tag:blogger.com,1999:blog-39300795523688322262024-03-04T23:29:27.830-08:00Media Dunia SastraWahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.comBlogger996125tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-68802481478589136932021-09-05T07:40:00.004-07:002021-09-05T07:40:58.527-07:00Di Balik Nama Kafka dan KatarinaSigit Susanto<br /> <br />Bukan di Praha, juga bukan di Berlin, tapi di kota kecil Boja dan
Limbangan, Kendal, Jawa Tengah.<br />Sekitar tahun 2005 di warung remang di depan Taman Ismail Marzuki di
Jakarta, nongkrong beberapa teman penyuka sastra dari komunitas
Apresiasi-Sastra (APSAS). Mereka memintaku bercerita tentang pengalamanku
mengikuti Reading Group novel Ulysses di Yayasan James Joyce di Zürich,
Switzerland, sekaligus bercerita tentang ziarahku ke makam Franz Kafka di
Praha.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Sebulan kemudian aku membaca pada sebuah blog dari salah satu teman yang
ikut nongkrong itu mengucapkan terima kasih kepadaku, bahwa saat aku bercerita,
istrinya sedang hamil besar dan ketika bayinya lahir laki-laki diberi nama
Muhamad Kafka.<br /> <br />Kisah itu sudah lama dan sudah semakin terkubur waktu. Sekitar tujuh tahun
silam, ada sepasang keluarga muda di kota kecil Limbangan, Kendal, Jawa Tengah,
memberi nama anak lelakinya Kafka Dhrya Pradipta. Kenapa anaknya diberi nama
Kafka, tak lain karena sang ayah termasuk penggemar karya Franz Kafka.<br /> <br />Dua tahun silam, pasangan anak muda Heri Condro Santoso dan Akhil Bashiroh
dari dusun Slamet, desa Meteseh, kecamatan Boja, kabupaten Kendal, Jawa Tengah
mempunyai anak perempuan. Sang ayah bertanya kepadaku, sekiranya bisa
mencarikan nama perempuan dari para tokoh fiksi atau tokoh sastra dunia.<br /> <br />Aku mengajukan, Molly Bloom, tokoh perempuan sebagai istri Leopold Bloom
pada novel Ulysses karya James Joyce. Juga kusodorkan nama Penelope, istri
Odysseus pada novel Odyssey. Terakhir aku menyodorkan nama-nama pacar Franz
Kafka, Felice Bauer, Grete Bloch, Milena Jesenska, Julie Wohrycek, dan Dora
Diamant.<br /> <br />Ternyata sang ayah tak mengambil nama-nama perempuan di sekitar Kafka,
namun ia lebih tertarik kisah Kafka saat dengan pacarnya Dora Diamant bertemu
bocah perempuan yang menangis karena kehilangan boneka di sebuah taman di
Berlin.<br /> <br />Bocah kecil itu bernama Katharina dengan panggilan Katja dan berusia enam
atau tujuh tahun. Kafka berlutut di depan bocah itu dengan pura-pura bertemu si
boneka. Dan ia akan membawa surat dari boneka bernama Mia itu di lain hari.<br /> <br />Di luar dugaan, bocah kecil itu mendadak berhenti menangis dan sejak itu
Kafka selama empat minggu berturut-turut menulis surat fantasi dan dibawa ke
taman untuk diserahkan kepada Katja.<br />***<br /> <br />Kafka menceritakan ulang surat yang dibuatnya sendiri atas nama boneka Mia,
“Boneka Mia itu dari taman berjalan menuju ke stasiun. Di stasiun kereta api,
dia tak punya uang. Untungnya ada anak muda yang menolong membelikan tiket
kereta api. Mia akhirnya berada di pantai selama beberapa hari. Namun di pantai
pun ia anggap membosankan. Si Mia ingin pergi ke seberang samudra. Datanglah
sebuah kapal dan ia naik kapal pada waktu malam. Mia inginnya akan pergi ke
Amerika. Sayangnya, kapalnya hanya mendarat sampai di Afrika.”<br /> <br />Begitulah isi tiga pucuk surat tentang petualangan Si Mia hingga berlabuh
di Afrika. Kafka lagi-lagi berada di taman menunggu bocah Katja yang baru
pulang dari sekolah. Ia masih belum bisa baca tulis. Namun Kafka menuliskan, “Mia
juga senang bepergian, namun nanti pada perayaan natal ia ingin pulang.”<br /> <br />Setelah surat yang kesekian kali, Kafka mulai sibuk menulis tema lain,
seperti buku harian, surat untuk Max Brod, novel dan coret-coretan lain.<br /> <br />Katja merespon atas surat-surat itu kepada Kafka, “Jika Mia lebih suka
tinggal di Afrika, lalu bagaimana?”<br /> <br />Kafka menjawab, “Mia telah jatuh cinta dengan seorang pangeran di Afrika
yang tempatnya sangat jauh. Tak apa, selama mereka saling bahagia.”<br /> <br />Katja bertanya lagi, “Apakah dia lebih mencintai pangerannya atau aku?”<br /> <br />Katja setengah ragu untuk mengetahui kebenarannya, bersamaan dengan itu ia
mulai meneteskan air mata. Perlahan-lahan ia sudah mulai menurut, bahkan ia
ikut terlibat emosi, toh di Afrika juga ada pangeran.<br /> <br />Beberapa hari kemudian, kisah detil ini tetap diingat oleh Katja. Kafka
melanjutkan suratnya yang menyebut, “Bahwa si Mia selama 24 jam berpikir keras
dan diputuskan akan kawin dengan pangeran Afrika.”<br /> <br />Bagaimana Kafka menutup kisah boneka imajiner ini? Terjadi dua perbedaan
pandangan antara Kafka dan Dora.<br /> <br />Dora menghendaki yang praktis, agar cerita surat ini lekas selesai, maka
lebih baik membeli saja boneka baru dan diberikan ke Katja sambil dijelaskan
bahwa sekarang Mia sudah berubah menjadi tua, karena perjalanan panjangnya,
tapi tetap bernama Mia.<br /> <br />Kafka sebaliknya, ia ingin dalam menutup kisah itu ada sebuah pembelajaran
bagi Katja, maka ia menulis surat penutup, “Aku sangat bahagia. Seandainya aku
saat itu ikut Katja dulu diurus dengan lebih baik, tak mungkin aku akan
berkenalan dengan pangeran.”<br /> <br />Seperti itulah Kafka berlatih mengasah cerita fantasi sambil mempratikkan
secara spontan dengan kehidupan sehari-hari.<br /> <br />Ketika nama Kafka semakin tersohor, bocah kecil bernama Katharina di Berlin
itu dicari lewat media dan berhasil ditemukan, ia sudah menjadi nenek.<br /> <br />Pertanyaannya, apa keistimewaan Kafka Indonesia itu?<br /> <br />Ketika Kafka Indonesia itu masih kecil sering dipanggil teman-teman dan
keluarga dekat Kakak, bukan karena dia lebih tua, melainkan hanya nama yang
aneh di telinga dan lingkungannya, nama Kakak lebih diingat ketimbang Kafka.<br /> <br />Namun kini di usia akan ke tujuh tahun pada Agustus 2021 nanti, teman-teman
dan lingkungannya sudah bisa memanggil dengan benar nama Kafka.<br /> <br />Anggi menuturkan, Kafka saat masih kecil sudah bisa mandiri, tak menyusui
lagi tanpa diminta dari ibunya, seolah ia tahu bahwa ibunya single parent.<br /> <br />Keistimewaan lain, Kafka kecil tanpa diajari berjalan ia sudah berani
mencoba berjalan sendiri.<br /> <br />Kisah ini ada paralelnya dengan Franz Kafka ketika bertemu Dora Diamant di
tempat liburan di pantai Ostsee pada September 1923. Kafka menyaksikan ada anak
kecil jatuh dan berdiri sendiri, sontak ia memujinya.<br /> <br />Bagaimana dengan Katarina? Versi bahasa Jerman, nama Katharina dengan h dan
versi Indonesia Katarina tanpa h. Adapun nama lengkapnya Kidung Katarina
Namira.<br /> <br />Menurut penuturan sang ayah, Katarina yang berusia dua tahun itu punya
kebiasaan minta dibacakan buku anak-anak. Ketika ayahnya membaca buku untuk
orang dewasa, ia juga minta diceritakan isi buku itu. Antusias melonjak, ketika
ayahnya menulis di laptop, ia ingin tahu apa yang ditulis.<br /> <br />Kejeniusan Franz Kafka memang sudah menjelajah ke berbagai belahan dunia.
Jika Haruki Murakami melahirkan tokoh fiksi Kafka Tamura pada novelnya Kafka on
The Shore, sebaliknya anak-anak Indonesia benar-benar diberi nama sastrawan
besar di abad 20 itu.<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEia5u76S2TqLaFxiKXtUyGXTlRVzeHQxCHmGNGm6TppVq-Y8hzmCySPys9QZ5k7xl2cunUBMKdhMib4haCDp-5-jwcBXV3KzOu2I0JZBxtfNrNGU1058vfNc0mmy2Q10pxpI6ONX3JfsKn2/s448/Kidung+Katarina+Namira.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="299" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEia5u76S2TqLaFxiKXtUyGXTlRVzeHQxCHmGNGm6TppVq-Y8hzmCySPys9QZ5k7xl2cunUBMKdhMib4haCDp-5-jwcBXV3KzOu2I0JZBxtfNrNGU1058vfNc0mmy2Q10pxpI6ONX3JfsKn2/s320/Kidung+Katarina+Namira.jpg" width="214" /></a></div><br /><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDtj1_02eSsjRZ0VxyitI_2ohyu59siKWGkjGdz-AelwH2OpQVIpTPvTsaNR1TVvunKWgPBL-IYFHkdZ6Geamu4HfdyTDsewEWbae0aCyLT8siaI3jDbphIXqPK4RJ7GUHP8N0p5QlQaRS/s448/Muhamad+Kafka.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="272" data-original-width="448" height="194" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiDtj1_02eSsjRZ0VxyitI_2ohyu59siKWGkjGdz-AelwH2OpQVIpTPvTsaNR1TVvunKWgPBL-IYFHkdZ6Geamu4HfdyTDsewEWbae0aCyLT8siaI3jDbphIXqPK4RJ7GUHP8N0p5QlQaRS/s320/Muhamad+Kafka.jpg" width="320" /></a><span style="text-align: left;"> </span></div><div>Zug: 15.02.2021<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/09/di-balik-nama-kafka-dan-katarina/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/09/di-balik-nama-kafka-dan-katarina/</span></a></span></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span></div>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-41928023255174692312021-08-30T04:23:00.001-07:002021-08-30T04:23:13.357-07:00Perempuan Dayak<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEha0g5yLUA3LU_qWAJlyrd5hWrell8xCDLNIYK0EPwfBHuIGrR237N7jmLh81lWjsDUxTabg4AWTKY5bVtlOkmotVscBb3WNiXmOP8mBcSXWhWs7kImj-wuArWAEeUz8KuGUyNDIWhkBBYy/s336/Kisah+Perempuan+Dayak.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="336" data-original-width="336" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEha0g5yLUA3LU_qWAJlyrd5hWrell8xCDLNIYK0EPwfBHuIGrR237N7jmLh81lWjsDUxTabg4AWTKY5bVtlOkmotVscBb3WNiXmOP8mBcSXWhWs7kImj-wuArWAEeUz8KuGUyNDIWhkBBYy/s320/Kisah+Perempuan+Dayak.jpg" width="320" /></a></div>Muhammad Yasir<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian. Begitulah semua ini
bermula.<br /> <br />Jauh sebelum peperangan itu dimulai, lahirlah seorang bayi perempuan dari
rahim perempuan Dayak bernama Nyai Nunyang di pedalaman Kalimantan Tengah.
Tepatnya Kuta Bataguh (benteng yang diperkuat), Pulau Kupang, Kapuas,
Kalimantan Tengah. Penduduk di bantaran Sungai Kapuas menyambut kelahiran bayi
perempuan itu ramah dan kompak, serta pesta tujuh hari tujuh malam. Semua
pankalima bangsa Dayak di seantero Kalimantan diundang hadir dalam pesta itu.
Bahkan, beberapa tetua adat diminta untuk mendatangkan ruh-ruh Tatu Hiang
(leluhur). Dalam pelaksanaannya, Nyai Nyunyang mempersilakan penduduk desa dan
juga tamu undangan untuk menghabiskan makanan dan tuak yang telah dipersiapkannya.
Sempung, sang suami, turut bahagia atas kelahiran sang anak dan meriahnya
pesta. “Semoga nasib baik menyertaimu, Nak!” Sempung berucap pelan. Hampir tak
kedengaran. Dan, pesta makin meriah ketika beberapa penari masuk ke dalam
lingkaran dan menghentak-hentakan kakinya ke tanah, maka terdengarlah
gemirincing gelang kaki yang terbuat dari tembaga itu.<br /> <br />“Sempung! Mari menari denganku!” teriak seorang pangkalima perang yang
berasal dari Sungai Seruyan. Dengan izin sang isteri, Sempung pun turun dari beranda
rumah panggung, dan menari bersama panglima itu. Di atas beranda, seraya
mengelus-elus sang anak, Nyai Nyunyang semringah menatap sang suami. Sementara
di bawah rumah panggung anak laki-laki Dayak yang masih kecil-kecil itu dengan
seksama memperhatikan jalannya pesta. Seorang anak, Sangalang (keponakan Nyai
Nyunyang), diam-diam menyembunyikan bambu yang berisi tuak di pinggangnya.
Rupanya, sejak pesta dimulai sampai pertengahan ini, mereka secara bergiliran
menenggak tuak itu. Dan, mabok. Singkawang, kawan Sangalang, berjalan
sempoyongan saat ia mencoba keluar dari kolong rumah panggung itu. Dan hanya
beberapa langkah dari kolong rumah, Singkawang terperanjak ke tanah. Semua
anak, termasuk Sangalang, berhamburan dari kolong rumah panggung itu. Para tamu
undangan yang menyaksikan kejadian itu tertawa gelak-gelak. Tak lepas dari Nyai
Nyunyang. Ia pun tertawa tergelak-gelak pula.<br /> <br />Di penghujung pesta, di hari ketujuh, sebelum pagi tiba dan menyemburkan
cahaya jingganya itu, para penduduk desa telah sibuk mengangkat satu-satu para
pangkalima yang mabok di tempat pesta dan para tamu undangan yang tergelepar di
tepian Sungai Kapuas. Pesta yang melelahkan. Nyai Nyunyang dan Sempung meminta
para penduduk desa berkumpul di tepi Sungai Kapuas. Tamu yang datang tak hanya
dihormati ketika ia datang, tetapi juga ketika ia pergi. Itulah tradisi leluhur
yang dipertahankan oleh bangsa Dayak dari generasi ke generasi. Semua tamu
undangan telah pulang. Begitu pun dengan penduduk desa; ada yang pulang ke
rumah, ada yang menjala ikan, dan ada yang pergi ke pehumaan (ladang).<br /> <br />Bayi yang dilahirkan Nyai Nyunyang empatbelas tahun lalu kini tumbuh
menjadi Perempuan Dayak yang sangat-sangat cantik. Dan kecantikan Perempuan
Dayak terdengar hingga ke pulau sebrang. Membuat adik dari seorang Raja Laut
alias Raja Sawang dari kerajaan Solok (Sulu) yang terletak di Pulau Mindanao
(Filipina Bagian Selatan) bernama Nawang begitu penasaran. Maka ia pun
berangkat menuju ke Kuta Bataguh bersama dua orang pengawal setianya Daeng Dong
dan Dayong Boloang. Setiap tamu yang datang musti dihormati. Begitulah pesan
Tatu Hiang bangsa Dayak. Maka, Nyai Nyunyang dan Sempung pun mengadakan upacara
penyambutan tamu di halaman rumahnya. Minum-minum tuak dan menari Manasai
(tarian penyambutan tamu) adalah jantung dari upacara itu. Sakral hukumnya! Tak
ada yang boleh mengganggu-gugat!<br /> <br />Di hadapan Nawang, Perempuan Dayak bersikap kokoh, kuat, ramah, dan tegar,
dan sesekali menerbitkan senyuman pada Nawang. Sentak, Nawang pun terpesona.
“Lelaki mana yang tidak merasakan seperti apa yang kurasakan ini?! O! Perempuan
Dayak, aku musti mendapatkanmu tak bisa tidak!” gumam Nawang dalam hati.
Upacara selesai, Nawang beserta dua pengawal setianya dan prajuritnya
dipersilakan masuk ke dalam rumah yang telah disiapkan Nyai Nyunyang.<br /> <br />“Nyai Nyunyang yang terhormat dan bijaksana,” Nawang membuka percakapan,
“Bagaimana caranya agar aku bisa meminang Perempuan Dayak, anakmu itu?”<br /> <br />“Nawang yang gagah, beribu maaf kuhaturkan. Anakku telah kutunangkan dengan
sepupunya Sangalang. Beribu maaf.”<br /> <br />“Apa maksudmu, Nyai?”<br /> <br />“Dengarlah baik-baik, Nawang yang gagah. Anakku telah kutunangkan dengan
sepupunya Sangalang. Keputusan itu sudah bulat dan tak bisa diganggu-gugat.”<br /> <br />“Tapi, Nyai, aku, aku jatuh hati pada Perempuan Dayak, anakmu. Katakanlah!
Berapa emas yang harus kuberikan untuk menebus anakmu.”<br /> <br />Mendengar ucapan sarat hinaan itu, Nyai Nyunyang marah.<br /> <br />“Jaga ucapanmu, Nawang! Sudah kukatakan padamu, Anakku telah kutunangkan
dengan sepupunya Sangalang!”<br /> <br />“O, maaf. Maaf, Nyai. Bukan maksudku,” Nawang merasa bersalah. Bersalah
besar.<br /> <br />“Cukup!”<br /> <br />“Nyai Nyunyang yang terhormat dan bijaksana, ampunilah aku!”<br /> <br />“Enyah kau, Nawang!” ucap Nyai Nyunyang dengan bijaksana.<br /> <br />Beberapa penjaga rumah masuk ke dalam ruangan lengkap dengan mandau di pinggang
mereka.<br /> <br />Nawang yang merasa bersalah akhirnya pergi dari Kuta Bataguh malam itu
juga.<br /> <br />“Nyai tak apa?” tanya seorang penjaga.<br /> <br />“Aku tak apa. Kembalilah berjaga.”<br /> <br />Malam yang mengecewakan bagi Nawang. Namun dalam hatinya ia bertekad akan
kembali ke Kuta Bataguh. “Perempuan Dayak musti jadi isteriku. Tak bisa tidak!”
tekad Nawang.<br /> <br />Perempuan Dayak yang tak tahu perkara itu, Nawang hendak meminangnya,
mengisi hari-hari seperti biasanya; berlatih sendeng (ilmu bela diri khas
bangsa Dayak), belajar membuat mandau pada seorang pandai besi, dan ikut
berburu. Orang-orang di Bantaran Sungai Kapuas sangat-sangat sayang pada
Perempuan Dayak itu. Mereka menjaganya melebihi mereka menjaga diri mereka
sendiri. Sementara Sangalang masih dalam mengayau (berburu kepala musuh)
bersama kawan-kawannya.<br /> <br />Beberapa hari kemudian, Nawang bersama dua pengawal setianya kembali datang
ke Kuta Bataguh. Tanpa membuang-buang waktu ia langsung menghadap Nyai
Nyunyang. Namun kali ini Nawang memaksa Nyai Nyunyang untuk mempertemukan dirinya
dengan Perempuan Dayak itu. Permintaan itu pun dikabulkan Nyai Nyunyang. Nawang
dan dua pengawal setianya itu menghampiri Perempuan Dayak yang sedang belajar
menganyam rotan di Bentang. Dan dengan sikap kokoh, kuat, dan tegar, serta
senyuman Perempuan Dayak menerima kedatangan Nawang.<br /> <br />“Ibuku sudah menceritakan semuanya padaku, Nawang. Tapi, jawabanku sama
dengan jawaban Ibuku. Aku telah bertunangan. Dalam bangsa-ku, sangatlah
dilarang untuk menyakiti hati pasangannya. Dan aku, menjaga adat istiadat itu.
Jadi, apapun dan bagaimanapun cara yang kau lakukan, semuanya sia-sia. Aku
takkan menyakiti hati pasanganku.”<br /> <br />Mendengar ucapan Perempuan Dayak, Nawang malu bukan kepalang. Dan rasa malu
itu membuatnya gelap mata. Ia terus-menerus memaksa Perempuan Dayak untuk
menerima lamarannya. Namun tidak semudah mencuci tangan sehabis makan dengan
daun kemangi, begitu saja hilang baunya, Perempuan Dayak tetap kokoh pada
pendiriannya; ia takkan menyakiti hati pasangannya, Sangalang.<br /> <br />“Cukup, Nawang! Aku takkan berubah haluan!” ucap Perempuan Dayak dengan
nada sedikit tinggi.<br /> <br />Di sinilah awal peperangan itu.<br /> <br />Nawang yang gelap mata terus memaksa dan mencoba meraih tangan Perempuan
Dayak, dan hal itu membuat Perempuan Dayak merasa dilecehkan sebagai Perempuan
Dayak. Dengan sigap Perempuan Dayak itu mengambil Duhung Raca Hulang Jela
(senjata pusaka yang matanya berbentuk tombak) terbuat dari sanaman matikei
(besi yang mudah bengkok, tetapi mampu memotong besi) yang tergantung di
dinding, lalu dengan cepatnya menikam Nawang yang tak menyangka akan serangan
mendadak itu.<br /> <br />Melihat Nawang yang roboh bermandikan darah, pengawal setianya Daeng Dong
dan Dayoh Boloang marah. Dan kemudian diikuti seluruh pasukan yang turun dari
kapal mengamuk menuntut balas. Namun aksi mereka sia-sia saja, Perempuan Dayak
yang sudah gelap mata dibantu warga Kuta Bataguh nyaris membantai seluruh
pasukan musuh. Sisa pasukan musuh yang menyerah diampuni dan dijadikan jipen
(budak)—konon, setelah kematian Nawang, seorang Raja Utara bernama Raja Nyaliwen
juga datang ke Kuta Bataguh untuk melamar Perempuan Dayak itu, tetapi nasib
yang sama seperti Nawang adalah hadiah untuk Raja Nyaliwen itu. Mati.<br /> <br />“Kalian tak bisa meremehkan kami!” teriak Perempuan Dayak.<br /> <br />Kematian Nawang seperti hembusan angin; tak terlihat, tetapi dapat
dirasakan. Itulah yang membuat sang kakak, Raja Sawang, berniat membalas
kematian sang adik. Darah dibalas darah dan kematian dibalas kematian.<br /> <br />Mendengar bahwa akan ada pembalasan dendam dari Raja Sawang, Nyai Nyunyang
khawatir pada Perempuan Dayak. Ia pun jatuh sakit dan membawanya naik ke Sorga
alias mati. Dalam kesayuan yang teramat dalam, Perempuan Dayak dan semua
penduduk desa mengadakan upacara ritual kematian sang ibu. Di sela-sela
kerumunan, Perempuan Dayak menitikan air mata.<br /> <br />Upacara kematian selesai.<br /> <br />Tiga hari kemudian, Perempuan Dayak menyadari bahwa situasi dirinya dan
penduduk desa Kuta Bataguh terancam. Ia pun kemudian mengirimkan Totok Bakaka
semacam sandi berupa Lunju Bunu, yaitu, sebatang tombak yang pada bagian
matanya diberi kapur sirih sebagai tanda meminta bantuan karena ada bahaya
besar mengancam. Totok Bakaka itu dikirim kepada adiknya Bungai serta saudara
sepupunya Tambun, Rambang, dan Ringkai di Tumbang Pajangei yang kemudian
diteruskan ke seluruh kampung di sepanjang Sungai Kapuas; Murung, Kahayan, dan
Katingan.<br /> <br />Tak tanggung, ada duapuluh lima pangkalima serta pasukannya berjumlah
kurang lebih lima ribu orang yang membantu Perempuan Dayak dalam mempertahankan
Kuta Bataguh. Setelah semua berkumpul di Kuta Bataguh, Rambang, dan Ringkai
seperti kebiasaan Suku Dayak dalam menentukan semua langkahnya, meminta
petunjuk dengan memanggil burung elang lewat upacara manajah antang (upacara
meminta petunjuk pada burung elang). Burung elang yang datang itu bernama
Antang Kabukung Kawus yang berdiam di Tantan Liang Mangan Puruk Kaminting, hulu
Sungai Kahayan. Dari arah datangnya dan patinju (tempat hinggap burung elang
yang ditentukan untuk sesuatu maksud) yang dihinggapinya, elang itu meramalkan
bahwa mereka akan menang.<br /> <br />“Aku bersumpah! Aku akan mencuci rambutku dengan darah Raja Sawang!” ucap
Perempuan Dayak di hadapan mereka yang bersedia membantunya.<br /> <br />Ramalan itu benar! Pasukan Raja Sawang takluk dalam peperangan itu. Tak
terhitung jumlah yang gugur dalam peperangan seharian penuh itu.<br /> <br />Setelah perang itu usai serta mayat-mayat dikuburkan baik-baik,
dilaksanakan upacara membersihkan tanah air mendinginkan negeri, maksudnya agar
bumi kembali sejuk dan tetumbuhan kebun ladang memberikan hasil lagi, sebab
telah tertumpah darah panas akibat perang itu. Sekaligus dilaksanakan pula
upacara meneguhkan hati para pemimpin pertempuran dan seluruh mereka yang telah
berperang, tujuannya meminta ampun kepada-Nya terhadap perbuatan membunuh
manusia dalam perang itu. Sebelum mengadakan pesta itu, Perempuan Dayak
mengundang semua bangsa Dayak dari seluruh Kalimantan. Dalam pesta itu sudah
berkumpul kurang lebih tigapuluh lima wakil bangsa Dayak. Pesta yang meriah dan
penuh kesayuan.<br /> <br />“Saudara-saudaraku, terima kasih atas bantuan kalian. Aku akan membalas
jasa kalian,” ucap Perempuan Dayak persis sang ibu, Nyai Nyunyang.<br /> <br />Sesudah kedua upacara itu dilaksanakan, Rambang lalu mengusulkan
dilangsungkan saja perkawinan Sangalang dan Perempuan Dayak.<br /> <br />“Saudara-saudara? Bagaimana kalau pernikahan Sangalang dan Nyai Undang
segera dilaksanakan saja? Mumpung semua keluarga masih berkumpul serta agar
tidak ada lagi lamaran orang yang membuat permasalahan.”<br /> <br />Usulan Rambang disetujui para pangkaliman dan penduduk desa Kuta Bataguh.
Dan malah bukan hanya satu pasangan saja melainkan empat pasangan yang juga
akan menikah, yakni, Bungai dengan Karing, Tambun dengan Burou, Ringkai dengan
Timpung, serta Rambang sendiri dengan Lamiang. Seluruh keluarga Lambung
(Maharaja Bunu), Lanting (Maharaja Sangen), dan Karangkang (Maharaja Sangiang)
berkumpul ke Kuta Bataguh, untuk menyelenggarakan pernikahan lima pasangan itu.
Dan kau tahu, Saudara? Pesta itu berlangsung selama empat puluh hari empat
puluh malam. Bukan main meriahnya.<br /> <br />Dan jauh di Pulau Kantan, Mangku Djangkan menggelar pesta besar. Ia
menikahkan Njaring, anak Ingoi, dengan Manjang, anaknya sendiri. Pesta kali ini
dilangsungkan selama tujuh hari tujuh malam lamanya.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">Yogyakarta, April 2017 <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/perempuan-dayak/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/perempuan-dayak/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-59524416514650809722021-08-19T12:16:00.003-07:002021-08-19T12:16:16.938-07:00Novel Orang-Orang Bertopeng (21)Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002<br /> <br />Teguh Winarsho AS<br /> <br />TIGA BELAS<br /> <br />SEBUTIR peluru melesat dari moncong senapan dan sebuah botol minuman pecah
berserak di atas tanah. Batang-batang rumput patah, tercerai-berai oleh pecahan
kaca yang tajam bagaikan mata pedang. Daun-daun remuk oleh getaran peluru yang
melesat kencang seperti kilat menyambar wuwungan. Lalu, sepi. Sunyi. Hanya asap
tipis mengepul dari moncong senapan dan sepasang bola mata merah, tajam,
mengamati pecahan kaca yang remuk itu sembari tertawa. Tak jelas bagaimana
bentuk mulut orang itu ketika tertawa karena wajahnya tertutup topeng. Tapi
jelas ia seorang laki-laki. Gagah. Kekar.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />“Brangas, sudahlah, tak perlu berlatih lagi. Kukira kau masih mahir
menembak,” kata laki-laki berikat kepala merah, menepuk pundak Brangas,
laki-laki bertopeng.<br /> <br />“Ya, aku memang masih mahir. Dari dulu…..” suara Brangas pelan namun
terdengar berat, bergetar.<br /> <br />“Jadi untuk apa kau membuang-buang peluru itu? Kau tahu berapa harga peluru
sekarang?”<br /> <br />Brangas yang ditanya menggeleng.<br /> <br />“Harga sebutir peluru sama mahalnya dengan harga nyawa manusia. Kau tahu
berapa harga nyawa manusia, Brangas?”<br /> <br />Lagi, Brangas menggeleng. Tapi laki-laki berikat kepala merah disebelahnya
juga tak segera memberi jawaban. Brangas penasaran.<br /> <br />“Berapa harganya?”<br /> <br />“Tak ada harganya.”<br /> <br />“Kenapa bisa begitu?”<br /> <br />“Karena dia seorang pengkhianat. Pembohong besar. Nyawanya tak ada harganya
sama sekali. Lebih rendah dari seekor anjing buduk penyakitan. Pantasnya memang
mati!”<br /> <br />“Jadi…..”<br /> <br />“Ya, seseorang yang akan kita bunuh adalah seorang pembohong besar.
Pengkhianat. Untuk tugas ini kita sama-sama tidak menerima bayaran. Tapi
dendam. Dendamku akan terlunasi dengan kematiannya,” laki-laki berikat kepala
merah menyahut cepat. “Kau tahu, akibat ulah pembohong itu aku kehilangan
banyak teman. Juga posisi yang sudah lama kutempati. Ah, betapa bodohnya aku
ketika itu…..”<br /> <br />Brangas mengangguk-angguk sembari mengelus-elus senapan yang kini digantung
di leher seperti sudah tak sabar ingin segera melampiaskan dendam sahabatnya.
Sorot mata Brangas berubah tajam. Berkilat.<br /> <br />“Aku bisa merasakan sakitnya dikhianati,” ucap Brangas pelan.<br /> <br />“Kau pernah dikhianati?”<br /> <br />“Temanku sendiri yang melakukan. Dulu kami sama-sama di Magelang. Ini lebih
menyakitkan.”<br /> <br />“Terus apa yang kau lakukan?”<br /> <br />“Kubakar rumahnya dan hampir saja kutembak kepalanya…”<br /> <br />“Hahaha…..” Laki-laki berikat kepala merah tertawa lebar. “Rupanya kau
bernyali besar juga. Kenapa tidak kau tembak sekalian kepala si pengkhianat
itu, biar isi otaknya hancur?”<br /> <br />“Istrinya sedang hamil besar. Aku tidak sampai hati…”<br /> <br />“Tapi kau sudah biasa membunuh orang, kan?”<br /> <br />“Aku hanya menjalankan tugas…”<br /> <br />“Sekaligus menyalurkan hobi. Hahaha….” Tawa laki-laki berikat kepala merah
terdengar keras. Brangas hanya tersenyum.<br /> <br />Dua laki-laki itu kemudian meneruskan jalan di antara belukar hutan. Tidak
butuh waktu lama mereka sampai di depan gubuk tua. Ada beberapa gubuk di situ
yang hampir roboh, tidak terawat. Rumput ilalang tumbuh setinggi pusar orang
dewasa. Tengkorak dan kulit binatang dipajang di dinding gubuk berderet dengan
botol-botol minuman.<br /> <br />“Kita sudah sampai di Markas,” ucap laki-laki berikat kepala merah. “Lepas
topengmu…”<br /> <br />Brangas melepas topengnya. Masih cukup muda. Tampak garis-garis keras di
wajahnya. Sorot matanya terlihat semakin tajam begitu topeng dibuka. Ada tato
kalajengking di samping alis kirinya.<br /> <br />“Dulu kami tinggal di sini. Ada seratus duapuluh orang lebih. Tapi sebagian
sudah kembali ke kota. Sebagian lagi menyusup ke dalam hutan. Sekarang kami
hanya berlima. Tidak jelas statusnya….” Laki-laki berikat kepala merah tertawa
hambar.<br /> <br />“Maksudmu?”<br /> <br />“Ada seseorang yang mengkhianatiku. Akibatnya fatal. Kami salah sasaran
sehingga teman-temanku banyak yang mati terbunuh. Kini aku yang menanggung
dosanya….” Mata laki-laki berikat kepala merah menerawang.<br /> <br />“Jangan terlalu risau. Kukira sudah lumrah sesekali kita salah dalam
menjalankan tugas.”<br /> <br />“Aku kehilangan banyak teman dan juga jabatan….”<br /> <br />“Ini bukan akhir dari segalanya. Kau masih bisa bangkit. Aku akan selalu
bersamamu.”<br /> <br />“Ya, ya, untung kau datang.”<br /> <br />“Terus, kapan kita habisi si pengkhianat itu?”<br /> <br />“Tenang, tenang. Jika sudah tiba saatnya, kau akan kuberi tahu. Yaah…
Hitung-hitung kau bisa menyalurkan hobimu menembak. Ha-ha-ha…”<br /> <br />“Memang, rasanya aku sudah tidak sabar lagi. Sudah terlalu lama aku tidak
dapat sasaran empuk….”<br /> <br />Laki-laki berikat kepala merah tersenyum tipis mengangguk-angguk.<br /> <br />Sementara nun di atas bukit, langit sore tampak mulai mengelam. Sebentar
lagi malam datang. Malam yang hitam di tengah kesunyian hutan. Tapi mendadak
sunyi pecah saat terdengar derai tawa beberapa orang dari balik rimbun belukar.
Sekian detik rimbun belukar itu bergoyang dan bergerak-gerak sebelum akhirnya
muncul tiga laki-laki berbadan tegap dan kekar berjalan mengapit seorang
perempuan muda yang terus menangis, meronta, kedua tangannya diborgol. Brangas
sempat kaget melihat kemunculan tiga laki-laki itu. Brangas mengangkat
senapannya.<br /> <br />“Siapa mereka?” tanya Brangas.<br /> <br />“Mereka teman-teman kita,” jawab laki-laki berikat kepala merah singkat.<br /> <br />“Perempuan itu?”<br /> <br />“Mungkin penduduk kampung. Entah di mana mereka mendapatkannya.”<br /> <br />“Ditahan?”<br /> <br />“Ah, masak kau tidak tahu. Sudah sekian bulan kita tinggal di hutan, tidak
ketemu istri. Kita butuh sedikit bersenang-senang.”<br /> <br />Brangas mengangguk-angguk paham.<br /> <br />Semakin mendekati gubuk, perempuan itu terus meronta dan berteriak-teriak
minta dilepaskan. Wajahnya kian pucat menggigil ketakutan. Mendengar teriakan
perempuan itu, tiga orang laki-laki berbadan tegap dan kekar justru tertawa
lebar hingga bahunya berguncang-guncang. Salah seorang tiba-tiba menjambak
rambut perempuan itu hingga kerudungnya lepas melayang tersangkut pepohonan,
lalu membisikkan sesuatu dengan kasar.<br /> <br />Perempuan itu didorong masuk ke dalam gubuk, tubuhnya huyung, limbung,
membentur tiang penyangga gubuk. Tiga laki-laki berbadan tegap dan kekar sesaat
saling berpandangan, tersenyum lalu menyusul masuk ke dalam gubuk. Sejurus
kemudian terdengar jerit perempuan itu melengking keras disusul isak memanjang.
Tapi itu hanya berlangsung sesaat. Tawa dan dengus napas tiga laki-laki
berbadan tegap dan kekar jauh lebih keras mampu menggetarkan dinding gubuk.<br /> <br />“Kau tidak mau bergabung?” tanya laki-laki berikat kepala merah,
berkali-kali menelan ludah.<br /> <br />Brangas yang ditanya menggeleng. Mengusap-usap moncong senapannya.<br /> <br />“Ayolah, kita bisa bersenang-senang…”<br /> <br />“Tidak. Aku di sini saja.”<br /> <br />“Kau belum pernah melakukannya?”<br /> <br />Brangas menggeleng.<br /> <br />“Baiklah…” Laki-laki berikat kepala merah menepuk-nepuk pundak Brangas lalu
bangkit berjalan menghampiri gubuk. Langkahnya cepat, tergesa-gesa.<br /> <br />Gubuk reot itu kembali berderak-derak penuh tawa. Brangas merebahkan tubuhnya
di atas rumput. Menatap langit malam yang tampak kian tua, kelam dan murung.
Semilir angin hampir saja membuat Brangas tertidur, jika saja telinganya tak
mendengar bunyi letusan senapan dari dalam gubuk. Dorr! Dorr! Dorr! Sejurus
kemudian malam berubah sepi, seperti mati….<br /> <br />(bersambung)<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-21/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-21/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-48816006715496035102021-08-19T12:12:00.003-07:002021-08-19T12:12:47.071-07:00Menulis Wajah Rinus<b>untuk Evi Nunhala</b><br /> <br />Felix K. Nesi *<br />Jawa Pos, 21 Juni 2020<br /> <br />SESUDAH misa hari Minggu yang kudus itu, Rinus bertanya apakah saya bisa
membantu ia memukuli Danker.<br /> <br />Danker yang mana, saya bertanya, yang sopir oto Widuri atau tukang bangunan
dari Malaka?<br /> <br />“Yang sopir,” Rinus menjawab.<br /> <br />“Apa yang ia lakukan kepadamu?”<span><a name='more'></a></span><br /> <br />“Ia mencolek pantat Evi, dua hari lalu. Evi marah, tetapi ia bilang,
‘Pantatmu bagus, lalu kenapa? Mau lapor saudaramu yang banci itu?’”<br /> <br />“Danker bilang begitu?” saya bertanya.<br /> <br />“Tanya Evi kalau tak percaya,” ia menunjuk Evi dengan kepalanya.<br /> <br />Saya menoleh, mengikuti anggukannya. Di pintu kapel orang beriringan, tua
dan muda, memeluk Alkitab atau menggendong anak-anak. Dari samping patung Bunda
Maria, Evi yang mengawasi kami menganggukkan kepala sambil melirik ibunya.
Ibunya tidak melihatnya—ia sedang berbicara kepada seorang ibu lain dengan
bibir mencibir, mungkin tentang pakaian seseorang yang kurang pantas.<br /> <br />Saya berpaling, melihat langkah saya. Matahari meninggi, mengintip jalanan
lewat pundak orang-orang beriman. Bayangan kami berkejaran dengan langkah kaki.
Dedaun kering yang basah oleh hujan subuh bergerisik saat beradu dengan
sepatu-sepatu gereja.<br /> <br />“Bagaimana?” Rinus bertanya.<br /> <br />“Kau butuh tiga orang untuk memukuli seorang sopir,” saya berkata. “Sopir
menyimpan kunci roda dekat pintu dan punya seorang konjak [1].”<br /> <br />“Saya akan mengajak Jofu.”<br /> <br />“Joni Nafu?” saya bertanya. “Ia lari dari Tangerang sesudah membunuh preman
pasar. Kau tidak akan mengajak pembunuh untuk memukuli orang, kecuali kau siap
melihat mayat.”<br /> <br />“Bagaimana dengan Yuven?”<br /> <br />“Yuven anak Maubesi?”<br /> <br />Ia mengangguk.<br /> <br />“Bisa. Tetapi, jika sopir itu adalah Danker, kau akan butuh empat orang
untuk menghajarnya.”<br /> <br />Rinus menarik napasnya.<br /> <br />“Dia melecehkan Evi. Mempermalukan saya. Saya akan tetap menghajarnya,
dengan atau tanpa kalian.”<br />***<br /> <br />Ibu Evi adalah wali baptis Ursula, adik saya yang bungsu. Keluarga kami
sangat dekat, terlebih sesudah ayah mereka meninggal. Kami berbagi rasa yatim
yang sama. Sesekali Ursula menginap bersama Evi, sesekali Evi datang ke rumah.
Saya mencintai mereka dan akan selalu membela mereka.<br /> <br />Namun, siapa yang tidak kenal Danker? Nama aslinya Daniel, ia samarkan
menjadi Danker untuk memberi kesan angker. Tahun 1992 ia dibawa dari Dili oleh
seorang tentara dan dibesarkan di kodim. Seperti umumnya anak haram Kodim, ia malas
sekolah dan rajin berkelahi. Namanya busuk dari kota sampai ke desa-desa.<br /> <br />Itulah kenapa, sebelum membuat keputusan, saya menelepon Om Isak.<br /> <br />“Rinus ingin memukul Danker.”<br /> <br />“Danker si tukang batu? Pukuli saja, siapa yang mau membelanya?”<br /> <br />“Bukan. Danker yang sopir Widuri.”<br /> <br />Om Isak tidak menjawab.<br /> <br />“Bajingan itu mencolek pantat saudarinya dan menyebut ia banci.”<br /> <br />“Tunggu. Siapa itu Rinus?”<br /> <br />Saya kesulitan menjelaskan siapa itu Rinus. Nama keluarga dari ayahnya
tidak terlalu dikenal di kota ini. Di zaman kerajaan, mereka hanyalah rakyat
jelata. Sesudah Timor bergabung dengan Indonesia pun, mereka tetap jelata.<br /> <br />Namun, Om Isak mengenal ibu Rinus. Ayah dari ibu Rinus bermarga Sufa, ia
pernah menjadi anggota dewan. Saya bilang, ibu Rinus adalah wali baptis Ursula.
Mereka sudah seperti keluarga bagi kami, seharusnya Om Isak juga menganggapnya
keluarga, membelanya.<br /> <br />“Saya tidak suka ada masalah.” Hanya itu kata Om Isak.<br />***<br /> <br />Di Timor Barat, yang benar-benar mengontrol hidupmu bukanlah ayah atau
ibumu. Tetapi, ia adalah atoin amaf, yaitu saudara laki-laki dari ibumu. Kau
hidup untuk mematuhi mereka, bertuhan kepada mereka. Saat kau lahir, mereka
yang berurusan dengan ari-arimu. Saat kau mati, mereka yang menutup matamu.
Jika mereka tak datang saat putus napasmu, tak akan ada yang memandikan
mayatmu, tak akan ada yang menggali kuburmu. Kau akan membusuk di tempat tidur,
dimakan serangga dan kutukan.<br /> <br />Itulah kenapa saya menelepon Om Isak. Ia satu-satunya saudara ibu, dan ia
punya pengaruh di kota ini. Ia memenangkan sahabatnya, seorang preman pasar,
menjadi bupati dua periode. Ia pandai bernegosiasi dan mengenal semua orang di
kota, dari tukang pukul sampai polisi, kontraktor sampai tentara perbatasan.<br /> <br />Namun, Om Isak kelihatannya tidak begitu suka pada ide memukuli Danker.
Sebagai anak kodim, walau hanya haram, Danker punya pengaruh. Banyak orang yang
akan bekerja untuknya.<br /> <br />Malam berikutnya, sudah agak larut ketika saya pulang dari toko buku. Kota
menjadi lebih dingin sejak pohon turi berbunga. Kabut tipis jatuh pukul delapan
dan orang-orang enggan keluar dari rumah. Toko-toko tutup lebih awal, hanya
warung orang Sabu yang buka sampai larut. Di gang dekat rumah, empat tukang
ojek berdiang sambil membicarakan sesuatu yang membuat saya berhenti.<br /> <br />Saya bilang selamat malam, apakah saya boleh ikut berdiang?<br /> <br />“Mari, Kakak Penulis,” yang paling besar mempersilakan. “Apakah ada bacaan
baru yang bagus?” Ia berbasa-basi.<br /> <br />Saya menggeleng. “Pengarang sekarang lebih suka bergosip daripada menulis.
Mereka hanya menghasilkan sampah yang membosankan.”<br /> <br />Mereka tertawa. Seseorang menuangkan sopi dan menyodorkannya kepada saya.
Saya minum sekali tenggak dan mengembalikan sloki. Satu putaran sopi dan kami
tidak berbicara. Hanya suara jangkrik dan putih kabut yang mengelilingi. Mereka
masih ingusan ketika saya sudah kebut-kebutan dengan sepeda motor—mereka
kelihatan sungkan duduk satu api dengan saya.<br /> <br />“Apa yang kalian bicarakan tadi?” Saya bertanya sesudah beberapa jenak.<br /> <br />“Rinus ingin memukuli Danker,” seseorang berkata, senang bahwa suasana
menjadi cair.<br /> <br />“Dia pasti mampus kena hajar, hahah,” yang lain menyambung.<br /> <br />“Dari mana kalian tahu?” saya bertanya.<br /> <br />“Ia mengajak Yuven, kemarin. Yuven belum kasih jawab.”<br /> <br />“Si Anjing Yuven,” seseorang menyambung, “menambal ban bocor saja dia tidak
sanggup. Dia akan semaput kena hantam kunci roda.”<br /> <br />“Apakah kalian mau membantu Rinus?” saya bertanya.<br /> <br />“Membantu memukuli Danker? Huh. Siapa yang cukup gila untuk memukuli anak
kodim?”<br /> <br />“Ya, saya tidak mau berkelahi. Zaman ini, satu kali pukul bisa langsung
kena pasal.”<br /> <br />“Kecuali…” yang lain menyambung,” kecuali kalau Rinus bergaul di tempat
ini. Tak perlu diminta, pasti kita bantu. Tetapi, dia jarang main di sini.
Berdiang, minum-minum… Hari-hari di rumah saja. Kalau melihat kita, lagaknya
seperti kita pencuri. Jika ada masalah begini, siapa mau membantu?”<br /> <br />Saya mengapresiasi keputusan mereka dan berpamitan.<br /> <br />“Kakak,” seseorang memanggil, ”sesekali masukkanlah kami ke dalam cerita.”<br /> <br />Saya mengangguk. Bukan masalah besar untuk memasukkan empat pengecut ke
dalam cerita pendek saya.<br />***<br /> <br />Ursula pulang sekolah ketika saya sedang memberi minum sapi. Wajahnya pucat
seperti habis bertemu Soeharto.<br /> <br />“Kakak kenal Denjer?” ia bertanya.<br /> <br />Siapa itu?<br /> <br />“Konjak oto Widuri.”<br /> <br />Saya menggeleng.<br /> <br />“Dia bilang ke saya, ‘Kasih tahu kakakmu yang penulis itu untuk menjauh
dari masalah. Atau…’”<br /> <br />“Atau apa?” saya bertanya.<br /> <br />“Atau tangannya tidak akan bisa lagi dipakai menulis.”<br /> <br />“Dia bilang begitu?”<br /> <br />Ursula mengangguk.<br /> <br />“Berapa umurnya?”<br /> <br />“Enam atau tujuh belas.”<br /> <br />Bangsat!<br /> <br />Saya telepon Rinus.<br /> <br />“Konjak Widuri itu masih anak-anak,” saya berkata.<br /> <br />“Semua konjak adalah anak-anak,” Rinus menjawab. “Tetapi, mereka ingin
menjadi sopir. Mereka tidak takut mati untuk membela sopir.”<br /> <br />“Sudah dapat berapa orang?” saya bertanya.<br /> <br />“Yuven menolak, tidak bisa ikut. Atoin amaf-nya penyelundup motor, berteman
baik dengan komandan perbatasan. Dia tidak mau ada masalah dengan anak
tentara.” Diam sejenak. “Tetapi, Jofu bersedia.”<br /> <br />“Kau ajak Jofu?”<br /> <br />“Memangnya mau ajak siapa lagi?” Ia terdengar sengit. “Tidak ada anak gang
yang mau membantu.”<br /> <br />Saya terdiam.<br /> <br />“Kau ikut?” ia bertanya.<br /> <br />“Saya ikut. Jauhkan Jofu dari barang tajam. Siap lerai jika keadaan jadi
kacau.”<br />***<br /> <br />Kepala saya seperti kena tikam setiap kali mencoba mengurutkan kembali
kisah ini. Sakit bukan main. Tidak ada satu pun rencana yang berjalan dengan
baik. Danker pasti membayar sangat mahal. Atau Jofu yang telah berutang banyak
kepadanya.<br /> <br />Samar saya dengar suara Evi, menangis. Ursula duduk di depan saya. Ia sudah
bosan menangis dan mengomel. Ibu terlalu sedih untuk datang ke rumah sakit. Ia
hanya berkirim pesan dengan Ursula. Om Isak marah besar dan tidak mau mendengar
apa-apa.<br /> <br />Kami mencegat oto Widuri sebelum pukul enam sore, di depan sekolah
pertanian. Cara terbaik untuk memukuli orang adalah menjelang magrib. Kau akan
punya cukup waktu untuk menghajarnya dan bisa kabur begitu hari mulai gelap.
Malam akan memberimu cukup waktu untuk kabur –kau bahkan bisa menyeberang ke
Timor Leste.<br /> <br />Hampir magrib, Jofu tidak juga kelihatan. Tetapi, Rinus tidak sabar lagi.<br /> <br />“Dengan atau tanpa Jofu, kita akan tetap menghajar Danker.”<br /> <br />Rinus telah membawa dua rantai sepeda motor, panjang dan masih berminyak,
ia tumpuk di dekat kakinya. Jaga-jaga kalau Danker keluar dengan kunci roda,
katanya.<br /> <br />Saya tidak membawa apa-apa. Saya hanya akan mengurus konjaknya, binatang
setengah umur yang telah mengancam saya. Saya akan bikin dia menyesal telah
mengincar jari seorang penulis.<br /> <br />Oto lain pergi dan pulang, tetapi Widuri belum juga kelihatan. Sopir-sopir
dan konjak-konjak berwajah cemas melihat kami berdiri di tepi jalan, dengan
rantai motor bertumpuk di rerumputan. Bukan tidak mungkin angin meniup kabar
dan Danker telah tahu bahwa kami ingin mencegatnya. Jofu belum juga kelihatan.
Mungkin buron itu takut kena tangkap.<br /> <br />Rinus sudah tidak peduli. Ia tetap akan menghajar Danker.<br /> <br />Saat oto Widuri akhirnya muncul dari pertigaan warung bakso, Rinus berdiri
di tepi jalan dan memberi tanda stop. Saya bersiap menghajar si konjak. Danker
yang menyetir tidak berhenti baik-baik. Ia melaju sedikit lebih cepat, lalu
membanting setir ke kiri dan mengerem mendadak.<br /> <br />Saya melompat ke samping. Rinus memutar cepat dan sempat memukuli Danker di
balik pintu. Saya lihat wajah Danker kena sambar tinju. Pokpak! Tetapi, Danker
mendorong pintu dengan keras dan Rinus terlempar ke jalanan. Dan yang keluar
dari pintu utama oto itu adalah alasan Jofu tidak muncul-muncul.<br /> <br />Jofu turun dari oto sesudah konjak dan tiga orang berandal lain melompat ke
luar. Konjak dan tiga orang berandal itu langsung mengeroyok saya. Samar saya
lihat Jofu dan Danker mengelilingi Rinus. Danker memegang kunci roda, Jofu
membawa pisau komando. Rinus yang terjatuh tidak sempat lagi mengambil
rantainya.<br /> <br />Membayangkan apa yang akan terjadi, marah dan panik membuat saya kalap.
Tetapi, empat orang bajingan setengah umur itu membuat saya tidak berdaya. Saya
dihajar dari kiri dan kanan, bertubi-tubi. Seseorang menghantam tengkuk saya
dengan batu. Seorang lain menghancurkan jari-jari saya. Kini kepala saya perih
bukan main setiap kali saya mencoba mengurutkan kembali apa yang terjadi. Saya
tidak akan melupakan wajah Rinus. Erangan terakhirnya dengan pisau di jantung.
Saya ingin menuliskannya sekarang, menuliskan wajahnya, sebagai ingatan
terakhir. Tetapi, saya tidak bisa menggerakkan jari-jari saya.<br /> <br />Oetimu, 2020<br /> <br />KETERANGAN: [1] Konjak (Melayu Timor): kondektur<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">*) FELIX K. NESI, Emerging sopi-maker, tinggal di Bitauni, NTT. Bukunya
berjudul Orang-Orang Oetimu (2019). <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/menulis-wajah-rinus/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/menulis-wajah-rinus/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-73100313797709265742021-08-11T09:02:00.003-07:002021-08-11T09:02:30.379-07:00MENCARI SASTRA DAERAH BUGIS (MAKASSAR) DI TENGAH KONSTELASI SASTRA NASIONAL<p>Badaruddin Amir</p>Sastra Bugis memang belum banyak ditulis. Di tengah konstelasi sastra nasional sastra Bugis seolah-olah berhenti pada periode sastra klasik. Setelah itu tak ada generasi yang melanjutkan tradisi bersastra dari para empu atau bujangga ‘anonim’ yang pernah menciptakan Pau-Pau Rikadong, atau menyusun kembali Sureq Meong Palo Karellae, atau syair-syair lagu (yang juga boleh disebut sastra) seperti Bulu Alau’na Tempe, Indo Logo, Ongkona Sidenreng dan sebagainya. Lagu-lagu Bugis klasik itu juga dikarang oleh para empu ‘anonim’.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Satu-satunya karya sastra Bugis klasik yang dapat disebut memiliki identitas yang jelas adalah I La Galigo karena ia sempat diselamatkan oleh Colliq Pujie, sehingga Colliq Pujie hampir identik dengan penyusun I La Galigo. Sebagai ‘empu’ sastra Colliq Pujie konon memiliki beberapa karya sastra lagi yang semuanya dapat disebut sebagai sastra klasik Bugis. Tapi karya-karya tersebut tenggelam di bawah kemilau dan kepopuleran I La Galigo sebagai karya ‘saduran’ Colliq Pujie. Tentu karena beberapa sebab, antara lain I La Galigo menjadi kajian sastra klasik Bugis, sedang karya-karya (asli dan saduran) Colliq Pujie yang lain seperti “Sureq Baweang”, “Lontarak Bilang”, “La Toa”, “Sejarah Tanete” jarang ada yang membicarakannya.<br /> <br />Disamping sulit menemukan karya-karya sastra Bugis sekarang ini, karya-karya esai, kritik sastra, ataupun studi sastra Bugis juga susah ditemukan. Kecuali buku yang disusun oleh para ahli seperti “Retna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa, 1812-1876 : intelektual penggerak zaman” karya Nurhayari Rahman yang lebih merupakan karya penelitian terhadap sejarah dan kultus pribadi Colliq Pujie, satu-dua buku teori atau buku kajian tentang sastra Bugis –yang biasanya berasal dari skripsi atau disertasi yang diterbitkan menjadi buku, tak ada yang benar-benar memiliki landasan teori kajian sastra Bugis yang berangkat dari sastra Bugis itu sendiri. Referensi yang kebanyakan menjadi pembanding untuk mengkaji keberadaan sastra Bugis adalah referensi kajian sastra Melayu Klasik atau sastra Indonesia klasik. Sehingga demikianlah kita bisa melihat periodisasi sastra Bugis mengikut pada periodisasi sastra Melayu atau sastra Indonesia klasik. Demikian juga dengan klasifikasi genre sastra Bugis tak jauh berbeda dengan genre sastra Melayu atau sastra Indonesia klasik yang terdiri dari puisi klasik, prosa klasik dan prosa liris. Contoh genre sastra Bugis seperti “Pau-Pau ri Kadong” telah dimasukkan ke genre sastra dongeng (prosa klasik), “elong mpugi” telah dimasukkan ke dalam genre syair (puisi klasik), demikian seterusnya. Padahal pembagian sastra Melayu klasik atau sastra Indonesia kalasik sendiri masih menyisakan distorsi meski para ahli tak ada lagi yang berminat meluruskannya.<br /> <br />Langkanya buku studi sastra Bugis dipengaruhi oleh tak berkembangnya karya-karya sastra Bugis dari masa ke masa. Ini bisa dilihat dari perkembangan penerbitan karya-karya sastra (di) Sulawesi Selatan ataupun di luar Sulawesi Selatan yang ditulis oleh generasi penulis (ber)etnis Bugis atau Makassar. Di era sastra modern ini hampir tak ada kabar penerbitan karya-karya sastra berbahasa Bugis atau Makassar, kecuali konon sebuah novel berbahasa Makassar berjudul “Karruq Ri Bantilang Phinisi” yang ditulis oleh budayawan Drs. Muhannis Ara Daeng Lawaq dari Bulukumba dan berani menyandang gelar ‘Sastrawan Bugis (Makassar)’. Yang lainnya adalah novel-novel Indonesia modern yang bersetting atau bermutan lokal budaya Bugis (Makassar), seperti novel “Perempuan Poppo” karya Dul Abdul Rahman, “Natisha” karya Khrisna Pabbicara, “Lontara Rindu” karya S.Gegge Mappangewa atau kumpulan cerpen seperti “Gadis Pakkarena” (Khrisna Pabbicara), “Benarkah Istriku Parakang” (antologi cerpen Komunitas Parepare Menulis) dan juga kalau mau disebut kumpulan cerpen “Latopajoko & Anjing Kasmaran” (Badaruddin Amir) dan lain-lain. Buku-buku tersebut hanya bermuatan lokal “Bugis atau Makassar” tapi tidak ditulis dalam bahasa maupun aksara Bugis. Tak jauh beda dengan kumpulan puisi. Penyair dan dramawan Ram Prapanca pernah menerbitkan sekumpulan puisi berlatar belakang Bugis (Makassar) berjudul “Berita dari Karaeng” dalam bahasa Indonesia dan Chaeruddin Hakim menerbitkan “Danau Semesta” sebuah kumpulan puisi berlatar budaya Bugis tapi juga ditulis dalam bahasa nasional bahasa Indonesia. Begitu pula dengan “Binrolle” kumpulan puisi Tomy Tamara.<br /> <br />Tak adanya generasi dari etnis Bugis (Makassar) yang berani menjadi pelaku sastra Bugis (Makassar) tentu karena beberapa faktor. Salah satunya karena kebanyakan generasi Bugis (Makassar) sekarang tidak menguasai bahasa Bugis (Makassar) dengan baik sebagaimana penutur bahasa Bugis (Makassar) terdahulu. Banyak kata-kata Bugis klasik yang indah-indah sebagaimana dalam ‘ada-ada sulassana ugi Masagalae’ dan ‘Lontarak’ tak lagi digunakan sekarang karena telah tergantikan dengan bahasa Indonesia atau bahasa-bahasa lain yang konon lebih praktis. Dan yang terutama karena penutur bahasa Bugis (Makassar) –di daerah (ber)etis Bugis/Makassar sendiri, jauh lebih sedikit dari pengguna bahasa Indonesia. Hal ini juga menjadi sebab mengapa tak ada perusahaan penerbitan pers yang mau menerbitkan media khusus berbahasa Bugis/Makassar. Bahkan tak ada lagi media yang berani membuka rubrik bahasa daerah semacam rubrik “Coto Mangkasara” yang sangat terkenang dengan celoteh-celoteh bahasa Makassarnya di harian Pedoman Rakyat dahulu.<br /> <br />Jika komunitas penutur sedikit maka segencar apa pun upaya sosialisasi sastra Bugis (Makassar) tidak akan memungkinkan untuk berkembang secara luas kecuali melalui terjemahan ke dalam bahasa yang memiliki penutur lebih luas. Karena itulah banyak penulis yang sesungguhnya dapat menulis karya-karya sastra Bugis lebih memilih untuk langsung menulis dalam bahasa Indonesia saja, meski yang diungkapnya atau yang menjadi tema tulisannya adalah hal-hal yang berkaitan dengan budaya Bugis atau Makassar.<br /> <br />Karena itu jangan diartikan bahwa tak ada generasi dari etnis Bugis (Makassar) yang berminat pada sastra. Peta sastra secara nasional memperlihatkan sastra di Sulawesi Selatan telah menjadi salah satu bagian penting dari pembangunan konstelasi sastra nasional kita. Lihatlah “9 Jawaban Sastra: sebuah Orientasi Kritik” (Maman S. Mahayana, 2005) di sana sastra Sulawesi Selatan mulai dimunculkan. Demikian pula dalam “Apa Siapa Penyair Indonesia” (yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017), sejumlah sastrawan (penyair) Sulawesi Selatan telah tercatat di dalamnya. Dan pada beberapa antologi puisi dan cerpen yang terbit secara nasional sastrawan-sastrawan Sulawesi Selatan yang beretnis Bugis dan Makassar pun tak pernah luput menjadi bagian di antaranya. Para penyair, esais, cerpenis hingga novelis Sulawesi Selatan saat ini sudah diperhitungkan sebagai sastrawan nasional. Sastra Sulawesi Selatan yang dibangun oleh anak-anak beretnis Bugis (Makassar) ini tidak lagi dilihat sebelah mata di tingkat pusat. Meski demikian ini tidak berarti bahwa “sastra Bugis/Makassar” dengan sendirinya telah terbopong ke sana.<br /> <br />Rata-rata anak Bugis yang menjadi sastrawan (penyair atau penulis prosa) tidak menulis dalam bahasa daerah Bugis(Makassar). Sehingga demikianlah sastra Bugis (Makassar) adalah sastra yang tidak berkembang atau dapat disebut sebagai sastra yang tetap ketinggalan zaman. Sastra Bugis (Makassar) tidak mengikuti perkembangan sastra modern dan kebanggaan kita pada sastra Bugis (Makassar) adalah kebanggaan mengelap-ngelap barang antik. Sastra Bugis (Makassar) yang sudah ada dianggap sebagai sebuah artefak atau barang antik yang harganya mahal sehingga harus tersimpan di sebuah bufet antik berwarna gelap dan menjaganya sepanjang zaman tanpa upaya penulisan kembali secara historiografi, rekonstruksi, atau reinterpretasi. Kita menerima sastra Bugis/Makassar sebagai warisan, sebagai sebuah tradisi yang biasanya tidak disertai dengan pemikitan kritis. Padahal sesungguhnya warisan budaya—termasuk sastra—mestinya diterima secara terbuka dan disertai dengan sikap kritis terutama pada pemaknaan secara sosio-kultural.<br /> <br />Prof. Dr. Abdul Hadi WM dalam sebuah diskusi sastra nasional (Munsi II) mengatakan, “tradisi biasanya dipatuhi oleh semua anggota masyarakat tanpa pemikiran yang kritis. Demikian pula dalam dunia sastra. Tradisi menulis sastra dimiliki oleh setiap etnik yang tumbuh di daerah seperti di Bali, Sunda, Madura, Bugis dan di etnik-etnik lain. Tradisi menulis pantun, tembang macapat, singir (syair Jawa), si’ir (syair Madura), kelong (syair Bugis) memiliki konvensi dan norma-norma yang telah dirumuskan secara lisan dan mengikat. Kondisi yang seperti inilah yang memunculkan istilah ‘tradisionalisme’ dan diterima oleh para pengarang Indonesia pada abad ke 20 M.<br /> <br />Dari pemahaman seperti itu muncul perbedaan tajam antara tradisi dan modern, antara tradisional dan modernitas, dan antara paham ‘tradisionalisme’ dan paham ‘modernisme’. Perbedaan seperti itu pulalah yang mendorong semangat Sutan Takdir Alisjahbana menerbitkan antologi ‘Puisi Lama’ dan ‘Puisi Baru’ serta label-label yang lain seperti ‘Pujangga Lama’ dan ‘Pujangga Baru’, ‘Sastra Lama’ dan ‘Sastra Baru’ pada tahun 30-an yang diamini pula oleh peneliti sastra seperti C.Hooykaas”.<br /> <br />Cara memandang seperti itu, kata Abdul Hadi WM lagi, adalah cara memandang sastra yang sangat linear. Meletakkan tradisi sepenuhnya sebagai bagian dari masa lalu akan membuat karya-karya sastra masa lalu itu kehilangan eksistensi pada masa kini. Apalagi dengan hadirnya istilah sastra modern dengan berbagai identitas itu. Sastra masa lalu menjadi terpinggirkan, norma-norma dan konvensi penulisannya harus ditinggalkan, begitu pula cara penilaiannya. Padahal tidak sedikit karya-karya sastra masa lalu yang memiliki nilai universal dan eksistensinya masih sangat relevan hingga masa sekarang ini. Sebutlah karya-karya besar seperti Oedipus Rex karya Sopocles, Bhagavat Gita yang dikarang pada abad ke-3 SM dalam bahasa Sanskerta telah mengilhami sekian banyak kitab-kitab modern yang bukan hanya kitab sastra, tapi juga kitab-kitab filsafat. Demikian pula dengan epos Lagaligo dari Tanah Bugis, yang seharusnya mengilhami karya-karya sastra di tanah air kita.<br /> <br />Pandangan dikotomi ‘Sastra Tradisional’ dan ‘Sastra Modern’ dengan segala ekses yang ditimbukannya seharusnya tidak menjadi paham atau anutan dalam berkarya bagi para sastrawan sekarang ini. Sastra tradisional harus dipahami sebagai sastra nusantara, sebuah khasanah (kekayaan) sastra yang dimiliki oleh bangsa kita. Hanya dengan berbicara tentang sastra nusantara, kita dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan ‘sastra tradisional’” sebagai sebuah kultur budaya yang berkembang hingga hari ini. Sastra yang kini bertumbuh dan berkembang di pelosok-pelosok daerah adalah sastra nusantara yang memproyeksikan kebinekaan dalam bingkai keindonesiaan kita. Dan kita, generasi Bugis (Makassar) cukup berbangga apabila sastra Bugis (Makassar) yang disakralkan itu sekali-kali dikeluarkan dari lemari antiknya untuk diseminarkan. Kebanggaan kita pada sastra Bugis (Makassar) di tengah konstelasi sastra nasional sekarang ini adalah kebanggaan “seminar”, bukan kebanggaan “kreatif” karena lahirnya sebuah karya sastra Bugis(Makassar) yang baru.<br /> <br />Sangat berbeda dengan sastra nusantara lain seperti sastra Jawa Kuna yang mulai berkembang di abad ke-9 hingga abad ke-14 Masehi maupun Sastra Sriwedari (Sastra Jawa) yang sudah ada sejak 1924 dengan tokoh penting seperti R.M. Ng. Poerbatjaraka (1884-1964). Atau Sastra Sunda yang terus menerus berkembang secara kreatif dengan dukungan media, penerbitan dan penghargaan bagi tokoh-tokohnya seperti yang diberikan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage. Sastra Sunda terus berkembang dari periode ke periode sejak sebelum perang dan melahirkan beberapa tokoh penting seperti Muh. Musa (lahir 1822), P.H.H.Mustapa (lahir 1852), D.K. Ardiwinata (lahir 1866), Sayudi (lahir 1932), Yus Rusyana (1938), Ajip Rosidi (1938), R.H.Hidayat Suryalaga (lahir 1941), hingga Godi Suwarna (lahir 1956) dan Etty R.S (lahir 1958). Mereka menulis dalam bahasa Sunda (disamping ada juga yang menulis dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia) dan mereka justru merasa bangga disebut sebagai sastrawan Sunda. Mereka pun tak merasa lebih penting untuk menjadi sastrawan Indonesia atau sastrawan nasional karena karya-karyanya juga banyak dibaca orang setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Hal yang tak pernah kita dengar ada sastrawan Bugis yang menulis sastra Bugis modern semisal puisi, cerpen maupun novel dalam bahasa daerah Bugis. Persoalan ini tentu saja akan panjang jika kita menelusuri atau menganalisis lebih jauh sebab musababnya mengapa tak ada sastrawan entis Bugis yang mau menulis dalam bahasa Bugis atau Makassar dan bangga untuk disebut sebagai sastrawan Bugis.<br /> <br />Pada kenyataannya sastra Bugis itu adalah stereotip sastra lama yang pernah ditulis oleh para empu sastra Bugis zaman dahulu. Tak ada puisi bugis modern yang ada adalah elompugi (Catatan: Chaeruddin Hakim telah memulai menulis sastra Bugis tapi masih tak berani keluar dari pola-pola sastra Bugis klasik yang disebut ‘Kelong’), tak ada cerpen Bugis maupun Makassar modern yang ada adalah “Pau-Pau ri Kadong” (dongeng), demikian pula tak ada novel Bugis modern. Yang dimaknai oleh kebanyakan orang sebagai karya sastra Bugis adalah karya-karya sastra modern seprti puisi, cerpen dan novel yang mengambil “setting” atau latar belakang kebudayaan Bugis; nama-nama Bugis, adat istiadat Bugis, upacara-upacara Bugis, mitologi Bugis yang ditulis dalam langgam bahasa dan sastra Indonesia modern. Kalau kita mengambil definisi sastra Bugis adalah karya sastra yang ditulis dalam bahasa daerah Bugis maka tentulah karya-karya sastra yang berlatar belakang kebudayaan Bugis tapi ditulis dalam bahasa Indonesia ini bukanlah sastra Bugis, melainkan karya sastra Indonesia yang bermutan lokal. Atau karya sastra Indonesia kontekstual: yang merujuk pada konteks budaya daerah.<br /> <br />Strategi Politik Bahasa Nasional sebenarnya berlaku juga pada “Politik Sastra Nasional” meski ini jangan diartikan secara juridis formal. Jika pada strategi Politik Bahasa Nasional menempatkan bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama, bahasa daerah sebagai bahasa kedua dan bahasa asing sebagai bahasa ketiga, maka strategi perkembangan sastra pun demikian halnya. Karena bahasa dan sastra tidak bisa dipisahkan. Pada sastra nasional Sastra Indonesia menempati posisi sebagai klas sastra pertama, sastra Daerah yang ditulis dalam bahasa daerah menjadi klas sastra kedua, dan sastra asing yang kebanyakan diterima sebagai sastra terjemahan sebagai klas sastra ketiga. Meski demikian pada kenyataannya antara sastra nasional dan sastra asing telah terjadi “perebutan” kekuasaan disebabkan karena kualitas dan gencarnya penerjemahan karya-karya sastra asing di Indonesia. Meski demikian sastra tidak perlu diatur dalam sebuah regulasi dan undang-undang karena sastra tidak mengembang amanat “politik”, konteksnya tidak berkaitan dengan faktor-faktor ekologi kemasyarakatan beraspek “Ipoleksosbudmil” dan tak ada kaitannya dengan strategi bela negara. Sastra mengemban amanah ‘kemanusiaan’ secara universal yang berkaitan dengan kepentingan-kepentingan personal appreciation. Yang perlu diwaspadai hanyalah masuknya isme-isme atau ajaran-ajaran yang dapat menyesatkan umat dan tidak sesuai dengan kebudayaan bangsa, yang dapat saja merangsek melalui sastra asing terjemahan.<br /> <br />Barru, 2018 <br />*gambar: La Galigo, foto kkssnunukandotwordpressdotcom<br /><p class="MsoNormal"><span style="mso-ansi-language: IN;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/mencari-sastra-daerah-bugis-makassar-di-tengah-konstelasi-sastra-nasional/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/mencari-sastra-daerah-bugis-makassar-di-tengah-konstelasi-sastra-nasional/</a></span></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-19081780183133162622021-08-06T16:12:00.005-07:002021-08-06T16:12:46.109-07:00KEHADIRAN APRESIASI SASTRA (8)Djoko Saryono<br /> <br />/0/<br />Kita bisa mendapatkan tiga keberadaan atau kehadiran apresiasi sastra.
Pertama, ada umumnya kita merasa yakin bahwa sesuatu yang dinamakan apresiasi
sastra itu hadir secara substansial dan mandiri walaupun kita belum mengetahui
sosok dan jati dirinya secara tegas.
Kedua, pada umumnya kita merasa yakin bahwa apresiasi sastra berbeda dan dapat
dibedakan dengan, misalnya, kritik sastra dan penelitian sastra. Kemudian ketiga,
apresiasi sastra merupakan sosok tersendiri dalam dunia (penghadapan) sastra
atau dunia penggaulan sastra yang harus diakui dan diabsahkan. Dengan demikian,
secara umum dapat disimpulkan bahwa setidak-tidaknya in abstracto atau by
concept apresiasi sastra hadir secara substansial dan mandiri dalam dunia
(penghadapan) sastra. Hal ini membawa risiko bahwa kehadiran apresiasi sastra
harus diterima sebagai fakta walaupun secara operasional kita masih sukar
menemukan sosok dan jati dirinya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Pengakuan kehadiran apresiasi sastra tersebut lebih lanjut menimbul¬kan
persoalan. Persoalan yang dimaksud bersangkutan dengan latar belakang
keberadaan atau kehadirannya. Mengapa apresiasi sastra hadir dalam dunia
(penghadapan) sastra? Apa sajakah faktor-faktor yang mendorong kehadiran
apresiasi sastra dalam dunia (penghadapan) sastra? Secara dikotomis
faktor-faktor pendorong kehadiran apresiasi sastra dapat digolongkan ke dalam
dua golongan, yaitu (i) pendorong internal atau endogen, dan (ii) pendorong
eksternal atau eksogen. Berikut ini dipaparkan kedua pendorong ini.<br /> <br />/1/<br />Yang dimaksud dengan faktor pendorong internal ialah faktor-faktor
pendorong kehadiran apresiasi sastra yang berasal dari karya sastra sendiri.
Karya sastra memiliki kemampuan atau daya untuk ”memaksa atau mengharuskan”
manusia atau masyarakat sastra untuk menggauli dan menggumulinya. Dalam
hubungan ini karya sastra diperlakukan sebagai sosok hidup yang memiliki
daya-diri untuk mengatur dirinya sendiri dan ”memikat” orang untuk menggauli
dan menggumulinya, bukan sekadar barang mati (artefak) yang hampa daya yang
dilecehkan oleh banyak orang.<br /> <br />Sebagai sosok yang hidup, dengan daya-dirinya sastra mampu mengembangkan
dirinya sendiri. Sastra selalu gesit dan dinamis berkem¬bang menyertai
sosok-sosok lainnya, misalnya politik, ekonomi, kesenian, dan kebudayaan.
Malahan karya sastra sering berkembang melesat mendahului dan meninggalkan
semuanya. Karena itu, sastra mampu lebih dahulu mengintroduksi dan menyuguhkan
sesuatu dibandingkan dengan yang lainnya. Sistem berpikir dan pandangan hidup
eksistensialisme, universalisme, kosmopolitanisme, dan pascamodernis¬me
pertama-tama diintroduksi dan disuguhkan oleh sastra. Pascamoder¬nisme yang
sekarang mulai populer dan merasuk ke berbagai bidang diintroduksi dan
disuguhkan oleh (dunia) sastra. Bahkan pandangan hidup Pancasila sudah
diintroduksi dan disuguhkan oleh sastra jauh sebelum sosok lain memikir¬kannya.
Betapa tidak! Manifes Kebudayaan yang dilarang oleh rezim Soekarno, pada tahun
1963 sudah mencanang¬kan asas tunggal pandangan hidup yang berbunyi Falsafah
kebudayaan kami Pancasila, sedangkan politik dan lain-lainnya baru
mencanangkan¬nya pada pertengah¬an dasawarsa 1980-an pada masa rezim Soeharto.
Hal ini menunjukkan bahwa sastra memiliki kemampuan sebagai pioner dalam
kehidupan manusia.<br /> <br />Dengan daya-dirinya pula sastra mampu membangun, mendirikan, dan menegakkan
dunia tersendiri yang berbeda dengan dunia sosial, dunia ekonomi, dunia
politik, dan dunia empiris lain. Dalam perjalanan hidup sastra dan manusia,
tampak jelas bahwa sastra telah membangun dunia khas sastra yang kontempaltif,
religius, imajinatif, ilahiah, penuh damai, penuh kejujuran, penuh kearifan,
penuh teladan, dan sebagainya. Dunia seperti ini memberikan kenyamanan
psikologis dan batiniah kepada manusia. Manusia dibebaskan dan dilepaskan dari
kekerasan, kecurigaan, kemunafikan, kebohongan, kepura-puraan, kedengkian,
kecemburuan, ketamakan, dan kesombongan, serta kecongkakan. Manusia
dikembalikan kepada kesahajaan, kearifan, kebijakbestarian, ketenangan,
kewaskitaan, kesigapan, dan kekhusukan. Manusia dibimbing untuk melihat
wajahnya sendiri, wajah saudara-saudaranya, wajah teman-temannya, dan wajah
manusia lainnya. Manusia dibimbing ke arah hablum minannas dan hablum minallah.
Manusia dipandu menuju dunia penuh rahmatan lil alamin yang menyejukkan dan
asri. Jadi, dunia sastra mampu mengembalikan manusia kepada hakikatnya sebagai
hamba dan khalifah Allah (duh terpeleset gaya kotbah!)<br /> <br />Selain daripada itu, sastra juga mempunyai kemampuan untuk merekam semua
peristiwa dan pengalaman yang empiris-natural maupun peng¬alaman yang
nonempiris-supernatural; baik pengalaman res extenza maupun res cogitans.
Dengan daya-dirinya malahan sastra mampu menjadi saksi dan pengomentar
kehidupan manusia. Peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman sedih, gembira,
menyenangkan, mengha¬rukan, mengerikan, kejam, sadis, dan sebagainya terekam,
tersimpan, dan terawat dengan baik dalam sastra. Bacalah Doktor Zhivago (Boris
Pasternak), Max Havelaar (Multatuli), Madame Bovary (Faulbert), Burung-burung
Manyar (Y.B. Mangunwijaya), Bumi Manusia (Pramu¬dya Ananta Toer), Para Priyayi
(Umar Kayam), Maut dan Cinta (Mochtar Lubis), Robohnya Surau Kami (A. A.
Navis), Godlob (Danarto¬), Javid Namah (Muhammad Iqbal), Lelaki Tua dan Laut
(Ernest Hemingway), Musyawarah Burung-burung (Fariduddin Attar), Sang Nabi dan
Sayap-sayap Patah (Kahlil Gibran), Anna Karenina (Leo Tolstoy), dan Keindahan
dan Kepiluan (Kawabata Yasunari) serta trilogi Oeidipus di Colonus, Oedipus
Sang Raja, dan Oeidipus Berpulang (Sopochles) niscaya Anda akan menemukan
peristiwa-peristiwa dan pengalaman-pengalaman kemanusiaan yang demikian
beraneka ragam. Peristiwa dan pengalaman itu akan mengiankemarikan,
mengharubirukan, membasahsejukkan, dan memekatajamkan nurani dan budi Anda!<br /> <br />Sejalan dengan itu, sastra juga mampu menawarkan dan menyuguhkan beraneka
ragam pengetahuan. Sudah tentu pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkannya
berbeda dengan pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkan oleh ekonomi,
politik, sosial, dan sejenisnya. Pengetahuan yang ditawarkan dan disuguhkannya
bukanlah pengetahuan keilmuan (yang dikemas dalam bahasa
proposisional-jinak-kering, sistematika rasional dan bernalar, dan gaya yang
hampir-hampir kaku sepenuhnya), melainkan pengetahuan khas sastra (yang dikemas
dalam bahasa intensional-liar-penuh kemungkinan dan tafsiran, sistematika
tekstural atau struktural yang memikat, dan gaya naratif-metaforis yang
memikat). Pengetahuan khas sastra yang dimaksud adalah pengetahuan yang hidup,
bagai bernapas, dinamis, dan terus bergerak yang harus ditangkap sendiri oleh
manusia untuk dipenjarakan dalam nurani dan budinya. Bacalah karya-karya sastra
yang sudah disebutkan di atas, niscaya akan dapat ditemukan, ditangkap, dan
direbut beraneka ragam pengetahuan; pengetahuan literer, religius, etismoral, sosial,
politis, psikologis, filosofis, dan sebagainya. Kadarnya tentu saja bergantung
pada kadar perjuangan kita dalam menemukan, menangkap, dan merebutnya karena
sastra memang tak menyuguhkan pengetahuan jadi kepada kita. Bukan pengetahuan
siap-pakai yang disuguhkan sastra. Sastra mempunyai kemampuan khas dalam
menyuguhkan pengetahuan kepada manusia.<br /> <br />Dengan pengalaman-pengalaman kemanusiaan dan pengetahuan-pengetahuan yang
terdapat di dalamnya, sastra juga mampu menepuk dan mengingatkan manusia dari
jalan tak semestinya. Sastra yang baik (dalam arti ditulis dengan penuh
kejujuran, kebeningan, kesungguhan, kearifan, dan keluhuran nurani dan budi
manusia) selalu mampu mengingatkan, menyadarkan, dan mengembalikan manusia ke
jalan semestinya, yaitu jalan kebenaran dalam usaha menunaikan tugas-tugas
kehidupannya. Karena itulah sastra mampu menjadi pemandu jalan menuju kebenaran
hakiki. Sastra merupakan jalan ke empat menuju kebenaran, demikian dikemukakan
oleh Prof. Dr. A. Teeuw, pemerhati dan pakar sastra Indonesia dari Belanda. Max
Havelaar (Multatuli) telah mengingatkan dan menyadarkan kita akan adanya
ketidakadilan dan kebobrokan sistem sosial dan hukum dalam praktik-praktik
kolonialisme Belanda. Robohnya Surau Kami (A.A.Navis) mampu mengingatkan dan
menyadarkan kita bahwa beribadah kepada Allah bukan hanya shalat di
tempat-tempat ibadah, melainkan juga harus bekerja dan berhubungan dengan orang
lain.<br /> <br />Sysiphus (Albert Camus) mampu mengingatkan dan menyadarkan kita bahwa
bagaimanapun berat dan sia-sianya tugas dan pekerjaan kita, kita tak boleh
mengabaikannya dan harus terus mengerjakannya. Kita diberi tuntunan agar
mengerjakan apa yang memang seharusnya kita kerjakan, bukan hanya mengerjakan
apa yang kita senangi. Javid Namah (Muhammad Iqbal) mampu menyadarkan kita
bahwa manusia bukanlah sekadar makhluk badani yang fana, namun lebih dari itu,
manusia adalah makhluk rohani yang abadi yang bisa mengembara ke alam
adikodrati (supernatural), bertemu dan berbicara dengan manusia-manusia (yang
kita putuskan) sudah mati. Pendek kata, sastra merupakan jalan sekaligus mata
air kebenaran yang – dengan hikmah-hikmahnya – senantiasa mengingatkan dan
menyadarkan manusia agar hidup lebih baik, benar, dan direstui oleh-Nya.<br /> <br />Tanpa harus mendedah dan memaparkan seluruh kemampuan yang oleh dimiliki
oleh sastra, dengan kemampuan-kemampuan sastra yang dipaparkan tersebut di atas
kita sudah bisa memahami bahwa sastra mempunyai kemampuan-kemampuan yang
menghidupi dirinya dan dimanfaatkan untuk berdialog dengan manusia. Itulah
sebabnya sastra mampu hidup terus-menerus sepanjang sejarah manusia, tak pernah
mati. Fenomena ini menyebabkan manusia senantiasa ingin berinteraksi dengan
sastra. Keinginan ini lebih jauh menimbulkan hubungan dialektis antara manusia
dan sastra. Hal ini kemudian menjadi pendorong bagi hadirnya apresiasi sastra
dalam dunia (penghadapan) sastra.<br /> <br />/2/<br />Yang dimaksud dengan faktor pendorong eksternal di sini ialah faktor-faktor
pendorong kehadiran apresiasi sastra yang ada di luar karya sastra. Pengertian
di luar karya sastra ini bisa berarti dalam pribadi atau diri manusia dan/atau
institusi yang diciptakan oleh manusia. Dalam hubungan ini ada dua hipotesis.
Pertama, bahwa manusia memerlukan sastra karena sastra dapat memenuhi keperluan
hidupnya. Kedua, manusia menciptakan institusi-institusi tertentu untuk
mewadahi keperluannya akan sastra. Institusi-institusi tertentu ini kemudian
menjadi pendorong bagi hadirnya sesuatu yang bersangkutan dengan sastra. Dengan
demikian, sekali lagi, faktor pendorong eksternal kehadiran apresiasi sastra
dapat berasal dari diri manusia dan institusi yang diciptakannya.<br /> <br />Sudah sejak lama para filsuf dan ilmuwan, misalnya Ernst Cassirer, Johan
Huizinga, dan Muhammad Iqbal, mengingatkan bahwa manusia bukan hanya homo
faber, homo economicus, dan animale rationale, melainkan juga homo ludens, homo
fabulans, dan animal symbolicum. Karena itu, manusia tak hanya memerlukan
kerja, makan, minum, mencari rezeki, dan semacamnya, tetapi juga memerlukan
bermain, tertawa, bercerita, merenung, dan semacamnya. Bukan hanya badannya
yang memerlukan santapan, tetapi juga sosok rohaninya memerlukan siraman. Bukan
hanya tubuh, tulang belulang, daging-tulang, dan otot-ototnya saja yang harus
dijamu dengan aneka ragam makanan, melainkan juga jiwa, nurani, dan budinya
harus diguyur oleh berbagai ”kesejukan”. Dengan demikian, secara dikotomis
dapat dikatakan bahwa manusia memerlukan hajat hidup badani dan hajat hidup
rohani.<br /> <br />Agar dapat berkembang dan hidup dengan baik, lengkap dan laras, setiap hari
manusia perlu memenuhi hajat hidup badani dan rohaninya. Hajat hidup badani
dapat dipenuhi oleh nasi, air, roti dan sebagainya, sedangkan hajat hidup
rohani tidak. Hajat hidup rohani hanya dapat dipenuhi oleh ajaran agama,
cerita-cerita pengalaman manusia, imaji-imaji tentang berbagai realitas hidup,
dan sejenisnya. Dalam hubungan inilah sastra dapat mengambil tempat, karena
sastra merekam, menyimpan, dan merawat keperluan-keperluan hajat hidup rohani
tersebut. Di dalam sastralah manusia dapat menemukan pengalaman-pengalaman
kemanusiaan, imajinasi-imajinasi, dan sejenisnya untuk memenuhi hajat hidup
rohaninya sehari-hari. Dalam fungsi seperti ini sastra dapat dianggap sebagai
perkara sehari-hari yang tak beda dengan nasi, air, dan jajan. Sastra, nasi,
air, dan jajan setiap hari sama-sama memenuhi hajat hidup manusia.<br /> <br />Sejalan dengan itu, dapat dikatakan bahwa sesungguhnya manusia tak dapat
dilepaskan atau terlepas dari sastra. Senantiasa manusia merasa perlu
berinteraksi dengan sastra; setiap hari rasanya manusia butuh sastra meskipun
kebutuhan ini sering dihadang oleh kendala-kendala sosial ekonomis dan
persoalan-persoalan lain. Namun, jelas, dalam rohaninya selalu bergema
kebutuhan akan sastra karena tanpa sastra ketandusan dan kekeringan rohani bisa
terjelma. Tak mengherankan, masyarakat kita berduyun-duyun senang menonton
wayang semalam suntuk meskipun esoknya harus bekerja. Tak mengherankan pula di
dalam masyarakat kita tumbuh subur kegiatan-kegiatan berinteraksi dengan
sastra. Hal ini bisa dilihat dalam tradisi mocopatan di Jawa, mabebasan di
Bali, berbalas pantun di Sumatra, parikan di Jawa Timur, dan sebagainya. Selain
itu, perhatikan pula perilaku orang-orang di terminal, stasiun, dan toko-toko
buku. Mereka sering membaca buku-buku sastra dan/atau membolak-balik buku sastra.<br /> <br />Demikian pentingnya sastra dalam hidup manusia membuat manusia memasukkan
sastra ke dalam institusi-institusi yang diciptakannya. Institusi-institusi
pendidikan Indonesia, mulai jenjang terendah sampai jenjang tertinggi,
memasukkan sastra ke dalamnya. Kurikulum pendidikan dasar dan menengah, bahkan
pendidikan tinggi mencantumkan” pelajaran” bahasa dan sastra Indonesia. Mau tak
mau institusi tersebut harus menyediakan prasarana dan menciptakan kegiatan
yang dapat menunjang keberhasilan ”pelajaran” bahasa dan sastra Indonesia.
Buku-buku sastra, majalah-majalah sastra, lomba baca puisi dan cerpen, dan
sebagainya kemudian diciptakan oleh berbagai institusi pendidikan di Indonesia.<br /> <br />Selain daripada itu, institusi-institusi sosial juga menaruh perhatian besar
terhadap sastra. Berbagai institusi sosial justru menaruh perhatian khusus
terhadap sastra. Di Indonesia tumbuh subur Dewan-dewan Kesenian, Taman-taman
Budaya, dan Sanggar-sanggar Seni, misalnya Dewan Kesenian Jakarta, Taman Budaya
Padang, Sanggar Bambu Yogyakarta, dan Pelangi Sastra Malang yang mengayomi dan
menghidupi kesenian termasuk sastra. Wujud pengayoman dan penghidupan ini
berupa berbagai kegiatan yang bersangkutan dengan seni khususnya sastra,
misalnya diskusi dan sarasehan sastra. Tumbuh subur juga di Indonesia pelbagai
kelompok studi sastra dan dokumentasi sastra, misalnya Kelompok Studi Sastra
Tegal, Himpunan Pekerja Seni Malang, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Yassin, dan
Dokumentasi Sastra Korrie Layun Rampan. Berbagai institusi sosial yang khusus
sastra ini tentu saja secara ajek dan intensif melakukan kegiatan-kegiatan yang
berurusan dengan sastra, misalnya dialog kesusastraan, sarasehan sastra, dan
lomba baca sastra. Semua kegiatan yang dilakukan oleh institusi sosial tersebut
selanjutnya mendorong kita untuk merenungkannya dan kemudian menamakannya
apresiasi sastra.<br /> <br />Bersambung 9<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">*) Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., Guru Besar Jurusan Sastra Indonesia di
Fakultas Sastra pada kampus UNM (Universitas Negeri Malang). Telah banyak
menghasilkan buku, artikel apresiasi sastra, serta budaya. Dan aktif menjadi
pembicara utama di berbagai forum ilmiah kesusatraan tingkat Nasional juga
Internasional. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/kehadiran-apresiasi-sastra-8/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/kehadiran-apresiasi-sastra-8/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-46191169135651688202021-08-06T16:11:00.003-07:002021-08-06T16:11:15.290-07:00Novel Orang-Orang Bertopeng (11)Dimuat bersambung di harian Sinar Harapan, edisi 27 Maret-10 Mei 2002<br /> <br />Teguh Winarsho AS<br /> <br />Salman memang berubah. Terutama sejak dipanggil pimpinan gerombolan orang
bertopeng. Hasan bisa membaca perubahan itu. Tapi Hasan tidak cukup tahu bahwa
perubahan itu sebenarnya sudah berlangsung lama. Tepatnya sejak Salman melihat
foto Fatma. Ya, sejak itu sebenarnya Salman mulai berubah. Caranya bicara,
caranya menatap, tidak seperti dulu-dulu lagi. Hasan terlalu lugu untuk
mengerti hal itu. Hasan terlalu jujur untuk curiga pada teman sendiri. Hasan
berpikir Salman berubah karena panggilan pimpinan gerombolan orang bertopeng.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Salman masih rebahan di atas tikar ketika Hasan mondar-mandir ke wc. Wajah
Salman tampak kuyu muram. Salman memang lagi banyak persoalan. Bukan saja
persoalan hatinya yang tiba-tiba sering merindukan Fatma. Tapi juga persoalan
rumit lain yang harus segara diselesaikan. Diputuskan!<br /> <br />Ya. Beberapa hari lalu sebuah tawaran menarik, ajaib, disodorkan pimpinan
gerombolan orang bertopeng pada Salman. Tawaran itu berlaku jika Salman
bersedia menunjukkan letak persembunyian seorang laki-laki bernama Zaini Paleun
yang oleh pimpinan gerombolan orang bertopeng dicurigai sebagai dalang
kerusuhan dan keonaran yang kerap meneror penduduk kampung. Salman sebenarnya
tidak tahu siapa laki-laki bernama Zaini Paleun, seperti apa rupanya, apalagi
tempat persembunyiannya. Karena itulah Salman menyebut tawaran itu tawaran
ajaib. Bagaimana tidak, ia diminta menunjukkan letak persembunyian orang yang
sama sekali tidak ia kenal. Lalu, ia akan dibebaskan! Dibebaskan? Ya,
dibebaskan! Pimpinan gerombolan orang bertopeng sangat serius dengan ucapannya.
Salman percaya.<br /> <br />Sebelumnya Salman memang sempat mengarang-ngarang cerita seperti apa
ciri-ciri fisik Zaini Paleun, laki-laki tak dikenal itu, dan anehnya pimpinan
gerombolan orang bertopeng percaya begitu saja. Karenanya Salman yakin pimpinan
gerombolan orang bertopeng berikut anak buahnya pasti juga belum pernah melihat
tampang Zaini Paleun. Mereka mungkin baru hanya mendengar namanya saja.<br /> <br />Salman masih ingat bagaimana pertanyaan-pertanyaan pimpinan gerombolan
orang bertopeng dilontarkan kepadanya berkaitan dengan Zaini Paleun. Tentang
aktivitas Zaini Paleun sehari-hari. Jumlah pengikut Zaini Paleun. Kekuatan
Zaini Paleun. Nama kedua orang tua Zaini Paleun, istri Zaini Paleun, anak Zaini
Paleun, dan masih banyak lagi. Salman menjawab semua pertanyaan itu dengan
lancar. Hanya satu pertanyaan yang Salman tidak mau menjawab, yaitu ketika
ditanya di mana tempat persembunyian Zaini Paleun. Berkali-kali pimpinan
gerombolan orang bertopeng mendesak bahkan memaksa, tapi Salman tetap bungkam.<br /> <br />"Katakan di mana tempat persembunyian si kunyuk Zaini Paleun?"
tanya pimpinan gerombolan orang bertopeng beberapa hari lalu.<br /> <br />Tapi Salman menggeleng. Bukan karena ia tak mau meneruskan mengarang
cerita, tapi karena ia belum siap dengan pertanyaan yang mendadak itu. Bisa
saja Salman menyebut nama suatu tempat, daerah, kampung, dusun, atau apa, tapi
itu sangat beresiko. Salman memilih diam.<br />"Kenapa? Kenapa kau tak mau mengatakannya, hah?!"<br /> <br />Salman tetap bungkam. Pikirannya risau. Kacau. Salman sebenarnya takut jika
pimpinan gerombolan orang bertopeng naik pitam lalu menyuruh anak buah
menghajar dirinya. Salman sering mendengar jerit kesakitan seperti dipukul atau
ditendang dari ruang sebelah. Bagaimana jika kemudian jerit itu harus keluar
dari mulutnya sendiri? Salman ngeri.<br /> <br />"Ayo, katakan!!" lagi pimpinan gerombolan orang bertopeng
berteriak keras sembari menggebrak meja hingga gelas kopi didepannya tumpah.<br /> <br />Salman menggigil ketakutan. Tapi mulutnya tetap terkatup rapat. Seseorang
tiba-tiba mendekati pimpinan gerombolan orang bertopeng itu; bisik-bisik. Sang
pimpinan hanya mengangguk-angguk.<br /> <br />"Jadi, kau benar-benar tak mau mengatakan di mana tempat persembunyian
Zaini Paleun?" tanya pimpinan gerombolan orang bertopeng tiba-tiba berubah
lembut.<br /> <br />Salman ingin mengangguk, tapi entah kenapa kepalanya menggeleng.<br /> <br />"Baiklah, sekarang begini saja," pimpinan gerombolan orang
bertopeng itu menarik nafas dalam-dalam, ditahan sebentar di dada, lalu
dikeluarkan perlahan-lahan. "jika kau mau menunjukkan pada kami di mana
tempat persembunyian kunyuk itu, maka kau akan kami bebaskan. Bagaimana?"<br /> <br />"Apa?" Salman terlonjak. Wajahnya menyala.<br /> <br />Pimpinan gerombolan orang bertopeng tertawa pelan. Berjalan mengelilingi
Salman sambil memukul-mukulkan tongkat kecil pada telapak tangannya. "Kau
akan kami bebaskan jika bersedia menunjukkan tempat persembunyian si kunyuk
Zaini Paleun!"<br /> <br />Salman menyimak setiap kata yang diucapkan pimpinan gerombolan orang bertopeng.
Sejurus kemudian Salman terpekur menatap permukaan meja cokelat didepannya.
Lama. Pikiran Salman bertambah kacau. Mau tidak mau ia harus mengarang nama
tempat persembunyian Zaini Paleun. Tapi Salman kawatir dirinya salah menyebut,
karena ternyata pimpinan gerombolan orang bertopeng itu sebenarnya tahu persis
di mana tempat yang ia sebutkan itu?<br /> <br />"Kau tak suka dengan tawaran kami?"<br /> <br />Salman tergeragap membenahi letak duduk lebih tegak. Ia tak mau kelihatan
bodoh di depan pimpinan gerombolan orang bertopeng yang bisa berakibat fatal,
ucapannya tidak dipercaya lagi. Harus menyakinkan. Harus percaya diri. Harus
pura-pura pintar.<br /> <br />"Suka. Saya senang dengan tawaran Bapak. Tapi apakah tawaran Bapak
bisa saya percaya? Apa jaminannya?"<br /> <br />"Kenapa tidak? Aku tak pernah main-main dengan setiap kata yang keluar
dari mulutku."<br /> <br />"Sungguh?"<br /> <br />Lagi-lagi, pimpinan gerombolan orang bertopeng itu tertawa pelan.
"Untuk apa aku bohong? Sekarang kita teman. Kita kerjasama."<br /> <br />Salman seperti masih belum percaya sepenuhnya dengan omongan laki-laki
tinggi besar didepannya sehingga ia lebih banyak mendengar saja.<br /> <br />"Oke, sekarang begini saja, kau kuberi waktu tiga hari untuk mengambil
keputusan. Hanya tiga hari. Tapi ingat, nyawamu sepenuhnya ada di tangan kami.
Kami bisa membunuhmu kapan saja. Bahkan saat ini kami bisa melenyapkanmu. Jadi,
sebaiknya ambil keputusan bijaksana yang menguntungkan kita bersama. Kami
untung, kau juga untung. Bukankah sekarang kita teman?"<br /> <br />Salman mengangguk-angguk. Pimpinan gerombolan orang bertopeng kemudian
menyalami Salman.<br /> <br />Tapi, malam ini, bukan persoalan itu yang merisaukan hati Salman. Bukan.
Jelas nanti ia akan mengatakan pada pimpinan gerombolan orang bertopeng itu di
mana tempat persembunyian Zaini Paleun. Itu tinggal menunggu waktu saja. Yang
jadi persoalan, yang masih mengganjal di hati Salman sekarang adalah soal
Hasan. Ya, Hasan, laki-laki lugu polos itu kini menjadi masalah besar baginya.
Kenapa? Sulit dijelaskan. Yang pasti setiap malam Salman selalu teringat Fatma.
Bayang-bayang Fatma begitu lekat dalam ingatannya seperti lekatnya prangko
dengan amplop. Salman jatuh cinta pada Fatma!<br /> <br />Sebentar lagi aku akan bebas. Menghirup udara segar. Sedang Hasan entah
bagaimana nasibnya. Cepat atau lambat mungkin gerombolan orang bertopeng itu
akan menghabisinya. Betapa sia-sia hidup Hasan. Betapa tidak berguna. Batin
Salman menguatkan hatinya.<br /> <br />Begitulah. Bayang-bayang Fatma terus menari-nari di kelopak mata
Salman. Dan, Salman tahu persis sebentar
lagi salah seorang gerombolan orang bertopeng akan datang menjemput dirinya
untuk saling mengadakan 'kerjasama'. Ya, ia akan segera bebas menghirup udara
segar. Sedang Hasan? Hasan? Bagimana nasibnya? Dibunuhnya rasa kasihan dan
perasaan berdosa yang selama ini menyelimuti hati Salman. Lalu diambilnya
serbuk putih yang ia ambil di ruang pimpinan gerobolan orang bertopeng beberapa
waktu lalu, dibubuhkan ke dalam gelas minuman Hasan ketika pemuda lugu itu
sedang buang air di wc.<br /> <br />Salman tahu betul reaksi apa yang bakal terjadi jika serbuk putih itu masuk
ke dalam lambung Hasan.<br /> <br />Terdengar langkah sepatu mendekat disusul suara gerendel pintu dibuka.
Salman terkejut. Untung pekerjaannya sudah selesai.<br /> <br />"Keluar!" Orang itu bersuara sambil membuka pintu lebih lebar.<br /> <br />Salman keluar mengikuti langkah orang itu setelah sebelumnya diwajibkan
menutup mata dengan kain hitam. Memang begitulah biasanya. Salman, Hasan, dan
mungkin masih banyak lagi yang lain, seolah tidak diperkenankan melihat
ruangan-ruangan yang ada di tempat itu. Karenanya dalam perjalanan menuju ruang
pemeriksaan, menutup mata dengan kain hitam adalah wajib. Baru ketika sudah
berada di ruang pemeriksaan kain itu boleh dibuka. Tapi tetap saja ia tak bisa
mengenali orang-orang yang ada di ruangan itu karena mereka mengenakan topeng
atau kain hitam.<br /> <br />(bersambung)<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-11/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/novel-orang-orang-bertopeng-11/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-4476584426642593772021-08-04T03:37:00.001-07:002021-08-04T03:37:10.752-07:00Laut, Komodo, SastraAgus R. Sarjono *<br /> <br />Lamensia dunung notang<br />Suwe santek bonga bintang<br />Pang bulan batemung mata<br /> <br />Antara biru langit dan biru laut, kapal kami melaju. Di hadapan terbentang
horison, kakilangit yang melambai dan selalu luput dari gapaian. Kabut sudah
lama berangkat. Matahari berleha-leha di angkasa sambil melambaikan panas pagi
dan cahayanya. <span><a name='more'></a></span>Lalu bermunculan di jauhan sana pulau-pulau batuan dalam warna
oker, seperti pinggul perawan, bagai puisi tak tertuliskan. Pak Hassanuddin
sang nakhoda bersandar santai dengan rokoknya, sekilas memandangi kapalnya yang
lumayan besar itu hanya berisi sedikit penumpang. Penyair Taufiq Ismail
bersandar santai di dinding geladak. Membaca buku panduan tulisan orang asing
(tulisan siapa lagi?) tentang tanah airnya, sambil sesekali mencocokkannya
dengan posisi perahu. Mungkin dia mengenang masa remajanya dulu, bersandar di
geladak kapal melintasi lautan besar dan benua menuju Amerika sana. Masa-masa
muda yang jingga. Yang kini menjelma kakilangit, jauh di sana.<br /> <br />Penyair Hamid Jabbar dengan tubuh tua dan geloranya yang muda asyik
bermain-main membikin sajak, sejumlah kata dipetiknya dari tepian kapal,
dipilih, diputarbalik dan dibuangnya kembali ke lautan. Penyair Jamal D. Rahman
di geladak itu pula. Tiduran. Sesekali menelentang memandangi awan, sesekali
telungkup melirik laut. Ia tidak tidak punya jarak yang kelewat panjang dengan
masa remajanya yang baru kemarin. Mungkin ia menyuruk jauh ke masa kanaknya,
bermain ombak di lautan Madura. Masa kanak yang biru, tempat berdiam
danau-danau keharuan. Sedang aku terduduk juga di situ. Disergap keindahan dan
termangu. Seorang anak gunung yang tak punya pengalaman dengan laut. Maka laut
tak memberi tambatan pada kenangan: sepenuhnya misteri dan pesona antara ngeri
dan bahagia.<br /> <br />Labuan Bajo makin jauh saja dan kemudian tenggelam di balik langit. Di kiri
kanan kapal tumbuh tebing-tebing batu yang gersang dan seksi. Jauh di sana
adalah Loh Liang, yang populer dengan nama pulau Komodo. Ada sejumlah legenda
dan cerita rakyat di sana. Aneh, aku justru teringat pada pelayaran Oddyseus
saat pulang menuju Ithaca. Tebing batuan yang menjulang, debur ombak yang
kadang besar, langit biru, dan awan samudra justru membawa ingatan pada kisah
Yunani yang jauh di sana. Mungkin seharusnya aku mengenang kisah Hang Tuah atau
pelayaran Malin Kundang. Tapi siapa bisa mengatur asosiasi dan ingatan. Atau
mungkin karena kisah Yunani padat dengan cerita tualang dan sekaligus merupakan
perjalanan pulang menuju keteduhan rumah yang dihadang banyak rintangan dan
bermacam hambatan. Sedang Malin Kundang berisi kisah anak desa melarat yang
sukses menjadi kaya kemudian tampil menjadi OKB (orang kaya baru) yang malu
mengakui ibunya. Sementara Hang Tuah membawa ingatan akan pelayaran dari
seorang teruna dalam menjalani diri sebagai abdi negara. Dan negara,
belakangan ini adalah sebuah urusan yang tidak menarik.<br /> <br />Jika kisah Yunani itu membawa epos agung, maka negara kerap lahir dengan
kisah telenovela dengan tragedi yang dibuat-buat tapi terus berkelanjutan,
dengan banyak paman, adik dan ipar yang gemar kasak-kusuk, culas dan jahat.
Kisah-kisah tidak logis dan tidak menggugah semacam itu, tentu tak ingin
diingat pada sebuah perjalanan mengarungi lautan di sebuah tempat indah 23456
km dari Jakarta. Dari pusat kisah-kisah telenovela dengan derita berlarat-larat
dan bahagia yang dibuat-buat. Dalam telenovela bernegara itu pula berdesakan
para Malin Kundang yang mendadak kaya yang mengidap rendah diri akut sehingga
habis-habisan membungkus diri dengan mobil mewah, setelan mewah, rumah mewah,
namun dengan pikiran, jiwa, cita rasa, dan martabat yang compang-camping.
Dengan kemewahan kagetan itulah mereka mondar-mandir di depan hidung ibunya
sambil menghinakannya.<br /> <br />Maka aku kembali mengenang Oddyseus yang baru usai berperang melawan Troya
dengan penuh martabat, mengatasi rintangan perjalanan dengan penuh martabat,
dan pulang ke rumah dengan penuh martabat pula. Mungkin itu sebabnya mengapa
umumnya epos-epos Yunani menjadi epos besar, dan tragedi-tragedinya menjelma
tragedi agung. Pada tragedi Yunani, tokohnya menjalani hidup dengan penuh
martabat dan integritas, tak putus-putus berupaya menghindari malapetaka untuk
menemukan akal sehat dan cahaya bagi manusia dan kemanusiaan.<br /> <br />Oedipus, misalnya, begitu mendengar ramalan bahwa dirinya akan membunuh
ayah dan menikahi ibu –sebuah tindakan yang merusak martabat kemanusiaan–
tanpa banyak pikir dia meninggalkan istana –yang dalam definisi Indonesia
adalah pusat kekuasaan, kemewahan dan hidup berkecukupan– tidak lain tidak
bukan untuk mengindarkan diri dari bertindak lalim. Ia kemudian menjadi raja
karena berhasil melepaskan negeri itu dari wabah dan malapetaka. Selebihnya
adalah takdir yang keras. Hantaman telak pada keterbatasan daya manusia.
Oedipus tanpa sengaja membunuh ayah dan menikahi ibunya –bandingkan dengan
Malin Kundang yang dengan sengaja dan sadar menghianati ibunya. Begitu Oedipus
tahu kesalahannya, tanpa banyak pikir ia meninggalkan istana dan menusuk kedua
matanya menjadi buta.<br /> <br />Istana yang menjadi dambaan alam pikir Jawa dan Indonesia remeh belaka di
mata para pahlawan Yunani dibanding martabat manusia. Sementara martabat
manusia remeh belaka di mata budaya Nusantara yang adiluhung luhur tanpa
tanding dibanding kursi kekuasaan dan istana. Maka kutepiskan saja
kisah-kisah leluhur yang memalukan dan menjelma menjadi kenyataan di
pusat-pusat kekuasaan masa kini itu. Akupun tetap membayangkan diri serupa
Oddyseus. Tapi tak ada monster dan dewa-dewa yang mengganggu perjalanan kami.
Dan kami segera sampai ke Loh Liang dan disambut oleh Komodo dengan liur yang
bertetesan mencium bau darah. Tapi komodo bukan monster dalam kisah Yunani,
melainkan komodo saja, yang meski ganas tapi lebih tahu batas di banding
manusia Indonesia yang luhur berpancasila. Bahkan penyair Taufiq Ismail yang
adalah dokter hewan segera bisa menandai seekor komodo yang sakit lalu
memegang-megang ekornya. Hampir saja dia mencoba membuka moncong komodo untuk
memeriksa lidah dan matanya supaya dapat memberikan diagnosis yang tepat.
Untung pawang komodo segera mencegahnya, sebab siapa tahu Komodo itu salah
duga dan menganggap penyair Taufiq Ismail bukan sebagai dokter yang sedang
memeriksa kesehatannya, melainkan sarapan paginya yang istimewa.<br /> <br />Malam tiba. Sekumpulan babi hutan melintas di muka bilik kami. Jamal D.
Rahman dengan riang mengambili buah asam dan memakannya sambil tak
habis-habisnya mengagumi pohon siwalan masa kanaknya. “Yang itu pohon lontar.
Habis berbuah pohon itu mati. Kalau dia hidup terus, berarti dia tidak
berbuah”, ucapnya berlagak ahli. Esoknya kami tahu, bahwa di kampung nelayan
Komodo, agak jauh dari Loh Liang, sama sekali tak ada dermaga. Jadi para
nelayan kesulitan untuk menaikkan dan menurunkan muatan dan hasil laut.
Belakangan kami tahu, banyak benar desa-desa nelayan yang tak memiliki
dermaga. Negeri bahari yang luar biasa bukan? Tapi saya kira itu disengaja,
agar para Malin Kundang yang sukses itu punya alasan untuk tidak pulang.<br /> <br />Sekembalinya ke Labuan Bajo kami mendengar berita para pekerja Indonesia
dicambuki negeri tetangga. Kamipun kemudian mencari penginapan dengan
diam-diam. Tapi tetap saja ada yang mengenali kami dan langsung menyapa: “Bapak
para sastrawan ya?”. Dengan malu kami jawab pertanyaan itu dengan “stttt”, lalu
menghilang ke kamar masing-masing. Bagaimana lagi. Kami adalah sastrawan dari
sebuah negeri yang rakyatnya dicambuki orang. Kami akan bertemu dengan
siswa-siswa SMU negeri yang rakyatnya dicambuk orang. Kami nyatalakan TV. Di
sana, kami lihat presiden yang rakyatnya dicambuki orang, para menteri dari
negara yang rakyatnya dicambuki orang, wakil-wakil rakyat dari rakyat yang
dicambuki orang –tanpa cita-cita untuk mewakili rakyat menerima cambukan. Lalu
lagu-lagu dari penyanyi sebuah negeri yang rakyatnya dicambuki orang. Kami
tidak tahan. Kami matikan TV dan termangu.<br /> <br />Aku menangis diam-diam. Tengah malam aku keluar sendirian menuju pantai.
Terkenang sekilas gadis Sumbawa berkulit anggur pegunungan yang membisikkan
lawas di atas: “Jika kau rindu padaku/ Sibak atap pandang bintang/ Di bulan
bertemu pandang. Dan rembulan bersinar dengan megahnya. Jajaran nyiur dan ombak
yang berdebur pelan bagai dengkur perempuan sehabis persetubuhan membikin
malam menjadi hening, dan suci, dan kudus. Aku beringsut pelan-pelan, kembali
ke kamar, tak sanggup menghadapi kesyahduan malam, tak mampu menerima bentangan
keindahan dari sebuah negeri elok yang rakyatnya dicambuki orang.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">*) Agus R. Sarjono, lahir di Bandung, Jawa Barat, 27 Juli 1962. Namanya dikenal
sebagai penyair, dan penulis esai sastra yang dimuat di berbagai media massa. Alamat
blognya agusrsarjono.wordpress.com <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/08/laut-komodo-sastra/">http://sastra-indonesia.com/2021/08/laut-komodo-sastra/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-6715032853757821482021-07-28T03:38:00.004-07:002021-07-28T03:38:52.518-07:00MENEMUKAN ALLAHKuswaidi Syafiie<br /> <br />"Aku mencarimu oh Tuanku<br />di seluruh alam raya.<br />Sementara di rumahku<br />Engkau senantiasa bertahta."<br /> <br />Puisi di atas digubah oleh Maulana Jalaluddin Rumi (1207-1273) yang
kemudian banyak dijadikan referensi oleh sufi-sufi setelah beliau. Baris-baris
kalimat puitik itu menggambarkan tentang berlangsungnya pencarian spiritual
yang dilakukan oleh mereka yang telah mengerti dan merasakan apa arti dari
suatu dahaga ruhani.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kesadaran tentang sangkan paran, tentang asal-usul sekaligus akhir dari
segala sesuatu yang dalam terminologi keislaman dikenal dengan sebutan Allah,
akan senantiasa menggerakkan siapa saja untuk melangkahkan kaki-kaki
spiritualnya menuju "alamat" yang paling sakral tersebut.<br /> <br />Lewat sejumlah ritual yang telah dipaketkan oleh Allah SWT melalui sekian
banyak ajaran yang diturunkan kepada nabi utusan terakhir, Nabi Muhammad SAW,
orang-orang beriman senantiasa menyusuri berbagai macam kemungkinan untuk bisa
semakin gamblang merasakan kedekatan dengan hadiratNya.<br /> <br />Mereka tidak hanya menggunakan hati yang merupakan antena spiritual untuk
merasakan kehadiranNya lewat segala sesuatu, akan tetapi juga memfungsikan akal
pikiran untuk merenungi peran-peran yang dimainkan oleh Allah SWT melalui
apapun yang dikehendakiNya. Mereka mencari keagunganNya di langit, di
bintang-gemintang, di rembulan, di mega-mega, di gunung-gunung, di
sungai-sungai, di luas samudra raya, di mana-mana.<br /> <br />Karena seluruh makhluk yang bertebaran di alam semesta ini telah dipinjami
wujud oleh hadiratNya, maka mustahil Allah SWT tidak memiliki sejumlah peran
pada semua itu, seberapapun kadar dan prosentasinya. Dengan karunia ruhani yang
dihidangkan oleh hadiratNya, melalui ketajaman mata batin (bashirah)
orang-orang beriman itu pertama-tama akan menyaksikan energi-energi sekaligus
perbuatan-perbuatanNya (af'alullah) pada apapun yang dipergoki, termasuk padi
diri mereka sendiri.<br /> <br />Pada saat mereka mendapatkan tajallil af'al itu, tirai alam semesta akan
tersingkap seketika. Ia tidak akan menjadi hijab lagi bagi mereka. Pada waktu
yang bersamaan itu pula mereka akan merasakan puncak kenikmatan dari rasa
tawakkal yang begitu anggun dan mempesona. Kenapa demikian?<br /> <br />Secara sufistik, jawabannya saya kira merupakan suatu kepastian. Yakni,
ketika semua energi dan tindakan sudah disadari dan dirasakan bahwa sumbernya
tidak lain adalah Allah SWT semata, orang-orang beriman itu akan betul-betul
menyadari bahwa menciptakan rencana di luar rencanaNya, melambungkan kehendak
yang tidak seirama dengan kehendakNya, memilih tujuan yang tidak sealur dengan
tujuanNya, sesungguhnya sama saja dengan menabuh gendrang kesia-siaan, bahkan
pengingkaran.<br /> <br />Itulah sebabnya tawakkal kemudian menjadi satu-satunya pilihan yang niscaya
bagi mereka. Sayup-sayup tapi pasti, seakan terdengar sepotong sabda Nabi
Muhammad SAW oleh pendengaran batin mereka: "Jaffatil aqlamu wa
thuwiyatish shuhuf/ Pena-pena yang menulis segala takdir telah kering dan
buku-buku yang mencatat takdir-takdir itu telah dilipat."<br /> <br />Tawakkal dalam konteks ini bukan terutama dibangun di atas fondasi
keyakinan terhadap hadiratNya, akan tetapi sepenuhnya meluncur dari suatu
kesaksian (musyahadah) terhadap kemahakuasanNya yang tunggal tapi sekaligus
menyebar ke seluruh partikel yang ada di seluruh jagat raya. Dan posisi kesaksian
itu jauh berada di atas posisi keyakinan. Pada keyakinan itu masih terbentang
adanya jarak. Sedangkan pada kesaksian jarak itu telah luruh dan lumat.<br /> <br />Ketika kesaksian spiritual itu bertahta di atas puncak bukit ruhani
seseorang, dia akan menyaksikan sifat-sifat Allah SWT itu jauh lebih gamblang
dan nyata dibandingkan dengan makhluk apapun yang paling empirik di dunia ini.
Kenapa demikian?<br /> <br />Di hadapan bashirah seseorang yang telah tersucikan dari segala kabut
kedunguan, dari lumpur dosa-dosa dan dari debu-debu kefanaan, alam semesta ini
sungguh sangat temaram sebagaimana lisutnya bayang-bayang. Sementara
sifat-sifat Allah SWT yang merupakan pangkal dari tindakan-tindakanNya jadi
senantiasa bertahta dan beribu-ribu kali lipat jadi lebih memukau ketimbang
apapun yang paling indah dari jibunan makhluk-makhluk yang begitu artifisial
dan akan musnah oleh waktu ini.<br /> <br />Sekarang kaidah ketauhidan itu berubah menjadi terbalik: kalau dulu pada
awal mula mempelajari ilmu ketuhanan dalam wacana keislaman ada adegium yang
mengungkapkan bahwa adanya alam ini menunjukkan adanya Allah SWT. Kini lalu
menjadi pernyataan bahwa adanya Allahlah yang menunjukkan adanya alam. Bahkan
orang-orang makrifat dengan nada sedikit menyindir melontarkan selajur
pertanyaan: sejak kapan Allah SWT itu menjadi samar sehingga dibutuhkan adanya
makhluk untuk menunjuk kepada kemahaberadaanNya?<br /> <br />Sungguh sangat beruntung orang-orang makrifat yang merasa tidak terpisah
sejenakpun dengan Allah SWT. Dengan demikian mereka berarti mendapatkan puncak
segala kenikmatan sekaligus keindahan. Suatu kebahagiaan yang senantiasa
bersemayam di kesunyian dan kesucian hati yang dalam puisi di atas disimbolkan
dengan idiom tumah. Kenikmatan hakiki seperti itu tidak mungkin mereka tukar
dengan apapun. Wallahu a'lamu bish-shawab.<br /> <br />***<br /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/07/menemukan-allah/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/07/menemukan-allah/</span></a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-76678685354544112382021-07-28T03:36:00.003-07:002021-07-28T03:36:30.747-07:00Puisi-Puisi Tengsoe Tjahjono<b>PESISIR SAMAS YOGYA</b><br /> <br />Gusti itu ternyata tenang<br />agung dan dalam<br />kasih dan lembah manah<br /> <br /> 1977<span><a name='more'></a></span><br /> <br /> <br /> <br /><b>PANTAI</b><br /> <br />tak pelak lagi ganggang dan lumut menghibur<br />curam pantai<br />biar tak sendiri<br />melepas duka sama-sama<br />disembur asin air laut<br /> <br />sepasang camar menukik samar<br />meletakkan harapan di ujung batu perutnya<br />pantai itu serpih-serpih hidupnya<br />pernah kering – pernah basah<br /> <br />mentari di kaki<br />mentari di ubun kepala<br /> <br />nelayan-nelayan berburu impian<br />sampan kecil, buritan membawanya nebarkan jala<br />esok rebahkan diri atas pasir pantai<br />di redup matanya: pelangi penuh cahaya!<br /> <br />1980<br /> <br /> <br /> <br /><b>OMEGA</b><br /> <br />daun terakhir tlah lepas<br />daunmu<br />melayang-layang hinggap<br />di bayangmu, tak bisa<br />bercermin ia<br />segara itu terlalu berkabut<br />dasarnya onggokan kemelut!<br /> <br />1983<br /> <br /> <br /> <br /><b>SAJAK MARIA</b><br /> <br />Ibuku menyapaku lewat gigil embun<br />di tengah padang penggembalaan<br />gubug-gubug liar<br />aku yang ngiris Matahari<br /> <br />Ibu, kaukah itu?<br /> <br />Desember 1987<br /> <br /> <br /> <br /><b>GUGUR</b><br /> <br />Sedaun telah gugur<br />almanak hutan mencatatnya<br />: kabur<br /> <br />Gerimis di tikungan<br />kerdip neon tak bisa<br />menerjemahkan detak jantung.<br /> <br />1987<br /> <br /> <br /> <br /><b>CATATAN TELAH</b><br /> <br />baru kemarin sebaris kalimat<br />ditancapkan pada perut kota<br />seliar rimba<br /> <br />bunyinya tak serupa telegram<br />yang dibaca ibu tua siang ini<br />di pinggir kali<br />di tingkah padi-padi<br /> <br />Bumi Karah April 1988<br /> <br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">TENGSOE TJAHJONO, lahir di Jember 3 Oktober 1958. Penyair yang mempunyai
hobi membaca ini merupakan staf pengajar di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
FPB Unesa Surabaya. Di samping itu ia juga mengajar di Universitas Widya
Mandala Surabaya, Universitas Brawijaya Malang, dan STKIP PGRI Sumenep. Puisi,
cerpen, novel, bahkan naskah drama telah ditulisnya, di samping beberapa buku
di bidang sastra. Artikel-artikelnya dimuat di pelbagai media seperti Jawa Pos,
Surabaya Pos, Surya, Republika, Kompas, Horison, dan sebagainya. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/07/puisi-puisi-tengsoe-tjahjono/">http://sastra-indonesia.com/2021/07/puisi-puisi-tengsoe-tjahjono/</a></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-24448171192354532432021-07-28T03:32:00.001-07:002021-07-28T03:32:05.896-07:00SASTRA DI MATA IGNAS KLEDEN<b>: Mengulas Sastra Indonesia dalam
Enam Pertanyaan</b><br /> <br />Manneke Budiman, MA **<br /> <br />Membaca Ignas Kleden dalam Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan serasa
menyaksikan bangkitnya kembali kritikus Subagjo Sastrowardojo, yang pernah
gemilang dengan karyanya Sosok Pribadi dalam Sajak bertahun-tahun yang lalu.
Sejak kepergian Subagjo Sastrowardojo, terasa betul ada kevakuman dalam
produksi kritik sastra yang berbobot hingga lahirnya buku Ignas ini. Ia tidak
hanya memberikan contoh yang baik kritik sastra yang bermutu, tetapi juga
mengajarkan kepada kita bagaimana cara membuat kritik sastra yang bermutu. Ia
juga memperlihatkan bagaimana gagasan dapat dielaborasi baik secara ekstensif
maupun intensif, bergerak keluar-masuk teks sastra yang sedang diulasnya, dan
menciptakan hubungan serta relevansi antara yang khusus atau spesifik dan yang
umum atau universal.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Bahkan tidak berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa kehadiran buku Ignas
Kleden ini semestinya menjadi suatu tonggak baru yang penting dalam aktivitas
kritik sastra dan penulisan kritik sastra di Indonesia. Ignas berangkat dari
persoalan yang paling fundamental dalam studi sastra, yaitu pertanyaan apa yang
sastra dan apa yang bukan sastra, dan ini adalah suatu langkah yang berani
karena persoalan ini pulalah yang sesungguhnya menggelitik para pakar sastra
selama ini. Ketidakmampuan mereka untuk memberikan jawaban yang tuntas dan
memuaskan justru menjadi faktor penting yang memngkinkan studi sastra untuk
terus berkembang dengan dinamis.<br /> <br />Ignas mendekati persoalan ini secara multidimensional. Sastra dibahas mulai
dari hubungannya dengan masyarakat yang melahirkannya sampai ke kaitan antara
sastra dan kebenaran. Enam pertanyaan yang dilontarkan Ignas adalah
pertanyaan-pertanyaan hakiki yang tak henti-hentinya digeluti oleh para sarjana
sastra di manapun juga mereka berada. Pertama, apa yang membedakan sastra dari tulisan-tulisan
jenis lainnya? Kedua, bagaimana sastra terkait dengan kebudayaan yang
melahirkannya? Ketiga, bagaimana sastra dimaknai dalam hubungan dengan
penulisnya? Keempat, apakah sastra harus kontekstual? Kelima, bagaimana
‘persaingan’ antara sastrawan dan kritikus sastra dapat dijelaskan? Dan keenam
atau terakhir, apa hubungan antara sastra, realitas objektif, dan imajinasi?<br /> <br />Keenam pertanyaan ini coba dijawab oleh Ignas lewat esei-esei kritis
tentang berbagai genre sastra dan sastrawannya, serta masalah-masalah yang
diangkat dalam karya-karya itu. Saya tak hendak mengulas esei-esei itu satu
persatu karena hal serupa telah pernah dilakukan oleh Faruk pada harian Kompas
beberapa waktu yang lalu. Saya hanya akan mengambil beberapa gagasan yang
dilontarkan oleh Ignas dalam sejumlah eseinya sebagai titik tolak kritik saya
atau memberikan catatan kepada beberapa hal yang menarik dalam pengamatan saya
atas buku ini.<br /> <br />Pada awal tulisannya, Ignas secara terbuka menyatakan bahwa ia tidak
berbicara tentang sastra sebagai seorang kritikus sastra, melainkan lebih
sebagai seorang pembelajar sastra atau, dalam kata-kata Ignas sendiri,
keterlibatannya dengan sastra “bukanlah suatu keterlibatan profesional” (hal.
4). Posisi ini justru memberikan keleluasaan baginya untuk tidak mengikuti
‘pakem’ kerja kritikus sastra (apapun bentuknya itu jika ada). Barangkali, ini
sebabnya mengapa banyak pembaca buku ini yang berkomentar bahwa pendekatan yang
digunakan Ignas tidak konvensional dan cenderung melahirkan gagasan-gagasan yang
filosofis alih-alih sastrawi. Secara lebih gamblang dikatakan bahwa intervensi
gagasan-gagasan filsafat dalam banyak esei dalam buku ini telah menyebabkan
kekaburan batas antara kritik sastra dan esei filsafat. Saya akan menanggapi
hal ini setelah terlebih dahulu kembali pada persoalan-persoalan elementer yang
diangkat oleh buku ini.<br /> <br />Dalam menjawab pertanyaan pertama, Ignas berpegang pada dikotomi yang agak
konvensional, yakni antara makna tekstual dan makna referensial. Dalam
pandangannya, sastra berinteraksi baik dengan dunia di dalam dirinya sendiri,
yang menghasilkan makna tekstual, maupun dengan dunia di luar dirinya, yang
menghasilkan makna referensial. Ignas berkeyakinan bahwa hal yang membuat
sastra menjadi unik—yang membuat sastra adalah sastra—adalah pengedepanan makna
tekstualnya. Apakah secara implisit ada penilaian mutu atau penetapan standar
peringkat disini, yakni bahwa karya sastra yang lebih menitikberatkan pada
makna referensialnya, dengan demikian, adalah karya sastra yang bobotnya lebih rendah
daripada karya yang mengutamakan makna tekstualnya?<br /> <br />Kedua, walaupun Ignas mengakui adanya hubungan antara sastra dengan
kenyataan di luar dirinya, hubungan antara keduanya lebih bersifat “simbolik”
daripada kausal. Hubungan itu dikatakan simbolik karena selalu mengandung
ambivalensi. Bagi Ignas, sebuah simbol berperan ganda karena ia mengungkapkan
sesuatu dan, pada saat yang sama, menyembunyikannya. Dengan kepekaan yang
tinggi, Ignas mampu menghindari jebakan pemikiran yang menghubungkan sastra dan
lingkungan budayanya secara deterministik dan simplistik. Sastra, dengan
demikian, diperlakukan sebagai sebuah dunia yang kompleks dan tidak sekadar
refleksi pasif realitas di luar sana.<br /> <br />Selain itu, Ignas juga menempatkan sastra di antara tegangan antara sepasang
dikotomi lainnya, yaitu antara makna tekstual dan makna yang diberikan oleh
penulisnya. Berbeda dengan pendirian para penganut Kritik Baru yang
mengharamkan pertimbangan atas maksud penulis dalam memaknai sebuah karya
sastra, Ignas tetap berpendapat bahwa tafsir penulis atas karyanya sendiri
patut diberi tempat dalam medan pemaknaan, tetapi status tafsir penulis itu
tidak lebih istimewa dari tafsir pembaca lain. Posisi ini memungkinkan kritik
sastra untuk berbicara tentang produksi sastra di samping tentang konsumsi
sastra tanpa perlu merasa bersalah.<br /> <br />Namun, Ignas juga menegaskan bahwa, pada saat kita berbicara tentang
pengaruh sebuah karya pada pembacanya, bukan isu produksi yang terutama
berperan, melainkan latar belakang dan pengalaman hidup pembaca atau cara
pembaca meresepsi karya tersebut. Penegasan ini penting karena ia memberikan
tempat yang adil dalam kritik sastra kepada fungsi pragmatik sastra dalam
kaitan dengan pembacanya, yang juga dipersoalkan oleh para pengikut Kritik
Baru.<br /> <br />Pembahasan tentang persaingan antara sastrawan dan kritikus sastra adalah
salah satu bagian yang paling menarik bukan hanya dari segi bagaimana posisi
Ignas dalam menyikapi hal ini, tetapi juga dari segi bagaimana tegangan antara
kedua pihak itu muncul dan mewarnai esei-esei Ignas sendiri dalam buku ini.
Ignas melihat bahwa pada dasarnya perdebatan berkisar pada persoalan apakah
kritik sastra adalah suatu “pekerjaan ilmiah” atau “kegiatan kesenian.” Bagi
Ignas, bobot sebuah kritik sastra diukur dari keberhasilannya memahami sebuah
karya sastra, dan bukan dari kecanggihan teori atau metode yang digunakan oleh
kritikusnya. Artinya, sebuah kritik baru berhasil apabila kritikus mampu
“mengapropriasi sifat-sifat kesusastraan suatu karya” dan mengeksplisitkannya
dalam kritiknya (hal. 19).<br /> <br />Plato dalam Republic mengecam Homerus karena, dalam pandangannya, sebagai
seorang penyair Homerus berpretensi mengerti semua urusan, mulai dari bagaimana
caranya membuat kereta sampai bagaimana merencanakan strategi perang. Sikap
ini, menurut Plato, berbahaya karena ‘pengetahuan’ yang dihasilkan dari sikap
sok tahu sastrawan itu bisa saja diterima sebagai pengetahuan sejati oleh
pembaca yang belum matang. Bila ada banyak sastrawan berkeluh-kesah bahwa
keutuhan dan keindahan karya sastra kerap dirusak oleh pisau bedah akademis
yang ada di tangan kritikus, maka di sini kita menjumpai keluh-kesah yang
dicurahkan oleh seorang ‘akademisi’ yang melihat bahwa lahannya—pengetahuan
atau knowledge—diserobot oleh sastrawan. Ilmu terancam kedudukannya oleh puisi
sebagai agen penyampai atau penafsir kenyataan.<br /> <br />Akan pelik soalnya jika kita harus menjawab sejauh mana yang akademik
diperkenankan mengintervensi yang artistik dan sebaliknya. Ignas cukup bijak
untuk tidak menawarkan jawaban yang tertutup kepada persoalan ini. Namun, kita
dapat melihat dengan cukup jelas bahwa Ignas pun—sebagai seorang kritikus yang
bukan profesional dan bukan pula seorang sastrawan, tetapi adalah seorang
ilmuwan sosial dengan basis akademik yang kokoh—harus bergulat menyiasati
batas-batas pemisah antara kedua wilayah ini. Sebagai penulis esei-esei yang
terbit di buku ini, beratnya upaya penghayatan Ignas terhadap masalah ini tidak
hanya terjadi pada tataran konseptual, tetapi juga berlangsung pada proses
penulisan esei-esei itu sendiri.<br /> <br />Dalam artikel terakhir dalam buku Enam Pertanyaan, Ignas mengemukakan
sebuah definisi esei yang menantang: “…esei adalah tawar-menawar dan kompromi
antara konsep-konsep ilmu pengetahuan yang didefinisikan secara formal dan
polisemi bahasa puisi yang dimungkinkan oleh penciptaan metaphor-metafor yang
menerobos batas-batas makna yang telah dibakukan” (hal. 466). Meskipun esei
terbuka bagi subjektivitas maupun objektivitas dan, karena itu, memiliki
keluwesan yang luar biasa, dalam bayangan Ignas tampaknya subjektivitaslah yang
lebih ditonjolkan karena dikatakan “…sebuah esei bukan saja menjelaskan dan
membuat pembacanya mengetahui lebih banyak atau memahami lebih baik” karena
esei juga mengundang pembacanya untuk lebih terlibat secara pribadi “dengan
simpati, empati atau antipati, dengan sukacita atau rasa kesal, dan bahkan
dengan perasaan cinta dan benci” (hal. 463).<br /> <br />Wujud pemikiran ini dalam esei-esei Ignas jauh lebih kompleks daripada apa
yang mungkin dikesankan oleh pernyataan-pernyataan di atas. Dalam esei tentang
sajak-sajak Dorothea Rosa Herliany, misalnya, kita melihat analisis yang
ekstensif, yang melibatkan diskusi konsep-konsep abstrak, seperti
Verdinglichung, Geworfenheit, Weltanschuung, dan licencia poetica, kita dapat
menjumpai paragraf-paragraf akademis, seperti:<br /> <br />Perjuangan menentang patriarki dilakukan dengan cara mempersoalkan,
menegasikan, dan mendekonstruksikan pranata yang secara tradisional menjadi
alat untuk membenarkan dan melestarikan dominasi kaum laki-laki dalam
perkawinan dan kehidupan berkeluarga. Kombinasi cinta dan kesetiaan, yang
biasanya diasumsikan menjadi landasan utama kerukunan keluarga, secara
eksplisit disangkal dan ditolak… Lawan bertarung tidak saja harus dikalahkan,
tetapi harus diselesaikan secara kanibal. Puncak rasa lapar dihadapkan pada
suguhan daging di atas meja makan. Pemberontakan gender tampil sebagai antitese
yang keras, yang mudah-mudahan menelurkan kesetaraan baru antara laki-laki dan
perempuan, sebagai sintesanya. (hal. 323)<br /> <br />atau seperti:<br /> <br />Jelas sekali di sini, bahwa pada penyair Sutardji Calzoum Bachri dan
penyair Jerman Hugo Ball, penggunaan bunyi-bunyi yang tidak ada rujukannya
dalam kamus itu, menunjukkan suatu pemberontakan yang radikal terhadap semantik
dalam bahasa. Sutardji bahkan dalam “Kredo Puisi”-nya menolak perhambaan
kata-kata oleh konsep-konsep, yang kemudian mengungkung kata-kata tersebut
dalam pengertian yang dibakukan dan menyebabkan kata-kata itu kehilangan
kemerdekaannya. Dalam kata-kata Sutardji sendiri: “Kata-kata bukanlah alat
mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa yang menyalurkan air. Kata
adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas”. Karena itu dalam menyajak dia pun
mempunyai visi sendiri tentang tugas puisi dan peran kata-kata dalam sajak…
(hal 331-332)<br /> <br />Pada dua contoh kasus ini, kita menyaksikan kritik sastra dalam
operasionalnya. Pada petikan pertama, kandungan puisi Dorothea, “Buku Harian
Perkawinan”, berhasil di-“apropriasi” oleh Ignas dan dieksplisitkan secara
efektif tanpa kelebihan beban teori. Sementara itu, pada petikan kedua,
interioritas sajak Hugo Ball dan Sutardji Calzoum Bachri, yang oleh Ignas
dijadikan pembanding dalam diskusi sajak-sajak Dorothea, diangkat ke tataran
eksterioritasnya sambil tetap mempertahankan keseimbangan dan relevansi yang
tinggi di antara keduanya.<br /> <br />Namun, pada bagian lain esei ini kita juga dapat menjumpai adanya suara
lain yang, barangkali oleh Ignas dirujuk dengan istilah “subjektivitas”, tetapi
bagi saya tampak sebagai pengaburan posisi kritikus dan sastrawan. Tidak jelas
lagi apakah Ignas sedang berbicara sebagai seorang pengaji sastra atau sedang
menjadi ‘penyair bayangan’ yang puitikanya saling tindih dengan puisi Dorothea
Rosa Herliany yang menjadi subjek kajiannya. Misalnya, pada petikan berikut ini
kita mendengar Ignas kritikus sastra berbicara, tetapi puitika ekspresinya
bukan merupakan bagian dari kritik sastra dan lebih mirip sebagai puitika
sebuah syair:<br /> <br />Menghadapi kehampaan yang serba mencekam, pedoman yang dapat jadi penunjuk
jalan, muncul sebagai suatu kebutuhan mendesak. Sejarah mungkin dapat menjadi
pegangan. Sayangnya, kenisbian dunia menjadi juga kenisbian sejarah. Kebudayaan
adalah tempat orang bertukar tanda dan berbagi isyarat, namun kenisbian,
kebiasaan berlupa akan kembali membuatnya tanpa makna dan sia-sia. Para pendahulu
telah mewariskan banyak pengalaman yang dapat jadi pegangan sekarang. Namun,
ingatan manusia teralu singkat, sementara masa lampau yang dapat menjadi
pelajaran, sering dihindari sebagai beban bagi kemedekaan. (hal. 314)<br /> <br />Demikian juga petikan lain dari esei yang sama di bawah ini:<br /> <br />Kalau tempat senantiasa nisbi, maka perjalanan selalu buntu. Keinginan
berjumpa harus diganti dengan usaha berkirim kabar kepada siapa pun di tempat
jauh. Maka surat diposkan, telegram dikirim, dan merpati dilepas dari sangkar.
Ikhtiar ini pun tak menambah banyak gairah dan harapan. Telegram hanya sanggup
membuat seseorang menunggu seperti layaknya menanti Godot yang tak kunjung
tiba, surat tak pernah sampai ke alamatnya, sementara merpati pos kembali ke
sangkarnya. Kehidupan tampil dalam wujudnya yang paling minimal: kutukan bagi
manusia untuk berupaya, meskipun usahanya ditakdirkan untuk sia-sia. Mengapa
Sisiphus selalu menggoda? Mengapa terus-menerus mendorong batu besar ke puncak
bukit, meskipun tahu pasti batu itu segera menggelinding kembali ke tanah datar
atau terhunjam ke jurang yang dalam? (hal. 316)<br /> <br />Pada kedua petikan ini muatan puitis cukup sarat: ada paralelisme dalam
struktur ujaran, repetisi kata-kata dan ujaran-ujaran, bahkan aliterasi pada
bunyi-bunyi, dan pertanyaan-pertanyaan retorik, disertai dengan perenungan yang
sifatnya refleksif. Semuanya membangun suasana puitik yang cukup kental yang
kontras dengan sikap dan pendekatan yang digunakan pada dua petikan sebelumnya.
Kedua jenis pengungkapan yang berbeda ini secara berselang-seling muncul dalam
keseluruhan esei Ignas ini dan menghadapkan pembaca pada persoalan status serta
suara kritikus dalam konteks “persaingan”-nya dengan sastrawan. Jika Plato
cemas bahwa filsafat akan terpinggirkan oleh puisi dalam usahanya menyampaikan
kebenaran, Ignas lewat tulisan kritisnya atas puisi justru meleburkan
gagasan-gagasan akademiknya dalam domain bahasa puitik.<br /> <br />Juga tak begitu jelas apakah ini wujud dari penggabungan tiga metode—metode
empiris-analitis, metode historis-hermeneutis, dan metode sosial kritis—dalam
tulisan yang dipaparkan Ignas pada bagian lain bukunya. Lewat penggabungan itu,
Ignas hendak “mencapai sebuah sintesa di mana ilmu-ilmu sosial dapat berkembang
tanpa harus terjebak dalam situasi yang merugikan hubungan-hubungan komunikasi
yang manusiawi” (hal. 369). Lebih jauh lagi, Ignas hendak melihat suatu ilmu
sosial yang berupa:<br /> <br />…”teori sosial kritis yang bersifat empiris-ilmiah tanpa menjadi ilmu
empiris-analitis, yang bersifat filosofis dalam arti kritis, tetapi tidak
menjadi “filsafat pertama” tanpa presuposisi, yang bersifat historis tanpa
terjebak dalam historisisme, dan yang bersifat praktis dalam arti terarah pada
praktik politik, yang bersifat emansipatoris, tetapi tidak menjelma menjadi
kontrol yang bersifat tenologis-administratif.” (hal. 369)<br /> <br />Permasalahan menjadi lebih pelik lagi karena, selain apa yang saya lihat
sebagai pengaburan-pengaburan itu, ada hal lain yang kian membuat esei-esei
Ignas menjadi menggelitik untuk dikaji bukan dari segi subtansinya—karena
kualitas Ignas dalam hal ini sulit untuk disangkali oleh siapa pun—tetapi dari
segi strategi penulisannya. Pada sejumlah eseinya yang lain, terlihat ada
‘perebutan ruang’ antara kritik Ignas atas karya yang sedang dikaji dan semacam
‘metakritik’ (yang tidak persis sama dengan pengertiannya menurut Adorno) yang
seakan mengomentari kritik yang sedang dikerjakan itu.<br /> <br />Dalam eseinya tentang karya-karya Umar Kayam, secara menarik Ignas
berbicara tentang kecenderungan Kayam untuk terlibat terlalu jauh dalam novel
atau cerpennya. Hal ini khususnya tampak pada ketiadaan jarak yang diambil oleh
Kayam sebagai seorang peneliti budaya di satu pihak dan Kayam sebagai seorang
sastrawan di lain pihak. Dalam istilah Ignas, Kayam bukanlah seorang ahli dalam
pen-jarak-an (distanciation), melainkan seorang ahli dalam keterlibatan
(belongingness). Akibatnya, tokoh-tokoh dalam karya-karya Kayam seolah tak
memiliki kemandirian dan terlalu didikte oleh penulisnya.<br /> <br />Namun, dalam berargumentasi untuk menyampaikan gagasan-gagasan tersebut
Ignas menempuh strategi yang, bagi saya, cukup mengusik sekalipun menarik untuk
dikaji lebih jauh. Dalam esei tentang Kayam itu, ada porsi yang sangat besar
yang diambil oleh diskusi-diskusi tentang tokoh-tokoh lain dalam dunia
referensial, yang sama sekali berbeda dari tokoh-tokoh dalam dunia tekstual
karya-karya Kayam. Ada diskusi panjang-lebar tentang Jalan Tak Ada Ujung-nya
Mochtar Lubis, tentang Lahami Marah Rusli, tentang teks-teks Putu Wijaya,
tentang novel Rosamunde Pilcher, yang ditimpali di sana-sini oleh nama-nama
besar, seperti Clifford Geertz, Leo Loewenthal, Walter Benjamin, Max Weber,
Georg Lukacs, Paul Ricoeur, dll. Bahkan, ada daftar perbandingan antara
tokoh-tokoh dalam Para Priyayi dan dalam The Shell Seekers (Rosamunde Pilcher)
yang lengkap dan panjang.<br /> <br />Apa konsekuensi kehadiran deretan panjang karya/sastrawan pembanding dan
tokoh pemikir dunia ini bagi esei Ignas? Yang jelas, aliran gagasan utama yang
langsung berkenaan dengan teks-teks Kayam sendiri sering di-interupsi oleh
perbandingan-perbandingan itu, dan ini membuat pembaca tak jarang kehilangan
jejak atau mengalami ketidaknyamanan dalam membaca. Di atas kritik terhadap
karya-karya Kayam, Ignas menumpangkan semacam ‘metakritik’ yang menanggapi
substansi kritik terhadap Kayam. Petikan-petikan dari teks-teks lain hadir
dengan cukup padat. Pada akhirnya, pembaca bisa jadi bertanya-tanya kemana
sesungguhnya Ignas hendak membawa mereka? Apakah ia hendak berbicara tentang
karya-karya Umar Kayam pada khususnya ataukah hendak menyampaikan
naratif-naratif besar tentang sastra pada umumnya?<br /> <br />Bila pada akhir esei Kayam dinilai lebih berhasil melakukan reproduksi
literer atas struktur masyarakat yang hendak dikritisinya daripada menginisiasi
perubahan sosial secara literer, Ignas dalam eseinya ini lebih berhasil
memperkenalkan keunikan berbagai teks sastra dan pengarangnya, serta pemikiran
sejumlah tokoh ilmuwan sosial dan budaya, daripada membantu pembaca memahami
teks-teks Kayam secara lebih komprehensif.<br /> <br />Hal serupa juga muncul dalam esei tentang Putu Wijaya. Ignas menjelaskan
bagaimana Putu jatuh dalam jebakan metanaratif yang menumpulkan ketajaman naratif
cerpen-cerpennya sendiri. Akibatnya, walaupun Putu tergolong sangat produktif
menghasilkan karya-karya, produktivitas ini tidak diimbangi oleh mutu yang
tinggi. Meskipun demikian, Ignas tak lupa juga untuk bersikap seimbang dengan
memperlihatkan segi-segi keunggulan Putu Wijaya. Di antaranya, kelebihan Putu
terletak pada kemampuannya menggunakan kebebasan penuh untuk memainkan sebuah
gagasan, yang oleh Ignas dipandang sebagai suatu orisinalitas.<br /> <br />Namun, sama seperti esei tentang Kayam, diskusi tentang Putu dalam esei ini
juga sarat dengan interupsi yang pada taraf tertentu berguna untuk membantu
pembaca memahami Putu dengan lebih baik, tetapi karena frekuensi interupsi yang
cukup tinggi serta panjangnya ulasan yang menginterupsi itu, proses penjelasan
dan pemahaman malah menjadi tersendat dan berlangsung dengan lebih rumit. Ada
Charles Morris, Nietzsche, Pasternak, Ricoeur, Schleiermacher, Clifford Geertz,
dan bahkan Pramudya Ananta Toer yang, di satu pihak, menunjukkan betapa
ekstensifnya pembahasan Ignas atas karya-karya Putu, tetapi di lain pihak,
ekstensi yang luas dan jauh itu juga merusak aliran narasi tentang Putu
sendiri. Sentralitas Putu Wijaya didesak ke pinggir oleh frekuensi kemunculan
nama-nama dan pemikiran-pemikiran lain yang tidak secara langsung terkait
dengan karya-karya Putu.<br /> <br />Secara singkat, kedua jenis permasalahan yang hadir dalam esei-esei Ignas
ini langsung berkenaan dengan pernyataan penting yang dikemukakannya dalam
tulisannya tentang simbolisme dalam cerpen, yang membahas 18 cerpen pilihan
Kompas tahun 1997. Di situ ia dengan tegas menyatakan bahwa “pemujaan kepada
kenikmatan” dapat mengakibatkan pudarnya manfaat sebuah analisis, sedangkan
“pemujaan terhadap metodologi” dalam studi sastra dapat menghilangkan
kenikmatan membaca karya sastra (hal. 148). Saya rasa Ignas, tanpa sadar,
sedikit banyak juga terperangkap di antara kedua situasi tersebut. Ini
memperlihatkan betapa sulitnya dalam praktiknya untuk membuat sebuah esei
terbuka buat subjektivitas dan objektivitas sekaligus, meskipun secara ideal
inilah sasaran yang hendak dicapai.<br /> <br />Dalam eseinya yang berjudul “Kebudayaan dari Posisi Seorang Seniman”, yang
secara khusus membahas pemikiran-pemikiran budaya Rendra sebagai seorang
penyair, bahkan sama sekali tak ada persentuhan dengan dunia tekstual puisi
dalam bentuk dialog dengan puisi Rendra itu sendiri. Padahal, beberapa kali
Ignas menekankan pentingnya kerja kritik sastra dalam memperlihatkan bagaimana
makna tekstual itu beraksi untuk menjadikan puisi sebagai puisi. Tidak ada petikan
atau potongan syair Rendra sama sekali kecuali dalam bentuk penyebutan
judul-judul syairnya, dan perbincangan tentang Rendra hanya menjadi sekadar
ilustrasi bagi pembicaraan yang lebih serius dan makro tentang kebudayaan.<br /> <br />Terlepas dari sejumlah persoalan ini, sekali lagi harus dinyatakan bahwa
buku ini juga sarat dengan contoh kritik sastra yang bermutu tinggi yang berisi
pemikiran-pemikiran yang hanya dapat ditelurkan oleh seseorang dengan
pengetahuan, kecerdasan, dan keluasan pengalaman seperti Ignas. Bagian-bagian
itu mendemonstrasikan kemampuan Ignas untuk memadukan yang subjektif dan yang
objektif serta yang analitik dan yang puitik dalam suatu harmoni. Misalnya,
saya contohkan dua buah petikan dari tulisan Ignas yang membahas puisi karya
Mochtar Pabotinggi, “Karaeng”: … Sajaknya berjudul “Karaeng” adalah sebuah epos
kecil yang mengharukan dan sekaligus meyakinkan. Sebab Karaeng yang tegak di
hulu kapalnya dan mengawasi badai di balik samudra, akhirnya menemukan samudra
yang sama riuhnya bergolak dalam dirinya…” (hal. 280). Dan selanjutnya, setelah
diselingi cuplikan sajak:<br /> <br />Suatu kontras yang indah dan impresif muncul bagaikan relief yang membusung
dari pahatan dinding, tanpa ketahuan akal-akalan penyairnya untuk menemukan
diksi yang optimal, karena di luar ada riuh badai di balik samudra, sedang
dalam dirinya Karaeng mengahdapi samudra yang bergolak sedemikian rupa,
sehingga deru musim hanya melintas bagaikan denting yang sayup-sayup sampai.
Cerita tentang kepahlawanan Karaeng bukanlah suatu deskripsi historis dalam
sajak sebagai formatnya, tetapi suatu penyampaian figuratif, tempat suatu
pernyataan seorang penyair tampil bagaikan kiasan yang mengisyaratkan maksud
dan makna lain yang justru tidak terucapkan. Puisi seakan-akan pantun yang
seluruhnya bermuatan sampiran, karena isi pantun tersebut sebetulnya tersirat
dalam kepala dan hati masing-masing pembacanya. Ibaratnya, bintang-bintang
hanya menyampaikan cahaya kelap-kelip, tetapi pelaut sejati selalu menemukan
makna dan petunjuk “yang selalu dibaca leluhurnya.” (hal. 281)<br /> <br />Dalam kedua petikan ini terlihat konsistensi upaya Ignas untuk tetap
membumikan analisisnya sedekat mungkin dengan teks yang menjadi subjeknya,
sehingga pernyataan-pernyataan umum tentang puisi tidak pernah meninggalkan
pijakan spesifik dalam sajak yang menjadi titik tolak pengembangan pemikiran.
Juga tak ada interupsi dari nama-nama dan gagasan-gagasan besar yang memenuhi
hall of fames dunia ilmu pengetahuan seperti dalam beberapa eseinya yang lain.
Justru faktor inilah yang menambah ketajaman analisis Ignas atas sajak Mochtar
Pabotinggi ini.<br /> <br />Contoh lain bisa diambil dari eseinya tentang kumpulan sajak Joko Pinurbo,
Di Bawah Kibaran Sarung. Dalam salah satu bagian pembahasannya Ignas
berargumentasi:<br /> <br />Pertanyaannya ialah mengapa penyair Joko Pinurbo selalu memandang tubuh
manusia dengan nada yang ironis, dengan bitter aftertaste, yaitu rasa pahit
yang menyusul setelah kita menelan sesuatu? Apakah tubuh manusia tidak
menimbulkan pesona apapun pada penyair ini? Jawabannya saya kira harus dicari
dalam hubungan penyair ini dan lirik. Pilihannya untuk tidak mempedulikan alam
luar, rupanya mempunyai akibat bahwa dia tidak sempat lagi mendengar cicit
burung, nyanyian hujan, atau bunyi desah bambu yang diterpa angin, yang hanya
dapat didengar dari alam. Kegembiraan liris inilah yang menurut pendapat saya
tidak terasa dalam sajak-sajak ini, yang memfokuskan perhatiannya pada tubuh
manusia semata-mata. Yang terdengar adalah humor yang pahit, seperti seseorang
yang menertawakan segala sesuatunya, sedemikian rupa, sampai kita tak yakin
lagi apakah dia sedang bercanda dan bergembira ataukah dia sedang menangis dan
merintih dalam hati, atau bahkan kehilangan akal warasnya. (hal. 257-258)<br /> <br />Pada petikan ini, Ignas membuka dialognya dengan puisi Jokom Pinurbo
melalui beberapa pertanyaan yang secara strategis dilemparkan dan tidak hanya
berfungsi secara retorik belaka. Strategi ini membuka jalan baginya untuk masuk
secara intens dalam analisis yang konkret karena secara kukuh berbasis pada
teks. Dalam paragraph yang padat tetapi solid ini, Ignas membawa pembaca tahap
demi tahap untuk mengikuti alur argumentasinya tentang isi puisi, yang dengan
sangat baik diakhiri dengan kesimpulan atau penilaian atas makna. Kesemuanya
dilakukan melalui suatu pembacaan dekat yang tak pernah lepas dari makna
tekstual karya.<br /> <br />Pada akhirnya, barangkali boleh dikatakan bahwa keseluruhan permasalahan
yang diangkat ataupun dihadapi Ignas dalam buku Enam Pertanyaan ini pada
dasarnya berkisar di seputar hubungan antara sastra, ilmu, dan imajinasi, yang
merupakan pertanyaan keenam dan terakhir buku ini. Pada esei yang membahas hal
ini, Ignas melemparkan sebuah pertanyaan penting yang jawabannya tidak
sepenuhnya hadir secara nyata, tetapi terus menghantui perjalanan esei-eseinya,
yakni: “Kalau tanggapan kita tentang realitas objektif selalu dipengaruhi oleh
konstruksi yang dibuat oleh imajinasi kita sendiri, maka di manakah letak
perbedaan antara kenyataan empiris dan kenyataan imajiner?” (hal. 22).
Seandainya pertanyaan ini bisa dijawab, mungkin kita akan mendapatkan juga
jawaban bagi pertanyaan apa yang sastra dan apa yang bukan sastra. Barangkali
gerakan keluar-masuk yang dilakukan Ignas dalam esei-eseinya, yang bagi saya
menyebabkan kekaburan itu, adalah bagian dari upaya untuk menguji apa yang
merupakan realitas objektif dan apa yang merupakan imajinasi sendiri. Beruntung
bahwa Ignas menyadari adanya komplikasi ini dan membantu kita untuk
menyadarinya juga.<br /> <br />Namun, yang pasti, jika pertanyaannya adalah: “Apakah karya-karya yang
dibahas ini, telah memperoleh suatu kajian yang mempunyai dasar-dasar yang
dapat diperiksa kembali oleh pembaca, dan telah dikerjakan dengan suatu tingkat
kesungguhan yang dituntut oleh jenis-jenis pekerjaan seperti ini”?, maka
tanggapan saya adalah bahwa Ignas telah sepenuhnya memperlihatkan
kesungguhannya, dan hasilnya adalah sebuah buku yang bukan hanya berisi kritik
atas berbagai karya sastra Indonesia, tetapi juga merupakan sebuah manual
kritik sastra yang berguna bagi siapa pun yang ingin mendalami dunia ini dengan
lebih intens. Dan untuk itulah buku Sastra Indonesia dalam Enam Pertanyaan ini
patut mendapatkan pujian.<br />***<br /> <br />* Tulisan ini disampaikan pada Diskusi sastra buku Ignas Kleden: Sastra
dalam Enam Pertanyaan yang diselenggarakan oleh Departemen Susastra Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada tanggal 1 April 2005 di
kampus FIB UI Depok.<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">** Manneke, MA. adalah dosen Program Studi Inggris, Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya Universitas Indonesia. <a href="http://www.fib.ui.ac.id/">http://www.fib.ui.ac.id/</a>
<a href="http://sastra-indonesia.com/2012/05/sastra-di-mata-ignas-kleden/">http://sastra-indonesia.com/2012/05/sastra-di-mata-ignas-kleden/</a></span>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-71523672830853656862021-07-25T09:12:00.003-07:002021-07-25T09:12:26.689-07:00Sastra Masa Depan Harus Kembali pada PerenunganIsbedy Stiawan Z.S. *<br />Riau Pos, 21 Apr 2013<br /> <br />PADA November 2012 lalu, saya berjumpa lagi dengan penyair asal Madura ini,
D. Zawawi Imron, pada acara Pertemuan Pengarang Indonesia (PPI) di Makassar.
Setelah beberapa tahun tak bertemu, penulis buku puisi Bantalku Ombak Selimutku
Angin ini sudah bertongkat. Kami pun berangkulan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Ternyata penambahan satu kaki itu untuk menyangga kaki kanan D Zawawi Imron
yang katanya teridentifikasi pengeroposan. Tapi penyair ini tetaplah terpancar
kegagahannya. Ia juga selalu tersenyum, menaburkan tawa dan canda pada
rekan-rekan pengarang tanpa memandang senior ataupun junior.<br /> <br />Saya baru tahu, kenapa penyair yang juga pernah diundang di berbagai forum
sastra dan budaya di Tanah Air ataupun luar negeri ini selalu tersenyum
walaupun mungkin ada canda rekan-rekan penyair yang keliwat batas. ‘’Selalu
berpikir positif dan tersenyumlah pada siapapun dan itu dilakukan dari dalam
jiwa,’’ katanya.<br /> <br />Ia pun mencontohkan, para pengajar semestinya sejak masuk kelas hingga
keluar berilah senyuman pada siswa (murid) dengan senyuman dari dalam hati.
Dengan demikian, para guru telah menyumbangkan pada anak-anak bangsa rasa
damai. ‘’Damai itu datang dari hatinurani, bukan dari slogan. Damai itu indah,
harus dimulai dari perilaku bukan menyuruh,’’ ujar D Zawawi Imron.<br /> <br />Saya telah menduga salah, pertemuan di Makassar tak lagi berlanjut. Penyair
Madura ini kembali saya jumpai di Lampung, Rabu malam, 6 Maret 2013 lalu. Saya
berkesempatan menemaninya selama dua jam.<br /> <br />Bersama penyair Syaiful Irba Tanpaka, kami mengobrol dengan penyair
‘’silawan’’ (nama daun yang tumbuh di desa kelahiran Zawawi) ini di Kafe
Diggers, Pahoman, Bandarlampung. Kedatangan Zawawi Imrom ke Lampung serangkaian
kegiatan yang diadakan Yayasan Paramadina di Universitas Lampung.<br />***<br /> <br />D ZAWAWI Imron, penyair yang juga kyai ini, meski hanya berpendidikan
rendah setingkat SD di desa yang dulunya sangat terpencil namun dengan
kegigihan dan perjuangannya bisa menjadi salah seorang penyair Indonesia yang
diperhitungkan (Celurit Emas, Said Abdullah Institute, untuk Kongres Kebudayaan
Madura II, 2012).<br /> <br />Penyair “Bulan Tertusuk Ilalang” yang telah memperoleh penghargaan The SEA
Writers dari Kerajaan Thailand tahun 2012 ini, banyak menerbitkan kumpulan puisi.
Zawawi Imron mulai diperhitungkan dalam ranah sastra Indonesia ketika diundang
Pertemuan Penyair 10 Kota tahun 1982 di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta.<br /> <br />Dari Hotel Sheraton, tempat penyair ini menginap, hingga Kafe Diggers kami
membincangkan ihwal sastra Indonesia. Percakapan dilanjutkan di kafe di
sela-sela menikmati hidangan ringan dan penyair ini membuat sketsa wajah kami.<br /> <br />Menurut penyair yang semasa kecil pernah menjalani kehidupan sebagai kuli
dan mengumpulkan batu-batu untuk menghampari jalan, saat ini banyak penyair
muda yang di antaranya bagus dan bisa diharapkan menjadi penyair yang
benar-benar bagus.<br /> <br />Bagi mereka yang baru muncul menghiasi media cetak, biarlah berproses untuk
menemukan identitas dirinya dalam puisinya. ‘’Saya senang membacanya, karena
ada warna dan gaya yang bagus,’’ ujar penyair kelahiran 1 Januari 1945 di
Batang-Batang, Sumenep, Madura.<br /> <br />Penyair kumpulan puisi Nenek Moyangku Airmata yang ditunjuk sebagai Buku
Puisi Terbaik dari Yayasan Buku Utama (1985) mengaku ada semacam perasaan
bahagia tersendiri dalam kehidupan bersajak, yakni ia sering berhadapan dengan
aneka rahasia dan teka-teki yang mengasyikkan untuk disingkap.<br /> <br />‘’Adakalanya saya berhasil membuka sebagian saja wajah teka-teki itu, tapi
adakalanya pula saya kehilangan jejak karena rahasia dan teka-teki itu secara
tiba-tiba menghilang dari jangkauan ingatan atau kenangan,’’ ujar penyair yang
dikenal sebagai ustad ini.<br /> <br />Proses kreatif Zawawi Imron ini pernah pula ia sampaikan pada pembacaan
sajak-sajak “Celurit Emas” di TIM, 22 November 1984. Menyinggung maraknya
komunitas sastra di Tanah Air, Zawawi melihatnya sebagai gerakan positif.
Dikatakan penulis buku Madura Akulah Darahmu dan Lautmu tak Habis Gelombang
ini, kalau anak-anak muda mau menulis dengan jiwa yang jernih dan kreatif,
berarti makin banyak barisan hatinurani yang akan memberikan inspirasi positif
bagi bangsa nantinya.<br /> <br />Menanggapi masa depan sastra harus kembali kepada sastra ’renungan’ yang
sempat dilontarkan Budi Darma, penyair yang kini bekerja di Yayasan Paramadina
ini, sangat setuju. Pasalnya, Zawawi menerangkan, olah pikir dan olah rasa
dengan penghayatan terhadap nilai-nilai hidup itu diperlukan untuk memberikan
ruh dan substansi kemanusiaan ke dalam sastra.<br /> <br />Karena itu, sastra tanpa renungan tentu tak mengandung pendalaman. Ia hanya
ditulis mengikuti selera pasar dan otomatis tak bisa memberi inspirasi yang
menuju kehidupan berbudaya dan bermartabat.<br /> <br />Sastra hasil kontemplasi, menurut Zawawi, akan menyimpan nilai-nilai yang
diperlukan pembaca. Sehingga pembaca menemukan sesuatu yang berharga (bernilai)
yang sebelumnya tidak terpikirkan. Ihwal anggapan karya sastra di media cetak
cenderung mengikuti selera redaktur, Zawawi Imron menilai, bahwa tiap tedaktur
sastra punya selera sendiri itu sudah sejak dulu. Karena itu, pesan dia,
redaktur sastra harus pula luas cakrawala sastranya. Tetapi yang sudah berjalan
ini sudah sehat.<br /> <br />Sayang percakapan harus dihentikan, sebab malam menunjukkan pukul 22.13.
Penyair D Zawawi Imron harus istirahat, seperti kata dia saat di mobil seakan
mengingatkan kami, berilah hak bagi tubuhmu untuk istirahat karena jika kau tak
memberikan hak itu pada tubuhmu sama artinya telah menzalimi diri sendiri.<br /> <br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;">*) Isbedy Stiawan ZS, sastrawan yang rajin menulis karya sastra seperti
sajak, cerpen dan esai. Buku-buku kumpulan puisinya telah terbit dan terjual di
pasaran. Bermastautin di Bandarlampung, Lampung. <a href="http://sastra-indonesia.com/2013/04/sastra-masa-depan-harus-kembali-pada-perenungan/">http://sastra-indonesia.com/2013/04/sastra-masa-depan-harus-kembali-pada-perenungan/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-9701854271356917432021-07-24T17:14:00.002-07:002021-07-24T17:14:17.571-07:00SenapanAS. Sumbawi<br /> <br />Sejujurnya, barangkali kita akan membawa lari ketakukan kita saat
mengetahui seseorang berdiri di pinggir jalan dengan membawa senapan yang siap
mengambil nyawa manusia. Apalagi dandanan seorang itu begitu menyeramkan.
Bermata tajam elang yang memburu mangsa dan bertubuh besar seperti raksasa.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kemudian setelah berada dalam radius yang aman darinya, barangkali juga
sebagian di antara kita ada yang menelepon atau datang langsung ke kantor
polisi guna melaporkan bahwa ada seorang gila yang membikin kerusuhan di tempat
umum. Melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. Lantas buru-buru raungan
sirine menembus gendang telinga, mengabarkan bahwa sekompi petugas segera
datang demi menenangkan keadaan. Memang, sebagai pelayan masyarakat sudah
seharusnya seperti itu.<br /> <br />Akan tetapi, keadaan sebenarnya tidak seperti itu. Orang-orang bersikap
biasa saja menanggapi keberadaan raksasa bersenjata senapan yang siap mengambil
nyawa manusia itu. Mereka lewat di depannya tanpa terganggu dengan
keberadaannya. Mungkin hanya orang-orang yang belum pernah melihatnya saja yang
memberikan tatapan dengan tanda tanya. Misalnya, orang-orang yang dalam
perjalanan dari luar kota yang tengah menaiki kendaraan pribadi atau kendaraan
umum yang melintasi jalanan di depannya, dan menaiki gerbong-gerbong kereta api
yang melaju dengan bertumpu pada rel yang terpasang di belakangnya. Hal ini
membuktikan bahwa kenyataannya, sekarang ini kehidupan kita telah benar-benar
aman, tentram, dan damai. Atau mungkin juga, kehidupan telah membikin kita
menjadi acuh tak acuh. Namun yang lebih melegakan hati, adalah seorang yang
bersenjata senapan dan bertubuh raksasa itu hanyalah sebuah patung yang berdiri
di jantung kota kabupaten ini.<br /> <br />Dulu ketika masih kecil, saya pernah bertanya kepada ayah setelah
mengetahui keberadaan patung itu yang berdiri tak jauh dari rumah kami.<br /> <br />“Dia seorang pahlawan. Namanya Surendra. Dia berjuang dengan gagah berani
memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda dan Jepang,” ayah
diam sejenak. “Makanya, kita harus menghargai jasa-jasa para pahlawan yang
gugur demi bangsa dan negara. Juga berjuang mengisi kemerdekaan dengan
sebaik-baiknya. Membangun bangsa dan negara.”<br />“Bukankah setiap hari senin di sekolah, kamu mengikuti upacara?”<br />“Iya.”<br />“Ikutilah dengan sungguh-sungguh. Mengingat perjuangan para pahlawan. Dan
mendoakan mereka. Termasuk Surendra.”<br />*<br /> <br />Setelah lulus sekolah dasar, setiap hari, kecuali hari libur saya selalu
mengawasi patung Surendra. Maklumlah, untuk mencapai sekolahan SMP, saya harus
menyusuri jalan berkerikil yang ada di sebelah kanan patung tersebut. Di saat
seperti itu, pikiran saya mencoba membayangkan begitu besar perjuangannya.
Kepahlawanannya. Sehingga di kota ini mesti dibangun patung dirinya. Monumen.<br /> <br />Suatu hari dalam pelajaran sejarah, seorang guru menyuruh saya untuk
menyebutkan beberapa nama pahlawan nasional. Kemudian saya menjawabnya dengan
lancar. Guru tersebut tersenyum bangga dengan jawaban saya.<br />“… dan Surendra,” jawab saya.<br /> <br />Tiba-tiba seluruh kelas tersentak memandang saya. Begitu juga guru sejarah
itu. Beberapa teman tertawa mendengar saya menyebut nama patung tersebut.<br /> <br />“Mohon tenang,” katanya kemudian menatap saya.<br />“Dia bukan pahlawan nasional, Nalia. Memang Surendra adalah pejuang bangsa.
Akan tetapi, dia bukan termasuk pahlawan nasional.<br />“Kenapa, Bu Guru? Bukankah dia seorang pahlawan besar?! Karenanya di kota
ini didirikan patung dirinya. Dan siapa sebenarnya yang menentukan masuk atau
tidaknya seseorang sebagai pahlawan nasional?”<br />“Nalia. Memang dia seorang pahlawan negeri ini. Pejuang kemerdekaan yang
gagah berani. Namun, Surendra hanya dikenal di kota ini saja. Tidak meluas
secara nasional. Barangkali karena itu, dia tidak termasuk pahlawan nasional.”<br /> <br />Saya diam. Hanya diam hingga pelajaran sejarah selesai. Namun, dalam hati
saya belum sepenuhnya bisa menerima perkataan guru sejarah itu. Sementara
beberapa teman laki-laki yang kerap mengganggu saya, menjadikan Surendra
sebagai bahan olok-olok.<br /> <br />“Nalia. Apa dia itu kakek-buyutmu?” kata Nurel yang disambut dengan tawa
oleh anggota gengnya itu.<br />Saya mencoba tak menghiraukan mereka.<br />“Lantas kalau tidak, buat apa kau bela seperti itu?”<br />Saya hanya diam.<br />“Ee, teman-teman. Jangan-jangan Nalia nggak naksir sama kita-kita sebab dia
mencintai Surendra,” kata Haris yang kembali membikin mereka tertawa.<br />“Jancuk,” umpat Saya. Mereka terdiam, lantas serentak tertawa kembali.
Barangkali karena saya yang tak pernah misuh, sehingga kata yang saya umpatkan
terdengar lucu.<br /> <br />Sementara teman-teman yang lain hanya tersenyum kepada saya.<br />Sebentar terdengar olok-olok dari mereka:<br />“Nalia misuh, Nalia misuh….Nalia naksir patung…”<br /> <br />Sejak saat itu, perasaan saya tambah dekat dengan Surendra. Meskipun saat
itu pula, saya pertama kali mengucapkan kata kotor: jancuk! Saya tak rela
pahlawan besar itu dijadikan bahan olok-olok.<br /> <br />Dan diam-diam dalam hati saya berkata, kalau sudah besar nanti, saya ingin
mempunyai suami seperti Surendra. Tidak seperti Nurel, Haris, dan anggota
gengnya yang suka mengganggu itu.<br />*<br /> <br />Ketika SMU, perasaan saya masih dekat dengan patung pahlawan besar itu.
Setiap hari, kecuali hari libur, saya selalu mengawasinya ketika berangkat
sekolah. Yah, sungguh gagahnya. Dengan celana dilipat sebetis, kaos polos,
senapan, dan ikat kepala, tegak berdiri dipayungi langit yang cerah, pikir
saya.<br /> <br />Dalam keseharian seperti itu, tiba-tiba terbersit di benak saya untuk
mengetahui siapa sebenarnya Surendra. Kapan dan di mana dia lahir dan wafat?
Bagaimana sejarah hidupnya? Perjuangannya?<br /> <br />Kemudian dalam beberapa kesempatan, saya berkunjung ke perpustakaan
kabupaten untuk mencari literatur tentang Surendra setelah di perpustakaan
sekolah saya tidak mendapatkannya. Akan tetapi sampai berkali-kali kunjungan,
saya tak juga mendapatkannya. –Hingga kini, yang saya tahu tentang dirinya
hanyalah seperti kata ayah ketika saya kecil dulu—.<br /> <br />Sore yang cerah itu saya mengawasi patung Surendra sekali lagi. Sementara
siang tadi saya menyudahi kunjungan ke perpustakaan kabupaten. Saya putus asa.<br />Saat mengawasinya itu, dalam benak saya mengatakan bahwa dia tidak hanya
gagah, tetapi juga tampan.<br /> <br />Dalam hidupmu, selain berjuang mengusir penjajah, apa kau pernah menikah?
Punya keturunan? Kalau saja aku hidup pada saat kau masih hidup, sungguh
bahagianya diriku, bila kau menjadikan aku sebagai istrimu, pikir saya kepada
patung itu.<br /> <br />“Hei, Nalia…”<br />Saya tersentak. Saya lihat Lisa tersenyum, mendekat dengan sepeda motornya.<br />“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Haris waktu SMP dulu, bahwa kamu
naksir dia…” katanya melirik ke patung itu.<br />“Sialan,” kata saya tersenyum. Yah. Dulu, saya dan Lisa teman sekelas di
SMP. Namun sekarang, kami beda SMU. Begitu juga dengan Nurel dan Haris.<br />Kami kemudian bercakap-cakap.<br />*<br /> <br />Malam itu malam musim penghujan. Di pelataran langit, rembulan disaput
awan. Tidak jauh di sebelah timurnya, kilatan petir keperakan membelah awan.
Sementara di lokasi patung itu, hanya tiga pasangan muda-mudi duduk di sana.<br /> <br />Memang, sejak beberapa tahun terakhir ini, lokasi patung itu dijadikan
sebagai tempat memadu kasih. Saya kerap menemukan mereka ketika pulang dari
kegiatan kampus. Apalagi kalau malam minggu, wah, ramai sekali. Para pedagang
kaki lima pun tak mau melewatkan kesempatan untuk mengais rejeki di sana.
Begitu juga dengan umbul-umbul iklan produk rokok yang terpasang di
kanan-kirinya.<br /> <br />Dan malam itu, sungguh saya bahagia. Seorang yang diam-diam saya rindukan
beberapa bulan terakhir ini mengungkapkan perasaan cintanya kepada saya.<br />“Aku juga mencintaimu,” kata saya memberi jawaban.<br />Kami tersenyum berpegangan tangan.<br /> <br />Sebentar langit meneteskan gerimis. Kami beranjak dan siap-siap pergi.
Begitu juga dengan dua pasangan muda-mudi itu. Kemudian dia membawa saya dengan
sepeda motornya. Meninggalkan patung itu dengan kesepian sejarahnya. Masa lalu
yang senyap.<br /> <br />Aku mengeratkan pelukan ke tubuh Haris ketika angin mendera dan terasa
begitu dingin.<br /> <br />2006<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2008/11/senapan/">http://sastra-indonesia.com/2008/11/senapan/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-36821280992867788892021-07-19T11:11:00.004-07:002021-07-19T11:11:26.216-07:00Cerpen, Dialog, NaratifAsarpin<br />lampungpost.com<br /> <br />Suatu hari saya ditanya oleh seorang teman yang kebetulan merasa mengikuti
perkembangan cerpen kita. Katanya: apakah yang membedakan cerpen dengan naskah
drama? Saya jawab: tidak ada bedanya, dan banyak cerpen itu berupa drama dan
drama itu berupa cerpen.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tentu saja teman saya itu tak puas dengan jawaban itu. Ia tetap penasaran.
Lalu, setelah sejenak berpikir, ia pun mengajukan pertanyaan yang lain lagi:
Apa perbedaan antara cerpen yang selama ini dimuat di Kompas dengan cerpen yang
dimuat di Koran Tempo?<br /> <br />Terus terang saya tak berhak menjawab pertanyaan semacam itu. Selain harus
membutuhkan penelitian serius, sementara tak ada ruang di sini untuk memaparkan
secara panjang-lebar persoalan itu. Tapi kalau mau dipaksakan untuk dijawab,
maka perbedaan cerpen yang terbit di dua media nasional itu, adalah:<br /> <br />Pertama, cerpen di Kompas banyak dialog, sedanngkan di Koran Tempo jarang
dialog, atau hanya naratif. Kedua, cerpen Kompas realis, sedangkan cerpen Koran
Tempo tidak.<br /> <br />Tentu saja jawaban saya itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi saya kira,
sebagian besar orang melihat perbedaan yang sama, di samping perbedaan yang
lain. Saya cukup sering mengikuti cerpen yang dimuat di dua harian nasional
itu, dan tentu saja saya pernah mendengar kritikus sastra mengungkapkan kecenderungan
tema dan gaya cerpen yang dimuat di kedua media itu.<br /> <br />Jawaban itu tak perlu dianggap sebagai kesimpulan ilmiah. Ia hanya
generalisasi berdasarkan gejala luar yang tampak menonjol. Dan bukan soal ini
yang ingin saya bicarakan. Sebab, seperti sudah banyak diketahui, cerpen yang
banyak menampilkan dialog dengan yang monolog atau naratif sama-sama punya
peluang sebagai cerpen yang baik atau jelek. Nilai sebuah cerpen tidak diukur
dengan itu.<br /> <br />Seorang bijak di bidang penulisan cerpen pernah bersaran: sekarang ini
dirasakan perlu adanya porsi yang seimbang antara cerpen yang menampilkan
dialog dengan cerpen tanpa dialog. Terlalu banyak menekankan dialog tentu saja
bisa menjadi cerpen yang cengeng dan terasa ringan, dan minus dialog bisa
menjadi serius dan lambat.<br /> <br />Jarang ada cerpenis yang lihai dan piawai membangun dialog. Banyak dialog
dalam cerpen yang ternyata lemah. Hanya beberapa pengarang yang berhasil
menampilkan dialog yang cerdas dan mengejutkan, seperti Umar Kayam, Sutardji,
dan Seno. Selebihnya gagal. Dialog yang dibuat justru membuat cerita kehilangan
nyawa dan karakter menjadi lemah.<br /> <br />Sementara itu, cerpen naratif cukup digemari akhir-akhir ini. Kelebihannya
terletak pada narasi dan tuturan yang segera akan memperlihatkan apakah si
penulis cerpen berbakat atau tidak. Saya termasuk jatuh cinta pada cerpen yang
tidak ada dialog.<br /> <br />Cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma sebagian besar bermain di wilayah
eksperimen berbahasa dan satu-dua cerpen dialognya cukup berhasil. Seno
menampilkan dialog dan naratif yang cukup seimbang. Ada kalanya ia melonggarkan
dialog, tapi sering juga ia mengetatkan dialog itu hingga iramanya jadi unik
dan menarik. Kedua-duanya cukup diperhitung. Seno kadang memberontak terhadap
asas penulisan cerpen sehingga cerpen-cerpennya terasa bebas. Sementara itu,
cerpen-cerpen Isbedy terasa ringan dan enteng karena begitu banyak dialog yang
fungsinya kurang diketatkan. Andaikan dialog-dialog itu diketatkan, maka ia
akan bunyi dan iramanya akan menggema.<br /> <br />Karena Koran Tempo banyak menampilkan cerpen eksperimen, maka ada anggapan
bahwa cerpen-cerpen yang dimuat di koran ini lebih banyak yang bagus
dibandingkan dengan yang dimuat di Kompas. Apakah ini bukan sebuah perbandingan
nilai yang kacau? Ya, tapi betapa sulit membahas sebuah cerpen tanpa penilaian.
A. Teeuw saja melakukan penilaian. Yang namanya penilaian sudah pasti akan
bicara soal baik dan buruk, gagal dan berhasil.<br /> <br />Bagaimana cerpen-cerpen di Lampung Post? Izinkan saya menyampaikan sedikit
pengalaman membaca cerpen di harian ini. Tentu saja banyak cerpen yang justru
menampilkan dialog karena ada anggapan bahwa cerpen tanpa dialog bukan cerpen.
Tapi beberapa kali pula harian ini menurunkan cerpen tanpa dialog, dan bagus.<br /> <br />Saya merindukan ruang untuk cerpen dan kolom di Lampung Post diisi oleh
tulisan naratif. Rubrik Buras dan Nuansa sayangnya jarang atau tidak pernah
menghadirkan tulisan naratif. Kualitasnya pun makin lama makin merosot dan jadi
rutin. Membacanya cepat letih karena dialog yang ditampilkan menjadi seperti
kuda beban yang sayangnya tidak serbabisa. Eksplorasi berbahasa tidak pernah
jadi pertimbangan. Hanya kolom Refleksi Djadjat Sudrajat yang muncul tiap
Minggu itu yang dapat diandalkan. Dan Djadjat memang bukan lagi berbakat, tapi
ia adalah Goenawan Mohamad-nya Lampung.<br /> <br />Iswadi pernah menulis beberapa cerpen di Koran Tempo yang naratif dan enak
dibaca, walau belum tentu perlu. Arman beberapa kali menurunkan cerpen naratif,
dan bagus. Muhammad Amin, di pendatang baru di jagat cerpen di Lampung, juga
punya bakat menghadirkan cerpen naratif yang kuat.<br /> <br />Edgar Allan Poe adalah cerpenis yang sangat bakhil dengan dialog.
Cerpen-cerpennya jarang sekali ada dialognya. Mungkin ia tak percaya dengan
dialog sebagai kunci yang membuat tokoh cerita jadi hidup, konflik bisa terbuka
secara bebas, dan emosi bisa bangkit. Minusnya cerpen kita yang menampilkan
konflikpenokohan selama ini karena terlampau girang pada dialog.<br /> <br />Seandainya gaya Allan Poe diterapkan dalam esai, saya membayangkan esai
naratif ternyata juga cerpen naratif. Prosa naratif- baik berupa esai maupun
cerpen- adalah prosa tertua yang di mulut nenek moyang kita berwujud
penuturan-penuturan atau dongeng-dongeng. Sarana mendongeng yang ampuh adalah
dengan mengurangi dialog.<br /> <br />Salah satu pengarang yang pandai mendongeng, dan dongengannya selalu
berhasil, adalah Salman Rushdie. Salah satu prosanya yang menebar pesona adalah
Harun dan Lautan Dongeng. Novel ini berkisah di sebuah kota yang sedih, tentang
seorang sobat muda bernama Harun. Bapaknya adalah Rasyid Khalifa, lelaki yang
dikenal sebagai Raja Dongeng paling masyhur di sentero Alifbay. Sementara
ibunya, Soraya, adalah perempuan yang pintar bernyanyi.<br /> <br />Rasyid Khalifa dikenal juga sebagai Rasyid Sang Samudera Khayal. Namun bagi
musuhnya, yang alergi terhadap sebuah dongeng, Rasyid Khalifa adalah Raja Omong
Kosong. Apa yang didongengkannya hanya omong kosong. Tak ada kebenaran,
semuanya khayalan ompong yang membuai dan menghanyutkan. Mungkin juga sebuah
kemewahan terselubung. Kalau bukan sebuah laku-borjuis.<br /> <br />Keluarga kecil itu tinggal di sebuah lantai bawah rumah sederhana yang
berdinding merah muda dan berjendela warna hijau limau. Sementara di lantai
atas tinggal Pak Sengupta dan istrinya, Oneeta. Keduanya tak memiliki anak.
Sang istri begitu perhatian pada si Harun. Tapi Pak Sengupta tak peduli pada
Harun. Namun, ia selalu bercakap-cakap dengan Soraya, ibunya Harun. Dan Harun
merasa kurang suka lantaran lelaki ini begitu kritis terhadap ayahnya.<br /> <br />Pernah, pada suatu hari Pak Sengupta menjelek-jelekkan si Raja Omong Kosong
kepada Soraya, dan Harun mendengar dengan jelas kata-kata penuh kebencian yang
meluncur dari mulut lelaki itu. “Sumimu itu, kepalanya terpaku di udara dan
kakinya melayang di atas bumi. Apa gunanya dongeng-dongeng itu? Hidup bukanlah
sebuah buku cerita atau toko lelucon. Semua kenangan ini akan berujung tidak
baik. Apalah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?”<br /> <br />Singkat cerita, hasutan Sengupta berhasil. Soraya– ibu Harun dan istri
Rasyid Khalifa–minggat bersama Sengupta dan meninggalkan sepucuk surat penuh
kebencian pada Raja Omong Kosong yang sedang sedih itu. Begini bunyi suratnya:
“Kau hanya tertarik pada kesenangan, seorang lelaki yang bermartabat mestinya
tahu bahwa hidup adalah urusan serius. Otakmu penuh dengan dongengan, sehingga
tak ada lagi tempat untuk kenyataan. Pak Sengupta tak punya imajinasi sama
sekali. Dan itu baik buatku.”<br /> <br />Tetes air hujan menitik di atas surat itu, jatuh bergulir dari rambut Harun
yang kebetulan ada di situ. “Apa yang musti kulakukan, Nak,” Rasyid berkata
mengiba di hadapan anaknya. “Mendongeng adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa
kulakukan,” kata Rasyid Khalifa.<br /> <br />Itulah dongeng yang menggetarkan, haru dan di sana sini muncul gelak
tersembunyi. Kepiawaian Rushdie mendongeng mengingatkan kita pada kisah-kisah
fantastis Jorges Luis Borges. Bahkan buku Harun dan Lautan Dongeng bisa
memulihkan nama Rushdie di masa lalu yang heboh itu.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">*) Asarpin, Pembaca sastra. <span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/07/cerpen-dialog-naratif/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2010/07/cerpen-dialog-naratif/</span></a></span></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-77643287080695728612021-07-19T11:09:00.004-07:002021-07-19T11:09:36.672-07:00Pengarang yang Menggandeng JibrilGrathia Pitaloka<br />Jurnal Nasional 7 Sep 2008<br /> <br />Berbicara mengenai spiritualitas dalam karya sastra Indonesia, tak genap
rasanya bila tak menyebut Danarto.<br />Membaca cerpen-cerpen Danarto, lelaki kelahiran Sragen, 27 Juni 1940 ini,
seperti masuk ke sebuah dunia asing layaknya Alice in the Wonderland. Dengan
cantik Danarto menyulap pohon, hantu, bahkan ayat suci Al Quran menjadi tokoh
dalam ceritanya. Berlatarkan nuansa Jawa yang sangat kental, Danarto
mengetengahkan cerita bergaya surealis lengkap dengan pilihan kata fantastis.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Coba tengok karya Danarto yang berjudul Pohon Rambutan. Cerita pendek yang
dimuat dalam buku berjudul Kaca Piring ini bercerita tentang sebatang pohon
rambutan yang tumbuh begitu saja di tepi jalan, di tepi sawah. Tak bertuan, tak
berteman. Pohon rambutan itu sudah ada sejak zaman Jenderal Sudirman berperang
melawan Belanda. Buahnya selalu lebat dari musim ke musim, dinikmati oleh siapa
saja. Pohon ini menjalin persahabatan dengan seorang lelaki. Sebuah pertemanan
yang abadi, sejak si lelaki masih belia hingga tua renta.<br /> <br />Dalam salah satu esainya, Korrie Layun Rampan menyebut Danarto sebagai
pembaharu dalam khazanah sastra Indonesia. Pendapat tersebut diamini oleh
sutradara sekaligus penulis Putu Wijaya.<br /> <br />Menurut Putu, gaya eksperimen telah digeluti Danarto sejak tahun 60-an,
meski pada masa itu gaya eksperimen terbilang sesuatu yang tak lazim. “Kalau
saat ini tulisan eksperimentalis bisa dibilang biasa, tetapi ketika itu Danarto
telah memperkaya pembendaharaan cerpen lewat cerita-cerita yang surealis,” kata
Putu kepada Jurnal Nasional, Selasa (2/9).<br /> <br />Senada dengan Putu, sastrawan Abdul Hadi WM juga menilai kalau Danarto
telah membawakan corak baru dalam dunia sastra Indonesia. Danarto mengajak para
pembacanya masuk ke dalam dunia lain yang tak mungkin terjangkau realitas
sehari-hari. “Danarto menyajikan tema, gaya bercerita, serta tokoh-tokoh
ceritanya seperti mendongeng. Ia menggerakkan imajinasi, tak peduli realitas
atau bukan, bagi Danarto semua hal adalah realitas,” ujar Abdul Hadi.<br /> <br />Keberanian mengangkat nilai-nilai tradisi sebagai bahan baku tulisan
merupakan salah satu keistimewaan pria lulusan Akademi Seni Rupa Indonesia ini.
“Cerita-cerita Danarto dapat menyusup ke relung hati pembacanya,” kata Putu
Wijaya, pentolan Teater Mandiri ini.<br /> <br />Putu mengatakan, ketika tokoh-tokoh pembaharu sastra lainnya banyak
terpengaruh oleh aliran roman baru yang tengah berkembang di dunia Barat,
Danarto justru berangkat dari nilai-nilai tradisi yang digali dari latar
belakang budayanya.<br /> <br />Ketika kaum eksistensialis Barat bertolak dari rasio dan penalaran ilmiah
yang bermuara pada sistem filsafat, maka Danarto lebih memilih merapat pada
nilai-nilai mistik yang sulit dijabarkan lewat logika. “Danarto belajar dari
tradisi Jawa. Ia menulis layaknya orang Jawa menulis, di dunia Barat tidak ada
yang seperti dia,” kata pria yang pernah menjadi Dosen tamu teater dan sastra
Indonesia modern di Universitas Wisconsin dan Universitas Illinois, AS ini.<br /> <br />Sisi mistik Jawa<br /> <br />Berbeda dengan Putu Wijaya, bagi Budi Darma, nilai-nilai kejawaan Danarto
belum bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Tak seperti Pramoedya Ananta
Toer atau Mangunwijaya yang mengangkat budaya Jawa secara realis, Danarto
cenderung menyajikan sisi mistiknya.<br /> <br />Budi mengatakan, hal lain yang menjadikan Danarto penulis yang istimewa
adalah kepiawaiannya menguntai plot cerita yang sederhana, namun membuat
pembacanya paham tentang kehidupan lain. “Karya-karya Danarto sulit untuk
dijabarkan, tetapi dengan mudah dapat dirasakan,” ujar penulis Nyonya Talis
ini.<br /> <br />Selain sarat akan nilai-nilai mistik Jawa, karya-karya Danarto juga kental
dengan doktrin sufi yang disajikan sebagai salah satu corak pemahamannya
terhadap Tuhan. “Danarto adalah seorang Muslim yang taat, ia memasukkan
nilai-nilai agama pada hampir semua tulisannya. Tentu saja melalui jendela
pemahamannya yang tidak umum,” kata Putu.<br /> <br />Danarto berkenalan dengan dunia tasawuf dari buku-buku yang sering dibaca
ayahnya, Jakio Harjodinomo. Ayahnya yang berprofesi sebagai mandor sebuah pabrik
gula sering membaca buku-buku tasawuf Al-Ghazali, Agus Salim, bahkan Leadbiter.
Maka tak heran jika Danarto lebih dulu akrab dengan dunia tasawuf ketimbang
agama.<br /> <br />Penerima SEA Write Award dari Kerajaan Thailand ini juga mengaku tak pernah
belajar tentang agama pada siapa pun. Ia bertutur jika kota yang didiaminya
tidak terdapat pesantren maupun tempat untuk menuntut ilmu agama.<br /> <br />Danarto mengaku baru berkenalan resmi dengan agama ketika menginjak 27
tahun. Nah, Pengalaman-pengalaman spiritualnya dalam mencari sosok Tuhan itulah
yang kemudian dicurahkan dalam karya-karyanya. “Karya-karya Danarto dipengaruhi
oleh pengalaman batinnya. Di mana jalan ceritanya merupakan rekaan namun
intisarinya merupakan kisah nyata,” kata Putu.<br /> <br />Pembelajaran hidup membuat Danarto tidak menyajikan nilai-nilai ketuhanan
secara vulgar. Ia tidak mengobral dakwah melainkan memilih mengadopsi bias-bias
realita dan menyajikannya melalui cerita-cerita fantastis.<br /> <br />Seperti dalam cerita pendek berjudul Anakmu Bukanlah Anakmu, ujar Gibran.
Cerita tersebut berkisah tentang perempuan bernama Niken yang hamil tanpa
melakukan hubungan seksual. Kemudian Niken memilih menikah dengan Tomo, lelaki
miskin yang tak pernah dikenal sebelumnya.<br /> <br />Bukan Danarto jika tidak menyajikan kejutan dalam ceritanya. Pada pesta
pernikahan Niken dan Tomo muncul pujangga Khalil Gibran – seorang tokoh sufi
yang telah meninggal tahun 1931- yang datang untuk memberikan kado.<br /> <br />Dalam cerita yang sederhana, Danarto melakukan eksperimen sehingga
terbentuklah cerita yang tak biasa, bahkan bisa terbilang absurd. “Danarto
banyak terpengaruh tarekat Jawa yang kental akan nilai-nilai mistik. Namun
karena dia Muslim yang baik maka semuanya tersalur dengan baik,” ujar Putu.<br /> <br />Latar seni rupa<br /> <br />Abdul Hadi menambahkan, gaya penuturan Danarto merupakan perpaduan antara
sastra Melayu dan sastra Jawa. “Dengan semangat Jawa yang kental Danarto
mencampuradukkan tokoh-tokoh mistik Islam dan non-Islam dalam sebuah cerita,”
kata Abdul Hadi.<br /> <br />Latar belakang seni rupa yang digeluti Danarto juga berpengaruh pada karya
sastra yang dihasilkannya. Ia pernah aktif di Sanggar Bambu Yogyakarta, sebuah
perhimpunan pelukis yang biasa mengadakan pameran seni lukis keliling, teater,
pergelaran musik, dan tari.<br /> <br />Danarto juga sempat berkecimpung dalam pementasan drama dan film sebagai
penata dekorasi. Ia sempat membantu beberapa pementasan yang disutradarai
Rendra dan Arifin C Noor. Beberapa film yang dekorasinya sempat dikerjakan
Danarto yaitu, Lahirnya Gatotkaca (1962), San Rego (1971), Mutiara dalam Lumpur
(1972), dan Bandot (1978).<br /> <br />Di mata Putu, Danarto merupakan seorang pelukis yang baik. Persingungan
antara seni rupa dan sastra yang digelutinya tak dapat dihindari. “Karya-karya
sastra yang dihasilkannya sangat dekat dengan seni rupa, sehingga ketika membaca
tulisan Danarto bagai membaca lukisan yang diceritakan,” kata pria yang telah
empat kali dinobatkan sebagai pemenang sayembara penulisan lakon Dewan Kesenian
Jakarta itu.<br /> <br />Sementara, seiring berjalannya waktu, Budi Darma melihat Danarto mulai bisa
memberi sekat antara dua dunia seni yang digelutinya. “Pada karya-karyanya yang
sekarang nuansa seni rupa sudah tidak terlalu kentara, sepertinya Danarto sudah
membedakan keduanya,” kata pria kelahiran Rembang, 25 April 1937 ini.<br /> <br />Putu mengatakan, dari segi konteks maupun cara penuturan Danarto mulai
mengalami pergeseran. Jika dulu Danarto lebih konsern pada konteks
transendetal, sekarang karya-karyanya cenderung konsern pada konteks sosial
politik. “Jika dulu cara penuturannya kental dengan nuansa sufistik, sekarang
cenderung lebih populer,” ujar pria asal Tabanan, Bali ini.<br /> <br />Dari puisi ke prosa<br /> <br />Budi juga memiliki pandangan serupa dengan Putu, menurutnya, karya-karya
Danarto di masa lampau terasa lebih syahdu, sementara karya-karya saat ini
lebih cenderung kearah realis. “Gaya bahasa Danarto dulu lebih mengena pada
hati pembaca cenderung seperti puisi, kalau sekarang seperrti prosa biasa,”
kata mantan Rektor IKIP Surabaya ini.<br /> <br />Budi melihat perubahan pada karya-karya Danarto disebabkan oleh perubahan
realita sosial yang bergulir begitu cepat. Sementara dulu, ritmenya terbilang
masih lebih lambat. “Dulu jumlah media dan bacaan tidak terlalu banyak seperti
saat ini,” kata penulis Orang-Orang Blomingtoon ini.<br /> <br />Namun baik Budi maupun Putu sepakat jika Danarto merupakan penulis
Indonesia terbaik untuk aliran realisme magis. “Jarang penulis seperti dia,
Danarto masih yang terbaik saat ini,” kata Putu.<br /> <br />Danarto dapat dikategorikan sebagai seorang penulis bernapas panjang.
Hingga menginjak kepala tujuh pria yang sempat mengajar di Institut Kesenian
Jakarta ini masih produktif menghasilkan karya-karya berkualitas. “Untuk
menilai produktivitas seorang penulis tak boleh hanya berdasarkan kuantitas
karyanya, aspek kontinuitas juga harus diperhatikan,” ujar Putu.<br /> <br />Putu mengatakan, ada banyak penulis lain yang awalnya produktif
menghasilkan karya, namun kini tak terdengar lagi kabarnya. “Tetapi Danarto
masih tetap menulis dan melahirkan karya-karya berkualitas,” kata ayah satu
orang anak ini.<br /> <br />Hal senada juga dilontarkan oleh Abdul Hadi, menurutnya, imajinasi Danarto
semakin berkembang dan merajalela. “Kalau pengarang lain banyak yang memilih
mengekang kebebasannya, tidak untuk Danarto. Bahkan ia tak peduli jika disebut
kuno,” ujar Abdul Hadi.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2008/09/pengarang-yang-menggandeng-jibril/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2008/09/pengarang-yang-menggandeng-jibril/</span></a></span></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-77064138960400176742021-07-16T16:34:00.003-07:002021-07-16T16:34:27.868-07:00Berburu Dongeng AcehJudul: Manusia Bersarung Kodok<br />Alihbahasa Aceh: Fauzan Santa<br />Penulis: Azhari, Agus Nur Amal<br />Editor: Azhari, Elsa Clave<br />Penerbit: Komunitas Tikar Pandan, Secours Populaire Francaise, Marque
Syndicate<br />Tahun: 2006<br />Isi: 96 halaman<br />Peresensi : Donny Anggoro *<br />ruangbaca.com<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Jagat kesusastraan Aceh kembali bergelora. Setelah melahirkan penyair dan
cerpenis, kini kita patut salut dengan diterbitkannya buku cerita rakyat Aceh
bertajuk Manusia Bersarung Kodok (Manusia Meusaruek Cangguek). Aceh yang lebih
dulu dikenal dengan tradisi sastra lisannya lewat pencerita-pencerita yang
unggul menjadi semakin kaya dengan dibukukannya cerita-cerita rakyatnya. Ini usaha
yang tak mudah lantaran lahir dari sastra lisan yang berakibat tak banyak yang
mengenal kekuatan sastrawi Aceh kecuali masyarakatnya sendiri yang memang akrab
dengan budaya tutur.<br /> <br />Konon, penyusunan buku ini berdasarkan cerita dari penduduk Aceh dari beragam
profesi (salah satunya tukang becak) yang dikumpulkan oleh Azhari dan Agus Nur
Amal (Agus PM Toh) yang memang sudah dikenal sebagai seniman tutur Aceh.<br /> <br />Cerita-cerita dalam buku ini dihimpun Azhari dan Elsa Clave sebagai editor
bukan berasal cerita rakyat umum yang semula sempat dikumpulkan sastrawan Aceh
senior LK Ara. Cerita yang mereka kumpulkan berasal dari cerita yang hanya
dikenal di sebuah tempat atau hanya tersebar di satu kampung saja. Jadi, buku
yang kelak akan diterbitkan versi terjemahan Perancisnya ini juga berfungsi
melengkapi dokumentasi cerita rakyat Aceh yang nyaris terlupakan, terutama bagi
generasi anak-anak Indonesia sekarang yang lebih akrab dengan budaya menonton
televisi daripada membaca.<br /> <br />Buku ini menghimpun enam cerita rakyat Aceh yang selain ditampilkan edisi
bahasa Indonesianya dimuat pula versi dalam bahasa Aceh. Dihiasi illustrasi
menarik oleh Mahdi Abdullah, buku ini diawali dengan cerita Raja Ganje. Harap
diingat, ini bukan cerita tentang seorang gangster atau penjahat yang akrab
dengan daun ganje (ganja). Melainkan seorang anak bernama Polem yang hidup dari
ayahnya yang memelihara kambing dan menanam sayur-sayuran di belakang gubuknya.
Sebelum ayah Polem meninggal ia berpesan kepada Polem agar merantau ke kota
dengan membawa kambing dan sayur-sayuran sebagai bekal untuk dijual di kota.<br /> <br />Bersamaan dengan kepergian Polem yang berjalan menggiring kambing dan
sayurannya, di kota sedang dilangsungkan sayembara menangkap harimau buas yang
membuat resah penduduk kota. Hadiahnya, jika sang penangkap atau pemburu lelaki
akan dinikahkan dengan putri Raja, sedangkan kalau perempuan akan dibuatkan
sebuah istana. Polem yang tak tahu-menahu soal sayembara, terus saja berjalan
hingga tertidur di sebuah taman. Tatkala Polem tertidur, harimau itu muncul.
Dan dilahapnya kambing Polem bulat-bulat. Sialnya, sang harimau gagal menggigit
tali pengikat kambing sehingga ia pun tertidur.<br /> <br />Ketika terbangun, Polem langsung melanjutkan perjalanannya tanpa menyadari
bahwa ia menyeret harimau yang mengantuk karena memakan kambing yang sebelumnya
menelan sayur-sayuran daun ganja. Singkat cerita, Polem, yang dalam khasanah
dongeng rakyat agak mirip Si Kabayan dari Jawa Barat yang selalu berhasil
dengan keberuntungannya, dikira penduduk kota berhasil memburu harimau. Polem
kemudian berhak atas hadiah sayembara dan menjadi Raja setelah menikah dengan
putri Raja. Setelah membaca cerita ini tentulah kita paham bahwa sayur-sayuran
yang dibawa Polem adalah daun ganja yang di Aceh dibuat sebagai ramuan
bumbu-bumbu masakan khas Aceh.<br /> <br />Beragam kisah dengan fantasi mengejutkan ada dalam buku ini. Seperti tipu
muslihat para pencuri dalam Pencuri Tujuh (Pancuri Tujoh), atau pada cerita
yang digubah sebagai judul buku ini, Manusia Bersarung Kodok (Manusia Meusaruek
Cangguek), yang memungkinkan kita melihat hubungan tak seimbang antara dua
bersaudara Abdul Samat dan Ramlah, yang lahir dari keluarga kaya raya. Setelah
orang tua mereka meninggal, Abdul Samat yang rakus tak mau membagi warisan
orang tuanya kepada Ramlah sehingga Ramlah hengkang dari rumah. Suatu hari
Ramlah bernazar untuk mendapatkan anak. Tapi ketika anaknya lahir ternyata
bukan anak manusia melainkan seekor kodok. Ramlah dan suaminya merawatnya
seperti anak manusia.<br /> <br />Berbulan kemudian Sang Kodok dapat berbicara dengan bahasa manusia. Ia
selalu bertanya kenapa orang tuanya, Ramlah dan suaminya, hidup miskin di gubuk
yang reyot. Ramlah terus didesak Sang Kodok untuk menuntut haknya sampai pada
suatu hari kaki Ramlah terluka oleh potongan kayu yang dilemparkan Abdul Samat.
Luka di kaki Ramlah berangsur sembuh setelah dijilati Sang Kodok. Abdul Samat
pun heran kenapa Ramlah tetap saja sembuh setelah berulangkali ia mengusir
Ramlah dengan kasar.<br /> <br />Sampai pada suatu hari Abdul Samat sakit. Kekayaannya hampir habis untuk
berobat. Mendengar hal itu Sang Kodok berpesan kepada Ramlah dapat menyembuhkan
lukanya asal Samat membagi harta warisan kepada Ramlah. Usul dituruti sampai
pergilah sang kodok untuk berlayar. Dalam pelayarannya sang Kodok perlahan
berubah menjadi manusia setelah melakukan pertapaan. Sayang, ketika Ramlah dan
suaminya berkunjung ke pulau mereka tidak percaya anak kodoknya sudah menjadi
manusia.<br /> <br />Buku Manusia Bersarung Kodok ini patut dihargai sebagai ikhtiar mulia
mengumpulkan sedikit khasanah cerita rakyat Indonesia yang selain nyaris
terlupakan juga punah lantaran dari generasi ke generasi anak-anak lebih banyak
dikenalkan dongeng yang dominan berlokasi di daerah Sumatera dan Jawa saja,
juga cerita-cerita dongeng anak terjemahan. Dongeng-dongeng seperti Manusia
Bersarung Kodok pun juga tak kalah imajiansi liarnya jika dibandingkan dengan
Alice in Wonderland-nya Lewis Carrol. Ini membuktikan bahwa cerita rakyat Aceh
mampu menghadirkan pesona sebaik cerita-cerita dongeng lainnya.<br /> <br />Menariknya dalam penyusunan buku yang didesain luks ini tak ditemui imbauan
pesan-pesan moral, satu hal yang lazim dilakukan para penerbit buku dongeng
atau buku cerita untuk anak-anak. Tiada yang menyadari, “cuplikan” pesan moral
yang biasa ditulis di sampul belakang maupun di akhir cerita justru malah
membuat anak-anak segan karena jadi berkesan menggurui, tak peduli sebaik apa
pun cerita rakyat atau dongeng itu dikisahkan atau dikemas kembali. Dalam
membaca buku ini anak-anak seperti dipersilakan mengambil makna masing-masing
cerita tanpa “dipaksa” penerbitnya agar mengerti.<br /> <br />Barangkali langkah seperti ini patut dicontoh oleh penulis maupn penerbit
buku cerita-cerita anak kita yang selama ini alpa bahwa anak-anak pun punya
“hak” dalam menentukan imajinasinya. Bukankah kisah yang baik –meminjam
perkataan Mohamad Diponegoro –tiap cerita punya sahibul hikayat, ia yang
menentukan sudut pandangan dari mana cerita itu harus dilihat?<br />***<br /> <br />*) Peneliti pada komunitas Matabambu dan editor lepas sebuah penerbit di
Jakarta.<br /><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2011/03/berburu-dongeng-aceh/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2011/03/berburu-dongeng-aceh/</span></a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-56936011401656469322021-07-16T16:31:00.005-07:002021-07-16T16:32:09.485-07:00Penodaan Islam dan Kasus Ki Panji Kusmin di Awal Orde BaruMuhammad Subarkah *<br /> <br />Setelah rezim Sukarno tumbang seiring dengan tersungkurnya PKI dalam pentas
politik Indonesia, rezim Soeharto yang menyebut diri sebagai Orde Baru, naik
tahta menggantikannya.<br /> <br />Namun, sebelum ‘lengser keprabon’, pada 27 Januari 1965 Presiden Sukarno
menerbitkan Penetapan Presiden Republik Indonesia (Pepres) Nomor 1 tahun 1965,
tentang pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama. <span><a name='more'></a></span>Perpres ini kemudian
menetapkan menambahkan pasal penodaan agama di dalam bab yang mengatur tentang
ketertiban umum, Pasal 156 a KUHP. Tujuannya diantaranya adalah untuk menjaga
tertib sosial di masyarakat.<br /> <br />Tapi pertanyaannya kemudian: Apakah sinisme terhadap agama –di antaranya
Islam– menjadi berhenti? Jawabannya ternyata tidak! Sinisme (bahkan bisa
disebut phobia) terus berlanjut.<br /> <br />Sebagai ujian pertama ‘keampuhan’ pasal ini terjadi pada bulan Agustus 1968
atau justru di masa awal Orde Baru. Majalah sastra termuka yang diasuh H.B. Jassin
–Majalah Sastra, Th. VI. No. 8, Edisi Agustus 1968 – mempublikasikan cermin
kontroversial ‘Langit Makin Mendung’ karya sesorang yang menyebut dirinya
sebagai Ki Panji Kusmin.<br /> <br />Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam saat itu merasa tersinggung
dengan cerpen tersebut yang dianggap menghina Islam.<br />***<br /> <br />Dan memang, bila dibaca memang cerpen ini tampak bersikap pejoratif atau
mengolok-olok kesucian Allah, ajaran Islam, Nabi Muhammad beserta sahabatnya.
Selain itu, isinya tak jauh beda dengan kisah Gatoloco. Cuma yang
membedakannya, cerpen ini dibat pada zaman yang lebih kontemporer.<br /> <br />‘Langit Makin Mendung’ bermasalah serius karena memuat hal-hal yang
memantik atau berbau pejotaratif terhadap simbol agama Islam, yaitu posisi
keberadaan Allah dan posisi malaikat Jibril. Di cerpen itu bahkan ada penggalan
kisah suasana prostitusi di Pasar Senin kala itu meski tak vulgar.<br /> <br />Salah satu contohnya ada pada bagian tengah cerpen tersebut. Penggalan
kisahnya seperti ini:<br /> <br />…..Muhammad segera naik ke punggung buraq – kuda sembrani yang dulu jadi
tunggangannya waktu ia mi’raj. Secepat kilat buraq terbang ke arah bumi dan
Jibrail yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang. Mendadak, sebuah
sputnik melayang di angkasa hampa udara.<br /> <br />“Benda apa di sana?” tanyanya keheranan.<br />“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”<br />“Orang? Menjemput kedatanganku?” (Gembira)<br />“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx
dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”<br />“Orang-orang malang. Semoga Tuhan mengampuni mereka. Aku ingin lihat
orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo buraq!”<br /> <br />Buraq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya
Jibrail memberi isyarat sputnik berhenti sejenak. Namun, sputnik Rusia memang
tidak ada remnya. Tubrukan tak dapat dihindarkan lagi. Buraq beserta sputnik
hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala-kepala botak di lembaga
aeronautic di Siberia bersorak gembira.<br /> <br />“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet tak dikenal. Ada
sedikit gangguan komunikasi…” terdengar siaran radio Moskow.<br /> <br />Muhammad dan Jibrail terpental ke bawah. Mujur mereka tersangkut di
gumpalan awan yang empuk bagai kapas.<br /> <br />“Sayang-sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Bisik Muhammad sedih.
Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.<br />“Jibrail, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”<br />“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling
durhaka, Jakarta namanya. Ibu kota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat
yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas buta huruf.”<br /> <br />(Ki Panji Kusmin, Langit Makin Mendung: Majalah Sastra, Th. VI. No. 8,
Edisi Agustus 1968).<br />***<br /> <br />Akibat cerpen itu, polemik atau kontroversi pun muncul. Uniknya, menghadapi
kontroversi itu, HB Jassin yang diwaktu kemudian namanya dipatenkan’ dengan
sebutan ‘Paus Sastra Indonesia’, tetap mau bersikap ksatria. Sadar telah
menerbitkan masalah sosial akibat cerpen itu di dalam majalah yang diasuhnya
tersebut, Jassin pun bersedia menjalani proses hukum serta hadir di depan
persidangan yang mengusut kasus karya Ki Panji Kusmin itu. Dia hadir di sidang
sebagai saksi yang meringankan di pengadilan di Sumatra Utara.<br /> <br />Pada sidang itu Jassin menyebut itu tak perlu cerita pendek (cerpen) ini
dilarang karena menjadi bagian dari ‘kebebasan berekspresi’ yang dijamin dalam
karya sastra. Sikap Jassin ini bisa dipahami karena dia tak ingin lagi
mengulang tragedi perlakuan tragis kaum sastrawan seterunya yang dahulu
tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang kerap ‘membreidel’ karya
sastra yang tak sepaham dengan ideloginya. Jassin pada awal 1960-an adalah
tokoh sastrawan Manifes Kebudayaan (diplesetkan oleh ‘orang kiri’ menjadi
sebutan ‘Manikebu’) yang menjadi ‘lawan tanding’ Lekra yang berafiliasi pada
Partai Komunis Indonesia (PKI).<br /> <br />Namun, pengadilan kasus cerpen Ki Panji Kusmin digelar di PN Medan terus
berjalan meski digelar melalu sidang in absentia karena terdakwa Ki Panji
Kusmin tak dapat dihadirkan. Dan di forum itu HB Jassin diimnta majelis hakim
untuk mengungkap identitas Ki Panji Kusmin. Tapi Jassin kokoh menolaknya dengan
alasan menjunjung kebebasan berekpresi.<br /> <br />Meski begitu, di akhir persidangan putusan hakim tetap menvonis hukuman
berupa berupa kurungan selama satu tahun dan masa percobaan dua tahun kepada
seseorang yang menyebut dirinya dengan nama Ki Panji Kusmin tersebut. Ini
artinya keputusan hakim menyatakan Jassin diputus tetap bersalah meski tak
perlu sampai mendekam di pengadilan.<br /> <br />Dan, setelah peristiwa itu berlalu, Jassin berpuluh tahun kemudian pun
tetap tak mau membuka identitas Ki Panji Kusmin. Tapi diujung hayatnya ia pun
luluh dan bersedia memberi tahu mengenai identitas orang itu. Salah satu
pengelola Gedung PDS HB Jassin Endo Sunggono sempat memberi tahu bila orang itu
memang ada.<br /> <br />’’Dia laki-laki. Seingat saya kalau tidak orang Jawa ya orang Sumatra. Ada
kok, Pak Jassin sudah pernah menyebutkan orang itu. Saya cari dulu catatanya,’’
kata Endo. Sayang ketika sekarang hendak menanyakan kembali soal itu ke Endo,
ia masih dalam keadaan sakit.<br /> <br />Uniknya, seakan hendak menebus kesalahannya, HB Jassin pada pertengahan
tahun 1970-an kemudian menerbitkan terjemahan ‘Alquran Berwajah Puisi’. Jassin
terdorong menuliskan karya ini karena merasa terjemahan Alquran versi bahasa
Indonesia terlalu kaku dan tidak puitis. Padahal, kata dia, Alquran itu dalam
banyak hal juga bisa disebut sebagai sebuah karya agung yang memakai diksi
layaknya puisi (puitis).<br /> <br />Namun sebenarnya ide Jassin menulis terjemahan Alquran berwajah puisi
seperti itu, bukanlah ide yang pertama kali. Sebelumnya, di akhir 1960-an,
penyair dan pendiri ‘Teater Muslim’, Mohammad Diponegoro, telah melakukannya.
Dalam berbagai perayaan hari besar Islam terjemahan ini kerap dibawakan.
Bahkan, sempat pula dibacakan di siaran Radio Australia (ABC).<br /> <br />Teater Muslim ini pun pada tahun 1960-an sangat kondang. Dia menjadi lawan
dari teater rakyat yang saat itu banyak berafiliasi ke idelogi komunis dengan
menggelar pentas bertema sinis atau anti Tuhan dengan menggelar lakon berjudul
‘Patine Gusti Allah’, ‘Gusti Allah Mantu, dan tema sejenis lainnya. Sutradara
film legendaris asal Cirebon Arifin C. Noer adalah salah satu mantan
anggotanya. Salah satu karya Arifin yang melegenda sampai sekarang adalah film
tentang peristiwa ‘malam tragedi’ pembunuhan para jendral pada 3O September
1965: Film G30S/PKI.<br /> <br />Jadi itulah pengalaman sejarah di awal Orde Baru tentang penyelesaian kasus
hukum penodaan agama. Sama dengan pemerintah Hindia Belanda ketika menangani
kasus penodaan agama di tahun 1920-an, mereka ternyata juga tidak bisa
main-main menyelesaikannya. Apalagi saat itu sudah terjadi rusuh sosial berupa
munculnya kasus pembunuhan dan ada pembakaran rumah ibadah di sekitar Surabaya.<br /> <br />Belanda pun sangat trauma terhadap kasus berbau Sara. Dia teringat
munculnya peristiwa perang Diponegoro dan perang Aceh yang meluluhlantakan
semuanya. Sikapnya kemudian, apapun itu meski hanya sepercik bara dalam sekam,
maka itu harus dipadamkan sebelum besar dan membakar seluruh gudang jerami!<br /> <br />*) Muhammad Subarkah, jurnalis Repubilka.<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2020/05/penodaan-islam-dan-kasus-ki-panji-kusmin-di-awal-orde-baru/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2020/05/penodaan-islam-dan-kasus-ki-panji-kusmin-di-awal-orde-baru/</span></a></span></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-40670025024408187512021-07-15T06:51:00.002-07:002021-07-15T06:51:31.049-07:00Pengantar ‘Mimpi Jakarta’Rakhmat Giryadi<br /> <br />Menulis Cerita Pendek Karena Terpaksa<br /> <br />Saya menuls cerita pendek (cerpen) karena terpaksa. Ya, terpaksa saya
lakukan karena memang tidak ada yang harus saya lakukan selain menulis cerpen.
Karena terpaksa saya menulis cerpen dengan tangan di kertas folio bergaris.
Saya menulis cerpen, karena hanya pada cerpen saya bisa ‘berbuat’.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Saya menulis cerpen memang selalu dalam keadaan terpaksa. Kali pertama saya
menulis cerpen serius –dimuat media massa- sejak sekitar tahun 90-an. Hal itu
harus saya lakukan karena saya tidak punya uang sama sekali untuk hidup.
Mengapa uang? Ya, dengan menulis cerpen saya berharap dapat honor.<br /> <br />Karena terpaksa, saya menuliskan kisah saya sendiri yang miskin secara
materi dan miskin tentang seluk beluk menulis cerpen itu sendiri. Karena dalam
keadaan terpaksa sayapun menuliskan nasib saya pribadi. Mengapa saya menuliskan
kisah saya sendiri, alasannya cukup sederhana, karena saya yakin dengan
menuliskan nasib orang lain pasti hanya akan mengisahkan permukaannya saja.
Karena itu dengan mengisahkan nasib saya sendiri, saya berharap cerpen itu
memiliki kekuatan permenungan yang lebih dalam. Dengan menuliskan tentang
nasibnya sendiri, saya yakin saya tidak kehabisan tema.<br /> <br />Tentu saya harus mengakui, saya menulis tidak semata-mata menguraikan nasib
saya yang penuh haru biru karena kemiskinan. Tentu otak dan perasaan saya
bekerja dengan sendirinya, mengungkapkan segala kisah yang terekam dalam otak
dan perasaan saya. Karena itu tak ayal lagi pengalaman-pengalaman itu tiba-tiba
bermunculan saat saya menorehkan tinta di atas kertas bergaris itu.<br /> <br />Cerita Laki-Laki Miskin, sebenarnya berkisah tentang kebosanan saya
terhadap ‘ilmu melukis’ yang saya pelajari di bangku kuliah. Waktu itu saya
ingin memaparkan pengalaman saya. Tetapi tiba-tiba seorang tokoh hadir. Dia
mengaku seorang laki-laki gelandangan. Ia memrotes pada seorang pelukis yang
hanya menjadikan dirinya sebagai obyek lukisannya belaka. Banyak pelukis yang
menjadikan ‘gelandangan’ sebagai obyek lukisan dan kemudian dia menjualnya sampai
ratusan juta. Sementara nasib gelandangan itu tetap gelandangan.<br /> <br />Ini tidak adil. Gelandangan itu memprotes tindakan para pelukis. Iapun
melakukan bunuh diri, karena nasibnya telah dipermainakan bahkan diperdagangkan
oleh seorang pelukis. Pelukis itupun akhirnya sadar, ternyata apa yang
dilakukannya selama ini, yang dikatakan bermanfaat bagi dirinya tetapi belum
tentu bermanfaat bagi orang lain.<br /> <br />Begitu banyak pengalaman batin dan pengalaman social yang saya alami,
ternyata tak mudah diungkapkan lewat cerpen. Setelah cerpen saya Laki-Laki
Miskin, saya seperti kesulitan mengungkapkan segala peristiwa yang secara
struktur menarik diceritakan. Dari cerpen satu ke cerpen lainnya, jaraknya
cukup lama.<br /> <br />Saya menulis cerpen tidak seperti penulis-penulis lain yang cukup
produktif. Bahkan hampir setiap minggu tulisan mereka terpampang di media massa
baik lokal maupun nasional. Sementara saya, sering tersendat-sendat dalam
mengungkapkan kegelisahan saya. Karena itu, sejak tahun 1990-an sampai sekarang
tidak banyak cerpen yang saya buat.<br /> <br />Tetapi saya tidak pernah menyerah. Karena itu sayapun menarget, minimal
dalam setahun ada cerpen saya yang dimuat di media massa. Dan target itu tidak
membebani saya. Dengan cara seperti itu, akhirnya saya tetap bisa bertahan
menulis cerpen.<br /> <br />Itu merupakan keterbatasan saya yang lain. Saya tidak bisa menulis segala
peristiwa yang saya lihat, alami, dan saya baca. Ternyata semua peristiwa yang
kita lihat, kita alami, dan kita baca tidak mesti bisa dibuat cerpen. Intinya
membuat cerpen ternyata tidak gampang. Kalau ada yang menggampangkan, itu
persoalan lain.<br /> <br />Dalam sepuluh tahun, saya baru menerbitkan sekitar puluhan cerpen. Tetapi
saya berusaha, cerpen saya terbit merata mulai dari koran lokal sampai
nasional. Bahkan obsesi saya untuk bisa masuk ke majalah Horisan pada tahun
2002 akhirnya kesampaian.<br /> <br />Saya harus mengakui, kemampuan saya memang sangat terbatas. Karena
keterbatasan itulah saya banyak belajar pada orang lain, selain juga mencoba
belajar sendiri tidak ada henti. Sahabat saya, Tjahjono Widijanto, Tjahjono
Widarmanto, Tengsoe Tjahjono, Ratna Indraswari Ibrahim, banyak memberikan
inspirasi kepada saya untuk terus bertahan menulis fiksi.<br /> <br />Dari Widijanto dan Widarmanto saya belajar tentang cara menembus media
massa. Tengsoe Tjahjono mengajarkan saya tentang teknis menulis yang
komunikatif. Dosen yang puisisnya saya kagumi itu memang ahli dalam menulis
puisi yang sederhana dan komunikatif. Ternyata untuk menemukan itu sulitnya
bukan main. Dari mbak Ratna saya selalu terlecut dengan semangatnya meskipun
dirinya orang yang sangat ‘terbatas’ dalam berbagai hal. Hanya saja saya tidak
pernah bisa ‘nyontek’ ilmunya untuk bisa menembus harian Kompas.<br /> <br />Sekali lagi, kemampuan saya sangat terbatas. Karena itu tema cerpen-cerpen
saya tidak jauh dari yang dibayangkan kebanyakan orang. Cerpen saya memang
terbatas pada obsesi saya pada peristiwa realitas sehari-hari. Saya tidak
berusaha mengkonstruksi ataupun mendekonstruksi realitas sedemikain jungkir
balik, hingga dikatakan sebagai cerita pendek. Tidak. Saya tidak punya obsesi
apa-apa terhadap realitas.<br /> <br />Saya orang yang berkemampuan sangat terbatas. Saya tidak bisa
menjungkir-balikkan realita. Saya justru melihat realia itu jungkir balik dan
selalu diluar logika. Bahkan terkadang realita itu sebuah suasana yang absurd
dan sulit dipahami. Karena itu sayapun tidak ingin terjebak dalam realitas yang
absurd ini. Saya ingin apa adanya. Meskipun saya terkadang tidak berdaya
melawan diri sendiri, untuk mencoba ‘mengkocok’ realita yang amburadul ini.<br /> <br />Saya memang tidak bisa menolak. Karena kemampuan saya sangat terbatas untuk
melawannya. Karena itulah cerpen yang hadir di sini, tak jarang, muncul dengan
berbagai cara, dan gaya. Saya memang tak pernah membatasi dengan cara dan gaya
tertentu. Saya menulis cerpen dengan gaya saya sendiri. Kalau kemudian ada yang
menyamakan dengan penulis tertentu, itu bukan urusan saya.<br /> <br />Karena saya orangnya sangat terbatas, tak jarang tokoh-tokoh yang hadir
adalah tokoh fatalis. Mereka adalah tokoh-tokoh pragmatis, yang menilai hidup
itu secara hitam putih. Keterbatasan saya selalu berbicara begitu. Saya sering
tidak berdaya untuk tidak berbicara secara hitam putih. Padahal semestinya saya
berada di daerah abu-abu. Atau jangan-jangan yang abu-abu memang tidak ada?
Saya sering membenarkan pertanyaan ini.<br /> <br />Kalau pembaca tidak sependapat dengan yang saya omongkan, tentu ini karena
keterbatasan saya belaka. Hadirnya cerpen-cerpen dalam kumpulan ini, setelah
sekian puluh tahun saya berkarya tentu juga keterbatasan saya. Karena itu saya
bersyukur kalau akhirnya cerpen-cerpen ini bisa terbit dan bisa diapresiasi
oleh banyak orang.<br /> <br />Saya sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah menyokong
penerbitan ini. Cerpen yang saya terbitkan ini telah dimuat di media massa
seperti, Horison, Jawa Pos, Surabaya Post, Surya, Sinar Harapan, Suara Karya,
Suara Merdeka, Suara Indonesia. Semoga cerpen ini bermanfaat dan selamat
membaca keterbatasan saya.<br /> <br />Sidoarjo, Oktober 2006<br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/01/pengantar-mimpi-jakarta/">http://sastra-indonesia.com/2009/01/pengantar-mimpi-jakarta/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-70618928282959823832021-07-01T08:58:00.002-07:002021-07-01T08:58:52.184-07:00UDA DAN DARAUsman Awang<br />(Diindonesiakan dan diberi anotasi oleh Maman S Mahayana)<br /> <br />Bulan baru mengambang.<br /> <br />Awan larat menabiri langit dengan bentuk-bentuk yang berupa manusia,
binatang kuda, pulau-pulau dan gunung-gunung, sangatlah indah kelihatannya. Malah
bertambah indah bila cahaya perak menyapu sekeliling bulan yang begitu rupawan
tersenyum melimpahkan sinarnya itu.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Di sebuah halaman kelihatan ramai anak-anak muda sedang belajar ilmu silat,
seni pusaka yang tak usang-usang, tari pahlawan kebanggaan nenek moyang. Dari
rumah-rumah di kampung yang damai bahagia itu kelihatanlah cahaya dari pelita
dan lampu yang keluar mencuri-curi menembus dinding dan pintu yang masih
terbuka.<br /> <br />Angin bernyanyi dengan lagu sunyinya dan daun-daun yang dibelainya
melenggak-lenggok mengeluarkan desiran meningkah lagu malam. Dan sekali-sekali
terdengarlah gelak berderai dari anak-anak muda yang sedang belajar ilmu silat
manakala salah seorang dari mereka yang sedang mengadukan kemahiran dan
kepintarannya itu dapat ditumbangkan atau jatuh terpelanting oleh tendangan
yang bagaikan kilat cepatnya.<br /> <br />Seorang tua yang lampai, tetapi kelihatan segak, tenang dalam geraknya,
berhati-hati dalam langkahnya, berdiri berpeluk tubuh memandang tingkah dan
langkah anak-anak muda yang ramai itu. Itulah tuan guru silat mereka, putih
sudah rambut di kepala, tetapi dari matanya terpancar kekuatan batin serta
keteguhan hatinya.<br /> <br />“Sabas, Uda! Perkiraanku memang sesuai dengan gerak tanganmu; kau anak yang
pantas cergas, arif lagi bijaksana,” demikian tuan guru itu berkata, ditujukan
kepada Uda yang telah menjatuhkan lawannya.<br /> <br />“Terima kasih, Pak Guru. Bukan hamba yang pantas cergas, Pak Gurulah yang
pintar mengajar kami,” ujar Uda pula, memulangkan pujian gurunya.<br /> <br />“Dengarlah anak-anakku sekalian, hampir selesai segala pengajaran. Falsafah
silat selalu mengajarkan, anak-anakku harus menyimpan kesabaran. Ilmu silat
bukan untuk menyerang, tetapi hanya untuk bertahan. Sekali musuh datang
menyerang, sabarkan hati jangan menentang. Pertama kali kita diserang, dayakan
juga menyabarkan hati lawan.”<br /> <br />Demikian tuan guru berkata, mengajarkan ilmu dan petuah, didengar oleh
murid-muridnya dengan ragu dan duka, sebab apalah artinya ilmu yang dipelajari
selama ini kalau diri mengelak-elak bila musuh datang menyerang. Guru yang
sudah tua itu, banyak pengalaman dan akal bicara, arif dengan tingkah ini, lalu
berkata:<br /> <br />“Tetapi anak-anakku, kalau sampai tiga kali lawan masih menyerang juga,
bertahanlah! Belalah diri. Apa boleh buat, lawan tak hendak diajak damai.
Pepatah kita mengatakan: musuh dicari jangan, berjumpa pantang dielakkan?”<br /> <br />Maka berserilah wajah anak-anak muda itu mendengar petuah guru, melawan
musuh yang datang, bertahan bila diserang!<br /> <br />Uda yang semenjak tadi tenang mendengarkan, lalu bertanya memohon jawaban.
“Pak Guru yang bijaksana, mohon juga saya bertanya: kalau lawan memegang
senjata, senjata tajam yang dapat membunuh kita, tetap bertahan sajakah dengan
tangan kosong?”<br /> <br />Tersenyum senang tuan guru mendengar perkataan Uda. Lalu dijawabnya: “Seorang
pendekar kesatria, tidak mencoba bermain senjata. Hanya orang yang tidak yakin,
belum percaya akan kekuatan diri sajalah yang memakai senjata.”<br /> <br />Bulan yang indah mulai dihalangi awan. Khawatir jika hujan, lagi pula malam
sudah agak mulai larut, maka berkatalah tuan guru, “Malam sudah mulai larut
anak-anakku. Pulanglah, esok kamu semua akan ke sawah.” Anak-anak muda itu
mengucapkan terima kasih, lalu bergegaslah masing-masing pulang ke rumahnya.<br />***<br /> <br />“Engkau terus pulang, Uda? Mampirlah ke rumahku dulu,” demikian Malim
berkata mengajak Uda. Tetapi pemuda yang sudah tergesa-gesa itu menolak, “Tidak
usahlah Malim. Aku sudah berjanji, akan mampir di tebat ini.”<br /> <br />Malim tertawa. Ia memahami akan maksud sahabatnya itu.<br /> <br />“Hai, rupanya sudah berjanji? Dan setiap janji harus ditepati!”<br /> <br />Uda diam, langkahnya makin dipercepat. Tetapi Malim masih menggodanya.<br /> <br />“Boleh kutemani, Uda, ke langit biru kita bersama.”<br /> <br />“Ah, terima kasih, Malim. Dalam hal ini rasanya tak perlulah aku ditemani,
bukan musuh yang akan kuhadapi, juga bukan bencana yang akan kulalui.”<br /> <br />Keduanya tertawa dan derainya mengoyak sepi malam.<br /> <br />Awan bergerak tidak lagi menabiri bulan yang sedang tersenyum. Oleh karena
itu lepaslah cahayanya menyebar. Maka tebat yang terletak di persimpangan jalan
ke sebuah kampung lain itu pun kelihatan tenang dan indah.<br /> <br />Belum sampai juga rupanya, demikian Uda berbisik kepada dirinya sendiri. Ia
lalu mencari tempat duduk. Tetapi baru saja dia akan duduk terdengarlah suara
berbisik halus, tertawa.<br /> <br />“Dara?”<br /> <br />“Ya, Bang Uda.”<br /> <br />“Ah, abang sangka adik belum datang.”<br /> <br />“Belum datang? Ah, tanyalah kepada bulan. Tanyalah kepada bintang. Sejak
kapan saya di sini. Jika diibaratkan semak belukar, maka ia sudah menjadi
hutan. Bang Uda malah yang lupa akan janjinya.”<br /> <br />“Ah, Dara, bukan abang sengaja begitu. Baru saja habis berguru. Lalu terus
abang kemari. Saya sampai berlari-lari, jangan adik menanti-nanti.”<br /> <br />“Jika sesungguhnya begitu, salahlah dugaan saya. Yang sudah lelah duduk di
sini, lalu membayangkanlah hal yang tidak-tidak, kabarnya Bang Uda sedang leka,
hanya saya saja yang tergesa-gesa, terlalu cepat sampai.”<br /> <br />Uda tertawa. Dan Dara pun tertawa. Maka suara mereka pun mengalun dibawa
angin malam ke sekitar air yang tenang di tebat itu.<br /> <br />“Bang Uda, ada apa gerangan berkeras agar kita bertemu? Ada persoalan
apakah yang akan abang bicarakan?”<br /> <br />“Banyak hal yang akan dibicarakan, Dara. Itulah sebabnya adik diminta
datang untuk berunding, mempertimbangkan kebaikan dan keburukannya, menghitung
untung-ruginya, mengukur mujur-malangnya.”<br /> <br />“Ah, Bang Uda, pandai apa saya ini, sehingga diajak berunding? Kebaikan apa
yang membuat saya diminta duduk berembuk?”<br /> <br />“Bukan begitu, adikku. Rundingan ini ada kaitannya dengan adik, maka itu
adik diminta datang. Kalau pakar sudah bulat, kalau kata sudah seia, tidaklah sukar
jalan ditempuh, tak beras antah digesek, tak air hujan ditampung, tak kayu
jenjang dikeping, tak emas bungkal diasah.”<br /> <br />Uda tidak meneruskan kata-katanya, sementara Dara hanya berdiam.
Masing-masing sedang berpikir. Suara jangkrik sahut-bersahut, sedangkan pungguk
merayu mendayu. Angin malam mengipasi dua remaja yang duduk berdekatan di atas
sebuah bangku yang agak panjang, yang digunakan orang untuk melepaskan lelah,
seolah-olah pengantin sedang bersanding, berkipas hembusan angin malam. Di
hadapan mereka terbentang sawah yang luas, padinya sedang bunting menguning,
hasil usaha penduduk-penduduk kampung yang rajin itu.<br /> <br />“Niat abang hendak meresmikan kasih kita berdua, mau meminang adik kepada
ayah bunda. Bagaimana perasaan hatimu, Dara?”<br /> <br />Dara tunduk tidak menyahut. Perasaannya terharu, dadanya sesak dan matanya
digenangi air. Maka berkatalah ia dengan hati yang tulus. “Bang Uda, abangku,
sudah lama untung hamba kuserahkan kepada abang. Jika menurut timbangan abang,
sudah sampai waktunya sirih dan tepak diantarkan, sudah saatnya hubungan
keluarga disimpulkan; maka terserahlah kepada timbangan Bang Uda, berbuatlah
mana yang baik; saya adikmu, menurut saja.”<br /> <br />Dengan segera Uda meraih tangan Dara. Digenggamnya tangan yang seperti
terukir itu, lalu ditempelkannya ke bibirnya, dikecupinya dengan penuh kasih
sayang dan terima kasih.<br /> <br />Jauh di sana terdengar suara pungguk. Suara yang mengiba-iba itu
menimbulkan kesayuan. Dan bulan mulai muram walaupun bintang masih memagarinya.
Tak lama kemudian dua kekasih itu pun bangunlah lalu berjalan pulang.<br /> <br />Dan tebat itu pun tinggallah sendiri kesunyian.<br />***<br /> <br />Musim panen tibalah sudah. Anak-anak muda dan gadis-gadis bersama orang tua
dan sanak saudara bahu-membahu bekerja mengetam padi yang sudah menguning
laksana emas. Mereka bergotong royong bekerja, dari sawah ke sawah, dengan hati
bahagia, melihat jerih-payah mereka berbuah.<br /> <br />Sudah banyaklah padi dituai, banyak pula karung dan jelapang yang penuh
berisi padi. Dan bila malam di sana-sini terdengar bunyi antan nyaring bertingkah:
itulah tanda orang sedang menumbuk padi.<br /> <br />Di rumah Pak Long sudah menunggu Malim, Uteh, dan Diman. Mak Long sedang
mengumpulkan ranting-ranting untuk kayu bakar. Sebuah tungku yang terbuat dari
tiga bongkah batu besar sudah tersedia. Dan di sebelahnya terletak sebuah kuali
yang tidak terlalu besar.<br /> <br />“Si Uda, masih belum juga datang,” Uteh merungut karena sudah lama
menunggu.<br /> <br />“Kalau Uda tak datang, Dara juga tak sampai,” balas Diman yang juga telah
gelisah menunggu.<br /> <br />“Ah, merpati dua sejoli, kalau terbang tentu sepasang,” Malim menimpali.<br /> <br />Mak Long yang mendengar obrolan anak-anak muda itu lalu berkata, “Begitulah
adat hidup, ada tempat berpaut, seperti bambu dengan tebing, sandar-menyandar.
Tetapi kalian semua masih juga belum punya kekasih ?”<br /> <br />“Ha, itu dia, mereka datang, Kak Salmah membawa andang, Dara tenang
berlenggang, Mak Uda berjalan di belakang, dan, ah, kiranya Pak Long yang
menemaninya,” demikianlah Malim bersorak riang.<br /> <br />Rombongan yang datang dan yang menunggu saling menyapa, tanya-bertanya
mengapa lambat, halangan apa maka demikian. Dalam pada itu tidak kurang juga
senda-gurau yang sekali-sekali diselingi gelak berderai-derai.<br /> <br />“Eh, Uda di mana tertinggalnya?” bertanya Diman setelah sadar Uda tak ada.<br /> <br />“Barangkali sakit kepala,” Pak Long bersuara mulai menggoda Dara.<br /> <br />“Ah, sayang, tak ada orang di sampingnya yang sudi memijitinya, untuk
menghilangkan sakit kepalanya,” demikian Uteh menambahkan karena ia tahu, ke
mana maksud perkataan Pak Long itu.<br /> <br />Malim tidak mau ketinggalan. Segera ia berpantun:<br /> <br />“Di mana tuah akan dicari,<br />Kalau tidak mendera diri,<br />Ke mana kasih hendak dicari,<br />Kalau tidak di Dara sendiri?”<br /> <br />Maka dijawab pula oleh Diman:<br /> <br />“Kalau boleh saya menyampuk,<br />Cari saja siapa berani,<br />Kalau boleh saya menekuk,<br />Hati Dara tak ada di sini.”<br /> <br />Lalu tertawa pun pecahlah berderai, sedangkan Dara diam saja. Hanya
tangannya saja yang memainkan padi di ambung.<br /> <br />“Nah, giliran siapa menumbuk, padi sudah siap ditumbuk,” demikian Mak Long
bertanya sambil memindahkan padi yang sudah siap ditumbuk dan mengangkatinya
dari dalam kuali itu ke nyiru lalu memasukkan ke lesung yang tampak ternganga.<br /> <br />“Mari Diman, kita beradu tingkah,” kata Pak Long sambil mengambil antan
yang tersandar di pohon kelapa. Kemudian bunyi antan saling bertingkah
diselingi bunyi padi yang pecah dan bergerak-gerak seperti berloncatan.<br /> <br />Tiba-tiba Malin berseru penuh kegirangan:<br /> <br />“Ha, itu dia anak muda kita, dengan lenggang datang berandang.”<br /> <br />Maka riuhlah suara menyapa Uda yang terlambat tiba, ada yang menggoda, ada
yang menyindir sambil mengajuk-ajuk hati Dara yang kelihatan berseri melihat
kekasihnya.<br /> <br />“Sekarang lengkaplah jumlah kita, tak ada yang kurang dan tertinggal,” kata
Pak Long bersenang hati.<br /> <br />“Ah, sudah banyak kiranya yang datang. Saya juga yang terlambat,” Uda
tersenyum dan melihat-lihat sekeliling mencari Dara.<br /> <br />“Agaknya tersesat di tengah tebat,” sahut Malim sambil mengerling kepada
Dara.<br /> <br />“Saya singgah mencari kawan, kawan hilang entah ke mana,” balas Uda membela
diri.<br /> <br />Pak Long yang menunggu kesempatan hendak menggoda, lalu berkata:<br /> <br />“Ada elang menyambar ikan,<br />Dibawa terbang hinggap di sini,<br />Ada orang mengambil kawan,<br />Dibawa berjalan sampai ke mari.”<br /> <br />Maka Diman pun menimpali sambil tertawa:<br /> <br />“Siapa cepat siapa dapat, siapa lambat siapa tak dapat.”<br /> <br />Uda tidak mau mengalah dalam hal ini. Segera disambutnya kata-kata itu.<br /> <br />“Bukan saya sengaja terlambat,<br />Lambat karena halangan di jalan<br />Bukan saya takut tak dapat<br />Saya takut hilang di jalan.”<br /> <br />Tiba-tiba Dara yang semenjak tadi berdiam diri segera menyahut dan
menyindir Uda.<br /> <br />“Elang terbang di Langkapuri<br />Berbunyi guruh bersahut-sahut<br />Yang hilang harus dicari<br />Yang jauh patut diturut<br />Demikian ibaratnya kalau hati mau, orang hendak seribu daya, jika tak mau
seribu upaya.”<br /> <br />Semuanya tertawa gembira melihat Dara menyindir Uda, sementara Uda
tersenyum saja, merasa bersalah, lalu berpura-pura mengambil antan mengajak
Malim mengadu tingkah.<br /> <br />Mereka mengemping sampai jauh malam. Sambil makan emping bersantan, mereka
bersenda-gurau sambil tertawa-tawa. Demikianlah kegembiraan mereka setelah padi
naik ke rumah dalam musim panen yang menyenangkan.<br />***<br /> <br />Didesak oleh kemaunan anaknya, walaupun dengan hati yang berat, Ibu Uda pun
mengirimkan orang merisik-risik Dara. Ibu itu tahu keadaan keluarga Dara, yang
cukup berada, tidak kekurangan apa pun juga; sementara diri sendiri miskin
melarat, mana bisa sejajar untuk berbesan dengan orang berharta.<br /> <br />Untuk melaksanakan keinginan itu, Mak Longlah yang dipandang layak, bukan
hanya karena tuanya, tetapi juga karena baik budi bahasanya, sehingga ia disegani
orang, segala bicaranya semua didengar, segala nasihatnya semua diturut. Lagi
pula Mak Long memang bersimpatik pada Uda dan menyayangi Dara: karena dalam
pandangannya, si Uda dan si Dara itu sama-sama tampan dan cantik, sepadan,
ibarat pinang di belah dua.<br /> <br />Pada suatu hari yang baik berkunjunglah Mak Long bersama Kak Saodah,
seorang tetangganya, ke rumah Ibu Dara. Kedatangan mereka disambut baik,
dipelawa menurut patutnya serta dilayani menurut adatnya. Sambil bersimpuh
menghadapi tepak sirih, maka tetamu dan tuan rumah pun mengobrol ke sana ke
mari dengan riangnya.<br /> <br />Setelah melihat tuan rumah tampak bergembira, Mak Long pun mulailah
merisik-risik. Sambil mengapur selembar sirih, bertanyalah ia akan bunga yang
sedang mekar di jambangan, sudahkah ditandai orang atau belum.<br /> <br />“Besar rupanya keinginan Kak Long, maka disebut bunga yang hanya sekuntum
itu,” demikian kata Ibu Dara sambil tertawa seakan-akan menampakkan bahwa ia
sedang bergurau.<br /> <br />“Memang besar harapan kami datang ke mari, datang hanya membawa mulut, maksud
bergantung di ujung rambut,” demikian balas Mak Long menyatakan maksud
kedatangannya dengan sungguh-sungguh hati, tidak lagi bersenda-gurau seperti
tadi.<br /> <br />“Ah, jika harapan memang besar, kami menerima tiadalah tawar, mengapa pula,
Kak Long, maka digantungkan hajat di rambut? Jika berlayar ke tengah laut, tak
akan ada tempat yang surut,” sambut Ibu Dara yang sengaja menarik-narik
pembicaraan biar menjadi teka-teki.<br /> <br />Mak Long yang sudah mengenal kilat ikan di air, tahulah ke mana maksud Ibu
Dara. Lalu berkatalah ia, “Kak Long datang membawa pesan, pesan orang harus
disampaikan, pesan dari Ibu si Uda: katanya, lama sudah ia melihat bunga melati
di rumah ini, bunga melati yang harum baunya ke mana-mana, semerbak di seluruh
kampung, tak ada tara dan bandingannya. Jika melati ini belum berpunya, belum
ada yang menandainya, inginlah Ibu si Uda membelainya, akan dijadikannya dengan
anaknya, Uda.”<br /> <br />Ibu Dara tunduk seketika, untuk mencari kata menjawab, menjawab risik yang
dibisikkan, dijawab dengan tepat padat, biar yang bertanya tak mendesak-desak.
Sejurus berlalu, maka menjawablah ia:<br /> <br />“Jika itu maksud Kak Long, besar benar hati kami. Itu tandanya diri tak
terbuang. Hanya, Kak Long, menurut hemat tilik kami, yang mengenal anak
dikandung, dari kecil dua jari tapak kaki, si Dara ini masih kecil amat,
menumbuk lada belum lumat, menanak nasi mentah selalu. Lagi pula bukan Kak Long
tak tahu, Dara ini anak kurang kodrat, ke sawah tak biasa, ke ladang hanya
bersuka-suka.”<br /> <br />Sudah terasa di hati Mak Long apa yang terkandung dalam kata-kata ibu si
Dara. Namun demikian berkata jua ia:<br /> <br />“Si Uda itu besar benar permintaannya, keinginannya mau menghambakan diri
kepada ibu Dara, entahkan untuk menampal pematang yang runtuh, entahkan untuk
mengemudi kerbau di sawah.”<br /> <br />Ibu Dara tersenyum mendengar Uda ingin menghambakan diri kepadanya, bukan
main besar hatinya. Tetapi mengenang hal Uda yang miskin lara, sawah hanya
selebar kangkang kera, maka ia pun berdalihlah:<br /> <br />“Itulah sayangnya si Dara ini belumlah datang waktunya untuk dijodohkan,
malu kami kalau anak sekecil ini dipersuamikan, kelak disangka orang, kami
ingin benar hendak bermenantu berbesan. Kalau si Uda sudah benar-benar hendak
berteman, rundingkanlah dengan yang lain. Bukanlah hamba memandang rupa, hanya
anak yang seorang ini biarlah penuh manjanya dulu baru kelak akan bersuami.”<br /> <br />Perkataan menyuruh ‘rundingkan dengan yang lain’ dirasakan benar tajamnya
oleh Mak Long. Tahulah sudah ia bahwa Ibu Dara memandang Uda bukan layak bagi
anaknya, bukan taraf mereka dijodohkan, si Dara enggang, si Uda pipit. Karena
rundingan sudah buntu, orang berdalih mengelakkan diri, Mak Long tak dapat
berlama-lama lagi; kilat cermin sudah ke muka, kias kata sudah terasa. Setelah
sirih diulang sekapur, berkatalah Mak Long, “Jika sudah demikian rundingannya,
mohonlah kami berbalik dulu, menyampaikan kabar kepada yang berpesan.”<br /> <br />Maka bersalam-salamanlah mereka, lalu pulanglah Mak Long dan Kak Saodah
dengan hati yang sedih, sedih karena keinginan tak kesampaian, ditambah pula
dengan sindiran-sindiran.<br />***<br /> <br />Seminggu lamanya Uda bermuram durja, pedih benar hatinya disindir-sindir
orang, orang yang memandangnya rendah, tak sebanding dengan Dara. Terpikirlah
dalam hatinya hendak merantau, mengadu untung nasib di negeri orang, mencari
emas dan ringgit.<br /> <br />Maka disampaikannya keinginan hatinya itu kepada ibunya, meminta izin dan
berkah. Ibu yang pengasih penyayang yang hanya hidup bersama putra yang seorang
itu, merayu agar Uda mengurungkan niatnya, dibujuknya untuk mencari pengganti
Dara. Tetapi Uda berkeras hati, karena hatinya hati laki-laki.<br /> <br />“Jadi sudah tetaplah niatmu ini, Nak?” tanya Ibu Uda dengan perasaan cemas
melihat tingkah anaknya itu.<br /> <br />“Sudah tetap Ibu, kalau ikan emas itu ringgit umpannya, dengan ringgit
jugalah kita mengumpaninya. Kalau tulangku kuat, kalau kodratku ada, akan
tercarilah ringgit dan bolehlah Ibu persembahkan ke kaki Ibu Dara. Kalau tidak,
biarlah saya melupakan semuanya.”<br /> <br />“Itulah, Nak. Dulu sudah Ibu katakan, kita pipit jangan juga mendekati
enggang, tak bisa terbang bersama. Tetapi niatmu kuat benar, maka dicoba
tuahnya. Balasannya, sindir juga yang kita terima,” kata Ibu Uda bersedih hati.<br /> <br />“Emasku memang sesaga, sawah hanya sekangkang kera, tetapi saya telah
seia-sekata dengan Dara, tak emas bungkal diasah, tak beras antah digesek.
Tetapi karena kita ini ibarat besi berkarat, tepak tidak diterima orang. Hamba
berjanji, Ibu, malu ini akan kutebus, kucarikan ringgit dan emas, kudirikan
istana untuk Dara ?”<br /> <br />“Hai anak, burung terbang jangan dipipiskan lada, ikan di air jangan ditentukan
gulainya; kelak awak kempunan sendiri. Ingatlah pesan ayahmu dulu: anakku hanya
seorang, itulah teruna, itulah bujang, katanya berkota, pandangannya pandangan
bermakna. Maka janganlah anak berkata begitu, kalau barang belum tentu,
janganlah ditimbang dulu.”<br /> <br />Uda segera menjawab:<br /> <br />“Karena kasih kepada Daralah maka hamba berkata demikian. Biar tulangku
pecah berkecai, biar darahku cucur berderai, Dara tak akan hamba lepaskan.
Hanya kematianlah yang memutuskan perhubungan kami? inilah janji, inilah kata
hati, hati laki-laki.”<br /> <br />Ibu yang tua itu tidak hendak membantah kehendak anaknya. Uda bukan seorang
perempuan yang hanya menyimpan kasih sayang, tetapi ia anak lelaki, keras
hatinya seperti besi. Setelah ditimbang-timbangnya, berkatalah ibunya:<br /> <br />“Jika memang itu kehendakmu, tunaikanlah, anakku. Anak ibu hanya seorang,
anak bujang memang bertualang, anak dara menyimpan kasih sayang. Hanya pesan
ibu, jika sudah dirantau orang, carilah tempat menumpang sayang, jangan segan
membanting tulang. Dan, kenang-kenangkanlah ibu yang tinggal seorang ?”<br /> <br />Ia tidak melanjutkan tuturnya, malah yang terdengar hanyalah sedunya.<br /> <br />Uda yang merasa terharu oleh sedu-sedan bundanya, segera berkata:<br /> <br />“Insya Allah, ibu, tak hamba lupakan pesan, tak hamba lalaikan syarat, doa
ibu semoga berkat.”<br /> <br />Sebelum berangkat ke kota, Uda mengadakan pertemuan dengan Dara. Dengan
susah payah dua kekasih itu berusaha, pada akhirnya barulah mereka dapat
bertemu.<br /> <br />“Memang berat hati abang meninggalkan engkau, Dara. Tetapi barangkali ada
tuah kita. Siapa tahu kalau nasibku ada, tuahku baik di negeri orang, murahlah
rezekiku. Sebab itu doakanlah kepergianku,” demikian Uda berkata membujuk Dara
yang berduka.<br /> <br />“Memang hamba tahu hati ibu, pada emas dan ringgit pandangannya tertuju,”
Dara membalas di antara isak-tangisnya, seolah-olah hendak memberi tahu Uda,
siapakah yang bersalah maka mereka bernasib demikian.<br /> <br />“Karena itulah, adik harus ikhlas abang pergi. Barangkali tuah di rantau
orang lebih cemerlang. Di kota, banyak lapangan pekerjaannya, Dara. Keadaan
abang cukup untuk mengumpulkan uang. Kalau kelak abang pulang, membawa apa yang
diharapkan, bolehlah diulangi lagi perundingan kita, tak akan tertolak lagi
lamaranku.”<br /> <br />“Tetapi hamba bimbang, Bang Uda. Bagaimana jika saat itu datang malapetaka,
akan kecewalah kita, kecewa selama-lamanya, Bang Uda.”<br /> <br />“Ah, jika hati mencari bimbang, bimbanglah datangnya. Tak usahlah
memikirkan hal yang buruk-buruk, Dara. Tak akan lama abang di sana, cukup saja
untuk bekal abang tidak gagal lagi. Lagi pula, tidak ada gunanya kalau abang
tetap tinggal di sini. Kita juga tidak akan dapat bertemu, segala gerak-gerik
kita selalu akan diawasi dan dijaga.”<br /> <br />“Entahlah, Bang Uda. Mengapa hatiku begini, bimbang benar rasanya, seperti
ada yang membisikkan, kita akan menghadapi kekecewaan. Kalau malam senantiasa
panjang, biarlah kita salamanya di sini, biarlah tebat yang bertuah ini jangan
sunyi. Ah, Bang Uda?”<br /> <br />Dara menangis tersedu-sedu. Dibenamkan wajahnya ke pangkuan Uda. Hatinya
benar-benar tersayat, tersayat oleh kekecewaannya. Sambil mengusap-usap rambut
dara yang ikal itu, mata Uda merenung jauh memandang sawah yang kering oleh
musim kemarau. Bulan belum muncul, tetapi bintang sudah berkelip-kelip tidak
terhitung banyaknya.<br /> <br />“Sudahlah, Dara, sedu-sedanmu mengusik hatiku. Jika abang sudah jauh kelak,
sedu-sedanmu itu kubawa dalam kenangan, biarlah ia menjadi lagu kita, lagu
kasih yang tak pernah habis.”<br /> <br />Dara menengadahkan mukanya lalu berkata di antara sedu-sedannya, “Ah,
adakah permintaanku yang buruk, atau Ibu yang salah mengandung?”<br /> <br />Maka jawab Uda, “Bukan, Dara, bukan permintaanmu yang buruk, bukan ibu yang
salah mengandung, tetapi karena ringgit yang berkuasa, berkuasa menentukan
nasib kita, berkuasa menentukan nasib manusia. Maka, karena itulah, Dara, kau
akan abang tinggalkan, abang akan mencari ringgit, menggalinya di mana saja
dengan seluruh tenaga.”<br /> <br />Keduanya diam sebentar. Cuaca mulai suram. Mendung sudah pula berarak dan
sebentar kemudian rintik-rintik air yang halus mulai turun.<br /> <br />“Rupanya hari hujan, Dara. Pada malam perpisahan ini, kau menangis dan hari
pun menangis. Entah mujur entah malang nasib kita.”<br /> <br />Dara duduk kembali sambil mengusap linangan air matanya. Setelah itu
berkatalah ia dengan suara yang sayu.<br /> <br />“Mengapa malam ini tak ada pungguk seperti malam-malam sebelumnya?”<br /> <br />Uda pun menjawab, “Karena bulan tidak ada, adikku. Dan karena kita akan
berpisah.”<br /> <br />“Untuk selama-lamanya?” balas Dara.<br /> <br />“Untuk sementara, Dara. Ya, hanya untuk sementara,” jawab Uda dengan suara
bergetar, karena hatinya juga belum yakin.<br /> <br />Dara duduk memandang bumi, bumi Tanah Air yang dikasihi. Setelah janji
diperteguh lagi, sumpah setia terpaku dalam hati, pulanglah mereka meninggalkan
tebat yang sepi sendiri.<br />***<br /> <br />Di kota tidak ada sawah, tidak ada padi, tak terdengar jangkrik bernyanyi,
ke sanalah Uda pergi membanting tulang yang empat kerat, siang berpanas, malam
berembun, makan sedikit, hidup berhemat, mengumpulkan uang bekal pulang.<br /> <br />Kasih sayang Dara yang dibawanya menyebabkan ia merasa kuat dan tabah
menempuh segala susah, menanggung segala lelah.<br /> <br />Kepergian Uda dirasakan benar beratnya oleh ibunya. Kini ia sendiri harus
membanting tulang di sawah yang selebar kangkang kera itu. Maka seperti
kebiasaan sebagian petani yang miskin di kampung itu apabila sampai musim turun
ke sawah, Ibu Uda pun datanglah ke rumah besar Tuan Haji Alang memohon pinjaman
uang untuk biaya turun ke sawah dan biaya sementara sebelum panen. Adapun Tuan
Haji Alang ini ialah kedai pajak, tempat mengadukan berbagai kesulitan, tempat
menggadaikan barang apa pun yang masih ada untuk mendapatkan sedikit
kepercayaan meminjam uang.<br /> <br />Berbulan-bulan mereka bertungkus lumus mengerjakan sawah, ada yang
mengerjakan sendiri, ada yang saling membantu, tetapi musibah juga yang menimpa
mereka: musim kemarau telah tiba, sawah kering tak berair, maka sawah pun tidak
menghasilkan padi seperti tahun-tahun sebelumnya. Ramailah para petani yang
miskin itu datang ke rumah Tuan Haji Alang mengabarkan hal kesulitan mereka itu
sambil memohon agar padi yang hanya sedikit itu jangan juga disita sebagai
ganti utang yang belum langsai. Memang mereka akan sangat kesulitan, jika padi
yang sedikit itu disita juga, sementara yang ada saja masih belum mencukupi
untuk dimakan seisi rumah. Ibu Uda ikut pula memohon, tetapi Tuan Haji Alang
yang berhati batu itu, berkata:<br /> <br />“Saya tidak dapat menangguhkan lagi, tahun lalu masih tersisa utang, utang
tahun ini jadinya bertambah banyak.”<br /> <br />Maka dijawab Ibu Uda dengan air mata ibanya:<br /> <br />“Minta agar bisa ditangguhkan dahulu, Tuan Haji. Uda, anak hamba, masih belum
pulang; jika kelak ia pulang akan terbayarlah semuanya.”<br /> <br />Segera pula Haji Alang menyergah:<br /> <br />“Kerugian saya sangat besar tahun ini, banyak uang dikeluarkan untuk
menolong orang-orang sekampung, tetapi kembalinya tidak seberapa, karena itu
segala padi yang diperoleh tahun ini akan saya ambil juga, supaya saya jangan
terlalu menderita kerugian.”<br /> <br />Ibu Uda masih memohon, karena padi yang diperolehnya tahun ini sangat
sedikit, dan itu berarti nyawa bagi hidupnya. Katanya, “Kami miskin, Tuan Haji.
Jika bagian ini diambil juga, apa yang akan kami makan. Kasihanilah hamba yang
tua ini, Tuan Haji.”<br /> <br />Tetapi batu tak akan cair dengan kata-kata itu.<br /> <br />“Kalau semua orang kampung ini tidak makan, mengapa saya yang harus memberi
makan? Mengapa saya yang harus mengalami kerugian karena itu? Tetapi saya dapat
menolong, hanya jika ada jaminan,” kata Haji Alang memancing sawah dan gubuk
buruk milik Ibu Uda.<br /> <br />“Gubuk buruk hamba dengan sawah selebar kangkang kera, itulah harta yang
ada pada hamba, peninggalan pusaka ayah si Uda, tetapi?”<br /> <br />“Ah, mengapa juga memakai tetapi? Saya ingin menolong orang dan bagian
kakak tak akan tersentuh barang sedikit pun apabila kakak mau menggadaikan
sawah kepada saya,” balas Haji Alang.<br /> <br />Apalah daya diri seorang perempuan yang sudah tua ini, tempat pergantungan
tak ada, si Uda jauh sudah ke kota, maka dengan keluhan yang berat serta
linangan air mata dari lubuk jiwa yang terkoyak digadaikannyalah sawah pusaka
yang sangat dicintainya itu kepada Haji Alang. Itulah dayanya sebagai seorang
ibu tua yang miskin dalam menghadapi hidup sekelilingnya yang kejam lagi bengis
itu.<br />***<br /> <br />Karena terlalu banyak menderita mengorbankan tenaga dan tidak mengukur
waktu dan keadaan, sementara makan tidak menentu, tidak memikirkan dan menjaga
kesehatan sendiri, maka jatuh sakitlah Uda. Sakit itu dirasakannya semakin hari
semakin payah. Awalnya, ketika ia mulai merasa sakit, tidak sedikit pun ia
mengindahkannya. Ia terus bekerja membanting tulang menambah bekal kelak
pulang. Sakitnya menjadi-jadi disertai dengan batuk dan lelah. Tidak ada orang
yang dapat mengenal jika melihat Uda yang dalam keadaan sakit itu. Mungkin juga
orang akan sulit diyakinkan, karena Uda yang setahun dulu segak dan tegap
sebagai seorang pendekar silat yang terkenal, kini lemah lumpuh tidak berdaya
barang sedikit pun. Tetapi dalam keadaan yang sepayah itu dipaksakan juga ia
pulang kampung. Hatinya memang lelaki, patah sayap bertongkat paruh, namun
kehendak diteruskan juga.<br /> <br />Menangislah ibunya melihat keadaan putranya yang dulu segar-bugar, tangkas
dalam silat, gagah dalam gerak, kini kurus-kering sebagai rangka.<br /> <br />“Mengapa begini benar kau, anakku? Kau pergi melangkah muda, kau kembali
melangkah tua. Orang mengikut kata hati, beginilah jadinya. Kau menyiksa dirimu
sendiri, kau menyia-nyiakan hidupmu, anakku, seperti dunia ini kecil benar, seperti
tidak ada jodoh yang lain.”<br /> <br />Setelah itu dipeluklah anaknya itu dengan ratap tangisnya.<br /> <br />“Berat kupikul, sakit kutanggung, ibu, tetapi Dara hanyalah satu-tak dapat
ditukar ganti oleh yang lain, tak dapat dijualbelikan. Jika memang begini
penanggunganku karena Dara, maka relalah hamba menerimanya,” jawab Uda dengan
suara yang lemah tetapi penuh keyakinan.<br /> <br />Seminggu lamanya Uda telentang di pembaringan di rumahnya. Penyakitnya
semakin berat juga. Keinginannya untuk bertemu dengan Dara kian mendalam.
Akhirnya berkatalah ia kepada bundanya:<br /> <br />“Ibuku, ada permintaan hamba, permintaan terakhir pula kiranya.”<br /> <br />“Sebutkanlah, Nak! Katakanlah, kalau tangan ibu sampai menjangkaunya,
permintaanmu tidak akan ibu kecewakan.”<br /> <br />“Hamba ingin bertemu dengan Dara, jemputlah ia ke mari sebentar.”<br /> <br />“Ya Allah, berat benar permintaanmu, anakku. Dara sudah bertunangan,
ditunangkan dengan seorang hartawan, sama berharta sama berberlian, meskipun
cantiknya tidak sepadan, luas kebun banyak gudang, lebar sawah banyak emasnya.
Bagaimanalah jadinya kalau Dara dijemput ke mari, kita dapat diperkarakan, kita
mentimun, mereka durian.”<br /> <br />“Inilah permintaanku yang terakhir, ibu. Sebelum hamba pergi. Dara harus
hamba temui. Usahakanlah ibu, Dara tidak akan menolak, tidak akan secepat itu
hatinya berubah, biarlah hamba menduga sendiri; beralih kain ke balik rumah, beralih
cakap ke balik lidah ?”<br /> <br />“Hai anakku ?” Ibu Uda menangis lagi. Sedu-sedan dan isyak-tangisnya
terdengar perlahan keluar dari lubang-lubang bilik gubuk usangnya.<br /> <br />Sudah menjadi satu pepatah: rezeki, jodoh pertemuan dan maut di tangan
Tuhan, karena Tuhan berkuasa atas segala-galanya. Kita hanya merancang,
Tuhanlah yang menentukan.<br /> <br />Kedatangan Dara terlambat sesaat, karena ketika bulan mengambang sayu,
langit mendung, pungguk merayu, deru angin mendayu-dayu, waktu itulah Uda
menghembuskan napasnya yang terakhir dengan mata setengah terbuka, tanda
penasaran tidak sempat melihat Dara, kekasihnya yang sudah berjanji
sumpah-setia.<br /> <br />Dara menyungkurkan dirinya ke tubuh Uda yang sudah kaku, air matanya
berhamburan sebagai mutiara-mutiara kecil membasahi muka Uda yang sudah menjadi
mayat itu. Sampai jauh malam sedu-sedan Dara masih membelah sunyi, ratapan
seorang gadis yang kehilangan tempat mencurahkan kasih sayang dan cinta sejati.<br /> <br />Keesokkan harinya setelah datang waktu dzuhur, kelihatanlah orang membawa
usungan ke pemakaman. Diman, Uteh, Malim, Pak Long serta kawan-kawan lainnya
yang sepermainan dengan Uda kelihatan memikul usungan jenazah Uda. Pak Guru
silatnya mengikuti di belakang berjalan menundukkan kepalanya dengan sedih
hati: ia kehilangan seorang bekas murid yang pantas cergas.<br /> <br />Setelah jenazah dimakamkan, setelah air mawar di kendi disiramkan,
pulanglah orang membawa usungan yang kosong. Dan pada saat itulah Dara secara
sembunyi-sembunyi datang ke kuburan. Di tanah yang masih basah dan merah itu,
menyembahlah ia menangis tersedu-sedu menggoncang bahu.<br /> <br />Kembalilah kenangan lamanya, datanglah segala peristiwa dulu, semuanya
bermain dalam hatinya, tergambar di ruang matanya.<br /> <br />Ketika matahari telah memancarkan sinarnya ke bumi, Dara bangkit
perlahan-lahan dengan matanya bengkak oleh tangis. Dipandangnya nisan kayu yang
tegak itu, dilihatnya pohon puding yang ditanamkan orang. Setelah semua
dilihatnya dengan seksama, dengan hati yang berdamba bergetar, maka
melangkahlah ia perlahan-lahan menahan deburan ombak di lubuk hatinya. Setelah
berjalan beberapa langkah ia berpaling kembali, barangkali melihat untuk yang
penghabisan kalinya. Ketika itu setangkai kembang kemboja kelihatan gugur
perlahan. Maka senja pun perlahan-lahan merangkak datang menutup daerah
pekuburan yang sudah kesepian.<br />***<br /> <br />Sudah semusimlah Uda pergi meninggalkan dunia membawa kekecewaannya.<br /> <br />Dara semakin susut badannya. Cantik wajahnya sudah berkurang oleh pucat dan
cengkungnya. Maka berdukacitalah ibunya. Puas sudah orang pintar dan dukun
mengobatinya, namun penyakit tak kunjung sembuh, malah makin mendalam rupanya.<br /> <br />Pada suatu hari bertanyalah ibunya:<br /> <br />“Dara anakku, mengapakah kau bermuram benar? Apa yang dipikirkan, sehingga
tingkah anakku jadi begini? Apakah yang kurang padamu? Dukuhmu hilang, gelangmu
kurang, anting-antingmu ringan, emasmu susut? Katakanlah, katakan yang
sebenarnya pada ibu, akan ibu carikan gantinya, akan ibu adakan semuanya.”<br /> <br />Dara tunduk termenung, sedang matanya dilinangi air. Setelah lama barulah
ia menjawab:<br /> <br />“Semua cukup, ibu. Emasku berlebih, gelangku bersusun, anting-antingku
berat, dukuhku banyak, tak kurang suatu apa pun jua, tak ada yang tak cukup,
malah berlebih, sangat berlebih ?”<br /> <br />“Kau terlalu menurutkan perasaanmu, anakku. Dengarlah kata ibu: turunan
kita darah bangsawan, duduk kita duduk bertempat, sampai semua orang sekampung
menaruh hormat, tak ada orang yang lebih bermartabat. Mengapa anak buta mata,
memilih anak turunan gembala, anak desa emas sesaga, sawah selebar kangkang
kera? Apalah yang dirisaukan; kalau ganti Uda itu tak ada, bolehlah dicarikan,
tetapi tunanganmu tak ada sesuatu yang kurang.”<br /> <br />Dara mengeringkan air matanya, matanya merah seperti saga, hatinya marah
bernyala-nyala, lalu ia pun berkata:<br /> <br />“Ibu, ibu terlalu besar, maka ibu membenarkan diri; ibu terlalu tinggi,
maka ibu menjadi bagini; ibu terlalu kaya, maka ibu merasa mulia, mulia
daripada orang yang sawahnya selebar kangkang kera, mulia dari semua orang
karena ibu berharta benda. Ibu tak tahu akan kasih hati, ibu tak arif menimbang
rasa; hati apa hati ibu, pikiran apa pikiran ibu, maka ibu mendera kami, kasih
ada jalan tiada ?”<br /> <br />Dara tak dapat meneruskan kata-katanya lagi; perasaannya terlalu meluap
bercampur baur, lalu menangislah ia tersedu-sedu menelungkupkan mukanya ke
bantal guling berkerawang buatan tangannya sendiri.<br /> <br />Dengan penuh keyakinan pula ibu Dara berkata:<br /> <br />“Dara, anakku, tiada ibu hendak menyiksa, tidak pula ibu mendera-dera,
kasih ibu tiada batasnya mengharapkan anak penuh kebahagiaan. Dengarlah,
anakku, dengarkan baik-baik kata ibu. Ketika ibu seperti anakanda dulu,
demikian pulalah halnya ibu, disuruh kawin dengan orang yang dipilih oleh ibu
dan bapa. Tak tahu ibu hendak menerima atau menolak, ibu tidak mengenal lelaki
pilihan ibu-bapa. Maka setelah sampai saatnya, menikahlah ibu, dan tiadalah ibu
membantah apa-apa diarahkan orang tua. Berkat taat khidmat ibu, maka sampai
kini ibu selamat sempurna, tak kurang suatu apa pun, meski ayahmu sudah lama
meninggal dunia.” Ibu Dara berdiam diri seketika lamanya. Dan sesudah itu,
karena Dara tidak juga bersuara, disambungkanlah ceritanya:<br /> <br />“Memang ada ibu dengar orang muda berkasih-kasihan, saling mencinta, tetapi
semua itu hanyalah menurut hati muda belaka: belum yakin ibu kepada cinta,
karena cinta, menurut pertimbangan ibu, hanyalah permainan anak-anak muda,
khayalan sebelum kita terlena saja. Oleh karena itu, ibu yakin bahwa anakku
akan sadar juga dan bila telah menikah dengan tunanganmu, kelak engkau akan
hidup bahagia, bahagia dan bertuah seperti hidup ibu dengan ayahmu dulu. Hanya
ibu mohon, supaya anakku janganlah hanya menurutkan perasaanmu saja, lupakanlah
perasaan cinta itu, karena dengan begitu ingatan kepada Uda pun akan turut
terhapus.”<br /> <br />Dara tidak menjawab, tangisnya sudah berkurang. Dalam hatinya, tahulah ia
bahwa ibunya memandang kecil benar kepada cinta kasihnya yang sudah tertanam
pada diri Uda.<br /> <br />Hari perkawinan dengan tunangannya yang tak dicintainya dan yang kaya raya
itu, semakin dekat waktunya. Tetapi tubuh badan Dara semakin susut-kurus,
setiap hari berendam air mata, setiap hari menumpahkan cintanya pada Uda.
Banyak sudah uang yang dikeluarkan untuk dukun dan pawang; ayam putih dan
hitam, kambing tua dan muda sudah banyak dikorbankan, namun penyakit jangankan
sembuh, malah bertambah parah saja.<br /> <br />Akhirnya pada suatu malam waktu dinihari, sepekan sebelum datang hari
perkawinan, ketika pungguk mendayu-rayu, ketika angin sepoi membelai, Dara pun menutup
mata, terpejam untuk selama-lamanya, pergi menurutkan kekasihnya, Uda.<br /> <br />Tak berkeputusan penyesalan dalam hati ibu Dara, tetapi apalah artinya
sesal yang kemudian itu. Dan dengan permintaannya sendiri pula maka jenazah
Dara dikebumikan di samping kuburan Uda. Maka nisan mereka bergandenglah di
bawah naungan pohom kemboja yang selalu menguntum bunga-bunganya menghiasi
tanah pekuburan itu.<br /> <br />Makam itu selalu dikunjungi oleh sahabat-sahabat mereka yang tinggal dan
nama mereka berdua “Uda dan Dara” selalu disebut-sebut sebagai pelambang cinta
kasih yang teguh dan murni.<br />***<br /> <br />[Terbit pertama kali tahun 1952 di suratkabar Utusan Melayu. Diterbitkan
kembali dalam antologi cerpen Megar dan Segar: Bunga Rampai Cherita2 Pendek
Angkatan Baru (di-pileh dan di-bicharakan oleh Asraf), Kuala Lumpur: Oxford
University Press, 1959, hlm. 132-154. Diindonesiakan dan diberi antotasi untuk
kepentingan pengajaran di Department of Malay-Indonesian, Hankuk University of
Foreign Studies, Seoul (2009)].<br /> <br />Usman Awang, Sasterawan Negara Malaysia, lahir di Kuala Sedili, Kota
Tinggi, Johor, tahun 1929. Dikenal juga dengan nama samaran Tongkat Warrant,
Atma Jiwa, Adi Jaya, Manis, Seribudi, Zaini, dan sekitar 10-an nama pena yang
lain.<br />***<br /> <br />Larat: bergerak.<br />Rupawan: cantik, molek.<br />Lampai: tinggi-ramping.<br />Segak: gagah, segar, sehat, baik sikapnya.<br />Sabas: ucapan selamat; tahniah, selamat.<br />Cergas: tangkas, gesit, cekatan.<br />Kesatria: orang yang gagah berani, pemberani, tidak licik, dan bertanggung jawab
pada segala perbuatannya.<br />Tebat: tambak, kolam ikan.<br />Leka: lalai karena sedang tertarik sesuatu.<br /> <br />Mempertimbangkan kebaikan dan keburukan, menghitung untung-rugi, mengukur
mujur-malang: ungkapan yang lazim digunakan dalam kebudayaan Melayu untuk
menunjukkan segala hal perbuatan harus dipertimbangkan masak-masak sebelum mengambil
keputusan yang terbaik.<br /> <br />Kalau pakar sudah bulat, kalau kata sudah seia, tidaklah sukar jalan
ditempuh (peribahasa): Jika semua pihak sudah menyetujui dan mufakat, maka
tidak ada lagi halangan untuk mewujudkannya.<br /> <br />Tak beras antah digesek, tak air hujan ditampung, tak kayu jenjang
dikeping, tak emas bungkal diasah (peribahasa): segala apa pun akan dilakukan,
asalkan maksud tercapai.<br /> <br />Jangkrik: binatang serangga biasa hidup di sawah biasa mengeluarkan bunyi
krik-krik ?<br /> <br />Pungguk: burung elang malam (burung hantu) yang suka memandang bulan (ninox
sentulata malaccensis).<br /> <br />Bunting: hamil; analogi padi yang padat berisi, bernas.<br /> <br />Sirih dan tepak diantarkan (idiom, ungkapan): melamar, meminang seseorang
untuk dijadikan istri.<br /> <br />Mengetam: memotong (padi) dengan menggunakan ani-ani, alat pemotong padi.<br /> <br />Jelapang: tempat menyimpan padi; lumbung.<br /> <br />Antan: Kayu berbentuk bulat panjang yang digunakan untuk penumbuk padi;
alu.<br /> <br />Merungut: bersungut-sungut, mengomel, menggerutu.<br /> <br />Dua sejoli: sepasang; jantan-betina, laki-laki-perepuan, pria-wanita.<br /> <br />Tebing: perbukitan yang agak curam dan berjurang.<br /> <br />Andang: obor yang dibuat dari daun nyiur atau daun kelapa: suluh.<br /> <br />Ambung: keranjang atau karung tempat menggendong padi atau barang-barang
lain.<br /> <br />Nyiru: nampan untuk menganyak padi agar bersih dari sisa jerami atau batang
padi.<br /> <br />Lesung: balok kayu yang dibuat berlubang tempat padi ditumbuk.<br /> <br />Beradu tingkah: pasangan penumbuk padi.<br /> <br />Berandang: berendeng; berderet ke samping, berurutan.<br /> <br />Mengemping: membuat makanan emping.<br /> <br />Emping: penganan yang terbuat dari padi yang belum masak benar atau dari
biji-bijian (ditumbuk lalu disangrai atau digoreng tanpa minyak)<br /> <br />Merisik-risik: menyuruh orang menyampaikan pinangan.<br /> <br />Ibarat pinang dibelah dua (Peribahasa): artinya kedua orang itu wajahnya
mirip sekali, hampir serupa.<br /> <br />Dipelawa: dihormati.<br /> <br />Bersimpuh: duduk dalam posisi kaki ditekuk.<br /> <br />Tepak sirih: seperangkat peralatan untuk menyirih, yaitu mengunyah dauh
sirih yang dicampur dengan kapur sirih, jambe, dan sedikit tembakau. Menyirih
adalah kebiasaan perempuan Melayu untuk memerahkan bibir dan memperkuat gigi.<br /> <br />Mengapur selembar sirih: membuat siri dengan mengolesi daun sirih dengan
kapur.<br /> <br />Jambangan: tempat bunga biasanya terbuat dari tanah liat.<br /> <br />Kilat ikan di air (idiom, peribahasa): orang yang bijaksana dan
berpengalaman biasanya dapat mengetahui atau menangkap isyarat atau maksud
perkataan seseorang.<br /> <br />Menumbuk lada belum lumat, menanak nasi mentah selalu (peribahasa): masih
sangat muda, belum berpengalaman dan masih harus banyak belajar.<br /> <br />Menampal pematang yang runtuh (memperbaiki pematang sawah), mengemudi
kerbau di sawah (membajak sawah dengan tenaga kerbau); Ungkapan ini untuk
menunjukkan kesungguhan, bahwa apa pun bisa dikerjakan.<br /> <br />Berdalih: menyampaikan alasan.<br /> <br />Si Dara enggang, si Uda pipit: perbandingan untuk menjukkan perbedaan
status sosial. Yang kaya dengan yang kaya, yang miskin dengan yang miskin.
Enggang (bucerotidae): burung besar pemakan kadal, cecak, ular tikus. Pipit:
burung kecil.<br /> <br />Kilat cermin sudah ke muka, kias kata sudah terasa (peribahasa); orang yang
bijaksana dan berpengalaman biasanya dapat mengetahui atau menangkap isyarat
atau maksud perkataan seseorang.<br /> <br />Hati laki-laki (ungkapan): keras hati, teguh pendiriannya, kerasa
kemauannya.<br /> <br />Sesaga: sebiji saga (abrus precatorius): tanaman merambat yang bijinya
kecil berwarna merah mengkilap dengan bercak hitam.<br /> <br />Sekangkang kera (idiom): seselangkangan kaki monyet, artinya sempit atau
kecil sekali.<br /> <br />Tak emas bungkal diasah, tak beras antah digesek (peribahasa): segala apa
pun akan dilakukan, asalkan maksud tercapai.<br /> <br />Membanting tulang (idiom): artinya bekerja keras.<br /> <br />Berkat: mendapat kebaikan dari Tuhan.<br /> <br />Tuah: nasib baik, keberuntungan. Bertuah: memberi kebaikan, keberuntungan.<br /> <br />Kelak: suatu saat; nanti.<br /> <br />Pangkuan: di atas kedua paha.<br /> <br />Empat kerat: maksudnya empat potong; dua kaki, dua tangan.<br /> <br />Musim turun ke sawah: saatnya para petani mulai menanam padi.<br /> <br />Kedai pajak: tempat peminjaman uang tidak resmi; semacam rentenir.<br /> <br />Menggadaikan: meminjam uang dengan menyimpan barang tertentu sebagai
jaminan pembayaran. Jika si peminjam tidak dapat melunasi utangnya, maka barang
itu akan menjadi milik orang yang meminjamkan uang itu.<br /> <br />Bertungkus lumus (idiom): bekerja keras.<br /> <br />Disita: dirampas atau diambil secara paksa karena tidak dapat membayar
utang.<br /> <br />Langsai: lunas, impas.<br /> <br />Berhati batu: tidak mudah merasa kasihan atau iba; tega.<br /> <br />Patah sayap bertongkat paruh, namun kehendak diteruskan juga (peribahasa):
meskipun sudah tidak mempunyai kekuatan atau kekuasaan apa-apa, semangatnya
masih menyala-nyala.<br /> <br />Luas kebun banyak gudang, lebar sawah banyak emasnya (peribahasa): sangat
kaya; kaya raya.<br /> <br />Kita mentimun, mereka durian: ungkapan untuk menunjukkan status sosial
antara miskin dan kaya.<br /> <br />Beralih kain ke balik rumah, beralih cakap ke balik lidah (peribahasa):
orang dapat dengan mudah berpindah rumah, tetapi kepercayaan dan nama baik
hanya dapat dipertahankan jika orang tidak ingkar janji atau berkhianat.<br /> <br />Pantas cergas: cakap dan gesit.<br /> <br />Dukuhmu hilang, gelangmu kurang, anting-antingmu ringan, emasmu susut
(ungkapan): segalanya mengalami kemunduran.<br /> <br />Duduk kita duduk bertempat (peribahasa): mempunyai rumah dan tempat tinggal
yang pantas.<br /> <br />Dukun dan pawang; ayam putih dan hitam, kambing tua dan muda sudah banyak
dikorbankan (ungkapan): berbagai cara pengobatan telah dilakukan.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2010/07/uda-dan-dara/">http://sastra-indonesia.com/2010/07/uda-dan-dara/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-24459438671255343652021-06-24T08:52:00.003-07:002021-06-24T08:52:20.905-07:00Puisi-Puisi Mahmoud DarwishDiterjemahkan: Saut Situmorang<br /> <br /><b>Aku Tidak Minta Maaf Kepada Sumur
Itu</b><br /> <br />Aku tidak minta maaf kepada sumur itu waktu aku melewatinya,<br />Aku pinjam dari pohon cemara tua itu sebuah awan<br />dan meremasnya seperti jeruk, lalu menunggu seekor gazel<br />putih dan legendaris. Dan kuperintahkan hatiku untuk bersabar:<span><a name='more'></a></span><br />Bersikap netrallah seolah kau bukan bagian diriku! Di sini<br />para penggembala baik itu berdiri dan mengeluarkan<br />suling mereka, lalu membujuk burung puyuh gunung masuk<br />ke dalam jerat. Dan di sini aku pasang pelana ke kuda untuk terbang menuju<br />planet-planetku, lalu terbang. Dan di sini para pendeta perempuan<br />mengingatkanku: Hati-hatilah dengan jalan aspal dan mobil<br />dan melangkahlah dalam hembusan nafasmu. Di sini<br />kusantaikan bayanganku dan menunggu, kuambil batu terkecil<br />dan berjaga sampai larut. Kupecahkan mitos dan kupecahkan.<br />Dan kukelilingi sumur itu sampai aku terbang dari diriku<br />ke sesuatu yang bukan bagian diriku. Sebuah suara rendah berteriak
kepadaku:<br />Kuburan ini bukan kuburanmu. Jadi aku minta maaf.<br />Kubaca ayat-ayat dari kita suci yang bijaksana, dan kukatakan<br />kepada yang tak dikenal di dalam sumur itu: Salam bagimu di hari<br />kau terbunuh di negeri damai, dan di hari kau bangkit hidup<br />dari kegelapan sumur!<br /> <br /> <br /> <br /><b>Sebuah Kalimat Kata Benda</b><br /> <br />Sebuah kalimat kata benda, tanpa kata kerja:<br />bagi laut bau tempat tidur<br />setelah bercinta … parfum asin<br />atau masam. Sebuah kalimat kata benda: rasa riangku yang terluka<br />seperti matahari tenggelam di jendelamu yang aneh.<br />Bungaku hijau seperti burung phoenix. Hatiku melebihi<br />kebutuhanku, ragu-ragu antara dua pintu:<br />masuk lelucon, dan keluar<br />labirin. Di mana bayanganku–pemanduku di tengah<br />kerumunan di jalan menuju hari kiamat? Dan aku<br />seperti sebuah batu kuno dengan dua warna hitam di tembok kota,<br />coklat kemerahan dan hitam, sebuah tonjolan ketakpekaan<br />terhadap para pengunjungku dan tafsir bayang-bayang. Menginginkan<br />untuk kala sekarang sebuah pijakan kaki untuk berjalan di belakang<br />atau di depanku, telanjang kaki. Di mana<br />jalan keduaku menuju tangga luas itu? Di mana<br />kesia-siaan? Di mana jalan menuju jalan?<br />Dan di manakah kita, berjalan di jalan setapak kala<br />sekarang, di manakah kita? Percakapan kita adalah predikat<br />dan subjek di hadapan laut, dan buih<br />ujaran yang licin adalah titik-titik di huruf,<br />menginginkan sebuah pijakan kaki bagi kala sekarang<br />di trotoar …<br /> <br /> <br /> <br /><b>Soneta V</b><br /> <br />Aku menyentuhmu seperti sebuah biola yang kesepian menyentuh daerah
suburbia kota tempat yang jauh itu<br />dengan sabar sungai meminta bagian gerimisnya<br />dan, sedikit demi sedikit, sebuah esok yang berlalu di puisi-puisiku
mendekati<br />maka kubawa negeri yang jauh dan aku dibawanya di jalan perjalanan<br /> <br />Di atas kuda betina kebajikanmu, jiwaku menenun<br />langit alami dari bayang-bayangmu, satu kepompong demi satu kepompong.<br />Aku adalah anak laki-laki dari apa yang kau lakukan di bumi, anak laki-laki
luka-lukaku<br />yang menerangi mekar delima di tamanmu yang tertutup<br /> <br />Dari melati darah malam mengalir putih. Parfummu,<br />kelemahanku dan rahasiamu, mengikutiku seperti sebuah gigitan ular. Dan
rambutmu<br />adalah tenda angin musim gugur berwarna. Aku berjalan bersama ujaran<br />sampai ke kata terakhir yang diceritakan seorang beduin ke sepasang merpati<br /> <br />Aku membelaimu seperti sebuah biola membelai sutra dari waktu yang jauh itu<br />dan di sekitarku dan kau tumbuh rumput dari sebuah tempat kuno–baru<br /> <br />***<br />Catatan:<br />Puisi-puisi di atas diterjemahkan dari berbagai sumber terjemahan bahasa
Inggris.<br /> <br />Mahmoud Darwish (1941–2008) adalah penyair terbesar Palestina. Darwish
memakai Palestina sebagai metafor hilangnya Taman Firdaus, kelahiran dan
kelahiran-kembali, dan derita kehilangan dan eksil. Dia digambarkan sebagai
inkarnasi dan refleksi dari “tradisi penyair politik dalam Islam, manusia aksi
yang memakai puisi sebagai aksinya”. Dia juga pernah jadi editor beberapa
majalah sastra di Palestina.<br />Darwish menerbitkan kumpulan puisi pertamanya Daun-daun Zaitun pada 1964,
waktu berusia 22 tahun. Sejak itu, dia telah menerbitkan tigapuluh buku puisi
dan prosa yang telah diterjemahkan ke lebih daripada duapuluh dua bahasa.
Buku-buku puisinya antara lain Beban Kupu-kupu (2006), Sayangnya, Sorga:
Seleksi Puisi (2003), Pengepungan (2002), Adam dari Dua Firdaus (2001), Mural
(2000), Tempat Tidur Orang Asing (1999), Kenapa Kau Biarkan Kuda Itu Sendiri?
(1994), dan Musik Daging Manusia (1980).<br />Mahmoud Darwish juga penerima berbagai penghargaan internasional, antara
lain Lannan Cultural Freedom Prize dari Lannan Foundation, Lenin Peace Prize,
and the Knight of Arts and Belles Lettres Medal dari Prancis.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/06/puisi-puisi-mahmoud-darwish-2/">http://sastra-indonesia.com/2021/06/puisi-puisi-mahmoud-darwish-2/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-21930876754026926342021-06-07T22:49:00.003-07:002021-06-07T22:49:59.581-07:00DollyEko Darmoko<br />Jawa Pos, 1 Juni 2014<br /> <br />Aku terjebak dalam permainan Kelly Gardner. Pertemuanku dengannya untuk
pertama kalinya di Selat Bali, pertengahan 2013 silam, membuatku terjerumus
dalam dunia prostitusi. Kisah ini menjadi rumit dan panjang. Benang merah makin
kusut dan tiada ujung.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Kelly memaksaku mendatangi kuburan bising di Kecamatan Sukun, di pinggiran
Kota Malang. Aku dipaksa memugar jati diri mayat yang terpendam di salah satu
gundukan tanah di kuburan itu.<br /> <br />Masih segar dalam ingatan, di atas kapal yang mengantarkanku ke Pulau Bali,
rambut pirang itu menari-nari disapu angin lautan. Mata birunya menelanjangi
dasar Selat Bali. Dari hembusan nafasnya menyembul asap rokok mentol. Lama
kupandangi dia. Tapi justru aku yang malu ketika pengintaianku diketahuinya.<br /> <br />“Hai, kamu suka Tolstoi?” katanya sembari menunjuk kaos bergambar Tolstoi
yang kupakai—kemampuan Bahasa Indonesia gadis ini sangat bagus. Dalam hati, aku
memberinya nilai 100 plus dua jempol untuk Bahasa Indonesia yang ia ucapkan.<br /> <br />“Siapa pun yang suka sastra, pasti suka dengan Tolstoi. Dia tidak hanya
dikenal Rusia saja, seluruh dunia pun mengenalnya—meskipun dia tidak meraih
Nobel,” jawabku sekenanya.<br /> <br />“Kelly Gardner. Kamu boleh memanggilku Kelly,” ia memperkenalkan diri,
kemudian aku juga menyebutkan namaku.<br />***<br /> <br />7 Januari 1992, telah meninggal dunia perempuan gempal dan perkasa. Orang
Surabaya mengenalnya dengan sebutan Dolly. Aku sendiri, sebagai peneliti
bayaran, belum mengetahui nama aslinya. Padahal, Kelly—majikan yang
mengupahku—berulang kali mendesakku agar secepatnya memberikan laporan perihal
nama asli Dolly.<br /> <br />“Sekarang sudah April 2014, sedangkan nama asli Dolly belum kamu dapatkan,”
Kelly membalas email yang kukirimkan.<br /> <br />“Data-data yang kamu kirimkan sudah kubaca. Besok pagi, waktu Surabaya,
akan aku kirim bayaranmu,” sambungnya.<br /> <br />Pekerjaan sampingan sebagai peneliti bayaran ini membuatku meninggalkan
pekerjaan tetap sebagai kasir di pusat perbelanjaan di Surabaya. Dulu, sebelum
bertemu dengan gadis asal Seattle Amerika itu, aku selalu berkencan dengan
uang-uang belanja. Kini aku harus mengencani Dolly, keluarganya, dan yang
mengerikan adalah mengencani kuburannya.<br /> <br />Dua kali aku berziarah ke kuburan Dolly, di Kecamatan Sukun, pinggiran Kota
Malang. Ziarah pertama, awal Januari 2014, gagal total. Aku bingung dan takut!
Sudah kukitari luas kuburan itu, namun aku gagal menemukan gundukan tanah yang
memendam mayat Dolly. Maklum, aku tidak tahu nama aslinya—sedangkan petunjuk
untuk mencari makam seseorang adalah dengan melihat pahatan nama di nisan.<br /> <br />Ziarah kedua, kulakukan di awal April 2014. Dengan kata kunci ‘7 Januari
1992’ aku memelototi satu per satu nisan yang ada di Kuburan Kecamatan Sukun
itu. Akhirnya aku menemukannya. Identitas asli Dolly memang benar-benar
dirahasiakan; di kayu nisannya memang tidak tertulis namanya. Yang ada hanya
tulisan ‘Lahir 15 September 1929 – Wafat 7 Januari 1992’.<br /> <br />Secara sembunyi-sembunyi, kupotret nisan itu menggunakan ponsel dan
kukirimkan kepada Kelly di Seattle via email.<br /> <br />“Kau yakin itu kuburan Dolly?” tanya Kelly.<br /> <br />“Di kuburan Sukun, dari ratusan bangkai yang terpendam, hanya ada satu
nisan dengan data kematian 7 Januari 1992. Keluarga Dolly memang senjaga
merahasiakan identitas mendiang,” balasku.<br /> <br />“Okay, akhir April aku akan ke Jakarta—ada meeting dengan mafia bola.
Mungkin nanti aku mampir ke Surabaya,” balas Kelly.<br />***<br /> <br />Kapal yang membawaku, bersandar di pelabuhan. Obrolan tentang Tolstoi
bersama Kelly berlanjut hingga di Pantai Kuta. Aneh, dia sangat percaya
kepadaku. Semua kisah hidupnya diceritakannya padaku, padahal kami berkenalan
belum genap sehari.<br /> <br />“Aku sudah lama tinggal di Indonesia. Pindah dari satu tempat ke tempat
lainnya. Ibuku orang Prancis, Ayahku orang Amerika. Aku lahir di Jakarta,
ketika orangtuaku bertugas di Jakarta 1984 silam. Sekarang Ibu, Ayah, dan adik
perempuanku menetap di Seattle,” ceritanya.<br /> <br />Aku menganggap cerita itu sebagai skenario film yang dibuat-buat. Aku masih
masa bodoh menelan cerita itu. Bagiku, cerita mengenai jati dirinya tidaklah
terlalu penting. Sebab, yang penting adalah sosoknya yang berdarah-daging.
Tubuh indahnya membuatku menyepelekan cerita-ceritanya.<br /> <br />“Matahari di sini memang bagus. Sayang untuk dilewati,” katanya sambil
menelanjangi diri.<br /> <br />T-shirt kuning yang membungkus tubuhnya sudah ditanggalkan. Jeans yang
membalut kaki jenjangnya juga copot tergeletak di atas pasir. Dalam lindungan
kutang dan cawat, Kelly menikmati guyuran panas Matahari.<br /> <br />Lama kutelanjangi lekuk-lekuk tubuh gadis Seattle ini. Kuabaikan gadis
berkutang dan bercawat lainnya yang bergentayangan di depanku. Sedangkan
tubuhku, tubuh kurus ini masih setia mengenakan kemeja panjang motif
kotak-kotak dipadu dengan jeans rombeng.<br /> <br />“Kamu menginap di mana? Sebaiknya tinggal bersamaku, aku sudah memesan
kamar hotel ukuran sedang, cukup untuk dua orang. Di Bali aku selama tiga hari,
setelah itu aku akan ke Perth,” ajakan ini kubalas dengan anggukan kepala.<br /> <br />Lumayan, sebagai backpacker yang bekerja sebagai kasir, ajakan ‘hidup
bersama’ ini serasa oase di gurun tandus.<br />***<br /> <br />Ziarah ke Kuburan Kecamatan Sukun masuk dalam agenda selanjutnya. Dari data
yang kugali di lapangan—bermula dari pertemanan dengan simpatisan sebuah LSM,
beberapa ghost writer, dan wartawan—aku menemukan keluarga Dolly. Handoyo, pria
tua, tinggal di pusat Surabaya, adalah adik dari Dolly. Pak Han, begitu aku
memanggilnya, banyak bercerita tantang Dolly. Rumah Pak Han aku sowani pada
akhir Desember 2013.<br /> <br />Cerita-cerita Pak Han pun aku rupakan dalam tulisan ilmiah yang kemudian
aku email-kan kepada Kelly. Membaca kiriman pertama, Kelly sangat girang. “Wow
secepat ini kamu melakukannya. Kupas lebih dalam lagi ya!” tulisannya dalam
email.<br /> <br />Dolly, lahir 15 September 1929 di Surabaya. Perempuan bertubuh gempal ini
lahir dari rahim Ibu bernama Ani yang dinikahi pria Filipina bernama Darko
Alfredo Chavit. Ia terlahir tidak menyandang nama ‘Dolly’. Nama ini muncul sebagai
nama panggilan saja. Yang jelas namanya ada embel-embel nama keluarga ‘Chavit’.<br /> <br />“Dolly hanya nama panggilan sehari-hari yang diberikan Ayah Chavit,” kata
Pak Han.<br /> <br />Pak Han enggan menceritakan perihal nama Dolly yang sesungguhnya. Ia tidak
ingin mengorek masa lalu adiknya terlalu jauh—Pak Han membatasi ceritanya demi
alasan privasi. Namun, yang membuatku senang, Pak Han menunjukkan foto Dolly
semasa hidup. Terlihat Dolly sebagai perempuan bertubuh gempal, rambutnya
pendek seperti rambut Demi Moore dalam film Ghost.<br /> <br />“Boleh saya merepro foto ini, Pak Han?”<br /> <br />“Jangan, cukup kamu lihat saja,” kata Pak Han, kemudian menyimpan foto itu
dalam lemari lagi.<br /> <br />Sejak remaja, cerita Pak Han, Dolly dikenal sebagai sosok perempuan yang
giat berbisnis—berjualan makanan dan minuman. Kegigihan Dolly dalam berbisnis,
pun menghasilkan wujud nyata. Ia mampu membeli rumah di kawasan Dukuh Kupang
bagian timur, Surabaya.<br /> <br />Kejayaan Dolly tak berhenti sampai di sini. Ia mampu membeli rumah-rumah
lainnya. Kemudian, Tahun 1967, rumah yang di Dukuh Kupang ia sewakan kepada
perempuan asal Lumajang bernama Titik Nurmala. Nahasnya, Titik justru menyulap
rumah ini menjadi tempat prostitusi; sarang lendir.<br /> <br />Lambat laun, bisnis prostitusi yang dijalankan Titik berkembang pesat dan
luas. Bahkan, Titik membeli dan menyewa rumah-rumah lainnya yang ada di
sekitaran rumah Dolly—di Dukuh Kupang. Alhasil, prostitusi menjalar sampai ke
wilayah Jarak, Kelurahan Putat Jaya, Kecamatan Sawahan.<br /> <br />“Apa yang dirintis Titik inilah yang saat ini menghasilkan buah bernama
Lokalisasi Dolly—konon dicap sebagai tempat esek-esek terbesar di Asia
Tenggara. Sejak 1967 hingga sekarang, orang-orang menyebutnya Dolly, karena
Titik membuka bisnisnya di rumah Dolly yang ia sewa. Orang-orang ambil
gampangnya saja dengan menyebut Lokalisasi Dolly,” kata Pak Han.<br /> <br />“Jadi, keliru besar jika ada yang mengatakan adik saya Dolly yang merintis
lokalisasi ini. Dan saya sering gerah jika ada yang menulis Dolly sebagai PSK
yang kemudian menjadi germo. Titik-lah yang menjadi germo pertama di tempat
itu,” tegas Pak Han.<br /> <br />Dolly menikah dengan pemuda bernama Soekop. Dari pernikahannya dengan
Soekop, Dolly melahirkan putra bernama Edowar. Jiwa sosial Dolly, ungkap Pak
Han, sangat tinggi. Dolly mempunyai banyak anak asuh.<br /> <br />“Dolly wafat kapan dan di mana, Pak Han? Nama aslinya siapa?” tanyaku
memotong ceritanya yang mulai membosankan.<br /> <br />“Adik saya meninggal dunia 7 Januari 1992. Dia dimakamkan di Kuburan
Kecamatan Sukun. Soal nama aslinya, biarlah keluarga saja yang tahu. Orang
asing tidak perlu tahu,” katanya.<br /> <br />Mendengar sebutan ‘orang asing’ dari mulutnya, membuatku tersudut. Aku
mendapati diriku sebagai kadal yang kaki dan lidahnya dikebiri.<br /> <br />Cerita Pak Han terus mengalir. Di kurun 1940-an, ayah Dolly, Darko Alfredo
Chavit meninggal dunia dan dimakamkan di Kuburan Kembang Kuning, Surabaya.
Sementara, Ibunya, Ani, kemudian menikah dengan lekaki asal Gresik bernama
Subandi. Dari Subandi-lah, Ani dikaruniai dua orang putra.<br /> <br />“Dua putra itu adalah saya dan kakak saya. Saya dengan Dolly satu ibu, tapi
beda bapak,” ucap Pak Han.<br /> <br />“Saya boleh berziarah ke kuburan Dolly, Pak Han?”<br /> <br />“Untuk apa? Apakah cerita-ceritaku belum cukup untuk bahan skripsimu?”<br /> <br />“Sudah cukup, Pak Han. Hanya saja, untuk menunjang skripsi ilmu sejarah,
saya perlu memastikannya. Saya perlu mendatangi lokasi di mana objek saya
dimakamkan. Boleh, Pak Han?”<br /> <br />“Silakan!”<br /> <br />“Lalu bagaimana saya menemukan kuburan Dolly di Sukun?”<br /> <br />“Cari saja nisan bertuliskan ‘Lahir 15 September 1929 – Wafat 7 Januari
1992’. Karena kami tidak mencantumkan nama di nisan itu,” tutupnya.<br /> <br />Pekerjaan dari Kelly memaksaku menjadi manusia dusta. Aku membohongi Pak
Han. Kepada Pak Han, aku mengaku sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah yang
sedang menggarap skrispsi tentang Lokalisasi Dolly.<br /> <br />Duh Gusti, maafkan hamba-Mu ini.<br /> <br />Usai sowan ke rumah Pak Han, beberapa hari kemudian aku berziarah ke
kuburan Dolly.<br />***<br /> <br />Di kamar hotel, di sekitaran Legian, Bali, aku dan Kelly banyak ngobrol.
Kami membicarakan karya-karya Tolstoi, Hemingway, James Joyce, hingga Chairil Anwar
dan Pramoedya Ananta Toer.<br /> <br />“Kamu suka menulis? Bisa?” tanya Kelly.<br /> <br />“Sering.”<br /> <br />“Menulis apa?”<br /> <br />“Cerpen! Cuma karena iseng saja.”<br /> <br />“Bagus itu.”<br /> <br />“Hah?”<br /> <br />“Kalau kamu mau, aku punya tawaran bisnis buat kamu.”<br /> <br />“Apa itu?”<br /> <br />“Kamu dari Surabaya, kan? Aku butuh data-data mengenai Lokalisasi Dolly. Ya
setidaknya tentang riwayat hidup Dolly. Kamu bisa menuliskannya dan
mengirimkannya kepadaku.”<br /> <br />“Data-data bagaimana maksudnya? Lalu buat apa?”<br /> <br />“Buat bahan awal penelitianku. Aku akan meneliti soal Lokalisasi Dolly,”
kata Kelly sambil ngeluyur ke kamar mandi. “Pikirkan dulu, aku punya fee yang
lumayan untuk kamu. Selesai aku mandi, kamu harus beri jawabannya!”<br /> <br />Pintu kamar mandi yang berbahan kaca buram, membuat lekuk-lekuk tubuh Kelly
terlihat samar. Namun, anehnya, konsentrasiku bukan pada tubuhnya—aku
memikirkan perihal tawarannya mengenai Dolly. Aku harus cepat memutuskannya.<br /> <br />“Kel, aku minta rokoknya,” teriakku ke arah kamar mandi.<br /> <br />“Ambil saja di ranselku!”<br /> <br />Kubuka ransel Kelly. Isinya penuh dengan buku berbahasa Inggris dan
beberapa lembar pakaian. Kulihat banyak buku tentang antropologi dan magnus
opus dari Tolstoi War and Peace. Tak kusengaja, aku melihat keping kartu. Dari
tulisan di kartu itu, kuketahui ternyata Kelly adalah mahasiswi Jurusan
Antropologi di Amerika sana.<br /> <br />“Kau temukan rokoknya?” Mendadak Kelly keluar dari kamar mandi hanya dengan
berbalut handuk.<br /> <br />“Sudah. Ini!” kataku sambil menunjukkan batang rokok yang terkempit di
jariku.<br /> <br />“Setuju dengan tawaranku?” cerocosnya sambil melepas handuk yang membalut
tubuhnya, kemudian mengenakan kutang, cawat, celana pendek, dan t-shirt.<br /> <br />“Baiklah. Aku akan carikan data dan menuliskannya sebisaku,” kataku pasrah.<br /> <br />“Okay, deal!!!” katanya riang.<br />***<br /> <br />Semua data yang kugali mengenai Dolly kuanggap sudah selesai. Aku juga
sudah merupakannya ke dalam tulisan ilmiah seperti permintaan Kelly. Kelly
mengaku bersemangat ketika membaca tulisan-tulisanku tentang Dolly.<br /> <br />“Kerja bagus, Kawan.”<br /> <br />Tugas dari Kelly sudah selesai. Uang upah menjadi ‘pesuruhnya’ sudah di tangan.
Kutaksir, upah ini bisa dipakai untuk ongkos liburan mengelilingi Pulau Jawa
dengan jalur darat. Namun, yang aku sesalkan, pekerjaan tetapku sebagai kasir
hilang begitu saja.<br /> <br />“Aku sekarang di Jakarta—meeting dengan mafia bola sudah rampung. Nanti malam
aku sudah ada di Surabaya. Aku ingin bertemu dan mentraktirmu. Aku punya
tawaran bisnis lagi,” inbox email selalu dipenuhi kiriman dari Kelly.<br /> <br />“Siap! Pagi ini aku masih di Malang. Nanti aku langsung pulang ke Surabaya
dan bisa menemuimu,” balasku.<br /> <br />Di Malang aku ingin menemui Dolly untuk terakhir kalinya. Ziarah ketiga ke
kuburan Dolly perlu kulakukan sebagai tanda berakhirnya pekerjaanku
menelanjangi masa lalunya.<br /> <br />Kuburan Kecamatan Sukun, di pinggiran Kota Malang ini, terasa dingin dari
sebelumnya. Butiran gerimis membuat bau tanah makin menyeruak menusuk hidung.
Di dekat kayu nisan Dolly, aku termenung—kurasai rintik air mataku bercampur
dengan butiran gerimis.<br /> <br />“Nak, gerimisnya makin deras, sebaiknya berteduh dulu,” aku terkaget oleh
sapaan bapak tua penjaga kuburan. “Berteduh di sana saja,” katanya sambil
menunjuk ke arah sebuah bangunan di pinggir komplek kuburan.<br /> <br />Aku pun mengikuti langkahnya menuju bangunan itu. Sepatu kanvas yang
kukenakan pun belepotan karena tanah basah.<br /> <br />“Itu kuburan siapa? Dari dulu saya penasaran, kok tidak ada namanya. Hanya
ada tanggal lahir dan tanggal wafat,” tanya bapak tua.<br /> <br />“Itu buyut saya,” bohongku.<br /> <br />Bapak tua itu terus menerkamku dengan pertanyaan-pertanyaan. Namun, tak
sehuruf pun keluar dari mulutku. Aku hanya membalasnya dengan anggukan dan
gelengan kepala.<br /> <br />Kurasai cukup sowan ke kuburan ini. Aku putuskan kembali ke hotel kelas
bandit yang kusewa dekat Stasiun Kota Malang. Selepas mandi di hotel, aku
ngacir menunggangi motor menuju Surabaya.<br /> <br />Kelly mentraktirku kopi di Plaza Surabaya. Kami mengambil tempat di teras
kedai agar bisa merokok. Dia banyak bercerita tentang petualangannya di Perth.
“Kau harus ke Perth, bila sempat. Di sana banyak backpacker dari bermacam-macam
negara,” katanya.<br /> <br />“Kamu tampak gemukan sekarang,” balasku disahuti petir yang menyambar malam
Surabaya.<br /> <br />“Oh iya, masak? Padahal akhir-akhir ini aku banyak makan junk food,” aku
menganggukkan kepala.<br /> <br />Dua cangkir kopi masih mengepulkan asap. Empat cincin donat membuat liur
membasahi lidah. Aku ikuti gerakan Kelly menggigit donat itu. Sewaktu Kelly
menyeruput kopi, aku juga menirukannya.<br /> <br />“Aku ada tawaran bisnis lagi dan kamu harus setuju,” kata Kelly dengan
mulut penuh tersumpal donat.<br /> <br />“Apa itu?”<br /> <br />“Aku penasaran dengan Pak Han, Titik Nurmala, Ani, Darko Alfredo Chavit,
Edowar, Soekop, Subandi, dan semua sosok yang kamu tulis. Aku ingin kamu
mengelupasnya satu per satu secara detail. Jangan sepotong-potong. Untuk
pekerjaan ini, aku punya fee lebih besar. Fee ini bisa kamu gunakan untuk
ongkos ke Kilimanjaro,” cerocosnya.<br /> <br />“Bukankah kamu hanya menginginkan data-data soal Dolly saja? Dan semua
tentangnya sudah aku berikan ke kamu.”<br /> <br />“Iya, data soal Dolly sudah komplet. Tapi ini bisnis, dalam bisnis semua
kemungkinan bisa terjadi, sekecil apa pun itu,” katanya.<br /> <br />Aku tak punya pilihan lagi, selain menuruti semua pintanya. Lagian, hanya
ini pekerjaan yang kumiliki—menjadi peneliti bayaran untuk gadis sinting asal
Seattle. “O<span></span>kay,” jawabku.<br /> <br />Petir di malam Surabaya saling sahut-menyahut. Hujan bertambah deras. Lalu
lalang orang membeku, mereka berteduh karena terjebak hujan. Sedangkan aku; aku
terjebak dalam permainan Kelly Gardner.<br /> <br />“Malam ini menginaplah bersamaku. Aku sudah memesan kamar di Hotel Oval,”
pinta Kelly sambil mata birunya menelanjangi pedalaman mata hitamku.<br /> <br />Surabaya, 30 April 2014<br /> <br />Alamat twitter penulis @ekodarmoko<br /><span style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-bidi-language: AR-SA; mso-fareast-font-family: "Times New Roman"; mso-fareast-language: EN-US;"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/06/dolly/">http://sastra-indonesia.com/2021/06/dolly/</a></span><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-32262333160975483772021-05-25T03:27:00.006-07:002021-05-25T03:27:56.232-07:00Sastra Indonesia Menutup Abad<b>Dari Madura ke Pergaulan Dunia</b><br /> <br />Agus R. Sarjono<br />kompas.com<br /> <br />SEBAGAIMANA banyak segi dalam kehidupan di Indonesia, sastra pun memiliki
kecenderungan kuat untuk serba memusat. Kecenderungan berkiblat ke pusat itu
terlihat dalam banyak segi, baik segi tematik maupun estetik. Tema-tema protes
sosial, misalnya, digarap dan ditulis sebagai reaksi dan tanggapan terhadap
persoalan-persoalan yang hidup di pusat pemberitaan.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Padahal, persoalan-persoalan sosial-politik-budaya bertebaran di berbagai
pelosok Indonesia dan sering kali memiliki kekhasan persoalan, keluasan
tantangan, serta menuntut pemecahan dan pendekatan sendiri-sendiri. Kesempitan
ekonomi yang dialami masyarakat urban dengan kesempitan ekonomi yang dialami masyarakat
desa atau pengungsi tentunya berbeda. Problem budaya yang dihadapi masyarakat
agraris dengan masyarakat pantai/nelayan juga tidaklah sama. Bahkan, pandangan
dan penghayatan suatu kebudayaan terhadap cinta, perkawinan, dan religiusitas
tidak sama dengan pandangan dan penghayatan kebudayaan lain.<br /> <br />Sementara itu, berbagai pencapaian sastra yang dilahirkan di banyak wilayah
Indonesia, terutama di kota-kota, cenderung terserap oleh tema-tema dan
persoalan umum sebagaimana diberitakan dan ditampilkan secara nasional melalui
TV dan koran-koran. Kecenderungan ini akan membawa sastra ke wilayah yang serba
umum, sehingga persoalan-persoalan sosial yang dijadikan tema sastra pun
cenderung diangkat ke tingkat umum. Karena permasalahan yang digarap merupakan
masalah umum-bukan masalah yang dekat dengan pengalaman konkret sastrawan, juga
bukan permasalahan yang benar-benar menjadi bagian dari kecemasan hidup dan
kegelisahan eksistensialnya-maka kedekatan sang sastrawan terhadap tema,
masalah, dan pokok persoalan yang akan ditulis dan ditanggapinya melalui sastra
pun menjadi serba umum dan kehilangan detail. Padahal, detail yang menentukan
kualitas dan kemantapan suatu karya sastra.<br /> <br />Kecenderungan berkiblat pada pusat ini terlihat pula dari trend pemikiran
dan penghayatan filosofis yang mendasari penciptaan sastra. Ketika pemikiran
eksistensialisme menjadi mode dan bahan pembicaraan di berbagai forum (dan
media) di pusat, segera saja trend ini merembes dan menjalari banyak sastrawan
di pelosok Indonesia. Ketika sufisme dan sastra sufi sedang in dan ramai
didiskusikan di forum dan media pusat, ramai pulalah sastrawan dari berbagai
pelosok Indonesia sibuk bersufi-sufi. Hal yang sama terjadi pula ketika
postmodernisme sedang merajalela di banyak forum dan media pusat, gelombang
penulisan sastra yang ke-“postmo-postmo”-an menjadi wabah di mana-mana. Dalam
seni rupa mudah sekali kita rasakan bagaimana instalasi-seperti juga burger dan
ayam goreng Amerika-segera menjadi trend sampai ke desa-desa. Dan dari mana
para pemikir dan sastrawan pusat itu berbelanja? Tidak lain tidak bukan dari
mode yang sedang trend di Eropa dan Amerika. Tidak jarang mereka pun berbelanja
secara cicilan, sehingga sering tidak lengkap dan terlambat pula.<br />***<br /> <br />KECENDERUNGAN yang sama bukan hanya terjadi di tingkat tema dan persoalan,
melainkan juga di tingkat estetika. Tidak sulit bagi kita untuk mencium aroma
para pendekar utama sastra di pusat dalam berbagai pencapaian sastrawan di
berbagai pelosok Indonesia. Kerumitan dan gaya bersajak Afrizal Malna di
Jakarta, misalnya, segera saja diadopsi dan menjadi bagian pada penciptaan
sajak hingga ke pelosok Gunung Kidul dan Palembang sana. Gaya bersajak yang
nglangut dan memanfaatkan berbagai globalisasi nilai dengan penggunaan bahasa
yang purba pada Goenawan Mohamad ternyata juga diteladani dan merembes banyak
sastrawan hingga ke Banyuwangi, Bali, dan berbagai pelosok Indonesia.<br /> <br />Tentu saja hal serupa terjadi pada estetika dan gaya bersastra Rendra. Tak
lama setelah Rendra sukses besar dengan pementasan Oedipus, Arifin C Noer
mencatat maraknya penggunaan grand style Yunani dalam banyak garapan teater di
daerah-daerah. Bahkan, pementasan drama Malam Jahanam yang realis pun
dipentaskan dengan gaya babad seperti yang dilakukan Rendra. Tidak sulit pula
menemukan ramainya penggunaan gaya Teater SAE di banyak pelosok Indonesia
sepanjang penghujung 1980-an dan awal 1990-an.<br /> <br />Tidaklah mengherankan jika kemudian kecenderungan pemikiran
eksistensialisme, postmodernisme, nouveau roman Perancis, surealisme,
absurdisme, dan sebagainya yang hidup dan dimamah di forum dan media pusat
segera menjadi bagian yang akrab dan menjadi bagian penting pula dalam
kehidupan sastra di berbagai belahan Indonesia. Tidak terdapat perbedaan
signifikan antara seorang penyair asal Cianjur, misalnya, dengan penyair
Banyumas, Cirebon, Tegal, Semarang, Madura, Bali dan sebagainya. Jika berbagai
penyair dengan berbagai sajaknya itu dipertukarkan dan dipisahkan dari asal dan
tempat mereka tinggal, niscaya tidak ada perbedaan signifikan di antara mereka.<br /> <br />Salah satu penyebab utama kecenderungan ini tentu saja adalah pembangunan
Indonesia yang serba memusat. Namun, ada sebab lain yang tak kalah pentingnya,
yakni terbatasnya wilayah tematik yang dapat dan boleh digarap oleh para
sastrawan Indonesia. Sudah cukup lama dunia kesenian umumnya, dunia sastra
khususnya, ditekan dengan berbagai pembatasan baik eksplisit maupun implisit.
Salah satunya adalah kecenderungan untuk menabukan dunia sastra menampilkan
berbagai segi baik dan buruk dari bermacam sektor masyarakat, seperti dunia
pengusaha, militer, guru, tokoh masyarakat, ulama, dan sebagainya.<br /> <br />Dengan begitu, persoalan-persoalan peka yang hidup di sekitar para
sastrawan tidak membuat mereka tergoda untuk menuliskannya secara detail. Ada
godaan untuk berpaling dari kenyataan keseharian yang mereka hidupi lantas
menengok kenyataan diskursif yang mengemuka di pusat Indonesia dengan gaya dan
pengungkapan yang cenderung tergoda oleh estetika yang juga hidup di pusat.<br /> <br />Jika pun ada perlawanan terhadap pusat, maka perlawanan tersebut lebih
merupakan perlawanan struktur kelembagaan dan perlawanan manajerial. Ada
kecenderungan untuk memperlawankan (membuat dikotomi) pusat-daerah sebagai
sebuah tindakan politis kelembagaan, dan bukan perlawanan estetis dan
kesadaran. Maka berbagai kegiatan besar yang bernuansa dan bercita rasa pusat
pun digelar di berbagai kantung dan pelosok Indonesia dengan gaya Jakarta dan
lahir untuk bersaing secara dikotomis dengan lembaga-lembaga pusat. Namun,
kegiatan-kegiatan semacam itu ternyata lahir dari kesadaran dan cara bertindak
yang sama sebangun dengan pusat, juga untuk memenangkan porsi pemberitaan di
media-media pusat.<br />***<br /> <br />MELIHAT tantangan yang terbentang di depan mata, sudah masanya berbagai
komunitas sastra di berbagai belahan Indonesia meninggalkan kebiasaan memusat
tersebut. Sudah waktunya pula berbagai komunitas sastrawan di berbagai daerah
lebih percaya pada pengalaman dan penghayatannya sendiri terhadap berbagai segi
kehidupan yang konkret terjadi di hadapannya. Dengan begitu, dapat kita
harapkan lahirnya karya-karya sastra yang mengolah persoalan-persoalan konkret
yang lahir dari problem sejarah, budaya, ekonomi, sosial, dan politik di
daerahnya masing-masing.<br /> <br />Persoalan-persoalan konkret yang dihadapi, dihidupi, dan dihayati langsung
oleh sastrawan pada gilirannya akan mengharuskan sastrawan bersangkutan untuk
mencari dan menemukan cara ucap (estetika) yang tepat bagi persoalan konkret
yang mereka hadapi dan ingin mereka ejawantahkan melalui sastra. Dengan begitu,
di bidang prosa, akan mereka temui tokoh-tokoh konkret yang akan mempengaruhi
aspek penokohan dalam karya mereka. Mereka juga akan menemukan berbagai
persoalan yang khas dan mendasar di lingkungannya yang akan berpengaruh pada
cara mereka mengolah latar, tema, dan sudut pandang.<br /> <br />Di masa mendatang, justru karya sastra yang lahir dari kekhasan wilayahlah
yang akan merebut perhatian di tingkat nasional, regional, maupun
internasional. Kita masih ingat tentunya dengan Derek Walcott, penyair pemenang
Nobel yang menuliskan karya-karyanya dari persoalan konkret dan estetika yang
lahir dari pedalaman Karibia. Tentu juga kita ingat Naguib Mahfoudz yang
merebut Hadiah Nobel berkat novel-novelnya yang bercerita secara detail
mengenai kampungnya, termasuk terutama warung teh tempat ia mangkal dan mencari
inspirasi. Toni Morisson belum tentu dapat meraih Nobel jika ia menuliskan
persoalan-persoalan umum Amerika. Hadiah Nobel diraihnya berkat penghayatannya
dan keteguhannya untuk secara detail mengangkat persoalan warga kulit hitam dengan
segala kesungguhan.<br /> <br />Di Indonesia tentu kita ingat pada Ahmad Tohari yang mendapat perhatian
luas justru ketika ia berhasil menyelami persoalan yang hidup di kampungnya dan
mengangkat persoalan pelosok Banyumas itu sebagai karya sastra. Dunia budaya santai
Maduralah yang membikin sajak-sajak D Zawawi Imron bicara. Begitu pula dengan
Linus Surjadi (almarhum) dan Pengakuan Pariyem-nya. Bahkan, Ayu Utami mendapat
sukses lewat novelnya Saman bukan karena tetek-bengek persoalan globalisasi
manusia lintas-budaya, laporan turistik taman Kota New York, atau surat-surat
perselingkuhannya yang tak mencapai orgasme itu; melainkan justru karena
penggambaran dan penghayatannya yang bukan main mengenai persoalan Prabumulih
dengan segala tantangan psikologis, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan
bahkan sekaligus kleniknya.<br /> <br />Maka, sastra Indonesia yang berpengharapan di masa depan adalah sastra yang
lahir dari penghayatan habis-habisan terhadap persoalan-persoalan konkret yang
terhampar di depan mata. Persoalan-persoalan konkret yang muncul dari konflik
budaya, sosial, politik, ekonomi, dan psikologis di wilayah yang kecil dan
terbatas tempat sang sastrawan hidup dan menemukan sumber inspirasi dan
keterlibatannya di sana.<br />***<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">*) Agus R. Sarjono, seniman-penyair, Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. <span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/02/sastra-indonesia-menutup-abad/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2009/02/sastra-indonesia-menutup-abad/</span></a></span></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-56031988053564256042021-05-22T04:15:00.000-07:002021-05-22T04:15:05.452-07:00Puisi-Puisi Taufiq Ismailoase.kompas.com<br /> <br /><b>INDONESIA KERANJANG SAMPAH NIKOTIN</b><br /> <br />Indonesia adalah sorga luarbiasa ramah bagi perokok. Kalau klarifikasi
sorga ditentukan oleh jumlah langit yang melapisinya. Maka negeri kita bagi
maskapai rokok, sorga langit ketujuh klasifikasinya.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Indonesia adalah keranjang besar yang menampung semua sampah nikotin.
Keranjang sampah nikotin luar biasa besarnya. Dari pinggir barat ke pinggir
timur, jarak yang mesti ditempuh melintasi 3 zona waktu yaitu 8 jam naik pesawat
jet, 10 hari kalau naik kapal laut, satu tahun kalau naik kuda Sumba, atau 5
tahun kalau saban hari naik kuda kepang Ponorogo.<br /> <br />Keranjang sampah ini luar biasa besarnya. Bukan saja sampah nikotin, tapi
juga dibuangkan ke dalamnya berjenis cairan, serbuk, berbagai aroma dan warna,
alkohol, heroin, kokain, sabu-sabu, ekstasi, dan marijuana, berbagai racun dan
residu, erotisme dan vcd biru. Sebut saja semua variasi klasifikasi limbah
dunia mulut Indonesia menganga menerimanya.<br /> <br />Semua itu, karena gerbang di halaman rumah kita terbuka luas, kita tergoda
oleh materialisme dan disuap kapitalisme fikiran sehat kita kaku dan tangan
kanan kiri terbelenggu dengan ramah dan sopan kiriman sampah itu diterima.<br /> <br />Di pintu depan bandara, karena urgennya modal mancanegara, karena tak tahan
nikmatnya komisi dan upeti, dengan membungkuk-bungkuk kita berkata begini,<br /> <br />“Silahkan masuk semua, silakan. Monggo, monggo mlebet, dipun, sakecakaken.
Sog asup sadayana, asup, asup. Ha lai ka talok, bahe banalah angku, bahe
banalah.”<br /> <br />Keranjang sampah ini luar biasa kapasitasnya. Pedagang-pedagang nikotin
yang dinegeri asalnya babak belur digebuki. Di pengadilan bermilyar dolar
dendanya. Ketahuan penipunya dan telah memenuhi jutaan penghisapnya. Diusir
terbirit-birit akhirnya berlarian ke dunia ketiga. Dan dengan rasa rendah diri
luar biasa kita sambut mereka bersama-sama.<br /> <br />“Monggo, monggo den, linggih rumiyin. Ngersakaken menopo den bagus. Mpun,
ngendiko mawon. Aih aih si aden, kasep pisan. Tos lami, sumping, di dieu,
Indonesia? Alaa, ranca bana oto angku ko. Sabana rancak. Bao caronyo kami,
supayo … ”<br /> <br />Demikian dengan rasa hormat yang lumayan berlebihan. Para pedagang nikotin
dari negeri jauh di tepi langit sana. Penyebar penyakit rokok dan pencabut
nyawa anak bangsanya. Terlibat pengadilan dan tertimbun bukti. Di negeri
sendiri telah diusiri dan dimaki-maki. Ke dunia ketiga mereka melarikan diri.
Pabrik-pabrik mereka ditutup di negeri sendiri. Lalu didirikan di Dunia Ketiga,
termasuk negeri kita ini. Di depan hidung kita penyakit dipindah kesini. Dan
untuk mereka kita hamparkan merahnya permadani. Lalu bangsa kita ditipu dengan
gemerlapannya advertensi. Inilah nasib bangsa yang miskin dan pemerintah yang
lemah. Semua bertumpu pada pemasukan uang sebagai orientasi.<br /> <br />2000, 2002<br /> <br /> <br /> <br /><b>PEROKOK ADALAH SERDADU BERANI MATI</b><br /> <br />Para perokok adalah pejuang gagah berani. Berada di dekat kawan-kawan saya
perokok ini. Saya serasa berdampingan dengan rombongan serdadu berani mati.
Veteran dua Perang Dunia, Perang Vietnam, Perang Revolusi Dan Perang Melawan Diri
Sendiri.<br /> <br />Perhatikanlah upacara mereka menyala belerang berapi. Dengan khimadnya
batang tembakau dihunus dan ditaruh antara dua jari. Dengan hormatnya Tuhan
Sembilan Senti. Disisipkan antara dua bibir, digeser agak ke tepi. Sementara
itu sudah siap An Naar, nyala api sebagai sesaji.<br /> <br />Hirupan pertama dilaksanakan penuh kasih sayang dan hati-hati. Kemudian
dihembuskan asapnya, ke kanan atau ke kiri. Mata pun terpicing-picing tampak
nikmat sekali. Berlindung pada adiksi dari tekanan hidup sehari-hari. Lena kerja,
lupa politik, mana ingat anak dan isteri.<br /> <br />Para perokok adalah serdadu-serdadu gagah berani. Untuk kenikmatan 5 menit
mereka tidak peduli 25 macam penyakit yang dengan gembira menanti-menanti. Saat
untuk menerkam dari setiap penjuru dan sisi.<br /> <br />Paru-paru obstruksi kronik bronkhitis kronik dan emfisema. Gangguan jantung
pembulu darah arteriosklerosis hipertensi dan gangguan pembulu darah otak.
kanker rongga mulut, nasopharynx, oropharynx, hypopharynx dan rongga hidung.
Lalu sinus paranasal, larynx, esophagus dan lambung. Radang pankreas, hati,
ginjal, ureter dan kandung kemih. Radang cervix uteri dan sumsum tulang,
infertilitas dan impotensi. Daftar ini belum disusun secara alfabetis, dan
sebenarnya (ini rahasia profesi medis) penyakit yang 25 ini cuma nama samaran
julukan pura-pura saja.<br /> <br />Nama aslinya penyakit rokok.<br /> <br />Rokok, abang kandung narkoba ini tak tertandingi dalam soal adiksi. 4000
macam racun didapatkan sepanjang sembilan senti. Untuk orgamus nikotin 5 menit
itu serdadu tembakau ini mana peduli terhadap hari depan anak-anak yang masih
memerlukan pencarian rezeki. Terhadap bagaimana terlantarnya kelak janda yang
dulu namanya isteri. Atau nasib duda yang dulu namanya suami. Terhadap
pengotoran udara depan belakang, kanan dan kiri. Dalam memuaskan ego, dengan
sengaja mendestruksi diri pribadi.<br /> <br />Betapa beratnya memenangkan Perang Melawan Diri Sendiri.<br /> <br />2005<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2009/06/puisi-puisi-taufiq-ismail/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2009/06/puisi-puisi-taufiq-ismail/</span></a></span></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-55187089679630526512021-05-16T15:04:00.000-07:002021-05-16T15:04:53.125-07:00Press Release: Novel Pocinta karya Akhmad Sekhu diapresiasi dari Dalam dan Luar Negeri<p class="MsoNormal" style="text-align: left;"><a href="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2021/05/Konjen-RI-New-York-Arifi-Saiman.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="448" data-original-width="336" src="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2021/05/Konjen-RI-New-York-Arifi-Saiman.jpg" /></a><br /></p><blockquote style="border: none; margin: 0px 0px 0px 40px; padding: 0px; text-align: left;"></blockquote>(Konjen RI New York, Arifi Saiman)<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Tak mudah melewati Pandemi Covid-19 dengan tetap berkarya. Begitu banyak
tantangan, karena krisis dimasa ini melebihi krisis moneter. Demikian dirasakan
Sekhu, seorang wartawan juga anggota Forwan (Forum Wartawan Hiburan) Indonesia.
Covid-19 berdampak pada seluruh sektor kehidupan, hingga bioskop tutup yang membuat
para wartawan hiburan menjadi sepi liputan. Namun sepinya kegiatan itu ia siasati
dengan berkarya, menerbitkan novelnya ketiga, berjudul “Pocinta,” yang berkisah
tentang cinta orang-orang yang suka moci alias minum teh poci.<br /> <br />“Saya bersyukur novel ‘Pocinta’ diapresiasi berbagai kalangan dari dalam
dan luar negeri, “tutur Sekhu penuh rasa haru, (4/4/2021). Wartawan dan
sastrawan kelahiran desa Jatibogor, Suradadi, Tegal, 27 Mei 1971 itu
menerangkan, Konjen RI di New York, Arifi Saiman memberikan apresiasi atas dirinya
dengan memegang novel Pocinta di depan Patung Liberty, Amerika. “Saya
penulisnya masih di Tugu Pancoran, Jakarta Selatan, tetapi karya saya sudah sampai
di Patung Liberty,” ucapnya mantap.<br /> <br /><a href="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2021/05/Akhmad-Sekhu-sastrawan-dan-juga-wartawan-kelahiran-desa-Jatibogor-Suradadi-Tegal-27-Mei-1971.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="239" data-original-width="448" src="http://sastra-indonesia.com/wp-content/uploads/2021/05/Akhmad-Sekhu-sastrawan-dan-juga-wartawan-kelahiran-desa-Jatibogor-Suradadi-Tegal-27-Mei-1971.jpg" /></a><br /><br />Tak hanya itu, lanjut Sekhu, novel Pocinta rencananya akan dibicarakan di
dalam acara VideoRadio Salt’NPeper yang jaringannya berbagai kedutaan RI di seluruh
dunia. “Apresiasi ini membesarkan hati saya untuk tetap semangat berkarya,”
bebernya. Menurut Sekhu, banyak artis memberi apresiasi dan menyampaikan ucapan
selamat atas terbitan novelnya tersebut. Di antarannya Siti Badriah, penyanyi
Nagaswara yang terkenal dengan lagu hits ‘Lagi Syantik’ : “Dalam novel ‘Pocinta,’
tokoh utamanya bernama Legia, perempuan blacksweet alias hitam juga diceritakan
menyanyi lagu hits ‘Lagi Syantik’ pada saat mandi,” paparnya. Selain itu banyak
artis lainnya, seperti Cinta Laura, Christine Hakim, Erna Santoso, Nugie, Happy
Salma, Paramitha Rusady, Yessy Gusman. Juga para sastrawan; Gol A Gong, Eka
Budianta, Evi Idawati, Hanna Fransiska, Harry Tjahjono, Jose Rizal Manua, Hasan
Aspahani, Nia Samsihono, Apito Lahire, dan Atmo Tan Sidik, Duta Baca Kota
Tegal. “Ada juga Naratama, Produser dan Sutradara Program Televisi New York.
Dan tidak ketinggalan Sutrisno Buyil, Ketua Umum Fowan memberi testimoni dalam
novel Pocinta ini,” ungkapnya bangga.<br /> <br />Adapun testimoni Sutrisno Buyil; “Merangkap jadi novelis dan wartawan bukan
perkara gampang, hal itu sudah saya rasakan. Saya sudah puluhan tahun jadi
wartawan dan beberapa kali menang lomba tulis. Tapi anehnya tidak mudah untuk
saya menulis novel. Saya sudah mencoba, tapi selalu mentah. Namun tidak buat Sekhu
sahabat saya, dia bisa menjadi penulis novel, buku, puisi, sekaligus wartawan.
Resensi bukunya dimuat di media terkemuka di Indonesia. Kadang saya suka iri dengan
kesuksesan wong Tegal satu ini. Kalau secara teteh, penampilannya tidak
menunjukkan sastrawan hebat, ora mitayani, tapi dari sikap diam dan lembutnya,
ketika di hadapan komputer ia menjadi macan garang, dan rangkaian ribuan kata
ia susun jadi novel, puisi, juga berita hiburan. Salut! Buat Sekhu, terus berkarya
demi masa depan keluarga serta dunia sastra Indonesia. Salam Sastra.”<br /> <br />Harapan Sekhu, dapat dukungan dari rekan-rekan sesama wartawan, terutama yang
tergabung dalam Forwan, yang baru mengadakan pemilihan ketua umum, dan Sutrisno
Buyil terpilih kembali sebagai Ketua Umum Forwan Periode 2021 – 2025.
“Mudah-mudahan ke depan Forwan semakin menggeliat dengan program-programnya
yang memberdayakan wartawan hiburan,” harapannya.<br /> <br />Sekhu menyampaikan, novel Pocinta diterbitkan Penerbit Prabu21 yang membuat
Gerakan Nasional Melahirkan Satu Juta Penulis untuk Indonesia lebih baik.
“Penerbit Prabu21 ialah rumah para penulis Indonesia yang memberikan kesempatan
pada masyarakat luas untuk menjadi penulis. Semua gratis, mulai dari editing,
tata letak, dan design cover. Bukunya terbit ber-ISBN, ber-E ISBN, 45 hari
naskah masuk sudah terbit. Hal tersebut tentu patut didukung,” pungkas Akhmad
Sekhu sumringah.<br /> <br />Novel Pocinta berkisah tentang seorang perempuan blacksweet alias hitam
manis bernama Legia yang punya dua teman. Pertama Pahing yang menyebut diri
namanya Pay, adalah Sobat Ambyar, komunitas pecinta lagu-lagu Didi Kempot.
Kedua, Kliwon menyingkat namanya jadi Kwon, seperti nama orang Korea, karena
kecintaannya pada K-Pop. Sejak kecil, ketiganya berteman selalu bersama dalam
suka-duka, bahkan berjanji menjaga kebersamaan sampai kapan pun juga. Tak ada
yang bisa memisahkan pertemanan sejati mereka yang sama-sama suka moci, sebuah
tradisi minum teh poci di daerah Tegal.<br /> <br />Di saat besar ada yang mencintai Legia, barulah Kliwon dan Pahing sadar
kalau keduanya juga cinta. Mereka berdua akhirnya saling bersaing untuk mendapatkan
cinta Legia. Tentu tak mudah bagi Legia dalam memilih di antara mereka berdua,
karena telah berteman dekat dari kecil, bahkan sudah seperti saudara sendiri.
Dari sinilah mulai terkuak siapa yang benar-benar cinta pada Legia. Dari sini
juga, Legia kian mengerti apa arti cinta yang sesungguhnya.<br /> <br />***<br /><p class="MsoNormal"><span lang="EN-US"><a href="http://sastra-indonesia.com/2021/05/press-release-novel-pocinta-karya-akhmad-sekhu-diapresiasi-dari-dalam-dan-luar-negeri/"><span lang="IN">http://sastra-indonesia.com/2021/05/press-release-novel-pocinta-karya-akhmad-sekhu-diapresiasi-dari-dalam-dan-luar-negeri/</span></a></span></p><p></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3930079552368832226.post-11633148532980148342021-05-10T08:53:00.001-07:002021-05-10T08:53:03.706-07:00Barat-Timur dalam Mitos yang KontrasBernando J. Sujibto *<br />Jawa Pos, 13 Mei 2018<br /> <br />Kelemahan novel ini terletak pada cerita yang monoton dan tokoh-tokoh yang
dihadirkan Orhan Pamuk sangat tipikal sebagai alter ego Orhan Pamuk sendiri.<br /> <br />DALAM sebuah kesempatan pada Maret 2016, Orhan Pamuk pernah menuturkan
bahwa dirinya ingin menulis novel pendek. Sebuah tradisi kepengarangan yang
tidak akrab dengan dirinya. “Saya perlu berlari melintasi samudra,” tuturnya
untuk menggambarkan sebuah upaya distingtif dari kebiasaan menulis novel-novel
panjang, yang secara umum di atas 400 halaman.<span><a name='more'></a></span><br /> <br />Maka, lahirlah Kirmizi Sacli Kadin atau yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris menjadi The Red-Haired Woman. Yang mendapatkan resepsi positif
sekaligus ejekan tajam dari pembaca Turki.<br /> <br />Bisa dibilang Kirmizi Sacli Kadin adalah novel yang paling tidak kuat di
antara 10 novel yang sudah ditulis Pamuk. Saya tidak mempunyai keyakinan apa
pun di balik alasan penerjemahan novel ini ke dalam bahasa kita, selain karena
nama besar Pamuk di publik sastra dunia.<br /> <br />Sebagai pembaca dan peneliti karya-karyanya, saya sebenarnya melihat novel
seperti Rumah Sunyi (1983), Museum Kepolosan (2013), atau Keanehan di Kepalaku
(2014) lebih layak dihaturkan kepada masyarakat Indonesia.<br /> <br />Kelemahan novel ini terletak pada dua aspek. Pertama, cerita tampak monoton
di seputar dunia dan aktivias Cem Celik dan Tuan Mahmut yang mendapat porsi
terlalu banyak (bagian pertama). Di samping itu, peristiwa paling penting yang
ingin Pamuk sampaikan dalam novel ini cenderung bisa terlacak sejak awal, yaitu
tentang relasi anak-bapak yang berujung pembunuhan (bagian kedua).<br /> <br />Pamuk kurang berhasil memainkan potensi kepengarangannya sendiri. Seperti
thriller, pencarian identitas, dan tensi kultural dengan latar tempat yang
timbul tenggelam dan kerap mencekam. Kelemahan itu terjadi mungkin karena porsi
cerita yang singkat. Atau, jangan-jangan Pamuk memang tidak mempunyai kecakapan
menulis novel pendek (?).<br /> <br />Kedua, tokoh-tokoh yang dihadirkan Pamuk sangat tipikal sebagai alter ego Pamuk
sendiri. Tentang kehidupan keluarganya, yaitu tentang ayah dan ibunya. Tipikal
ayah dan ibu yang digambarkan Pamuk dalam novel ini bisa ditemukan dalam
karya-karya Pamuk yang lain, misalnya Tuan Cevdet dan Anak-Anaknya, Rumah
Sunyi, dan Museum Kepolosan. Atau dalam karya nonfiksinya seperti Istanbul,
Warna Lain, dan Fragmen Panorama.<br /> <br />Pengulangan berupa pengalaman, deskripsi, karakter, visi-filosofi, dan
bahkan peristiwa-peristiwa di kehidupan keluarga (baca: keluarga Pamuk sendiri)
dalam beberapa sisi cukup mengganggu. Khususnya bagi mereka yang membaca tekun
karya-karya Pamuk.<br /> <br />Pengulangan dalam konteks peristiwa, misalnya, dapat dilihat dari kejadian
kepergiaan ayah Cem; perselingkuhan dan pertengkaran dengan ibunya (halaman 2
dan 8); refleksi seorang Cem yang merasa tidak mempunyai ayah yang baik (kerap
diulang di banyak halaman novel ini); ejekan-ejekan ibu Cem atas keinginan
dirinya menjadi penulis (halaman 8); dan ibunya yang menginginkannya menjadi
teknisi (halaman 157).<br /> <br />Di samping itu, pengulangan atas objek yang sarat alter ego, misalnya
“koper ayah” (halaman 145), bisa dibaca dalam Istanbul, Koper Ayahku (teks
pidato Nobel), dan dua buku esai Orhan Pamuk. Memori tentang “koper ayah”
sangat dominan dalam teks-teks literer Pamuk yang menandakan pergulatan dunia
personal dirinya sendiri.<br /> <br />Dua catatan tersebut, di lain sisi, bisa dilihat untuk memperkuat identitas
kepengarangan Pamuk sekaligus dunia lokal di sekitarnya. Yaitu, diri yang
menyatu dengan sejarah tempat (Istanbul).<br /> <br />Istanbul sebagai lokus pertemuan Barat-Timur sangat khas dalam novel The
Red-Haired Woman. Eksplorasi Barat-Timur tetap menjadi merkez (pusat) cerita
dengan balutan mitos-mitos yang kontras, dengan menghadirkan tragedi Oedipus
sang Raja karya Sophocles (halaman 159) sebagai wakil Barat (mitologi Yunani)
dan buku Shahnameh karya Ferdowsi (halaman 177–187) sebagai wakil Timur
(mitologi Persia).<br /> <br />Kehadiran dua mitologi tersebut harus dilihat sebagai simbolisme dengan
justifikasi Pamuk bahwa Barat dan Timur adalah suatu yang kontradiktif. Dalam
Oedipus sang Raja, Sophocles menceritakan anak yang membunuh ayahnya, lalu
mengawini ibunya sendiri. Sementara itu, dalam Shahnameh-nya Ferdowsi, terjadi
tragedi pembunuhan yang dilakukan sang ayah yang bernama Rostam terhadap
anaknya, Sohrab.<br /> <br />Novel ini penuh dengan alegori khas Pamuk, tentang Barat-Timur dan relasi
anak-bapak. Ditulis dengan teknik konvensional dan tidak memainkan gaya-gaya
eksperimental yang biasa dia lakukan.<br /> <br />Judul : The Red-Haired Woman<br />Pengarang : Orhan Pamuk<br />Penerbit : Bentang Pustaka<br />Cetakan I : Februari 2018<br />Tebal : 341 halaman<br /><p class="MsoNormal" style="text-align: left;">*) Bernando J. Sujibto, peneliti sosial kebudayaan Turki dan penghulu Orhan
Pamuk. <a href="http://sastra-indonesia.com/2021/05/barat-timur-dalam-mitos-yang-kontras/">http://sastra-indonesia.com/2021/05/barat-timur-dalam-mitos-yang-kontras/</a></p><p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p>
<p class="MsoNormal"><o:p></o:p></p><span class="fullpost">
</span>PuJahttp://www.blogger.com/profile/12960711879529592267noreply@blogger.com0