Rabu, 30 November 2011

BARAT DAN TIMUR DALAM TEKS SASTRA: PERBINCANGAN POSTKOLONIAL

Yetti A. KA
http://harianhaluan.com/

Pencitraan negatif yang dilakukan oleh bangsa Barat terhadap Timur banyak terdapat dalam kisah-kisah perjalanan. Dalam buku-buku itu, bangsa Timur sering digambarkan sebagai bangsa terbelakang dan asing. Faruk (2001) berpendapat bahwa, berdasarkan bacaannya atas buku Mirror of the Indies: A History of Dutch Colonial Literature karangan Rob Nieuwenhuys, imperialisme dan kolonialisasi tidak hanya menempatkan wilayah jajahan sebagai suatu wilayah tempat terbukanya peluang bagi eksp­loitasi sumber-sumber eko­nomi, melainkan juga sebagai sebuah dunia sosial dan kul­tural yang asing, yang berbeda dari dunia penjajah. Perbedaan itu tidak hanya dipahami sebagai sebuah perbedaan yang netral, horizontal, melainkan mengandung nilai yang bersifat hierarkis dan vertikal. Bangsa penjajah memosisikan diri sebagai kelompok sosial yang berposisi sebagai subjek, aro­gan, superior, di hadapan masyarakat setempat.

Dalam teks sastra, persoalan Barat dan Timur juga banyak menyuarakan hal serupa, di mana bangsa Timur cenderung dalam posisi lebih rendah dari bangsa Barat, misalnya saja dalam cerita pendek karya pengarang muda Dwicipta berjudul Tuan Hillario dan Taman Magdalena (selanjutnya THTM) dimuat di Media Indonesia, 13 Mei 2007 dan Tanah Merah (selalanjutnya TM) dimuat di Kompas, 13 Januari 2008. Dua cerita pendek tersebut berlatar cerita masa pemerintahan Hindia Belanda. THTM dan TM sama-sama mengangkat tokoh utama seorang Eropa. Perbe­daan dari kedua tokoh ini terletak pada karakter prota­gonis dan antagonis. Hillario dalam THTM seorang yang kikir, kejam, dan culas, sedang­kan Kapten Becking dalam TM seorang yang baik hati, kalau tidak bisa dikatakan berhati ‘Timur’. Dalam kedua cerpen ini terjadi relasi antara Eropa dan pribumi, di mana digam­barkan orang Eropa sangat berkuasa dan kaya, sementara itu pribumi sebagai pembantu rumah tangga, pemberontak, manusia kelas rendah. Selain itu, dua cerita pendek ini, sesungguhnya berbicara tentang kegelisahan seorang Eropa yang berada di tanah jajahan. Kegeli­sahan ini menarik dikaji karena berkaitan dengan keberpihakan dan ketidakberpihakan terhadap pribumi, di luar mereka sebagai penguasa. Perspektif Postkolonialisme

Relasi Barat dan Timur merupakan hubungan kekuatan, dominasi, dan hubungan berba­gai derajat hegemoni yang kompleks (Edward Said, 2001). Selanjutnya postkolonialitas dipaksa untuk menegosiasikan pelbagai kontradiksi yang muncul dari keterlambatan historisnya yang tak dapat disangkal, pos-kolonialitasnya, atau derivasi politis dan krono­logis dari kolonialismenya, di satu sisi, dan kewajiban kultu­ralnya untuk menjadi kokoh dan inventif secara bermakna di sisi lain. Oleh sebab itu, peristiwa kedatangannya yang aktual menuju kemerdekaan didasarkan pada kemam­puan­nya untuk membayangkan dan melakukan pemisahan awal yang menentukan dari masa lalu kolonial secara berhasil (Gandhi, 2007).

Dalam kajian sastra, postko­lonialisme kemudian dipahami sebagai upaya membicarakan teks-teks sastra dengan berbagai caranya mengungkapkan jejak-jejak perjumpaan kolonial, yakni konfrontasi antarras, an­tar­bangsa, antarbudaya, dalam kondisi hubungan kekuasaan yang tidak setara. Dengan kata lain postkolonialisme adalah istilah untuk pendekatan kritis dalam memahami efek-efek kolonialisme yang ada di dalam teks (Day dan Foulcher, 2008).

Identitas, Kedudukan, dan Hibriditas

Pada banyak penelitian, fokus kajian postkolonial banyak diarahkan pada perso­alan identitas dan kedudukan antara dua ras, biasanya Timur dan Barat, yang kemudian memperlihatkan hibriditas antarkeduanya.

Hibriditas yang dimaksud­kan berkenaan dengan terjadi­nya tumpah tindih antara satu budaya dengan budaya lain, dalam hal ini penjajah dan daerah yang dijajah yang kemu­dian menjadi satu kesatuan kebudayaan baru. Bagi Bhaba, bentuk konfliktual hibriditas ini khususnya kuat dalam situasi kolonial, sebab baginya otoritas kolonial, sebagaimana semua sistem dominasi, bersuara tunggal: kalau efek kekuasaan kolonial dipandang sebagai produksi hibridisasi, dan bukan komando ribut otoritas kolo­nialis atau represi diam tradisi pribumi, maka yang terjadi perubahan perspektif yang penting (dalam Day dan Foul­cher, 2008).

Dalam cerita pendek THTM identitas seorang Eropa masih memisahkan diri dengan tegas terhadap orang pribumi. Di sana tampak tidak terjadi persinggungan hibriditas antara Barat dan Timur. Barat demikian mendominasi hingga pribumi nyaris tanpa suara. Barat diwakilkan dengan keha­diran seorang dokter berke­bangsaan Spanyol bernama Hillario. Dokter Hillario memiliki kedudukan yang tinggi sebab ia berhasil mengum­pulkan kekayaan dari peker­jaannya itu. Berbeda halnya dengan pribumi yang bekerja sebagai pembantu di rumah Hillario. Mayar dan Sanikem berada di bawah dominasi Hillario. Bahkan kedua pem­bantu itu diperlakukan lebih rendah dari perempuan sim­panan Hillario yang berasal dari Eropa. Di sini tampak sekali perbedaan identitas akan menentukan pula kedudukan seseorang. Dan identitas itu sangat ditentukan pula apakah ia berasal dari Barat atau Timur.

Relasi Barat-Timur telah memisahkan Hillario dan perempuan simpanan Eropa-nya berseberangan dengan Mayar dan Sanikem. Identitas mereka sebagai masyarakat dari bangsa penjajah dan terjajah juga memperlihatkan relasi terjadi secara ketat. Mayar dan Sani­kem menjalani kehidupan mereka sebagai pribumi yang tahu diri, sementara Hillario dan perempuan Eropa menya­dari betul bahwa mereka berkuasa.

Hal yang cukup menarik dari cerita pendek THTM bahwa Hillario yang digam­barkan berwatak jahat itu berasal dari Spanyol, bukan Belanda. Latar cerita ini berada di Batavia ketika Belanda menguasai nusantara dan me­na­makan daerah jajahannya itu sebagai Hindia Belanda. Penga­rang juga memunculkan tokoh lain yang berdarah Belanda, tapi justru tokoh itu dikalahkan oleh seorang Spanyol yang licik. Seorang Belanda yang kalah itu seakan-akan hadir sebagai pahlawan yang mati di medan perang. Ia dikenang oleh Mayar sebagai dokter Belanda yang setidaknya lebih baik dari Hillario. Bahkan Mayar tam­pak bersimpati pada dokter dari Belanda itu dan sebaliknya menganggap dokter Hillario sebagai seseorang yang kejam. Di sanalah hibriditas menun­jukkan jejaknya, bahwa telah terjadi perpaduan perasaan antara seorang Belanda dan pribumi; antara dokter Belanda dan Mayar yang peduli. Meski tentunya mereka tetap saja tidak dipertemukan dalam suatu relasi yang nyata. Semua itu hanya terjadi dalam ingatan Mayar atas desas-desus yang pernah beredar, untuk men­dukung penilaiannya terhadap Hillario yang jahat dan tidak memikirkan orang lain.

Cerpen TM justru lebih jelas memperlihatkan terjadinya hibriditas secara konkrit antara Barat dan Timur. Identitas tokoh Eropa dan pribumi memang masih terpisah secara tegas. Orang Eropa digam­barkan sebagai opsir Belanda yang menjabat sebagai Jenderal, Kapten dan Letnan. Sementara itu pribumi digambarkan seba­gai pemberontak yang kalah. Di antara rombongan ekspedisi itu, bahkan tahanan pribumi dirantai kakinya.

Saat rombongan ekspedisi tiba di Digul, mereka bertemu dengan penghuni hutan yang tidak lain masyarakat setempat, penduduk Digul, sebagai manu­sia yang hidup di hutan, liar dan cukup membuat takut para opsir Belanda. Namun kesan itu mencair setelah Kapten Becking yakin kedatangan penduduk Digul ke perke­mahan mereka bukan untuk maksud menyerang tapi justru ingin mengadakan tukar-menu­kar barang. Di sanalah kemu­dian terjadi pertemuan antara Barat dan Timur secara seim­bang. Namun demikian, dalam banyak hal, Barat tetap saja melampaui Timur, terlebih dalam hal identifikasi ras sebagaimana kutipan di bawah ini:

Dengan tangan gemetar ia mengeluarkan tembakau dari saku celanya dan dengan bahasa isyarat dari tangan dan wajah­nya ia mengajak mereka menu­kar tembakau tersebut dengan pepaya yang mereka bawa. Begitu mereka menerima tembakau dan Kapten Becking menerima pepaya, orang-orang hitam itu bersorak melegakan seluruh pendatang baru itu. Kapten Becking meminta kepada Letnan Drejer untuk mengambilkan sekantong ga­ram dan barang-barang perhi­asan kecil yang ada di gudang. Ketika benda-benda itu diberi­kan kepada pemimpin peng­huni hutan, mereka memba­lasnya dengan memberikan bulu burung cenderawasih, burung-burung yang cantik, dan binatang-binatang buruan yang berhasil mereka tangkap dengan sumpit. Namun, yang paling membuat geli para pendatang baru itu adalah sikap para penghuni hutan itu kepada gramofon yang mereka bawa. Benda yang piringan hitamnya sedang berputar itu diangkat, diselidiki, dan dilihat-lihat dari segala sudut dengan penuh keheranan (TM).

Identitas penduduk Digul diterangkan dengan sebutan ‘orang-orang hitam, ‘penghuni hutan’, juga ‘manusia-manusia hitam’. Hal ini merujuk pada persoalan ras yang sesung­guhnya amat merendahkan. Selain itu penduduk Digul juga digambarkan belum terbiasa dengan teknologi sehingga mereka keheranan ketika melihat gramofon. Tingkah laku penduduk Digul saat memerhatikan gramofon itu justru menjadi hiburan tersen­diri bagi opsir Belanda. Relasi antara opsir Belanda dan penduduk Digul adalah hubu­ngan antara bangsa yang telah beradab dengan masyarakat terbelakang.

Hibriditas terjadi justru pada sosok Kapten Becking. Sekali lagi, pengarang seakan memunculkan tokoh Belanda sebagai ‘orang baik’. Kapten Becking, seorang opsir Belanda itu memiliki sensitivitas yang sangat tinggi terhadap pende­ritaan pribumi, terutama para tahanan. Kapten Becking bah­kan memiliki perasaan yang sangat ‘Timur’ sehingga penu­gasan dirinya ke Digul amat bertolak belakang dengan hati nuraninya. Ini bisa dipahami karena Kapten Becking sudah bertahun-tahun tinggal di Hindia Belanda dan perasa­annya yang mendalam terhadap nasib para tahanan adalah bukti bahwa telah terjadi perpaduan ‘rasa’ antara Barat dan Timur dalam dirinya.

Persoalan Timur dan Barat dalam karya sastra memang sesuatu yang menarik untuk dikaji lebih serius, sebagaimana latar masa kolonial belakangan ini seolah-olah memiliki pesona sendiri bagi teks sastra, teru­tama beberapa cerita pendek yang terbit di koran (hari) Minggu.

*) Mahasiswa Program Pascasarjana UGM

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati