beredar, untuk mendukung penilaiannya terhadap Hillario yang jahat dan tidak memikirkan orang lain.
Cerpen TM justru lebih jelas memperlihatkan terjadinya hibriditas secara konkrit antara Barat dan Timur. Identitas tokoh Eropa dan pribumi memang masih terpisah secara tegas. Orang Eropa digambarkan sebagai opsir Belanda yang menjabat sebagai Jenderal, Kapten dan Letnan. Sementara itu pribumi digambarkan sebagai pemberontak yang kalah. Di antara rombongan ekspedisi itu, bahkan tahanan pribumi dirantai kakinya.
Saat rombongan ekspedisi tiba di Digul, mereka bertemu dengan penghuni hutan yang tidak lain masyarakat setempat, penduduk Digul, sebagai manusia yang hidup di hutan, liar dan cukup membuat takut para opsir Belanda. Namun kesan itu mencair setelah Kapten Becking yakin kedatangan penduduk Digul ke perkemahan mereka bukan untuk maksud menyerang tapi justru ingin mengadakan tukar-menukar barang. Di sanalah kemudian terjadi pertemuan antara Barat dan Timur secara seimbang. Namun demikian, dalam banyak hal, Barat tetap saja melampaui Timur, terlebih dalam hal identifikasi ras sebagaimana kutipan di bawah ini:
Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajahnya ia mengajak mereka menukar tembakau tersebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong garam dan barang-barang perhiasan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberikan kepada pemimpin penghuni hutan, mereka membalasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan (TM).
Identitas penduduk Digul diterangkan dengan sebutan ‘orang-orang hitam, ‘penghuni hutan’, juga ‘manusia-manusia hitam’. Hal ini merujuk pada persoalan ras yang sesungguhnya amat merendahkan. Selain itu penduduk Digul juga digambarkan belum terbiasa dengan teknologi sehingga mereka keheranan ketika melihat gramofon. Tingkah laku penduduk Digul saat memerhatikan gramofon itu justru menjadi hiburan tersendiri bagi opsir Belanda. Relasi antara opsir Belanda dan penduduk Digul adalah hubungan antara bangsa yang telah beradab dengan masyarakat terbelakang.
Hibriditas terjadi justru pada sosok Kapten Becking. Sekali lagi, pengarang seakan memunculkan tokoh Belanda sebagai ‘orang baik’. Kapten Becking, seorang opsir Belanda itu memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap penderitaan pribumi, terutama para tahanan. Kapten Becking bahkan memiliki perasaan yang sangat ‘Timur’ sehingga penugasan dirinya ke Digul amat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Ini bisa dipahami karena Kapten Becking sudah bertahun-tahun tinggal di Hindia Belanda dan perasaannya yang mendalam terhadap nasib para tahanan adalah bukti bahwa telah terjadi perpaduan ‘rasa’ antara Barat dan Timur dalam dirinya.
Persoalan Timur dan Barat dalam karya sastra memang sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih serius, sebagaimana latar masa kolonial belakangan ini seolah-olah memiliki pesona sendiri bagi teks sastra, terutama beberapa cerita pendek yang terbit di koran (hari) Minggu.
*) Mahasiswa Program Pascasarjana UGM
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar