Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/
jalan-jalan pergi ke kalimantan
dapat uang satu juta
mbak ambar memakai intan
mas gopel jatuh cinta
lebih baik minum jamu
daripada minum fanta
lebih baik mencari ilmu
daripada mencari cinta
aku suka film baja hitam
daripada film superboy
aku suka pacar pendiam
daripada pacar playboy
TIGA pantun di atas ditulis secara spontan oleh sebagian anak-anak korban gempa yang berdomisili di sebuah kampung di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentu saja, dalam kesempatan kali ini saya tak akan membicarakan soal kualitas estetik isi pantun yang ketiganya ditulis masing-masing di atas selembar kertas lusuh yang saya bagikan itu. Misalnya saja, dengan membuka kemungkinan adanya pertanyaan apakah teks-teks pantun yang mereka hasilkan memang “bermuatan sastra” dan relevan sebagai upaya penggambaran/deskripsi situasi gempa?
Yang pasti, saya hanya ingin membagi pengalaman soal kemungkinan metode alternatif sebagai sebuah konsekuensi atas terapi psikis. Bisa jadi, pendekatan-pendekatan terapi secara tekstual dan dimulai dengan frame pemahaman “parodi” justru lebih membuka kemungkinan menggiring anak-anak korban gempa ke dalam pengembalian alam kesadaran dunia mereka, yang tak jauh dari kebahagiaan kolektif untuk bermain-main.
Melalui aspek kebermain-mainan itulah upaya melawan trauma atas penderitaan yang mereka jalani boleh jadi menemukan katup konkretnya. Ini tentu saja sebuah perjuangan pengenalan metode alternatif yang barangkali sangat berat, karena “mencetak penderita amnesia mendadak” karena tuntutan situasi yang maunya “melupakan sejarah kelam” bisa-bisa malah bernilai spekulatif. Misalnya saja, kemungkinan adanya anggapan bahwa metode terapi semacam ini malah terkesan tak alami, terasa dipaksakan karena dimulai dengan frame tertentu, dan sebagainya, dan sebagainya.
Tetapi, menurut saya, alternatif “metode parodi” sebagai terapi psikis yang kebetulan aplikasinya berbentuk penciptaan pantun semacam ini sungguh membuka ruang-ruang dialektika masa lalu dan masa depan yang benar-benar bisa dipisahkan, dan menjadi semacam jembatan antara yang tepat. Pengedepanan “metode parodi” itu sendiri bisa sebagai bukti ilmiah bahwa mengarungi “jalan penderitaan tersebab gempa” setidaknya dapat disikapi atau dinetralisasi dengan cara mengulum senyum.
Boleh jadi, asumsi saya ini dapat dibilang amat dangkal, karena mungkin saja terasa abstrak dan menyimpang dari pendekatan idealisasi ilmu psikologi atau apa pun. Katakanlah jika kemudian membenturkannya dengan anjuran teori psikoanalisa ala Sigmund Freud. Apakah penciptaan teks-teks pantun yang dihasilkan sejumlah anak-anak korban gempa itu mewakili “lubuk jiwa terdalam” ataukah memang hanya iseng belaka? Bisakah digolongkan ke dalam sangkar idealisasi yang dalam pendekatan ala Sigmund Freud bisa dikategorikan menjadi id, ego, atau super ego? Sangkar manakah yang paling tepat?
Baiklah, sebagai perbandingan, berikut ini saya kutipkan lagi pantun-pantun sebagian anak korban gempa di wilayah yang sama, hanya saja waktu pembikinan dan orangnya berbeda.
bengi-bengi neng jaratan (malam-malam di kuburan)
weruh tuyul wedi banget (lihat tuyul takut sekali)
mbak santi nganggo intan (mbak santi memakai intan)
gopel weruh getun banget (gopel melihat kecewa sekali)
mlaku-mlaku neng kuburan (jalan-jalan di kuburan)
weruh duwet sewu (lihat uang seribu)
bengi-bengi weruh setan (malam-malam lihat setan)
ora mlayu malah ngguya-ngguyu (tak lari malah ketawa)
Kedua pantun yang ditulis dengan bahasa Jawa di atas saya “instruksikan” tanpa melalui prolog atau frame yang mengarah pada “parodi”. Saya hanya bilang, “Tulislah sebuah pantun. Terserah.” Dan jelas, masing-masing anak yang menulis kedua pantun tersebut juga tak saling menyontek. Hanya saja, kenapa hasilnya bisa “sama” dengan pantun-pantun yang ditulis dengan “instruksi” atau prolog tertentu? Lebih jelasnya lagi, kenapa frame “parodi” diam-diam merasuk ke dalam alam kesadaran sebagian anak-anak korban gempa? Apakah diam-diam juga, mereka telah mampu menyikapi “penderitaan tersebab gempa” dan tak perlu lagi ada perumusan lebih lanjut?
Saya tidak tahu. Yang pasti, segepok perbandingan di atas bisa menjelaskan satu hal. Bahwa cara menyikapi bencana bagi sebagian anak-anak korban gempa di wilayah Yogyakarta tak separah yang dibayangkan ketika gempa dan tsunami menerjang Aceh beberapa waktu silam: terlalu banyak anak yang ketika disuruh menulis pantun malah hanya mencoret-coret atau mencabik-cabik kertas. Dan ketika disuruh menggambar malah hasilnya sebuah deskripsi laut yang berwarna hitam, bukan biru, padahal mereka tahu bahwa laut itu berwarna biru.
Fakta-fakta ini semoga saja mengajarkan kepada kita bahwa adanya gempa di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah “tak terlalu susah” untuk ditanggulangi. Setidaknya, secara psikis, ada kemungkinan bahwa dalam konteks korban gempa anak-anak, upaya pemulihan kesadaran atas kebahagiaan kolektif mereka tak terlalu berat. Karena itu, ini tinggal ditindak-lanjuti oleh berbagai pihak yang berwenang, bagaimana dengan upaya-upaya recovery di luar persoalan psikis. Misalnya saja, bagaimana dengan upaya pemulihan dalam hal bantuan tempat tinggal, sekolah, dan fasilitas publik lainnya?
Sungguh, jika dari sebuah pantun yang memang terkonsepkan agar “main-main” sebuah gejolak psikis bisa disidik, maka mungkin saja kita bisa bersyukur bahwa sebagian anak-anak korban gempa di Yogyakarta telah sedikit bebas dari belenggu ketertekanan. Tanpa kerepotan mengenal rumusan soal pemahaman teori psikoanalisa ala Sigmund Freud secara subtil mereka perlahan-lahan telah dapat memasuki gerbang untuk menepis penderitaan. Dan dengan sendirinya, medium karya sastra berupa pantun ternyata bisa sebagai alternatif jalan/metode untuk menguak kemungkinan menggeloranya persoalan jiwa.
Dengan kata lain, pantun yang merupakan bagian cukup penting dalam siklus karya sastra tersebut, ternyata (diam-diam!) adalah juga medium penanda psikis. ***
*) dicumput dari Minggu Pagi
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Rabu, 27 Mei 2009
Sabtu, 02 Mei 2009
Buku, Komunitas dan Modal Sosial
Vinc. Kristianto Batuadji
http://www.korantempo.com/
Sebelum memulai membuat tulisan ini, saya iseng-iseng mencari informasi yang berhubungan dengan buku dan komunitas di Internet. Melalui mesin pencari Google dan Yahoo!, saya masukkan kata kunci seperti “books community”, “community and books”, dan “books, community”. Di luar dugaan saya, hasilnya sungguh luar biasa. Saya temukan ribuan, bahkan jutaan, situs web yang dikelola komunitas pencinta buku dunia dari berbagai latar belakang minat dan topik.
Umumnya, situs-situs tersebut mengundang pengunjungnya untuk bergabung dan memberi komentar dalam diskusi buku yang mereka selenggarakan di dunia maya. Beberapa di antaranya menyarankan pengunjung untuk membaca buku-buku tertentu, dan setelah selesai dilanjutkan dengan undangan untuk berdiskusi mengenai isi buku yang dimaksud.
Sekadar menyebut sedikit saja komunitas-komunitas yang sempat saya kunjungi, ada BookCrossing, Internationalist Books & Community Center-Chapel Hill, Community College Fact Book Library, Indiana Forest Alliance, Creative New Zealand, Campaign For Reader Privacy, dan The Kepler’s Books and Magazines. Di Indonesia sendiri, saya temukan beberapa komunitas yang cukup intensif mengadakan diskusi-diskusi buku dan sastra yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Di ujung barat Indonesia, di Banda Aceh, misalnya, ada komunitas Tikar Pandan yang giat mengadakan diskusi dan menerbitkan jurnal bulanan yang berisi seputar dunia sastra Tanah Air. Komunitas ini dikelola oleh para sastrawan muda yang giat mempublikasikan karya mereka di surat kabar-surat kabar Tanah Air. Dalam kondisi sosial-politik Aceh yang tak kunjung kondusif, kehadiran mereka adalah secercah harapan. Setidaknya, menjadi inspirasi bagi anak muda Aceh untuk tidak berhenti bermimpi tentang Aceh masa depan yang sejahtera dan berbudaya.
Beberapa komunitas bahkan menjadi semacam barometer dan sering dijadikan rujukan oleh komunitas-komunitas lainnya. Di Bandung, misalnya, ada komunitas yang berangkat dari toko buku seperti Tobucil dan Toko Buku Ultimus yang sering mewadahi berbagai macam kecenderungan minat dan topik dari komunitas-komunitas pencinta buku lainnya di Paris van Java tersebut. Kedua toko buku itu menjadi tempat berlangsungnya rangkaian aktivitas yang berhubungan dengan buku. Lewat aktivitas-aktivitas yang mereka selenggarakan, mereka sekaligus membuka peluang pasar buku di luar distribusi mainstream.
Berbicara tentang komunitas pencinta buku, tentunya kita tidak bisa melewatkan sebuah kota di ujung selatan pulau Jawa, yaitu Yogyakarta. Di kota yang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Penerbit ini, mungkin kita tak lagi bisa menghitung berapa banyak maniak buku yang ada di kota ini. Ratusan penerbit dan toko buku tersebar di Yogyakarta. Faktor ini membuat para pencinta buku di Yogyakarta lebih beruntung dibanding teman-temannya di kota lain. Selain mudahnya akses memperoleh buku, pencinta buku di Yogyakarta juga mewarisi iklim sosial-budaya yang kondusif. Jauh dari kebisingan kegiatan industri, Yogyakarta menjadi tempat yang sangat nyaman bagi siapa saja yang hendak bergelut dengan dunia aksara.
Di kota ini pula, terdapat banyak komunitas pencinta buku. Salah satunya Indonesia Buku atau i:boekoe. Komunitas yang dikelola para anak muda maniak buku itu sejak dua tahun lalu berjibaku merampungkan proyek besarnya dalam bentuk penerbitan buku-buku sejarah Indonesia yang luput dari snapshot sejarah resmi negara. Sebagian besar para pegiat komunitas i:boekoe ini saya kenal dengan baik. Selain karena memiliki kecintaan yang sama, juga karena saban minggu tulisan-tulisan mereka sering muncul di koran-koran Tanah Air. Apa yang telah disebutkan di atas hanyalah contoh saja karena saking banyaknya komunitas pencinta buku di Indonesia (apalagi dunia), sehingga tulisan ini tak kuasa menyebutkannya satu per satu.
Yang pasti, dengan menjamurnya komunitas-komunitas pencinta buku di Tanah Air, bagi saya pribadi telah memberikan optimisme tentang tata pergaulan kemanusiaan yang lebih beradab. Setidaknya, dari pengalaman saya sendiri, saya menjumpai betapa buku telah mengubah cara pandang orang terhadap kehidupan secara radikal. Pernah suatu ketika saya dan teman-teman saya di lingkungan Program Pascasarjana Psikologi UGM Yogyakarta mendiskusikan perihal ilmu psikologi yang dianggap lebih mampu mensejahterakan manusia. Waktu itu, kami sepakat bahwa tidak mungkin mewujudkan sosok manusia yang sepenuhnya sehat jika kami tak lekas beranjak dari pengaruh teori-teori psikologi mainstream seperti psikoanalisis dan behaviorisme, yang mengusung filsafat manusia yang berbau pesakitan.
Hingga suatu ketika, seorang teman memperkenalkan sebuah buku yang ditulis oleh pendiri gerakan Psikologi Positif, Martin E.P. Selligman, yang berjudul Authentic Happiness. Buku ini diterbitkan Penerbit Mizan pada 2005 dalam versi bahasa Indonesia. Buku ini dianggap sebagai revolusi mendasar dalam tradisi psikologi karena menawarkan perspektif baru. Dalam bukunya ini, Selligman memberi penekanan pada upaya mengeksplorasi potensi-potensi positif manusia dan membuang jauh-jauh potensi-potensi pesakitannya.
Buku tersebut benar-benar telah meyakinkan kami bahwa ada yang salah dalam tubuh ilmu psikologi selama ini. Sejak saat itu minat kami terhadap kajian Psikologi Positif semakin menjadi-jadi. Setidaknya, dalam menentukan judul tesis, sebagian besar di antara kami memilih tema-tema sebagaimana yang dipopulerkan oleh Selligman, seperti Compassion, Altruism, Forgiveness, Happiness, Love, dan Creativity. Sungguh luar biasa pengaruh buku tersebut.
Sampai di sini saya meyakini bahwa manfaat buku lebih dari sekadar yang sudah diketahui banyak orang, misalnya membuat orang menjadi lebih pintar dan lebih bijaksana. Saya berkeyakinan bahwa buku adalah modal sosial terbaik yang dapat mengikat sekelompok orang dalam satu perspektif dan tujuan. Jika kita mendefinisikan modal sosial sebagai segala sesuatu yang berperan bagi keberhasilan seseorang dalam kerja sama di ruang sosial, sebagaimana diungkapkan oleh John Field dalam Social Capital (1996:16), maka buku sangat memenuhi persyaratan itu.
Buku tidak hanya mengikat orang dalam simpul kognitif, tetapi juga simpul emosional dan sikap. Buku telah membuat manusia lebih cerdas dan berpikiran maju. Buku telah berhasil mengubah cara berpikir orang dalam melihat kehidupan. Buku juga telah menjadi alat revolusi kemerdekaan yang paling ampuh di negeri ini (karena para founding fathers kita, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain adalah para kutu buku). Dan, tak kalah pentingnya, buku juga telah mengajari kita bagaimana cara bersitegang yang beradab. Bukan melalui adu jotos unjuk kekuatan, tetapi melalui adu argumen dan ketajaman perspektif, juga analisis. Pendek kata, buku adalah produk kebudayaan paling berharga yang pernah diciptakan oleh manusia.
*) Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Psikologi UGM Yogyakarta.
http://www.korantempo.com/
Sebelum memulai membuat tulisan ini, saya iseng-iseng mencari informasi yang berhubungan dengan buku dan komunitas di Internet. Melalui mesin pencari Google dan Yahoo!, saya masukkan kata kunci seperti “books community”, “community and books”, dan “books, community”. Di luar dugaan saya, hasilnya sungguh luar biasa. Saya temukan ribuan, bahkan jutaan, situs web yang dikelola komunitas pencinta buku dunia dari berbagai latar belakang minat dan topik.
Umumnya, situs-situs tersebut mengundang pengunjungnya untuk bergabung dan memberi komentar dalam diskusi buku yang mereka selenggarakan di dunia maya. Beberapa di antaranya menyarankan pengunjung untuk membaca buku-buku tertentu, dan setelah selesai dilanjutkan dengan undangan untuk berdiskusi mengenai isi buku yang dimaksud.
Sekadar menyebut sedikit saja komunitas-komunitas yang sempat saya kunjungi, ada BookCrossing, Internationalist Books & Community Center-Chapel Hill, Community College Fact Book Library, Indiana Forest Alliance, Creative New Zealand, Campaign For Reader Privacy, dan The Kepler’s Books and Magazines. Di Indonesia sendiri, saya temukan beberapa komunitas yang cukup intensif mengadakan diskusi-diskusi buku dan sastra yang tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia. Di ujung barat Indonesia, di Banda Aceh, misalnya, ada komunitas Tikar Pandan yang giat mengadakan diskusi dan menerbitkan jurnal bulanan yang berisi seputar dunia sastra Tanah Air. Komunitas ini dikelola oleh para sastrawan muda yang giat mempublikasikan karya mereka di surat kabar-surat kabar Tanah Air. Dalam kondisi sosial-politik Aceh yang tak kunjung kondusif, kehadiran mereka adalah secercah harapan. Setidaknya, menjadi inspirasi bagi anak muda Aceh untuk tidak berhenti bermimpi tentang Aceh masa depan yang sejahtera dan berbudaya.
Beberapa komunitas bahkan menjadi semacam barometer dan sering dijadikan rujukan oleh komunitas-komunitas lainnya. Di Bandung, misalnya, ada komunitas yang berangkat dari toko buku seperti Tobucil dan Toko Buku Ultimus yang sering mewadahi berbagai macam kecenderungan minat dan topik dari komunitas-komunitas pencinta buku lainnya di Paris van Java tersebut. Kedua toko buku itu menjadi tempat berlangsungnya rangkaian aktivitas yang berhubungan dengan buku. Lewat aktivitas-aktivitas yang mereka selenggarakan, mereka sekaligus membuka peluang pasar buku di luar distribusi mainstream.
Berbicara tentang komunitas pencinta buku, tentunya kita tidak bisa melewatkan sebuah kota di ujung selatan pulau Jawa, yaitu Yogyakarta. Di kota yang terkenal dengan sebutan Kota Seribu Penerbit ini, mungkin kita tak lagi bisa menghitung berapa banyak maniak buku yang ada di kota ini. Ratusan penerbit dan toko buku tersebar di Yogyakarta. Faktor ini membuat para pencinta buku di Yogyakarta lebih beruntung dibanding teman-temannya di kota lain. Selain mudahnya akses memperoleh buku, pencinta buku di Yogyakarta juga mewarisi iklim sosial-budaya yang kondusif. Jauh dari kebisingan kegiatan industri, Yogyakarta menjadi tempat yang sangat nyaman bagi siapa saja yang hendak bergelut dengan dunia aksara.
Di kota ini pula, terdapat banyak komunitas pencinta buku. Salah satunya Indonesia Buku atau i:boekoe. Komunitas yang dikelola para anak muda maniak buku itu sejak dua tahun lalu berjibaku merampungkan proyek besarnya dalam bentuk penerbitan buku-buku sejarah Indonesia yang luput dari snapshot sejarah resmi negara. Sebagian besar para pegiat komunitas i:boekoe ini saya kenal dengan baik. Selain karena memiliki kecintaan yang sama, juga karena saban minggu tulisan-tulisan mereka sering muncul di koran-koran Tanah Air. Apa yang telah disebutkan di atas hanyalah contoh saja karena saking banyaknya komunitas pencinta buku di Indonesia (apalagi dunia), sehingga tulisan ini tak kuasa menyebutkannya satu per satu.
Yang pasti, dengan menjamurnya komunitas-komunitas pencinta buku di Tanah Air, bagi saya pribadi telah memberikan optimisme tentang tata pergaulan kemanusiaan yang lebih beradab. Setidaknya, dari pengalaman saya sendiri, saya menjumpai betapa buku telah mengubah cara pandang orang terhadap kehidupan secara radikal. Pernah suatu ketika saya dan teman-teman saya di lingkungan Program Pascasarjana Psikologi UGM Yogyakarta mendiskusikan perihal ilmu psikologi yang dianggap lebih mampu mensejahterakan manusia. Waktu itu, kami sepakat bahwa tidak mungkin mewujudkan sosok manusia yang sepenuhnya sehat jika kami tak lekas beranjak dari pengaruh teori-teori psikologi mainstream seperti psikoanalisis dan behaviorisme, yang mengusung filsafat manusia yang berbau pesakitan.
Hingga suatu ketika, seorang teman memperkenalkan sebuah buku yang ditulis oleh pendiri gerakan Psikologi Positif, Martin E.P. Selligman, yang berjudul Authentic Happiness. Buku ini diterbitkan Penerbit Mizan pada 2005 dalam versi bahasa Indonesia. Buku ini dianggap sebagai revolusi mendasar dalam tradisi psikologi karena menawarkan perspektif baru. Dalam bukunya ini, Selligman memberi penekanan pada upaya mengeksplorasi potensi-potensi positif manusia dan membuang jauh-jauh potensi-potensi pesakitannya.
Buku tersebut benar-benar telah meyakinkan kami bahwa ada yang salah dalam tubuh ilmu psikologi selama ini. Sejak saat itu minat kami terhadap kajian Psikologi Positif semakin menjadi-jadi. Setidaknya, dalam menentukan judul tesis, sebagian besar di antara kami memilih tema-tema sebagaimana yang dipopulerkan oleh Selligman, seperti Compassion, Altruism, Forgiveness, Happiness, Love, dan Creativity. Sungguh luar biasa pengaruh buku tersebut.
Sampai di sini saya meyakini bahwa manfaat buku lebih dari sekadar yang sudah diketahui banyak orang, misalnya membuat orang menjadi lebih pintar dan lebih bijaksana. Saya berkeyakinan bahwa buku adalah modal sosial terbaik yang dapat mengikat sekelompok orang dalam satu perspektif dan tujuan. Jika kita mendefinisikan modal sosial sebagai segala sesuatu yang berperan bagi keberhasilan seseorang dalam kerja sama di ruang sosial, sebagaimana diungkapkan oleh John Field dalam Social Capital (1996:16), maka buku sangat memenuhi persyaratan itu.
Buku tidak hanya mengikat orang dalam simpul kognitif, tetapi juga simpul emosional dan sikap. Buku telah membuat manusia lebih cerdas dan berpikiran maju. Buku telah berhasil mengubah cara berpikir orang dalam melihat kehidupan. Buku juga telah menjadi alat revolusi kemerdekaan yang paling ampuh di negeri ini (karena para founding fathers kita, seperti Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan lain-lain adalah para kutu buku). Dan, tak kalah pentingnya, buku juga telah mengajari kita bagaimana cara bersitegang yang beradab. Bukan melalui adu jotos unjuk kekuatan, tetapi melalui adu argumen dan ketajaman perspektif, juga analisis. Pendek kata, buku adalah produk kebudayaan paling berharga yang pernah diciptakan oleh manusia.
*) Mahasiswa Pascasarjana Program Studi Psikologi UGM Yogyakarta.
Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal
Herdiyan*
http://www.pikiran-rakyat.com/
SAAT ini, masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Lapisan ozon kini semakin menipis. Dengan terus menipisnya lapisan itu, sangat dikhawatirkan bila lapisan itu tidak ada atau menghilang sama sekali dari alam semesta ini. Tanpa lapisan ozon sangat banyak akibat negatif yang akan menimpa makhluk hidup di muka bumi ini, antara lain penyakit-penyakit akan menyebar secara menjadi, cuaca tidak menentu, pemanasan global, bahkan hilangnya suatu daerah karena akan mencairnya es yang ada di kutub utara dan selatan.
Berbagai simposium, seminar, dan pertemuan diselenggarakan untuk mengatasi masalah ini. Kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan terus dikampanyekan. Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para ilmuwan memberikan berbagai masukan.
Para sastrawan pun ternyata tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah ini. Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun sejak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Atau karya-karya dari khazanah kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan napas kerinduan pada alam.
Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair. Maman S. Mahayana, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menilai bahwa pengungkapan alam dalam kesusastraan Indonesia umumnya lebih banyak tercantum dalam tulisan-tulisan berupa puisi daripada novel ataupun cerpen, contoh puisi “Tanah Air” karya M. Yamin, puisi “Priangan Si Jelita” karya Ramadhan K.H., puisi-puisi karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Akan tetapi, jumlah novel yang bertemakan alam juga lumayan banyak beredar sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia, misalnya Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana, Upacara karya Korrie Layun Rampan, Arus dan Pulau karya Aspar Paturisi, karya-karya Ahmad Tohari (mulai dari Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Bukit Cibalak, sampai pada Lingkar Tanah Lingkar Air), dan lain-lain.
Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal, adalah tema yang diusung pada Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP), 11-13 Juli 2008 lalu di Aula PPPPTK Bahasa, Jakarta. Sebagai sebuah organisasi kepenulisan besar di Indonesia, FLP terus menitikberatkan pada peningkatan kualitas menulis anggotanya. Maka anggotanya–bahkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pun dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini .
Untuk mengatasi masalah lingkungan di atas, yang diperlukan adalah mencoba bergerak melalui kesadaran transenden yang sama sekali muncul bukan karena sikap sporadis semata. Melainkan benar-benar cerminan dari identitas religius seseorang. Dengan demikian, akan muncul gerakan-gerakan yang kemudian bermuara pada karya-karya yang benar-benar menyuarakan kejernihan dan optimisme dalam menghadapi hidup.
Sebagaimana dikatakan Ketua Umum FLP Pusat, M. Irfan Hidayatullah, “FLP bukan bagian dari sastra chaos yang menyuarakan kehitaman dan kejanggalan psikologis manusia postmodern. FLP adalah penggagas sastra ‘kosmos’ yang menyuarakan kembali pada kesadaran yang sebenarnya sederhana di tengah gejolak kegelisahan masyarakat”.
Salah satu tujuan menulis adalah memengaruhi perasaan para pembaca. Maka dari itu, sangat diharapkan kontribusi optimal para penulis untuk menghasilkan karya-karya yang bertemakan tentang persaudaraan manusia dengan alam dan lingkungan dalam memperbaiki keadaan alam yang sangat tidak bersahabat saat ini. Alam dan lingkungan tidak bersahabat dengan manusia karena manusialah selama ini yang tidak bersahabat dengan mereka.
*) Mahasiswa Jurusan Sastra Arab Fasa Unpad, ketua FLP Jatinangor.
http://www.pikiran-rakyat.com/
SAAT ini, masalah lingkungan cukup sering diperbincangkan. Lapisan ozon kini semakin menipis. Dengan terus menipisnya lapisan itu, sangat dikhawatirkan bila lapisan itu tidak ada atau menghilang sama sekali dari alam semesta ini. Tanpa lapisan ozon sangat banyak akibat negatif yang akan menimpa makhluk hidup di muka bumi ini, antara lain penyakit-penyakit akan menyebar secara menjadi, cuaca tidak menentu, pemanasan global, bahkan hilangnya suatu daerah karena akan mencairnya es yang ada di kutub utara dan selatan.
Berbagai simposium, seminar, dan pertemuan diselenggarakan untuk mengatasi masalah ini. Kesadaran mengenai pentingnya menjaga lingkungan terus dikampanyekan. Memang banyak cara yang harus dipilih untuk mengatasi masalah ini. Para ilmuwan memberikan berbagai masukan.
Para sastrawan pun ternyata tak ketinggalan untuk berperan serta dalam menanggulangi masalah ini. Para sastrawan dari berbagai penjuru dunia pun sejak dahulu telah ikut serta mengampanyekan persaudaraan terhadap lingkungan ini melalui karya-karyanya, seperti puisi-puisi Manyoshu yang memperlakukan alam sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Jepang. Atau karya-karya dari khazanah kesusastraan Inggris, Prancis, Jerman, dan Italia yang sarat akan napas kerinduan pada alam.
Tema alam dan lingkungan merupakan suatu imajinasi yang telah banyak diproduksi oleh para penulis dan penyair. Maman S. Mahayana, dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menilai bahwa pengungkapan alam dalam kesusastraan Indonesia umumnya lebih banyak tercantum dalam tulisan-tulisan berupa puisi daripada novel ataupun cerpen, contoh puisi “Tanah Air” karya M. Yamin, puisi “Priangan Si Jelita” karya Ramadhan K.H., puisi-puisi karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, Abdul Hadi WM, Sapardi Djoko Damono, dan lain-lain. Akan tetapi, jumlah novel yang bertemakan alam juga lumayan banyak beredar sepanjang perjalanan kesusastraan Indonesia, misalnya Anak Perawan di Sarang Penyamun karya Sutan Takdir Alisjahbana, Upacara karya Korrie Layun Rampan, Arus dan Pulau karya Aspar Paturisi, karya-karya Ahmad Tohari (mulai dari Kubah, Ronggeng Dukuh Paruk, Di Kaki Bukit Cibalak, sampai pada Lingkar Tanah Lingkar Air), dan lain-lain.
Sastra, Lingkungan, dan Kearifan Lokal, adalah tema yang diusung pada Silaturrahmi Nasional Forum Lingkar Pena (Silnas FLP), 11-13 Juli 2008 lalu di Aula PPPPTK Bahasa, Jakarta. Sebagai sebuah organisasi kepenulisan besar di Indonesia, FLP terus menitikberatkan pada peningkatan kualitas menulis anggotanya. Maka anggotanya–bahkan setiap manusia yang hidup di muka bumi ini pun dituntut untuk peka terhadap sesuatu yang ada di alam semesta ini .
Untuk mengatasi masalah lingkungan di atas, yang diperlukan adalah mencoba bergerak melalui kesadaran transenden yang sama sekali muncul bukan karena sikap sporadis semata. Melainkan benar-benar cerminan dari identitas religius seseorang. Dengan demikian, akan muncul gerakan-gerakan yang kemudian bermuara pada karya-karya yang benar-benar menyuarakan kejernihan dan optimisme dalam menghadapi hidup.
Sebagaimana dikatakan Ketua Umum FLP Pusat, M. Irfan Hidayatullah, “FLP bukan bagian dari sastra chaos yang menyuarakan kehitaman dan kejanggalan psikologis manusia postmodern. FLP adalah penggagas sastra ‘kosmos’ yang menyuarakan kembali pada kesadaran yang sebenarnya sederhana di tengah gejolak kegelisahan masyarakat”.
Salah satu tujuan menulis adalah memengaruhi perasaan para pembaca. Maka dari itu, sangat diharapkan kontribusi optimal para penulis untuk menghasilkan karya-karya yang bertemakan tentang persaudaraan manusia dengan alam dan lingkungan dalam memperbaiki keadaan alam yang sangat tidak bersahabat saat ini. Alam dan lingkungan tidak bersahabat dengan manusia karena manusialah selama ini yang tidak bersahabat dengan mereka.
*) Mahasiswa Jurusan Sastra Arab Fasa Unpad, ketua FLP Jatinangor.
Sastra Eksil, Adakah?
Soeprijadi Tomodihardjo
http://www.sinarharapan.co.id/
Dalam penalaran selintas yang tiba-tiba mengundang keraguan menghadapi masa depan, ada sejenis penyakit kronis yang selama ini diderita kaum eksil Indonesia, yakni home sick: rindu kampung, kangen keluarga.
Penyakit ini sudah 40 tahun lebih melanda mereka. Saya bukan dokter tetapi sumber data Dinas Kesehatan di Jerman mencatat, banyak Gastarbeiter menderita penyakit heimweh, ya home sick itu. Tetapi para Gastarbeiter (bukan Indonesia tapi Turki, Yunani, Itali, Spanyol dsb.), itu relatif mudah mengatasi penyakit ini: ambil saja cuti beberapa minggu setiap tahun (tidak seperti nasib TKW kita). Namun pulang bagi kaum eksil Indonesia di Eropa bukan urusan gampang, kecuali mereka yang beruang dan belum telanjur uzur, meski bukan lagi warganegara Indonesia.
Bagaimanapun pulang adalah naluri alami yang melekat pada diri manusia, bahkan bagi si tunawisma. Keterikatan pada sesuatu yang bisa disebut tempat-tinggal, tak peduli apakah itu berupa tanahair, kampung halaman, sebuah gedung mewah, rumah sederhana, gubuk reot atau sepetak tanah di kolong jembatan yang bukan miliknya, merupakan condisio sine quanon. Kian lama seseorang berada di paran, kian terasa kerinduan tak tertahankan dan akhirnya memuncak pada hasrat segera pulang, ibarat seekor burung: ke mana ia terbang akhirnya pulang ke sarang.
Wawasan berikut membatasi diri pada persoalan para penulis eksil Indonesia berkenaan aktivitas kreatif mereka dalam kondisi tragedi pascaperistiwa G30S-1965. Sebagai minoritas kecil dari komunitas eksil yang tersebar di beberapa negara di dunia, mereka pun terimpit dalam kesamaan nasib: selama puluhan tahun terhalang pulang. Tentu ada sejumlah masalah intern maupun ekstern, subjektif dan objektif, mengapa hal ini bisa terjadi.
Namun sebab paling utama adalah dicabutnya kewarganegaraan mereka berdasarkan tuduhan rezim penguasa bahwa mereka terindikasi terlibat peristiwa G30S-1965. Tindakan itu dari tahun ke tahun mereka gugat karena dasar tuduhan itu hingga kini tidak pernah terbukti secara hukum dan karenanya mereka anggap sebagai perampasan hak sipil mereka, pelanggaran HAM secara kejam.
Beberapa tahun terakhir ini kasus tersebut mulai mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Namun 2 kali berturut-turut menteri yang ditugasi mengantisipasi masalah ini (pertama Yusril Mahendra di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, kedua Awalludin di bawah Presiden Susilo Bambang Yudoyono) telah gagal memenuhi misi mereka. Kasus ini nampaknya masih akan memakan waktu lama sebelum tercapai penyelesaian. Bahkan tak tertutup kemungkinan upaya itu menghadapi jalan buntu karena kasusnya sama alot dengan TAP MPR No. 25 Tahun 1966 yang dituntut agar dicabut.
Tragedi tersebut sudah terlalu lama berlangsung hingga generasi ketiga: 42 tahun. Mereka tidak lagi ikut langsung mengalami proses perkembangan sosial-budaya tanahairnya selama puluhan tahun. Secara kultural mereka tertinggal jauh di belakang kereta peradaban yang melaju menurut haluan dan kendali sistem kekuasaan.
Maka terbentanglah jarak semakin panjang antara si anak hilang dan Ibunda tercinta: tanahair dan bangsa. Seseorang mengguratkan pena dalam sebuah puisi sarat emosi:
si anak hilang
segeralah pulang
bunda dirundung malang
Ketika seluruh tanahair dan bangsa terus-menerus terjerumus dalam bencana multidimensi, suara hati-nurani para penulis eksil terdengar lantang dan tak jarang sangat emosional. Bagaimanapun mereka tak bisa tinggal diam selama masih bisa berbicara.
Maka berbicaralah mereka lewat karya sastranya. Dan tiba-tiba suara itu sampai di telinga para pengamat sastra eksil sebagai sumpah-serapah bergelimang keluh-kesah dan penderitaan masa silam. Tetapi pola karya-karya mereka nampak tersekap dalam perangkap mitos angkatan 1950-an atau 1960-an: jaman sebelum mereka meninggalkan tanahairnya untuk berbagai keperluan di luarnegeri. Mitos ini sangat kentara pada pilihan tema dan gaya bahasa yang mereka terapkan dalam kreasi sastranya.
Saya teringat tulisan Dr. Asvi Warman Adam dalam Epilog untuk buku kumpulan cerpen Martin Aleida “Leontin Dewangga“, menyangkut karangan-karangan ”penulis kiri“ termasuk yang eksil kecuali karya-karya Pramudya Ananta Toer.
Dari naskah ”penulis T“ yang pernah dibacanya beliau mendapat kesan, yang diceritakan adalah ”kisah suasana tahun 1950-an dengan pilihan kata yang terasa ganjil bagi pembaca yang berdiam di Indonesia“. Namun kesan demikian segera kehilangan makna jika orang mengabaikan sebab dan latar belakang sejarah yang parah dan lama. Sangat lama.
Seorang pengarang yang terasing dari masyarakat Ibu selama puluhan tahun, sendirinya terasing dan ketinggalan pula dalam segala hal yang menyangkut perkembangan bahasa, sastra dan budaya tanahairnya. Ketinggalan ini kentara dalam hal gaya bahasa, pilihan tema, tehnik mengarang, bahkan penguasaan kosakata yang berkembang pesat berkat pembauran antara kata-kata bahasa asing, nasional dan lokal (daerah), yang dikemas begitu bebas dan sangat invasif menyusup ke dalam tubuh bahasa Indonesia.
Sampai porsi tertentu resapan ini memang memperkaya dan nampaknya juga mendorong proses modernisasi bahasa Indonesia. Setiap kalimat dalam ”bahasa baru“ ini dicoba dikemas dengan menghemat kata-kata yang tidak dirasa perlu, atau sebaliknya diboroskan demi meraih efek lirik-literal-intelektual sebuah karya ilmiah semisal esai, analisis sastra dan semacamnya. Apa yang terasa janggal bagi citarasa penulis eksil, bagi khalayak sastra di Indonesia masa kini adalah lumrah dan justru perlu. Kiranya dalam wawasan ini tidak diperlukan contoh-contoh.
Cukup ditarik kesimpulan, selama puluhan tahun ini struktur kalimat-kalimat bahasa Indonesia sudah mengalami proses perubahan berangsur-angsur menuju pola baru yang semakin baku. Proses kejenuhan ini terasa menggusur karakter dan struktur lama bahasa Indonesia sendiri seperti banyak terdapat pada teks-teks intelek bertema sains dan kerohanian (agama, filsafat, sosiologi, politik, esai sastra dsb.).
Para penulis eksil yang telanjur awam seolah dihadapkan pada teks-teks multilingual yang memerlukan banyak sekali catatan kaki. Mereka terus-menerus coba mengejar dan menyesuaikan diri pada pertumbuhan linguistik ini. Tak ada pilihan lain selama mereka tak ingin terus-terusan ketinggalan kereta. Namun ”mengejar“ pada wacana ini hanya berarti belajar dan berlatih melalui pengalaman praktis dalam aktivitas kreatif.
Membaca literatur baru berbahasa Indonesia dan menemukan corak estetika baru dari khazanah ini, merupakan bagian penting dalam upaya belajar kembali, tetapi bukan tanpa risiko: terjerumus menjadi sastra(wan) sablon.
Beberapa pengarang prosa dan puisi seperti Utuy Tatang Sontani, Rumambi, Agam Wispi, Sobron Aidit (mereka sudah almarhum), JJ Kusni, Hersri Setiawan, Asahan Alham Aidit, A. Kohar Ibrahim, Ibarruri Putri Alam (anak DN Aidit) dan lain-lain, sempat menggeliat sebagai pengarang eksil yang terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap tenaga dan daya kreatifnya mereka coba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus memberi arti perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan.
Gerakan reformasi di tanahair menjelang akhir abad silam selangkah demi selangkah telah membuka kebebasan bersuara dan juga kesempatan relatif luas bagi undergroud literary, termasuk para penulis eksil, untuk tampil kembali dengan agak leluasa di tanahairnya.
Awal periode ini media penerbitan yang terbiasa melakukan selfcencorship karena ancaman pemberangusan puluhan tahun lamanya di bawah telapak kaki kekuasaan, tetap saja bersikap wait and see, ogah-ogahan meninggalkan prasangka lama terhadap pulangnya si anak hilang.
Sastra koran nyaris tak punya peran dalam pemulihan kebebasan mereka di bidang sastra. Larangan resmi terhadap ”literatur kiri“ semisal Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 (30 November 1965), sampai hari ini tidak pernah dicabut. Tidak dicabut berarti masih berlaku, padahal sudah tidak diambil pusing oleh siapapun.
Surutnya minat para pengamat sastra eksil (Alex Supartono, Lisabona Rachman, Nur Zain Hae, Bambang Agung dll.) sejak awal abad ini membuat saya sangsi, jangan-jangan sastra eksil Indonesia memang sudah tidak ada atau dianggap tak ada lagi. Nalarnya sederhana: kalau buku-buku dan karya-karya para penulis eksil sudah dengan leluasa berkeliaran di Indonesia (padahal dilarang), maka underground literary maupun sastra eksil memang tak ada lagi, tak diperlukan lagi, semuanya secara formal tetap ilegal tetapi menganggap diri legal, untuk tampil kembali di tanahair, ikut menghuni khazanah sastra Indonesia tanpa hirau kemungkinan pembakaran buku-buku dan pembunuhan sastrawan seperti pengalaman Jerman di jaman Nazi.
Betapa penting peran bahasa seiring perkembangan baru di era reformasi dalam kendala globalisasi. Semua cabang disiplin keilmuan (matematika, fisika, kimia, politik, tehnik, sosial, filsafat, bahkan teologi dsb.) yang bergulat di ranah teori dan logika, pada dasarnya mengejawantah melalui bahasa.
Franz Magnis Suseno, guru besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, bahkan coba menggapai Tuhan melalui sarana bahasa tanpa pretensi membuktikan adanya Tuhan. (”Menalar Tuhan” – Penerbit Kanisius 2006). Hanya dengan bahasa, manusia mampu mencipta teori ilmu pengetahuan menjadi karya ilmiah akademik yang sistematis dan berguna bagi perkembangan peradaban umat manusia. Hanya dengan bahasa yang tersusun dengan santun manusia mampu berkomunikasi dengan sesamanya atas dasar etika dan estetika, bebas menyatakan pendapat yang berbeda tanpa paksaan dan ancaman.
Hakekat kesatuan hidup manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya justru perbedaannya: unity in diversity, tanpa kebencian karena perbedaan ras, etnik, politik, ideologi, agama maupun status sosial. Perkembangan dunia sastra dan ilmu pengetahuan pada gilirannya pun menuntut taraf kecanggihan tertentu dalam penguasaan bahasa. Tak henti-hentinya. Tak habis-habisnya.
Koeln, Agustus 2007
*) Penulis adalah cerpenis, tinggal di Jerman.
http://www.sinarharapan.co.id/
Dalam penalaran selintas yang tiba-tiba mengundang keraguan menghadapi masa depan, ada sejenis penyakit kronis yang selama ini diderita kaum eksil Indonesia, yakni home sick: rindu kampung, kangen keluarga.
Penyakit ini sudah 40 tahun lebih melanda mereka. Saya bukan dokter tetapi sumber data Dinas Kesehatan di Jerman mencatat, banyak Gastarbeiter menderita penyakit heimweh, ya home sick itu. Tetapi para Gastarbeiter (bukan Indonesia tapi Turki, Yunani, Itali, Spanyol dsb.), itu relatif mudah mengatasi penyakit ini: ambil saja cuti beberapa minggu setiap tahun (tidak seperti nasib TKW kita). Namun pulang bagi kaum eksil Indonesia di Eropa bukan urusan gampang, kecuali mereka yang beruang dan belum telanjur uzur, meski bukan lagi warganegara Indonesia.
Bagaimanapun pulang adalah naluri alami yang melekat pada diri manusia, bahkan bagi si tunawisma. Keterikatan pada sesuatu yang bisa disebut tempat-tinggal, tak peduli apakah itu berupa tanahair, kampung halaman, sebuah gedung mewah, rumah sederhana, gubuk reot atau sepetak tanah di kolong jembatan yang bukan miliknya, merupakan condisio sine quanon. Kian lama seseorang berada di paran, kian terasa kerinduan tak tertahankan dan akhirnya memuncak pada hasrat segera pulang, ibarat seekor burung: ke mana ia terbang akhirnya pulang ke sarang.
Wawasan berikut membatasi diri pada persoalan para penulis eksil Indonesia berkenaan aktivitas kreatif mereka dalam kondisi tragedi pascaperistiwa G30S-1965. Sebagai minoritas kecil dari komunitas eksil yang tersebar di beberapa negara di dunia, mereka pun terimpit dalam kesamaan nasib: selama puluhan tahun terhalang pulang. Tentu ada sejumlah masalah intern maupun ekstern, subjektif dan objektif, mengapa hal ini bisa terjadi.
Namun sebab paling utama adalah dicabutnya kewarganegaraan mereka berdasarkan tuduhan rezim penguasa bahwa mereka terindikasi terlibat peristiwa G30S-1965. Tindakan itu dari tahun ke tahun mereka gugat karena dasar tuduhan itu hingga kini tidak pernah terbukti secara hukum dan karenanya mereka anggap sebagai perampasan hak sipil mereka, pelanggaran HAM secara kejam.
Beberapa tahun terakhir ini kasus tersebut mulai mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Namun 2 kali berturut-turut menteri yang ditugasi mengantisipasi masalah ini (pertama Yusril Mahendra di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, kedua Awalludin di bawah Presiden Susilo Bambang Yudoyono) telah gagal memenuhi misi mereka. Kasus ini nampaknya masih akan memakan waktu lama sebelum tercapai penyelesaian. Bahkan tak tertutup kemungkinan upaya itu menghadapi jalan buntu karena kasusnya sama alot dengan TAP MPR No. 25 Tahun 1966 yang dituntut agar dicabut.
Tragedi tersebut sudah terlalu lama berlangsung hingga generasi ketiga: 42 tahun. Mereka tidak lagi ikut langsung mengalami proses perkembangan sosial-budaya tanahairnya selama puluhan tahun. Secara kultural mereka tertinggal jauh di belakang kereta peradaban yang melaju menurut haluan dan kendali sistem kekuasaan.
Maka terbentanglah jarak semakin panjang antara si anak hilang dan Ibunda tercinta: tanahair dan bangsa. Seseorang mengguratkan pena dalam sebuah puisi sarat emosi:
si anak hilang
segeralah pulang
bunda dirundung malang
Ketika seluruh tanahair dan bangsa terus-menerus terjerumus dalam bencana multidimensi, suara hati-nurani para penulis eksil terdengar lantang dan tak jarang sangat emosional. Bagaimanapun mereka tak bisa tinggal diam selama masih bisa berbicara.
Maka berbicaralah mereka lewat karya sastranya. Dan tiba-tiba suara itu sampai di telinga para pengamat sastra eksil sebagai sumpah-serapah bergelimang keluh-kesah dan penderitaan masa silam. Tetapi pola karya-karya mereka nampak tersekap dalam perangkap mitos angkatan 1950-an atau 1960-an: jaman sebelum mereka meninggalkan tanahairnya untuk berbagai keperluan di luarnegeri. Mitos ini sangat kentara pada pilihan tema dan gaya bahasa yang mereka terapkan dalam kreasi sastranya.
Saya teringat tulisan Dr. Asvi Warman Adam dalam Epilog untuk buku kumpulan cerpen Martin Aleida “Leontin Dewangga“, menyangkut karangan-karangan ”penulis kiri“ termasuk yang eksil kecuali karya-karya Pramudya Ananta Toer.
Dari naskah ”penulis T“ yang pernah dibacanya beliau mendapat kesan, yang diceritakan adalah ”kisah suasana tahun 1950-an dengan pilihan kata yang terasa ganjil bagi pembaca yang berdiam di Indonesia“. Namun kesan demikian segera kehilangan makna jika orang mengabaikan sebab dan latar belakang sejarah yang parah dan lama. Sangat lama.
Seorang pengarang yang terasing dari masyarakat Ibu selama puluhan tahun, sendirinya terasing dan ketinggalan pula dalam segala hal yang menyangkut perkembangan bahasa, sastra dan budaya tanahairnya. Ketinggalan ini kentara dalam hal gaya bahasa, pilihan tema, tehnik mengarang, bahkan penguasaan kosakata yang berkembang pesat berkat pembauran antara kata-kata bahasa asing, nasional dan lokal (daerah), yang dikemas begitu bebas dan sangat invasif menyusup ke dalam tubuh bahasa Indonesia.
Sampai porsi tertentu resapan ini memang memperkaya dan nampaknya juga mendorong proses modernisasi bahasa Indonesia. Setiap kalimat dalam ”bahasa baru“ ini dicoba dikemas dengan menghemat kata-kata yang tidak dirasa perlu, atau sebaliknya diboroskan demi meraih efek lirik-literal-intelektual sebuah karya ilmiah semisal esai, analisis sastra dan semacamnya. Apa yang terasa janggal bagi citarasa penulis eksil, bagi khalayak sastra di Indonesia masa kini adalah lumrah dan justru perlu. Kiranya dalam wawasan ini tidak diperlukan contoh-contoh.
Cukup ditarik kesimpulan, selama puluhan tahun ini struktur kalimat-kalimat bahasa Indonesia sudah mengalami proses perubahan berangsur-angsur menuju pola baru yang semakin baku. Proses kejenuhan ini terasa menggusur karakter dan struktur lama bahasa Indonesia sendiri seperti banyak terdapat pada teks-teks intelek bertema sains dan kerohanian (agama, filsafat, sosiologi, politik, esai sastra dsb.).
Para penulis eksil yang telanjur awam seolah dihadapkan pada teks-teks multilingual yang memerlukan banyak sekali catatan kaki. Mereka terus-menerus coba mengejar dan menyesuaikan diri pada pertumbuhan linguistik ini. Tak ada pilihan lain selama mereka tak ingin terus-terusan ketinggalan kereta. Namun ”mengejar“ pada wacana ini hanya berarti belajar dan berlatih melalui pengalaman praktis dalam aktivitas kreatif.
Membaca literatur baru berbahasa Indonesia dan menemukan corak estetika baru dari khazanah ini, merupakan bagian penting dalam upaya belajar kembali, tetapi bukan tanpa risiko: terjerumus menjadi sastra(wan) sablon.
Beberapa pengarang prosa dan puisi seperti Utuy Tatang Sontani, Rumambi, Agam Wispi, Sobron Aidit (mereka sudah almarhum), JJ Kusni, Hersri Setiawan, Asahan Alham Aidit, A. Kohar Ibrahim, Ibarruri Putri Alam (anak DN Aidit) dan lain-lain, sempat menggeliat sebagai pengarang eksil yang terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap tenaga dan daya kreatifnya mereka coba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus memberi arti perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan.
Gerakan reformasi di tanahair menjelang akhir abad silam selangkah demi selangkah telah membuka kebebasan bersuara dan juga kesempatan relatif luas bagi undergroud literary, termasuk para penulis eksil, untuk tampil kembali dengan agak leluasa di tanahairnya.
Awal periode ini media penerbitan yang terbiasa melakukan selfcencorship karena ancaman pemberangusan puluhan tahun lamanya di bawah telapak kaki kekuasaan, tetap saja bersikap wait and see, ogah-ogahan meninggalkan prasangka lama terhadap pulangnya si anak hilang.
Sastra koran nyaris tak punya peran dalam pemulihan kebebasan mereka di bidang sastra. Larangan resmi terhadap ”literatur kiri“ semisal Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 (30 November 1965), sampai hari ini tidak pernah dicabut. Tidak dicabut berarti masih berlaku, padahal sudah tidak diambil pusing oleh siapapun.
Surutnya minat para pengamat sastra eksil (Alex Supartono, Lisabona Rachman, Nur Zain Hae, Bambang Agung dll.) sejak awal abad ini membuat saya sangsi, jangan-jangan sastra eksil Indonesia memang sudah tidak ada atau dianggap tak ada lagi. Nalarnya sederhana: kalau buku-buku dan karya-karya para penulis eksil sudah dengan leluasa berkeliaran di Indonesia (padahal dilarang), maka underground literary maupun sastra eksil memang tak ada lagi, tak diperlukan lagi, semuanya secara formal tetap ilegal tetapi menganggap diri legal, untuk tampil kembali di tanahair, ikut menghuni khazanah sastra Indonesia tanpa hirau kemungkinan pembakaran buku-buku dan pembunuhan sastrawan seperti pengalaman Jerman di jaman Nazi.
Betapa penting peran bahasa seiring perkembangan baru di era reformasi dalam kendala globalisasi. Semua cabang disiplin keilmuan (matematika, fisika, kimia, politik, tehnik, sosial, filsafat, bahkan teologi dsb.) yang bergulat di ranah teori dan logika, pada dasarnya mengejawantah melalui bahasa.
Franz Magnis Suseno, guru besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, bahkan coba menggapai Tuhan melalui sarana bahasa tanpa pretensi membuktikan adanya Tuhan. (”Menalar Tuhan” – Penerbit Kanisius 2006). Hanya dengan bahasa, manusia mampu mencipta teori ilmu pengetahuan menjadi karya ilmiah akademik yang sistematis dan berguna bagi perkembangan peradaban umat manusia. Hanya dengan bahasa yang tersusun dengan santun manusia mampu berkomunikasi dengan sesamanya atas dasar etika dan estetika, bebas menyatakan pendapat yang berbeda tanpa paksaan dan ancaman.
Hakekat kesatuan hidup manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya justru perbedaannya: unity in diversity, tanpa kebencian karena perbedaan ras, etnik, politik, ideologi, agama maupun status sosial. Perkembangan dunia sastra dan ilmu pengetahuan pada gilirannya pun menuntut taraf kecanggihan tertentu dalam penguasaan bahasa. Tak henti-hentinya. Tak habis-habisnya.
Koeln, Agustus 2007
*) Penulis adalah cerpenis, tinggal di Jerman.
Dapatkah Sastra Eksil Berbicara?
Komarudin
http://www2.kompas.com/
SELAMA rezim Orde Baru berkuasa, ada larangan terhadap sejumlah karya sastrawan yang dituduh terlibat dalam G 30 S/PKI, sehingga karya-karya mereka tak terjamah oleh publik pembaca sastra Indonesia, termasuk sastra eksil.
Namun, belakangan ini perbincangan mengenai sastra eksil kian mengemuka yang diiringi dengan penerbitan sejumlah karya-karya mereka. Sebut saja Kisah Intel dan Sebuah Warung karya Sobron Aidit, adik kandung DN Aidit, Perang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya Asahan Alham, Sobron Aidit, dan kawan-kawan.
Eksil adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tingkat tekanan politik pemerintah. Mereka menjadi eksil berawal saat peristiwa G 30 S/PKI yang terjadi pada tahun 1965, ketika itu mereka sedang berada di luar negeri dengan pelbagai tujuan. Mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi internasional, delegasi suatu perayaan, sampai berobat.
Semula mereka merasa yakin suatu saat akan pulang kembali ke Tanah Air, dengan asumsi pemerintahan Orde Baru tidak bisa berjalan lama. Namun, kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya, pemerintahan Orde Baru mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu yang panjang.
Proses penantian panjang dan sangat melelahkan itu, sampai usia mereka pun berangsur-angsur tua. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah meninggal dunia sebelum pemerintahan Orde Baru tumbang. Pada akhirnya, mereka memutuskan dan mempersiapkan diri untuk tidak akan bisa pulang ke Tanah Air. Kebanyakan dari mereka kini bersandar di Eropa.
Tanah Air
Problem Tanah Air dalam sastra eksil memang sangat dominan. Dalam karya-karya mereka mempunyai ideal tersendiri tentang Tanah Air. Misalnya kerinduan mereka tentang kampung halaman, orang-orang tercinta, hingga kritik atas kondisi Tanah Air saat ini.
Tentang Tanah Air, Goenawan Mohamad pernah menuliskannya dengan menarik. Tanah air adalah sebuah proyek yang ditempuh bersama-sama. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus. Bagi Goenawan, Tanah Air adalah sebuah ruang masa kini kita arungi karena ada harapan untuk kita semua kelak. Tanah Air adalah sebuah engagement. Kenangan, pengalaman, engagement: kata-kata itu semua menunjukkan bahwa ketika kita berpikir tentang Indonesia, kita tak hanya mengetahui dan menyimpulkan, tapi berdiri, dengan kegembiraan dan kesedihan, dengan waswas, dan berharap (Goenawan Mohamad, Tempo, 28/5/2000).
Pernyataan Goenawan itu sebetulnya juga dapat dilihat dalam karya-karya sastra eksil. Seperti diungkapkan Sobron Aidit dalam Kisah Intel dan Sebuah Warung. Menurutnya, kalau di Jakarta, misalnya, rasa takut, khawatir, dan waswas selalu saja menghantui. Ini sangat menyedihkan. Mungkin terlalu banyak mendengar dan membaca koran atau mendengarkan berita radio-televisi yang selalu memberitakan kejahatan, perampokan, penjambretan, dan sebagainya. Pada kenyataannya memang ada bayangan yang selalu mengikuti. Sejarah gelap bagi keluarga, dan orang-orang sepertinya, yang sangat menyedihkan. Tidak semua orang dan tidak semua keluarga, serta teman yang dulu dekat, mau dan bersedia menerimanya. Karena itu, bisa dipahami, eksil Indonesia sangat haus bergaul dan bertemu dengan orang Indonesia. Bila bertemu orang Indonesia atau bertemu muka, ngobrol, cerita-cerita, bukan main senangnya.
Sementara itu, dalam memoar Di Bawah Langit tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani sedikit sekali menyinggung kerinduannya pada Tanah Air, kepada istri, dan anak-anaknya. Berita-berita dari radio dari Tanah Air yang kian lama kian santer menceritakan pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan progresif, sengaja dihindarinya. Termasuk mendengarkan musik-musik Indonesia. Di Bawah Langit tak Berbintang merupakan bentuk kekecewaan Utuy melihat realitas komunitas eksil Indonesia di Cina.
Kepedihan tak terperi memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Baik Utuy, Sobron, maupun Alham, dan lainnya. Sekalipun berada di pengasingan, ingatan kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang Tanah Air. Sebagai tempat lahirnya kenangan gembira dan sedih, pengalaman pahit dan manis, serta keterlibatan bersama dalam membentuk sebuah Tanah Air. Nun jauh di sana, Tanah Air, tak lebih hanya sebagai “komunitas terbayangkan”-meminjam istilah Benedict Anderson yang tersohor. Mereka membayangkan diri, seolah- olah berada di Indonesia. Atau paling tidak mereka dilahirkan dan pernah berpijak di Indonesia.
Seperti halnya bangsa, Tanah Air, tampaknya juga bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Benedict Anderson, 1999: 7).
Oleh karena itu, seperti ditegaskan Martin Tucker (ed), dalam Literary Exil in the Twentieth Century: An Analysis and Biographical Dictionary, eksil Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri, dibandingkan dengan eksil dunia lainnya. Berbeda dengan pengungsi yang menganggap status pengasingan diri mereka sementara dan karenanya ikatan yang tercipta dengan tanah baru tempat mereka mengasingkan diri hanya sedikit, eksil menganggap tanah pengasingan adalah rumah baru mereka sehingga ada ikatan yang lebih kuat antara pribadi eksil dengan tanah pengasingannya ini. Dengan demikian, komunitas-komunitas eksil semacam ini, menjadikan tanah pengasingan mereka yang baru sebagai rumah dan menciptakan kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Dari sinilah kita mengenal apa yang disebut kebudayaan diaspora (Alex Supartono, 2001:158).
Namun, dalam karya sastrawan eksil tidak mengalami diaspora. Sekalipun dari mereka menguasai bahasa asing, tetapi mereka tetap menulis karya-karyanya dalam bahasa Indonesia. Itu pula yang membuat sastra eksil memiliki kekhasan.
“Subaltern”
Meminjam istilah diskursus pascakolonialisme, eksil Indonesia lebih mirip sebagai komunitas subaltern, subyek yang dibungkam dan tertekan. Secara lebih umum, mereka yang berada di tingkat “inferior”.
Seperti dituturkan Asahan Alham dalam Perang dan Kembang terutama pascatragedi tahun 1965 di Indonesia yang mengakibatkan manusia tidak berdosa turut menjadi korban. Terutama yang menimpa keluarga Salam, tokoh utama dalam novel tersebut. “Semua orang bisa dituduh komunis asal yang menuduh punya senjata, punya kekuasaan. Kalau sudah dicap komunis, boleh dibunuh, seperti tikus dan ayam. Atau boleh ditangkap, seperti menangguk ikan, besar atau kecil yang masuk ke dalam tangguk itu, diambil dan dimakan.”
Hal serupa juga terdapat dalam Menuju Kamar Durhaka karya Utuy. Terutama dalam salah satu cerpennya Anjing. Cerita itu ditulis Utuy saat berada di Moskwa, yang menceritakan retaknya hubungan para eksil di Tiongkok akibat perilaku yang mementingkan diri sendiri, bak “anjing”.
Dalam cerpen itu, kehidupan para eksil Indonesia di perkampungan di Tiongkok terbagi atas dua golongan. Utuy dan kawan-kawannya adalah golongan yang oleh pihak lainnya disebut “penentang”. Sedangkan golongan lainnya disebut “pemerintah”. Disebut golongan “penentang” karena mereka mengatur kehidupannya sendiri. Sementara, mereka yang disebut “pemerintah” karena mereka diberi wewenang untuk melaksanakan segala peraturan dari pihak kawan di Tiongkok untuk mengurus kehidupan semua eksil di situ. “Anjing-anjing” itu secara statistik termasuk golongan “penentang”. Gara-gara banyak anjing, pihak pemerintah berusaha untuk mengeluarkannya dari perkampungan.
Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian, terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran. Semuanya mereka tumpahkan.
Dengan meminjam istilah Martin Heidegger, Lichtung, yang berarti “cahaya” dan “pembukaan” (wilayah), diskursus sastra eksil akan mengingatkan kita bahwa identitas selalu didukung oleh keberadaan yang lainnya. Dalam konteks ini, sastra eksil. Sejalan dengan pandangan Asahan Alham bahwa sastra eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan mempermalu diri sendiri.
Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai “sastra minor” (a minor literature). Terutama untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus.
*) Peminat masalah sastra eksil.
http://www2.kompas.com/
SELAMA rezim Orde Baru berkuasa, ada larangan terhadap sejumlah karya sastrawan yang dituduh terlibat dalam G 30 S/PKI, sehingga karya-karya mereka tak terjamah oleh publik pembaca sastra Indonesia, termasuk sastra eksil.
Namun, belakangan ini perbincangan mengenai sastra eksil kian mengemuka yang diiringi dengan penerbitan sejumlah karya-karya mereka. Sebut saja Kisah Intel dan Sebuah Warung karya Sobron Aidit, adik kandung DN Aidit, Perang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya Asahan Alham, Sobron Aidit, dan kawan-kawan.
Eksil adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tingkat tekanan politik pemerintah. Mereka menjadi eksil berawal saat peristiwa G 30 S/PKI yang terjadi pada tahun 1965, ketika itu mereka sedang berada di luar negeri dengan pelbagai tujuan. Mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi internasional, delegasi suatu perayaan, sampai berobat.
Semula mereka merasa yakin suatu saat akan pulang kembali ke Tanah Air, dengan asumsi pemerintahan Orde Baru tidak bisa berjalan lama. Namun, kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya, pemerintahan Orde Baru mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu yang panjang.
Proses penantian panjang dan sangat melelahkan itu, sampai usia mereka pun berangsur-angsur tua. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah meninggal dunia sebelum pemerintahan Orde Baru tumbang. Pada akhirnya, mereka memutuskan dan mempersiapkan diri untuk tidak akan bisa pulang ke Tanah Air. Kebanyakan dari mereka kini bersandar di Eropa.
Tanah Air
Problem Tanah Air dalam sastra eksil memang sangat dominan. Dalam karya-karya mereka mempunyai ideal tersendiri tentang Tanah Air. Misalnya kerinduan mereka tentang kampung halaman, orang-orang tercinta, hingga kritik atas kondisi Tanah Air saat ini.
Tentang Tanah Air, Goenawan Mohamad pernah menuliskannya dengan menarik. Tanah air adalah sebuah proyek yang ditempuh bersama-sama. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus. Bagi Goenawan, Tanah Air adalah sebuah ruang masa kini kita arungi karena ada harapan untuk kita semua kelak. Tanah Air adalah sebuah engagement. Kenangan, pengalaman, engagement: kata-kata itu semua menunjukkan bahwa ketika kita berpikir tentang Indonesia, kita tak hanya mengetahui dan menyimpulkan, tapi berdiri, dengan kegembiraan dan kesedihan, dengan waswas, dan berharap (Goenawan Mohamad, Tempo, 28/5/2000).
Pernyataan Goenawan itu sebetulnya juga dapat dilihat dalam karya-karya sastra eksil. Seperti diungkapkan Sobron Aidit dalam Kisah Intel dan Sebuah Warung. Menurutnya, kalau di Jakarta, misalnya, rasa takut, khawatir, dan waswas selalu saja menghantui. Ini sangat menyedihkan. Mungkin terlalu banyak mendengar dan membaca koran atau mendengarkan berita radio-televisi yang selalu memberitakan kejahatan, perampokan, penjambretan, dan sebagainya. Pada kenyataannya memang ada bayangan yang selalu mengikuti. Sejarah gelap bagi keluarga, dan orang-orang sepertinya, yang sangat menyedihkan. Tidak semua orang dan tidak semua keluarga, serta teman yang dulu dekat, mau dan bersedia menerimanya. Karena itu, bisa dipahami, eksil Indonesia sangat haus bergaul dan bertemu dengan orang Indonesia. Bila bertemu orang Indonesia atau bertemu muka, ngobrol, cerita-cerita, bukan main senangnya.
Sementara itu, dalam memoar Di Bawah Langit tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani sedikit sekali menyinggung kerinduannya pada Tanah Air, kepada istri, dan anak-anaknya. Berita-berita dari radio dari Tanah Air yang kian lama kian santer menceritakan pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan progresif, sengaja dihindarinya. Termasuk mendengarkan musik-musik Indonesia. Di Bawah Langit tak Berbintang merupakan bentuk kekecewaan Utuy melihat realitas komunitas eksil Indonesia di Cina.
Kepedihan tak terperi memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Baik Utuy, Sobron, maupun Alham, dan lainnya. Sekalipun berada di pengasingan, ingatan kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang Tanah Air. Sebagai tempat lahirnya kenangan gembira dan sedih, pengalaman pahit dan manis, serta keterlibatan bersama dalam membentuk sebuah Tanah Air. Nun jauh di sana, Tanah Air, tak lebih hanya sebagai “komunitas terbayangkan”-meminjam istilah Benedict Anderson yang tersohor. Mereka membayangkan diri, seolah- olah berada di Indonesia. Atau paling tidak mereka dilahirkan dan pernah berpijak di Indonesia.
Seperti halnya bangsa, Tanah Air, tampaknya juga bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Benedict Anderson, 1999: 7).
Oleh karena itu, seperti ditegaskan Martin Tucker (ed), dalam Literary Exil in the Twentieth Century: An Analysis and Biographical Dictionary, eksil Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri, dibandingkan dengan eksil dunia lainnya. Berbeda dengan pengungsi yang menganggap status pengasingan diri mereka sementara dan karenanya ikatan yang tercipta dengan tanah baru tempat mereka mengasingkan diri hanya sedikit, eksil menganggap tanah pengasingan adalah rumah baru mereka sehingga ada ikatan yang lebih kuat antara pribadi eksil dengan tanah pengasingannya ini. Dengan demikian, komunitas-komunitas eksil semacam ini, menjadikan tanah pengasingan mereka yang baru sebagai rumah dan menciptakan kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Dari sinilah kita mengenal apa yang disebut kebudayaan diaspora (Alex Supartono, 2001:158).
Namun, dalam karya sastrawan eksil tidak mengalami diaspora. Sekalipun dari mereka menguasai bahasa asing, tetapi mereka tetap menulis karya-karyanya dalam bahasa Indonesia. Itu pula yang membuat sastra eksil memiliki kekhasan.
“Subaltern”
Meminjam istilah diskursus pascakolonialisme, eksil Indonesia lebih mirip sebagai komunitas subaltern, subyek yang dibungkam dan tertekan. Secara lebih umum, mereka yang berada di tingkat “inferior”.
Seperti dituturkan Asahan Alham dalam Perang dan Kembang terutama pascatragedi tahun 1965 di Indonesia yang mengakibatkan manusia tidak berdosa turut menjadi korban. Terutama yang menimpa keluarga Salam, tokoh utama dalam novel tersebut. “Semua orang bisa dituduh komunis asal yang menuduh punya senjata, punya kekuasaan. Kalau sudah dicap komunis, boleh dibunuh, seperti tikus dan ayam. Atau boleh ditangkap, seperti menangguk ikan, besar atau kecil yang masuk ke dalam tangguk itu, diambil dan dimakan.”
Hal serupa juga terdapat dalam Menuju Kamar Durhaka karya Utuy. Terutama dalam salah satu cerpennya Anjing. Cerita itu ditulis Utuy saat berada di Moskwa, yang menceritakan retaknya hubungan para eksil di Tiongkok akibat perilaku yang mementingkan diri sendiri, bak “anjing”.
Dalam cerpen itu, kehidupan para eksil Indonesia di perkampungan di Tiongkok terbagi atas dua golongan. Utuy dan kawan-kawannya adalah golongan yang oleh pihak lainnya disebut “penentang”. Sedangkan golongan lainnya disebut “pemerintah”. Disebut golongan “penentang” karena mereka mengatur kehidupannya sendiri. Sementara, mereka yang disebut “pemerintah” karena mereka diberi wewenang untuk melaksanakan segala peraturan dari pihak kawan di Tiongkok untuk mengurus kehidupan semua eksil di situ. “Anjing-anjing” itu secara statistik termasuk golongan “penentang”. Gara-gara banyak anjing, pihak pemerintah berusaha untuk mengeluarkannya dari perkampungan.
Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian, terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran. Semuanya mereka tumpahkan.
Dengan meminjam istilah Martin Heidegger, Lichtung, yang berarti “cahaya” dan “pembukaan” (wilayah), diskursus sastra eksil akan mengingatkan kita bahwa identitas selalu didukung oleh keberadaan yang lainnya. Dalam konteks ini, sastra eksil. Sejalan dengan pandangan Asahan Alham bahwa sastra eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan mempermalu diri sendiri.
Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai “sastra minor” (a minor literature). Terutama untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus.
*) Peminat masalah sastra eksil.
KEMBANG KERTAS
Judul : Kembang Kertas
Penulis : Kurniasih
Penerbit: Jalasutra, cet 1 2005
Tebal : 200 hal
ISBN : 979-3684-37-2
Peresensi: Hernadi Tanzil
http://www.ruangbaca.com/
Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan sesuatu (hal 13), demikian komentar Bambang Sugiharto, filsuf dan pengamat sastra “jebolan” Unpar (Universitas Parahyangan) Bandung dalam menutup kata pengantarnya di buku ini. Kurniasih, penulis muda kelahiran Bandung ini, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Sastra Inggris IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kini ia aktif di FSK (Forum Studi Kebudayaaan) ITB, sebuah forum yang bergiat dalam pengkajian berbagai permasalahan budaya kontemporer. Di FSK inilah ia sering mendiskusikan dan menuliskan kajiannya tentang sastra. Kegiatan hariannya saat ini adalah menjadi editor buku fiksi dan nonfiksi di penerbit Jalasutra, Aktifitasnya yang dekat dengan dunia baca-tulis inilah yang mendorongnya untuk menulis fiksi yang antara lain tertuang dalam buku kumpulan cerpen ini.
Kembang Kertas adalah kumpulan cerpen pertamanya yang ditulis dan dikumpulkannya sejak 2003 hingga 2004. Cerpen-cerpennya ini menurut pengakuan penulisnya berangkat dari kebingungan-kebingungannya yang kompleks dan tak berujung. (hal 46). Mungkin inilah yang menjadikan cerpen-cerpennya dalam buku ini menggunakan gaya bahasa yang melambung-lambung, puitis dan metaforik. Buku ini memuat 13 cerpen, pada cerpen-cerpen awal seperti TabikLoreda, Kembang Kertas, Musafir, Anak Kesunyian, Sang Pelaut, pembaca akan dibawa pada kisah-kisah surealistik dengan metafor-metafor indah yang akan membawa pembacanya menukik kedalam imaji-imaji bawah sadarnya. Beberapa cerpen menggunakan imaji-imaji sadistik dan berdarah-darah, hal ini antara lain tampak dalam cerpen Musafir yang tertulis : Menjelang malam kapalku berlabuh di pantai yang digenangi air laut berwarna darah. Lidah-lidah para penduduk terapung-apung seperti anak ikan yang telah mati. (hal73). Dalam cerpen-cerpen awalnya pembaca melalui metafor-metafornya akan dibawa pada tema-tema penting dan filosofis seperti kekerasan patriaki (Kembang Kertas), hubungan anak dengan ibunya (Musafir), gugatan terhadap lembaga negara (Anak Kesunyian), dan sebagainya
Namun tak semua cerpen dalam buku ini berkisah dalam kepekatan alam surealistik, beberapa cerpen seperti MataMati, Cecilia, dan Mouli ditulis dengan pelukisan yang lebih realis dan sederhana yang memotret suasana-suasana batin para tokoh-tokohnya. Tema-tema ceritapun berangkat dari keseharian seperti rasa kehilangan kekasih, kerinduan terhadap sosok idola yang tak tergapai(MataMati) hingga soal kekasih gelap(Sesaat Saja).
Penjelajahan imaji dan penggunaan metafor-metafor dalam buku ini setidaknya akan mengingatkan pembaca pada karya-karya awal Danarto dan Nukila Amal. Tak dapat dipungkiri dalam beberapa cerpen di buku ini pengaruh dan jejak-jejak Nukila Amal pun tak terhindarkan.
Bagi beberapa pembaca, seperti diakui Kurniasih dalam kata pengantarnya, mungkin akan menemui kesulitan dalam memahami apa makna dari cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini. Memang pengisahan dalam gaya surealistik yang kaya akan imaji membuat kalimat-kalimat dalam sebuah kisah menjadi terasa indah oleh metafor-metafornya. Namun kadang hal ini dapat mengakibatkan sebuah cerita menjadi absurd dan sulit untuk dipahami. Beberapa cerpen dalam buku ini mungkin berpotensi menjadi demikian, namun hal ini juga membuat cerpen-cerpen dalam buku ini menjadi lebih bebas untuk ditafsirkan secara luas oleh masing-masing pembacanya.
Buku ini juga diperkaya oleh 3 buah kata pengantar yang ditulis oleh filsuf Bambang Sugiharto, pemerhati masalah Feminisme Aquarini Priyatna P, dan Himawijaya, editor pada kumpulan cerpen ini. Masing-masing menulis dari sudut pandangnya masing-masing, Bambang Sugiharto mengamati cerpen-cerpen Kurniasih dari sudut permainan Imaji dan Simbolisme, Aguarini memberikan pengertian baru mengenai Abjek dan Perempuan yang terdapat dalam buku ini, sementara Himawijaya meninjau buku ini dari sudut pandangnya yang sarat dengan muatan filsafat.
Akhirnya buku ini memang sangat layak untuk diapresiasi, keseluruhan cerpen-cerpennya menjanjikan ‘sesuatu’ dalam khazanah sastra kita. Tak berlebihan jika Bambang Sugiharto mengatakan bahwa Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan. Kini dunia sastra tanah air tinggal menunggu apakah bibit baru ini akan tumbuh menjadi salah satu penulis yang namanya akan diperhitungkan dalam khazanah sastra nasional? Kita tunggu apresiasi para pengamat sastra terhadap kehadiran karya ini. Asal saja Kurniasih tetap konsisten dalam berkarya sesuai dengan jalur yang kini tengah ditekuninya. Bukan tak mungkin jika bibit baru itu memang sedang bertumbuh.
Penulis : Kurniasih
Penerbit: Jalasutra, cet 1 2005
Tebal : 200 hal
ISBN : 979-3684-37-2
Peresensi: Hernadi Tanzil
http://www.ruangbaca.com/
Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan sesuatu (hal 13), demikian komentar Bambang Sugiharto, filsuf dan pengamat sastra “jebolan” Unpar (Universitas Parahyangan) Bandung dalam menutup kata pengantarnya di buku ini. Kurniasih, penulis muda kelahiran Bandung ini, tercatat sebagai mahasiswa tingkat akhir di Sastra Inggris IAIN Sunan Gunung Djati Bandung. Kini ia aktif di FSK (Forum Studi Kebudayaaan) ITB, sebuah forum yang bergiat dalam pengkajian berbagai permasalahan budaya kontemporer. Di FSK inilah ia sering mendiskusikan dan menuliskan kajiannya tentang sastra. Kegiatan hariannya saat ini adalah menjadi editor buku fiksi dan nonfiksi di penerbit Jalasutra, Aktifitasnya yang dekat dengan dunia baca-tulis inilah yang mendorongnya untuk menulis fiksi yang antara lain tertuang dalam buku kumpulan cerpen ini.
Kembang Kertas adalah kumpulan cerpen pertamanya yang ditulis dan dikumpulkannya sejak 2003 hingga 2004. Cerpen-cerpennya ini menurut pengakuan penulisnya berangkat dari kebingungan-kebingungannya yang kompleks dan tak berujung. (hal 46). Mungkin inilah yang menjadikan cerpen-cerpennya dalam buku ini menggunakan gaya bahasa yang melambung-lambung, puitis dan metaforik. Buku ini memuat 13 cerpen, pada cerpen-cerpen awal seperti TabikLoreda, Kembang Kertas, Musafir, Anak Kesunyian, Sang Pelaut, pembaca akan dibawa pada kisah-kisah surealistik dengan metafor-metafor indah yang akan membawa pembacanya menukik kedalam imaji-imaji bawah sadarnya. Beberapa cerpen menggunakan imaji-imaji sadistik dan berdarah-darah, hal ini antara lain tampak dalam cerpen Musafir yang tertulis : Menjelang malam kapalku berlabuh di pantai yang digenangi air laut berwarna darah. Lidah-lidah para penduduk terapung-apung seperti anak ikan yang telah mati. (hal73). Dalam cerpen-cerpen awalnya pembaca melalui metafor-metafornya akan dibawa pada tema-tema penting dan filosofis seperti kekerasan patriaki (Kembang Kertas), hubungan anak dengan ibunya (Musafir), gugatan terhadap lembaga negara (Anak Kesunyian), dan sebagainya
Namun tak semua cerpen dalam buku ini berkisah dalam kepekatan alam surealistik, beberapa cerpen seperti MataMati, Cecilia, dan Mouli ditulis dengan pelukisan yang lebih realis dan sederhana yang memotret suasana-suasana batin para tokoh-tokohnya. Tema-tema ceritapun berangkat dari keseharian seperti rasa kehilangan kekasih, kerinduan terhadap sosok idola yang tak tergapai(MataMati) hingga soal kekasih gelap(Sesaat Saja).
Penjelajahan imaji dan penggunaan metafor-metafor dalam buku ini setidaknya akan mengingatkan pembaca pada karya-karya awal Danarto dan Nukila Amal. Tak dapat dipungkiri dalam beberapa cerpen di buku ini pengaruh dan jejak-jejak Nukila Amal pun tak terhindarkan.
Bagi beberapa pembaca, seperti diakui Kurniasih dalam kata pengantarnya, mungkin akan menemui kesulitan dalam memahami apa makna dari cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku ini. Memang pengisahan dalam gaya surealistik yang kaya akan imaji membuat kalimat-kalimat dalam sebuah kisah menjadi terasa indah oleh metafor-metafornya. Namun kadang hal ini dapat mengakibatkan sebuah cerita menjadi absurd dan sulit untuk dipahami. Beberapa cerpen dalam buku ini mungkin berpotensi menjadi demikian, namun hal ini juga membuat cerpen-cerpen dalam buku ini menjadi lebih bebas untuk ditafsirkan secara luas oleh masing-masing pembacanya.
Buku ini juga diperkaya oleh 3 buah kata pengantar yang ditulis oleh filsuf Bambang Sugiharto, pemerhati masalah Feminisme Aquarini Priyatna P, dan Himawijaya, editor pada kumpulan cerpen ini. Masing-masing menulis dari sudut pandangnya masing-masing, Bambang Sugiharto mengamati cerpen-cerpen Kurniasih dari sudut permainan Imaji dan Simbolisme, Aguarini memberikan pengertian baru mengenai Abjek dan Perempuan yang terdapat dalam buku ini, sementara Himawijaya meninjau buku ini dari sudut pandangnya yang sarat dengan muatan filsafat.
Akhirnya buku ini memang sangat layak untuk diapresiasi, keseluruhan cerpen-cerpennya menjanjikan ‘sesuatu’ dalam khazanah sastra kita. Tak berlebihan jika Bambang Sugiharto mengatakan bahwa Kurniasih adalah bibit baru yang menjanjikan. Kini dunia sastra tanah air tinggal menunggu apakah bibit baru ini akan tumbuh menjadi salah satu penulis yang namanya akan diperhitungkan dalam khazanah sastra nasional? Kita tunggu apresiasi para pengamat sastra terhadap kehadiran karya ini. Asal saja Kurniasih tetap konsisten dalam berkarya sesuai dengan jalur yang kini tengah ditekuninya. Bukan tak mungkin jika bibit baru itu memang sedang bertumbuh.
Sastra, Ideologi, dan Dunia Nilai
Mohamad Sobary
http://kompas-cetak/
Sastra menyodorkan ke hadapan kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaannya. Di dalamnya tercakup kompleksitas ideologi, dunia nilai, norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebudayaannya.
Di dalam sastra, seperti halnya di dalam kajian tentang kebudayaan, manusia disorot sebagai makhluk sosial, makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk kebudayaan. Tak mengherankan sastra disebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa, dalam suatu konteks sejarah tertentu.
Manusia individual, atau sang tokoh dalam sastra tersebut, hanya cuilan kecil dan bagian dari sastra yang besar dan luas: bagian dari sastra yang mewakili potret zaman dan cerminan masyarakat tadi. Tapi, sekecil apa pun peran sosialnya, manusia adalah aktor. Dia aktor penentu dalam hidupnya sendiri, dan dalam dunianya.
Maka, ketika di zaman bergolak sastra dianalisis dalam kaitannya dengan—misalnya—semangat nasionalisme, sebagaimana analisis Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia, 1933-1942, Keith Foulcher memperlihatkan bahwa dalam gagasan Takdir (Sutan Takdir Alisjahbana) seniman memiliki peranan sebagai pemimpin dan penunjuk jalan dalam proses perubahan sosial. Pendirian ini menimbulkan perdebatan dan penentangan dari banyak kalangan, terutama, saya kira, dari Goenawan Mohamad, seperti dapat dibaca kembali dalam Sang Pujangga, buku yang diterbitkan untuk memperingati 70 tahun Polemik Kebudayaan dan menyongsong 100 tahun Takdir Alisjahbana.
Bagi Goenawan, perubahan tidak datang dari sastra dan seni, melainkan dari politik. Ia menolak gagasan Takdir bahwa sastra bisa menjadi penggerak masyarakat. Hal ini dianggapnya sebagai terlalu banyak berharap terhadap sastra dan seni. Goenawan beranggapan bahwa Takdir membesar-besarkan peranan seniman.
Dalam buku itu juga Sutardji Calzoum Bachri menganggap seni terlalu lemah, dan sastra baginya cukup berhenti pada kata. Sastrawan ialah manusia “kata”, bukan manusia “tindakan”. Manusia “kata”, baginya, tak sama dengan manusia “tindakan”. Ia tak ingin seperti Takdir yang menempatkan seni di luar proporsinya, menuntut di luar kodratnya.
Emha Ainun Nadjib, dalam buku yang sama, lain lagi cara memandangnya. Takdir dan Goenawan dianggap orang-orang yang tertutup dari dialog sehat karena tak mau memahami kebenaran lain di luar diri mereka. Takdir bicara tentang sastra yang memiliki tanggung jawab besar, sementara Goenawan lebih membatasi sistem forma keseniannya dalam sistem nilai dan disiplin seni itu sendiri, sedangkan tanggung jawab sosial dianggap merupakan bagian dari perjuangan di luar dunia seni. Kedua tokoh ini dianggapnya hidup dalam blok-blok pemikiran dan mazhab—bila tidak kiri, ya kanan, bila bukan Barat, ya Timur—sehingga kemandirian mereka dalam berkesusastraan layak dipertanyakan. Bagi Emha, yang tampak ialah komitmen kemanusiaan para seniman dewasa ini umumnya lebih menyempit pada dirinya belaka. Kita butuh sastra yang bukan Marxis, dan bukan kapitalis, melainkan sastra Indonesia yang merdeka dari dominasi siapa pun, termasuk dari dominasi panglima di bidang politik maupun kebudayaan sendiri.
Saya kira, sastra bukanlah sekadar dunia simbol yang penghuninya semuanya hanya kata-kata, tapi juga bukan dunia pergerakan, yang penuh dengan segenap tindakan seperti dalam kerusuhan, dalam revolusi yang bergejolak, atau dalam suatu perhelatan. Sastra itu cermin hidup manusia, dan dunianya, dan di sana manusia berkata-kata, dan kata-katanya juga meninggalkan jejak, kata-kata—selemah dan sehalus apa pun—bisa memengaruhi dan memberi inspirasi bagi tumbuhnya suatu ideologi sosial. Dan sastra dengan begitu minimal secara tak langsung bisa memberi manusia gagasan membikin dunianya lebih baik.
Lebih tegas saya kira sastra membawa muatan, dan menawarkan pada kita, suatu corak ideologi, atau faham, misalnya faham kebangsaan, yang perlahan tumbuh dalam kesadaran kita setelah sebuah karya sastra bisa betul-betul dibaca banyak kalangan dan memberi mereka inspirasi. Apa pun maknanya, faham kebangsaan itu kita tangkap, merasuk di dalam diri, dan melekat menjadi bagian hidup kita. Ia menjadi “api” yang menyala, terutama, di zaman bergolak.
Gagasan-gagasan simbolik Takdir dalam Layar Terkembang maupun dalam Kalah dan Menang, dan pemikiran para penentangnya, saya kira jelas sudah menjadi warisan kebudayaan yang memperkaya hidup kita, dan kita bersyukur bahwa perdebatan itu pernah ada.
Kita diberi tahu oleh perdebatan itu bahwa kita tak bisa bersikap apriori menolak, bahwa di masyarakat Minangkabau, misalnya, terjadi perubahan kebudayaan—terutama dalam kaitan kawin paksa—beberapa lama setelah roman Siti Nurbaya lahir. Kira-kira, roman itu lalu menjadi sejenis counter culture, yang mengejek pada tiap saat orangtua hendak memaksakan anaknya untuk kawin dengan orang yang dikehendakinya, dengan argumen: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.
Perubahan di dalam jiwa masyarakat lembut, dan tak terlihat, dan karena itu tak seorang ahli kebudayaan pun yang bisa menyusun hukum-hukum kebudayaan untuk memaksakan ini dan itu, atau menolak ini dan itu yang bisa saja terjadi di dalam suatu masyarakat. Dunia agama yang dianggap kolot, dan statis, sebenarnya bergerak, dan berubah, akibat pengaruh kata-kata, dan juga perbuatan manusia.
Di zaman bergolak, ketika faham kebangsaan yang baru pelan-pelan meresapi jiwa warga masyarakat kita, yang berjuang menentang penjajah—kaum kolonialis dan imperialis—jiwa kita bangkit, menyala, dan berkobarlah “api” kesadaran berbangsa yang menyulut ke mana-mana.
Dalam kaitan ini kita semua tahu bahwa—misalnya puisi-puisi Chairil Anwar—turut menyediakan tungku pembakar semangat kebangsaan kita, semangat mandiri, otonom dan merdeka, sekaligus menumbuhkan sebuah pengertian dan kesadaran baru akan betapa tidak manusiawi, dan tidak adilnya kekuatan penjajah yang merampas hak asasi segala bangsa, dan karena itu kita sadar pula bahwa penjajahan, dalam bentuk apa pun, harus dihapuskan dari muka bumi, hingga bersih ke akar-akarnya.
Semangat kebangsaan ini menyala di dalam jiwa setiap pemuda progresif revolusioner—dan di zaman bergolak semua pemuda dan juga pemudi pada dasarnya progresif revolusioner—hingga tumbuhlah rasa harga diri kita, dan pelan-pelan kita kemudian membangun sebuah identitas bangsa. Apa identitas kita saat itu?
“Bahwa kita bangsa cinta damai, tetapi bagaimanapun, kita lebih cinta kemerdekaan”. Maka, kita pun melanjutkan perlawanan terhadap kekuatan kaum kolonialis, dan imperialis, bukan untuk perlawanan itu sendiri, melainkan untuk bisa mewujudkan makna damai tadi. Dan karena itulah, selain terbentuk identitas diri, saat itu terbentuk pula aspirasi yang menjadi corak kontribusi kita pada tata kehidupan dunia yang merdeka, adil dan makmur. Apa kontribusi kita?
“Turut serta menciptakan ketertiban dunia. Kita sadar, kita hadir di muka bumi bukan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk dunia seluruhnya, yang rindu akan rasa damai, rindu kemerdekaan, rindu akan keadilan, dan sekaligus, dengan sendirinya, antipenjajahan, sebagai the root of all evils.”
Di tahun vivere perikoloso, tahun 1966 yang juga bergolak, kita mencatat Tirani dan Benteng karya penyair Taufiq Ismail, yang turut membakar semangat perlawanan pada ketidakadilan. Juga puisi-puisi Rendra yang sangat beken di tahun 1970-an, yang hadir di berbagai kampus di Tanah Air, dan memberi kekuatan kesadaran lebih kental di kalangan mahasiswa yang bergolak menentang kezaliman penguasa.
Saya menganggap, inilah tampaknya, tugas para pemimpin bangsa di zaman bergolak. Ini tugas yang dinyalakan tungkunya oleh—antara lain—dunia sastra, dan para sastrawannya. Tapi warna zaman memang selalu turut menentukan tugas dan corak kepemimpinan.
Di zaman bergolak, kepemimpinan tak sama dengan apa yang tampil di zaman “tenteram”, di zaman yang oleh para pemimpinnya dipahami bahwa hidup hanyalah tinggal perkara bagaimana menjalaninya, hidup hanya tinggal urusan teknis karena hal-hal penting dan mendasar lainnya sudah selesai tertata.
“Apa tugas para pemimpin di zaman ’tenteram’, zaman pembangunan, yang tinggal menyedot segenap tambang, dan aneka kekayaan alam kita?”
Jawabnya, saya kira, mengejutkan kita semua: kita malah mengundang penjajah. Penjajahan ekonomi kita lestarikan dengan Pelita demi Pelita di zaman Orde Baru, yang buku Repelita-nya disusun atas sumbangan dan legalisasi dunia kampus dan segenap kaum intelektual di seluruh pelosok negeri. Modal asing, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, perdagangan luar negeri, dan sekarang aturan perdagangan bebas yang tak adil, semua kita terima dengan syukur dan takjub, seolah itu semua kiriman langsung dari tangan Tuhan sendiri.
Penjajahan kebudayaan pun kita lestarikan dengan kekaguman tanpa rasa malu kepada Amerika, yang di zaman bergolak hendak kita setrika, dan juga pada bangsa Inggris, yang hendak kita linggis. Juga pada bangsa Nipon, wong kate yang kuning “kulite”, yang mampir ke sini dengan nyaru sebagai “saudara tua”, yang dengan semangat “Tiga A”-nya yang chauvinistic, pongah dan menjengkelkan, menganggap dirinya pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia.
Tiga setengah tahun dalam jajahan bangsa Nipon merupakan tahun-tahun traumatik, dan mengenaskan, yang terornya belum juga kita lupakan. Di tahun-tahun ini kaum perempuan, yang diperlakukan sebagai barang dagangan yang sangat dilecehkan, memiliki catatan kegetiran zaman tersendiri.
Tapi, sebagai si lemah yang bodoh dan diperbodoh, kita pun menghadap ke Jepang dengan wajah menunduk. Dan sampai saat ini kita masih tetap bodoh dan diperbodoh karena tiap saat kita menanti kiriman mobil, benda-benda elektrik, dan semua corak teknologi yang keluar dari industri mereka.
Dulu kita dibikin menjadi kuli, tapi kita pernah bergolak melawan. Dan kini, ketika diperbudak secara kebudayaan, kita “liyep-liyep”, seperti bangsa terbius, yang hilang kesadaran kebangsaannya, hilang rasa harga dirinya. Saya kira, kita memang terbius oleh pesona industri dan teknologi mereka.
Kita menjadi bangsa yang kagum, dan menyesali diri tertinggal ilmu dan teknologi, lalu kita bukan belajar mandiri, melainkan memperbudak diri di mata mereka.
“Di mana, hari ini, rasa kebangsaan kita? Di mana harga diri kita, yang dulu ditanam dengan penuh kebanggaan oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, dan kawan-kawan, yang menjadi pemimpin yang memimpin, dan menjadi tokoh yang mengerti arti harga diri bangsa, dan karena itu bergerak membangun harga diri dengan proyek nation building and character building? Di mana itu semua kini bekasnya?”
Sastra membakar kita punya jiwa, dan semangat besar membangun bangsa. Tapi, mengapa kita tak lagi membaca sastra? Mengapa di sekolah, guru-guru berhenti mengajar sastra? Mengapa sastra—yang pada sekitar 60 tahun lalu menjadi kekuatan mahadahsyat yang ikut menyumbangkan gairah perjuangan bangsa—kini kita anggap sebagai “kusta”, yang dijauhi dan dijauhkan dari kita, dan anak-anak, yang butuh dibakar jiwanya agar tahu siapa dirinya, dan siapa bangsanya?
Mengapa kita dijauhkan dari puisi, yang membakar jiwa tapi juga memperhalus budi pekerti? Siapa yang mengajari kita jauh dari puisi? Pemimpin yang hanya mengerti mesin, dan besi-besi, dan karena itu menjadi pemimpin dungu tapi bertangan besi? Kita dijauhkan dari dunia sastra, termasuk puisi, oleh mereka yang mengagung-agungkan peranan teknologi, dan tak mengerti puisi dan karena itu tak punya kehalusan budi?
“Kembalikan Indonesia Kepadaku” jerit penyair Taufiq Ismail, seorang Muslim yang saleh, dan warga negara Hutan Kayu yang nasionalis, yang dalam kesadarannya, dulu bangsanya punya harga diri, otonom dan merdeka di mata semua bangsa. Tapi, ketika semua pemimpin, pertama pemimpin agama, hanya mengerti sabda suci, tapi tak mengerti cara menerapkannya di bumi, dan para pemimpin politik, dan ekonomi hanya mengerti angka-angka, bermain angka, mengotak-atik angka, untuk memperbesar korupsi mereka, dan membuat negeri kita menjadi hampir seburuk wajah neraka, maka menangislah penyair kita itu, dan menjerit dengan penolakan: “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”.
Kita tak peduli apakah penyair Taufiq Ismail menulis hanya karena merasa harus menulis atau ia menulis dengan kesadaran politik yang menyala dan membakarnya, dan karena itu ia bermaksud membikin kita bangkit dan menyadari ketertiduran kita yang panjang bagaikan kisah para “ashabul kahfi” dalam kitab suci, tapi kita tahu satu hal: puisi, juga puisi Taufiq Ismail, memiliki kekuatan menggugah. Dan itu sudah cukup untuk peran puisi.
Selebihnya, itu menjadi urusan pemimpin politik, pemimpin ekonomi, tentara, dan polisi, yang harus bertindak membikin hidup lebih baik. Sastra, juga puisi, menghibur, membuka wawasan, memperluas pandangan dunia, memberi kita gagasan-gagasan besar, kiblat ideologi, dan memperkaya khazanah nilai-nilai bagi hidup dan dunia yang kita huni.
Puisi membikin lembut cita rasa hidup kita. Puisi menawarkan pilihan dan membuka peluang memperbesar watak humanis kita, dan menghargai manusia dengan harga kemanusiaannya. Saya kira puisi membantu usaha manusia menjadi manusia.
Tapi mengapa puisi dijauhkan dari hidup kita, seolah puisi penyakit menular dalam sekali sentuh seperti “kusta”? Siapa yang menjauhkan kita dari puisi? Mengapa Menteri Pendidikan membiarkan pendidikan buruk ini berlangsung di depan kita, dan tak ada yang berteriak mengenai perlunya pendidikan kesusastraan yang memadai agar anak-anak mengerti puisi?
Mengapa penerbit-penerbit tak mau menyumbang bangsanya dengan menerbitkan buku-buku puisi gratis, atau menjualnya dengan harga murah, supaya warga negara menjadi lebih pintar, lebih sensitif, lebih manusiawi? Mengapa para bankir kikirnya luar biasa terhadap warga negara baik-baik, tapi luar biasa pemurah hatinya kepada pembobol bank dan para penipu yang bisa bikin mereka bangkrut?
Sastra, juga puisi, memang bukan panglima, dan tak usah menjadi panglima agar kita hidup demokratis dan menghargai kesetaraan. Tapi di tengah keserakahan dunia usaha kita, selalu kita dapati ketidakadilan yang melukai konstitusi dan harapan warga seluruh negeri.
Dunia sastra menyindir keserakahan kita, misalnya dalam cerpen Leo Tolstoy, Berapa Luas Tanah yang Diperlukan Seseorang, yang menggambarkan keserakahan Pakhom, yang berakhir tragis. Pakhom petani yang didera ambisi memiliki seluas mungkin tanah. Dan ia tak pernah merasa cukup. Dalam usahanya memperoleh tanah, yang nyaris didapatkannya, ia mati. Dan kita tahu, yang dibutuhkannya hanyalah seluas kuburnya.
Kata Tolstoy, “Hanya pelayan Pakhom saja yang tetap tinggal di situ. Ia menggali sebuah kuburan dengan panjang yang sama dengan tubuh Pakhom, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki—tiga elo saja. Lalu ia menguburkan jasad tuannya.”
Sastra, di tangan Tolstoy dalam cerpen ini, memandang orang serakah sebagai orang yang hidup dalam kesia-siaan. Kita dibuat merenung, dan kembali merombak apa yang pernah kita anggap sudah “jadi” di dalam bingkai kehidupan moral, ideologi dan tata nilai kita, untuk diperbarui, atau diganti dengan bingkai moral, ideologi dan tata nilai yang lebih relevan, yang lebih menjawab kebutuhan manusia untuk menjadi manusia.
Saya kira, sastra memberi kita pilihan-pilihan bebas, yang kaya, dan bervariasi, untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih manusiawi.
Karya alegoris Rumi, yang lembut, tapi tajam dan kaya nuansa rohani, membuat kita merenung, dan dengan nyaman menelanjangi segenap watak buruk kita. Dan pelan-pelan kata yang keluar dari lubuk hati Rumi pun menghuni dan memperkaya jiwa kita.
Peradaban Islam menjulang hingga ke Kordoba sesudah periode “iqra”—sebuah sabda di goa Hira—yang juga hanya kata-kata. Dunia Minang berubah tajam sesudah gerakan kaum Padri, yang memegang ajaran dalam bentuk kata-kata. Muhammadiyah lahir karena ideologi keagamaan Abduh, yang dibawa ke Kiai Haji Ahmad Dahlan ke Yogyakarta. Nahdlatul Ulama lahir oleh panggilan dunia dari apa yang namanya ajaran, yang sumbernya juga kata-kata. Sastra dan agama menyentuh manusia, dan mengubahnya dari dalam. Dan pelan-pelan manusia mengubah dunianya.
http://kompas-cetak/
Sastra menyodorkan ke hadapan kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaannya. Di dalamnya tercakup kompleksitas ideologi, dunia nilai, norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebudayaannya.
Di dalam sastra, seperti halnya di dalam kajian tentang kebudayaan, manusia disorot sebagai makhluk sosial, makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk kebudayaan. Tak mengherankan sastra disebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa, dalam suatu konteks sejarah tertentu.
Manusia individual, atau sang tokoh dalam sastra tersebut, hanya cuilan kecil dan bagian dari sastra yang besar dan luas: bagian dari sastra yang mewakili potret zaman dan cerminan masyarakat tadi. Tapi, sekecil apa pun peran sosialnya, manusia adalah aktor. Dia aktor penentu dalam hidupnya sendiri, dan dalam dunianya.
Maka, ketika di zaman bergolak sastra dianalisis dalam kaitannya dengan—misalnya—semangat nasionalisme, sebagaimana analisis Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia, 1933-1942, Keith Foulcher memperlihatkan bahwa dalam gagasan Takdir (Sutan Takdir Alisjahbana) seniman memiliki peranan sebagai pemimpin dan penunjuk jalan dalam proses perubahan sosial. Pendirian ini menimbulkan perdebatan dan penentangan dari banyak kalangan, terutama, saya kira, dari Goenawan Mohamad, seperti dapat dibaca kembali dalam Sang Pujangga, buku yang diterbitkan untuk memperingati 70 tahun Polemik Kebudayaan dan menyongsong 100 tahun Takdir Alisjahbana.
Bagi Goenawan, perubahan tidak datang dari sastra dan seni, melainkan dari politik. Ia menolak gagasan Takdir bahwa sastra bisa menjadi penggerak masyarakat. Hal ini dianggapnya sebagai terlalu banyak berharap terhadap sastra dan seni. Goenawan beranggapan bahwa Takdir membesar-besarkan peranan seniman.
Dalam buku itu juga Sutardji Calzoum Bachri menganggap seni terlalu lemah, dan sastra baginya cukup berhenti pada kata. Sastrawan ialah manusia “kata”, bukan manusia “tindakan”. Manusia “kata”, baginya, tak sama dengan manusia “tindakan”. Ia tak ingin seperti Takdir yang menempatkan seni di luar proporsinya, menuntut di luar kodratnya.
Emha Ainun Nadjib, dalam buku yang sama, lain lagi cara memandangnya. Takdir dan Goenawan dianggap orang-orang yang tertutup dari dialog sehat karena tak mau memahami kebenaran lain di luar diri mereka. Takdir bicara tentang sastra yang memiliki tanggung jawab besar, sementara Goenawan lebih membatasi sistem forma keseniannya dalam sistem nilai dan disiplin seni itu sendiri, sedangkan tanggung jawab sosial dianggap merupakan bagian dari perjuangan di luar dunia seni. Kedua tokoh ini dianggapnya hidup dalam blok-blok pemikiran dan mazhab—bila tidak kiri, ya kanan, bila bukan Barat, ya Timur—sehingga kemandirian mereka dalam berkesusastraan layak dipertanyakan. Bagi Emha, yang tampak ialah komitmen kemanusiaan para seniman dewasa ini umumnya lebih menyempit pada dirinya belaka. Kita butuh sastra yang bukan Marxis, dan bukan kapitalis, melainkan sastra Indonesia yang merdeka dari dominasi siapa pun, termasuk dari dominasi panglima di bidang politik maupun kebudayaan sendiri.
Saya kira, sastra bukanlah sekadar dunia simbol yang penghuninya semuanya hanya kata-kata, tapi juga bukan dunia pergerakan, yang penuh dengan segenap tindakan seperti dalam kerusuhan, dalam revolusi yang bergejolak, atau dalam suatu perhelatan. Sastra itu cermin hidup manusia, dan dunianya, dan di sana manusia berkata-kata, dan kata-katanya juga meninggalkan jejak, kata-kata—selemah dan sehalus apa pun—bisa memengaruhi dan memberi inspirasi bagi tumbuhnya suatu ideologi sosial. Dan sastra dengan begitu minimal secara tak langsung bisa memberi manusia gagasan membikin dunianya lebih baik.
Lebih tegas saya kira sastra membawa muatan, dan menawarkan pada kita, suatu corak ideologi, atau faham, misalnya faham kebangsaan, yang perlahan tumbuh dalam kesadaran kita setelah sebuah karya sastra bisa betul-betul dibaca banyak kalangan dan memberi mereka inspirasi. Apa pun maknanya, faham kebangsaan itu kita tangkap, merasuk di dalam diri, dan melekat menjadi bagian hidup kita. Ia menjadi “api” yang menyala, terutama, di zaman bergolak.
Gagasan-gagasan simbolik Takdir dalam Layar Terkembang maupun dalam Kalah dan Menang, dan pemikiran para penentangnya, saya kira jelas sudah menjadi warisan kebudayaan yang memperkaya hidup kita, dan kita bersyukur bahwa perdebatan itu pernah ada.
Kita diberi tahu oleh perdebatan itu bahwa kita tak bisa bersikap apriori menolak, bahwa di masyarakat Minangkabau, misalnya, terjadi perubahan kebudayaan—terutama dalam kaitan kawin paksa—beberapa lama setelah roman Siti Nurbaya lahir. Kira-kira, roman itu lalu menjadi sejenis counter culture, yang mengejek pada tiap saat orangtua hendak memaksakan anaknya untuk kawin dengan orang yang dikehendakinya, dengan argumen: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.
Perubahan di dalam jiwa masyarakat lembut, dan tak terlihat, dan karena itu tak seorang ahli kebudayaan pun yang bisa menyusun hukum-hukum kebudayaan untuk memaksakan ini dan itu, atau menolak ini dan itu yang bisa saja terjadi di dalam suatu masyarakat. Dunia agama yang dianggap kolot, dan statis, sebenarnya bergerak, dan berubah, akibat pengaruh kata-kata, dan juga perbuatan manusia.
Di zaman bergolak, ketika faham kebangsaan yang baru pelan-pelan meresapi jiwa warga masyarakat kita, yang berjuang menentang penjajah—kaum kolonialis dan imperialis—jiwa kita bangkit, menyala, dan berkobarlah “api” kesadaran berbangsa yang menyulut ke mana-mana.
Dalam kaitan ini kita semua tahu bahwa—misalnya puisi-puisi Chairil Anwar—turut menyediakan tungku pembakar semangat kebangsaan kita, semangat mandiri, otonom dan merdeka, sekaligus menumbuhkan sebuah pengertian dan kesadaran baru akan betapa tidak manusiawi, dan tidak adilnya kekuatan penjajah yang merampas hak asasi segala bangsa, dan karena itu kita sadar pula bahwa penjajahan, dalam bentuk apa pun, harus dihapuskan dari muka bumi, hingga bersih ke akar-akarnya.
Semangat kebangsaan ini menyala di dalam jiwa setiap pemuda progresif revolusioner—dan di zaman bergolak semua pemuda dan juga pemudi pada dasarnya progresif revolusioner—hingga tumbuhlah rasa harga diri kita, dan pelan-pelan kita kemudian membangun sebuah identitas bangsa. Apa identitas kita saat itu?
“Bahwa kita bangsa cinta damai, tetapi bagaimanapun, kita lebih cinta kemerdekaan”. Maka, kita pun melanjutkan perlawanan terhadap kekuatan kaum kolonialis, dan imperialis, bukan untuk perlawanan itu sendiri, melainkan untuk bisa mewujudkan makna damai tadi. Dan karena itulah, selain terbentuk identitas diri, saat itu terbentuk pula aspirasi yang menjadi corak kontribusi kita pada tata kehidupan dunia yang merdeka, adil dan makmur. Apa kontribusi kita?
“Turut serta menciptakan ketertiban dunia. Kita sadar, kita hadir di muka bumi bukan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk dunia seluruhnya, yang rindu akan rasa damai, rindu kemerdekaan, rindu akan keadilan, dan sekaligus, dengan sendirinya, antipenjajahan, sebagai the root of all evils.”
Di tahun vivere perikoloso, tahun 1966 yang juga bergolak, kita mencatat Tirani dan Benteng karya penyair Taufiq Ismail, yang turut membakar semangat perlawanan pada ketidakadilan. Juga puisi-puisi Rendra yang sangat beken di tahun 1970-an, yang hadir di berbagai kampus di Tanah Air, dan memberi kekuatan kesadaran lebih kental di kalangan mahasiswa yang bergolak menentang kezaliman penguasa.
Saya menganggap, inilah tampaknya, tugas para pemimpin bangsa di zaman bergolak. Ini tugas yang dinyalakan tungkunya oleh—antara lain—dunia sastra, dan para sastrawannya. Tapi warna zaman memang selalu turut menentukan tugas dan corak kepemimpinan.
Di zaman bergolak, kepemimpinan tak sama dengan apa yang tampil di zaman “tenteram”, di zaman yang oleh para pemimpinnya dipahami bahwa hidup hanyalah tinggal perkara bagaimana menjalaninya, hidup hanya tinggal urusan teknis karena hal-hal penting dan mendasar lainnya sudah selesai tertata.
“Apa tugas para pemimpin di zaman ’tenteram’, zaman pembangunan, yang tinggal menyedot segenap tambang, dan aneka kekayaan alam kita?”
Jawabnya, saya kira, mengejutkan kita semua: kita malah mengundang penjajah. Penjajahan ekonomi kita lestarikan dengan Pelita demi Pelita di zaman Orde Baru, yang buku Repelita-nya disusun atas sumbangan dan legalisasi dunia kampus dan segenap kaum intelektual di seluruh pelosok negeri. Modal asing, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, perdagangan luar negeri, dan sekarang aturan perdagangan bebas yang tak adil, semua kita terima dengan syukur dan takjub, seolah itu semua kiriman langsung dari tangan Tuhan sendiri.
Penjajahan kebudayaan pun kita lestarikan dengan kekaguman tanpa rasa malu kepada Amerika, yang di zaman bergolak hendak kita setrika, dan juga pada bangsa Inggris, yang hendak kita linggis. Juga pada bangsa Nipon, wong kate yang kuning “kulite”, yang mampir ke sini dengan nyaru sebagai “saudara tua”, yang dengan semangat “Tiga A”-nya yang chauvinistic, pongah dan menjengkelkan, menganggap dirinya pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia.
Tiga setengah tahun dalam jajahan bangsa Nipon merupakan tahun-tahun traumatik, dan mengenaskan, yang terornya belum juga kita lupakan. Di tahun-tahun ini kaum perempuan, yang diperlakukan sebagai barang dagangan yang sangat dilecehkan, memiliki catatan kegetiran zaman tersendiri.
Tapi, sebagai si lemah yang bodoh dan diperbodoh, kita pun menghadap ke Jepang dengan wajah menunduk. Dan sampai saat ini kita masih tetap bodoh dan diperbodoh karena tiap saat kita menanti kiriman mobil, benda-benda elektrik, dan semua corak teknologi yang keluar dari industri mereka.
Dulu kita dibikin menjadi kuli, tapi kita pernah bergolak melawan. Dan kini, ketika diperbudak secara kebudayaan, kita “liyep-liyep”, seperti bangsa terbius, yang hilang kesadaran kebangsaannya, hilang rasa harga dirinya. Saya kira, kita memang terbius oleh pesona industri dan teknologi mereka.
Kita menjadi bangsa yang kagum, dan menyesali diri tertinggal ilmu dan teknologi, lalu kita bukan belajar mandiri, melainkan memperbudak diri di mata mereka.
“Di mana, hari ini, rasa kebangsaan kita? Di mana harga diri kita, yang dulu ditanam dengan penuh kebanggaan oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, dan kawan-kawan, yang menjadi pemimpin yang memimpin, dan menjadi tokoh yang mengerti arti harga diri bangsa, dan karena itu bergerak membangun harga diri dengan proyek nation building and character building? Di mana itu semua kini bekasnya?”
Sastra membakar kita punya jiwa, dan semangat besar membangun bangsa. Tapi, mengapa kita tak lagi membaca sastra? Mengapa di sekolah, guru-guru berhenti mengajar sastra? Mengapa sastra—yang pada sekitar 60 tahun lalu menjadi kekuatan mahadahsyat yang ikut menyumbangkan gairah perjuangan bangsa—kini kita anggap sebagai “kusta”, yang dijauhi dan dijauhkan dari kita, dan anak-anak, yang butuh dibakar jiwanya agar tahu siapa dirinya, dan siapa bangsanya?
Mengapa kita dijauhkan dari puisi, yang membakar jiwa tapi juga memperhalus budi pekerti? Siapa yang mengajari kita jauh dari puisi? Pemimpin yang hanya mengerti mesin, dan besi-besi, dan karena itu menjadi pemimpin dungu tapi bertangan besi? Kita dijauhkan dari dunia sastra, termasuk puisi, oleh mereka yang mengagung-agungkan peranan teknologi, dan tak mengerti puisi dan karena itu tak punya kehalusan budi?
“Kembalikan Indonesia Kepadaku” jerit penyair Taufiq Ismail, seorang Muslim yang saleh, dan warga negara Hutan Kayu yang nasionalis, yang dalam kesadarannya, dulu bangsanya punya harga diri, otonom dan merdeka di mata semua bangsa. Tapi, ketika semua pemimpin, pertama pemimpin agama, hanya mengerti sabda suci, tapi tak mengerti cara menerapkannya di bumi, dan para pemimpin politik, dan ekonomi hanya mengerti angka-angka, bermain angka, mengotak-atik angka, untuk memperbesar korupsi mereka, dan membuat negeri kita menjadi hampir seburuk wajah neraka, maka menangislah penyair kita itu, dan menjerit dengan penolakan: “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”.
Kita tak peduli apakah penyair Taufiq Ismail menulis hanya karena merasa harus menulis atau ia menulis dengan kesadaran politik yang menyala dan membakarnya, dan karena itu ia bermaksud membikin kita bangkit dan menyadari ketertiduran kita yang panjang bagaikan kisah para “ashabul kahfi” dalam kitab suci, tapi kita tahu satu hal: puisi, juga puisi Taufiq Ismail, memiliki kekuatan menggugah. Dan itu sudah cukup untuk peran puisi.
Selebihnya, itu menjadi urusan pemimpin politik, pemimpin ekonomi, tentara, dan polisi, yang harus bertindak membikin hidup lebih baik. Sastra, juga puisi, menghibur, membuka wawasan, memperluas pandangan dunia, memberi kita gagasan-gagasan besar, kiblat ideologi, dan memperkaya khazanah nilai-nilai bagi hidup dan dunia yang kita huni.
Puisi membikin lembut cita rasa hidup kita. Puisi menawarkan pilihan dan membuka peluang memperbesar watak humanis kita, dan menghargai manusia dengan harga kemanusiaannya. Saya kira puisi membantu usaha manusia menjadi manusia.
Tapi mengapa puisi dijauhkan dari hidup kita, seolah puisi penyakit menular dalam sekali sentuh seperti “kusta”? Siapa yang menjauhkan kita dari puisi? Mengapa Menteri Pendidikan membiarkan pendidikan buruk ini berlangsung di depan kita, dan tak ada yang berteriak mengenai perlunya pendidikan kesusastraan yang memadai agar anak-anak mengerti puisi?
Mengapa penerbit-penerbit tak mau menyumbang bangsanya dengan menerbitkan buku-buku puisi gratis, atau menjualnya dengan harga murah, supaya warga negara menjadi lebih pintar, lebih sensitif, lebih manusiawi? Mengapa para bankir kikirnya luar biasa terhadap warga negara baik-baik, tapi luar biasa pemurah hatinya kepada pembobol bank dan para penipu yang bisa bikin mereka bangkrut?
Sastra, juga puisi, memang bukan panglima, dan tak usah menjadi panglima agar kita hidup demokratis dan menghargai kesetaraan. Tapi di tengah keserakahan dunia usaha kita, selalu kita dapati ketidakadilan yang melukai konstitusi dan harapan warga seluruh negeri.
Dunia sastra menyindir keserakahan kita, misalnya dalam cerpen Leo Tolstoy, Berapa Luas Tanah yang Diperlukan Seseorang, yang menggambarkan keserakahan Pakhom, yang berakhir tragis. Pakhom petani yang didera ambisi memiliki seluas mungkin tanah. Dan ia tak pernah merasa cukup. Dalam usahanya memperoleh tanah, yang nyaris didapatkannya, ia mati. Dan kita tahu, yang dibutuhkannya hanyalah seluas kuburnya.
Kata Tolstoy, “Hanya pelayan Pakhom saja yang tetap tinggal di situ. Ia menggali sebuah kuburan dengan panjang yang sama dengan tubuh Pakhom, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki—tiga elo saja. Lalu ia menguburkan jasad tuannya.”
Sastra, di tangan Tolstoy dalam cerpen ini, memandang orang serakah sebagai orang yang hidup dalam kesia-siaan. Kita dibuat merenung, dan kembali merombak apa yang pernah kita anggap sudah “jadi” di dalam bingkai kehidupan moral, ideologi dan tata nilai kita, untuk diperbarui, atau diganti dengan bingkai moral, ideologi dan tata nilai yang lebih relevan, yang lebih menjawab kebutuhan manusia untuk menjadi manusia.
Saya kira, sastra memberi kita pilihan-pilihan bebas, yang kaya, dan bervariasi, untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih manusiawi.
Karya alegoris Rumi, yang lembut, tapi tajam dan kaya nuansa rohani, membuat kita merenung, dan dengan nyaman menelanjangi segenap watak buruk kita. Dan pelan-pelan kata yang keluar dari lubuk hati Rumi pun menghuni dan memperkaya jiwa kita.
Peradaban Islam menjulang hingga ke Kordoba sesudah periode “iqra”—sebuah sabda di goa Hira—yang juga hanya kata-kata. Dunia Minang berubah tajam sesudah gerakan kaum Padri, yang memegang ajaran dalam bentuk kata-kata. Muhammadiyah lahir karena ideologi keagamaan Abduh, yang dibawa ke Kiai Haji Ahmad Dahlan ke Yogyakarta. Nahdlatul Ulama lahir oleh panggilan dunia dari apa yang namanya ajaran, yang sumbernya juga kata-kata. Sastra dan agama menyentuh manusia, dan mengubahnya dari dalam. Dan pelan-pelan manusia mengubah dunianya.
Politisi Perlu Sastra
Agus Wibowo*
http://www.lampungpost.com/
Selain politik, politisi dan pemimpin juga perlu mendalami sastra. Politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang dibutuhkan untuk merancang masa depan bangsa.
Kemenangan Andre Carson, senator AS dari Partai Demokrat belum lama ini, mengundang decak kagum banyak pihak. Politisi dengan rekam jejak santun dan beretika itu ternyata penggemar berat sastra, khususnya puisi. Konon, kecintaan Carson pada sastra berawal ketika neneknya memberikan antologi puisi karya Jalaludin Rumi, ulama Sufi abad 13 dari Persia. Carson juga sejak kecil membaca kitab Injil, Talmud, dan Bhagavad Gita.
Beberapa presiden AS sebelumnya juga merupakan penulis puisi, penyair, atau setidaknya apresiator sastra ulung. Misalnya, mantan Presiden Abraham Lincoln yang dijuluki “sang penyair ulung”. Persahabatan sang presiden dengan penyair Walt Whitman memberi nuansa antiperbudakan dan semangat demokrasi selama kepemimpinannya. Demikian halnya Bill Clinton dan mantan Menhan Donald Rumsfeld; di sela-sela tugas kenegaraan, mereka masih menyisakan waktu menulis puisi.
Di Cile, kita tidak asing dengan Pablo Neruda, politisi ulung, kandidat presiden sekaligus penerima hadian Nobel. Neruda merupakan apresiator sastra ulung dan menjadikannya sebagai penyeimbang hidup. Ada juga Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis. Politisi yang gigih memperjuangkan demokrasi dan kebebasan pers itu, memilih “lengser” dengan terhormat dan memberikan kekuasaan kepada perdana menterinya.
Kearifan dan jiwa besar yang ditunjukkan Senghor menimbulkan kekaguman bukan hanya rekan-rekannya bahkan Jacques Chirac, pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya. Chirac menulis catatan saat kematian Senghor yang berbunyi: Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend.
Menjadi Terapi
Ilustrasi yang saya sampaikan menunjukkan betapa pentingnya apresiasi sastra bagi para politisi dan pemimpin bangsa. Itu karena politisi dan pemimpin layaknya “penggembala”, yang dituntut memiliki kepekaan menbaca keluh-kesah atau mendengar jeritan rakyat. Politisi, meminjam istilah Herry Thruman, adalah pelayan rakyat yang telah memberi mandat dan kedaulatan kepadanya.
Apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan tatkala para politisi negeri ini tengah gemar membudayakan ketidakjujuran, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Banyaknya kasus yang berhasil diungkap memperlihatkan betapa para politisi membungkus tugas dan pekerjaan kenegaraan dengan kelicikan dan kemunafikan. Akibatnya, ketidakadilan menjelma dalam seluruh aspek kehidupan.
Sastra, kata Schiller (2004), mampu membentuk kepribadian seseorang, melalui penghalusan adab dan budi, kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, dan picik. Sastra juga menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan.
Keajaiban sastra itu sudah diakui banyak klub dan organisasi terapi di dunia. Seperti yang dipopulerkan The International Association for Poetry Therapy, atau organisasi terapi internasional yang menggunakan sastra sebagai mediumnya. Organisasi itu berhasil membuktikan puisi dan sastra pada umumnya mampu menjadi pengobat stres lantaran efek relaksasi yang ditimbulkannya.
Konon, puisi juga mampu mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan karena efeknya yang dapat mengendurkan denyut jantung dan irama napas menjadi harmoni. Pada konteks politik, puisi mampu membuat temperamen para politisi menjadi jinak dan santun.
Tidak salah kiranya jika saya mengusulkan agar semua politisi–selain mendalami ilmu politik–mendalami sastra. Melalui apresiasi sastra itu, politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang sangat dibutuhkan dalam merancang masa depan bangsa. Lebih dari itu, ketajaman visi dan imajinasi akan membuat politisi mampu membaca tantangan bangsa secara jelas, dan merumuskan solusi untuk mengatasinya.
Belajar dari sejarah, para raja dahulu meminta sastrawan atau pujangga untuk menjadi penasihatnya. Boleh jadi karena sang pujangga lebih arif memaknai persoalan lewat kehalusan sastra yang berujung pada visioner yang tajam dan kepekaan sosial yang luar biasa (linuwih), yang tidak ditangkap orang awam.
Pendek kata, kemampuan pujangga weruh sak durunge winarah atau mengetahui apa-apa sebelum terjadi, pada dasarnya karena sentuhan kehalusan dunia sastra yang dimiliki sang pujangga, bukan karena ilmu gaib atau klenik.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana melakukan apresiasi sastra yang baik? Menurut Effendi (1994), apresiasi sastra itu bisa dilakukan dengan menggauli cipta sastra secara sungguh-sungguh, sehingga tumbuh pengertian, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap sastra.
Karena dunia sastra selalu dikitari konvensi, tradisi, sistem sastra dan sebagainya, maka dalam membaca sastra juga mesti menghayati proses dan seperangkat aturan tersebut. Pemahaman demikian, memerlukan metodologi yang diajarkan dalam bangku pendidikan.
Sayangnya, pengajaran sastra masih tetap stagnan meski beragam hujatan dan kritikan dialamatkan padanya. Pengajaran sastra kita masih beringsut pada era Orde Baru yang serba sentralistik. Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tidak mengubah praktek metodologis pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, pemahaman peserta didik terhadap metodologi pengungkapan makna sastra sangat rapuh. Kerapuhan metodologis ini pula yang menyababkan apresiasi mereka terhadap karya sastra sangat lemah–untuk mengatakan tidak ada. Jangankan untuk mengapresiasikan, mengetahui maknanya saja terlampau sulit.
Terlepas dari problem tersebut, agar para politisi itu semakin dekat dengan sastra, maka mereka harus membiasakan membaca karya sastra seperti novel, puisi, cerpen, cerbung, dan sebagainya. Mereka perlu membaca novel Pramoedya Ananta Toer, William Shakespeare, atau membaca puisi-puisi Hamka, Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan sastrawan-sastrawan besar lainnya. Selain menghadiri kampanye politik, politisi juga perlu mendatangi orasi-orasi budaya, pembacaan puisi dan bergaul dengan para sastrawan. Kedekatan politisi dengan sastrawan, tentu saja memiliki pengaruh signifikan atau setidaknya akan memberi nuansa lain dalam sepak terjang politiknya. Semoga!
*) Esais Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
http://www.lampungpost.com/
Selain politik, politisi dan pemimpin juga perlu mendalami sastra. Politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang dibutuhkan untuk merancang masa depan bangsa.
Kemenangan Andre Carson, senator AS dari Partai Demokrat belum lama ini, mengundang decak kagum banyak pihak. Politisi dengan rekam jejak santun dan beretika itu ternyata penggemar berat sastra, khususnya puisi. Konon, kecintaan Carson pada sastra berawal ketika neneknya memberikan antologi puisi karya Jalaludin Rumi, ulama Sufi abad 13 dari Persia. Carson juga sejak kecil membaca kitab Injil, Talmud, dan Bhagavad Gita.
Beberapa presiden AS sebelumnya juga merupakan penulis puisi, penyair, atau setidaknya apresiator sastra ulung. Misalnya, mantan Presiden Abraham Lincoln yang dijuluki “sang penyair ulung”. Persahabatan sang presiden dengan penyair Walt Whitman memberi nuansa antiperbudakan dan semangat demokrasi selama kepemimpinannya. Demikian halnya Bill Clinton dan mantan Menhan Donald Rumsfeld; di sela-sela tugas kenegaraan, mereka masih menyisakan waktu menulis puisi.
Di Cile, kita tidak asing dengan Pablo Neruda, politisi ulung, kandidat presiden sekaligus penerima hadian Nobel. Neruda merupakan apresiator sastra ulung dan menjadikannya sebagai penyeimbang hidup. Ada juga Leopold Sedar Senghor, penyair dan pejuang Senegal yang menjadi presiden setelah merebut kemerdekaan dari Prancis. Politisi yang gigih memperjuangkan demokrasi dan kebebasan pers itu, memilih “lengser” dengan terhormat dan memberikan kekuasaan kepada perdana menterinya.
Kearifan dan jiwa besar yang ditunjukkan Senghor menimbulkan kekaguman bukan hanya rekan-rekannya bahkan Jacques Chirac, pemuka Prancis, bangsa yang pernah menjajahnya. Chirac menulis catatan saat kematian Senghor yang berbunyi: Poetry has lost a master, Senegal stateman, Africa a visionary and France a friend.
Menjadi Terapi
Ilustrasi yang saya sampaikan menunjukkan betapa pentingnya apresiasi sastra bagi para politisi dan pemimpin bangsa. Itu karena politisi dan pemimpin layaknya “penggembala”, yang dituntut memiliki kepekaan menbaca keluh-kesah atau mendengar jeritan rakyat. Politisi, meminjam istilah Herry Thruman, adalah pelayan rakyat yang telah memberi mandat dan kedaulatan kepadanya.
Apresiasi terhadap sastra menjadi sebuah keniscayaan tatkala para politisi negeri ini tengah gemar membudayakan ketidakjujuran, kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Banyaknya kasus yang berhasil diungkap memperlihatkan betapa para politisi membungkus tugas dan pekerjaan kenegaraan dengan kelicikan dan kemunafikan. Akibatnya, ketidakadilan menjelma dalam seluruh aspek kehidupan.
Sastra, kata Schiller (2004), mampu membentuk kepribadian seseorang, melalui penghalusan adab dan budi, kreativitas, perasaan, kepekaan, dan sensitivitas kemanusiaan sehingga terhindar dari tindakan-tindakan destruktif, sempit, kerdil, dan picik. Sastra juga menjadi semacam permainan penyeimbang (balance) segenap kemampuan mental manusia, berhubung dengan adanya kelebihan energi yang harus disalurkan.
Keajaiban sastra itu sudah diakui banyak klub dan organisasi terapi di dunia. Seperti yang dipopulerkan The International Association for Poetry Therapy, atau organisasi terapi internasional yang menggunakan sastra sebagai mediumnya. Organisasi itu berhasil membuktikan puisi dan sastra pada umumnya mampu menjadi pengobat stres lantaran efek relaksasi yang ditimbulkannya.
Konon, puisi juga mampu mencegah penyakit jantung dan gangguan pernapasan karena efeknya yang dapat mengendurkan denyut jantung dan irama napas menjadi harmoni. Pada konteks politik, puisi mampu membuat temperamen para politisi menjadi jinak dan santun.
Tidak salah kiranya jika saya mengusulkan agar semua politisi–selain mendalami ilmu politik–mendalami sastra. Melalui apresiasi sastra itu, politisi akan memiliki imajinasi dan ketajaman visi yang sangat dibutuhkan dalam merancang masa depan bangsa. Lebih dari itu, ketajaman visi dan imajinasi akan membuat politisi mampu membaca tantangan bangsa secara jelas, dan merumuskan solusi untuk mengatasinya.
Belajar dari sejarah, para raja dahulu meminta sastrawan atau pujangga untuk menjadi penasihatnya. Boleh jadi karena sang pujangga lebih arif memaknai persoalan lewat kehalusan sastra yang berujung pada visioner yang tajam dan kepekaan sosial yang luar biasa (linuwih), yang tidak ditangkap orang awam.
Pendek kata, kemampuan pujangga weruh sak durunge winarah atau mengetahui apa-apa sebelum terjadi, pada dasarnya karena sentuhan kehalusan dunia sastra yang dimiliki sang pujangga, bukan karena ilmu gaib atau klenik.
Pertanyaanya kemudian, bagaimana melakukan apresiasi sastra yang baik? Menurut Effendi (1994), apresiasi sastra itu bisa dilakukan dengan menggauli cipta sastra secara sungguh-sungguh, sehingga tumbuh pengertian, kepekaan pikiran kritis, dan kepekaan perasaan yang baik terhadap sastra.
Karena dunia sastra selalu dikitari konvensi, tradisi, sistem sastra dan sebagainya, maka dalam membaca sastra juga mesti menghayati proses dan seperangkat aturan tersebut. Pemahaman demikian, memerlukan metodologi yang diajarkan dalam bangku pendidikan.
Sayangnya, pengajaran sastra masih tetap stagnan meski beragam hujatan dan kritikan dialamatkan padanya. Pengajaran sastra kita masih beringsut pada era Orde Baru yang serba sentralistik. Hadirnya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), tidak mengubah praktek metodologis pembelajaran di kelas. Pada gilirannya, pemahaman peserta didik terhadap metodologi pengungkapan makna sastra sangat rapuh. Kerapuhan metodologis ini pula yang menyababkan apresiasi mereka terhadap karya sastra sangat lemah–untuk mengatakan tidak ada. Jangankan untuk mengapresiasikan, mengetahui maknanya saja terlampau sulit.
Terlepas dari problem tersebut, agar para politisi itu semakin dekat dengan sastra, maka mereka harus membiasakan membaca karya sastra seperti novel, puisi, cerpen, cerbung, dan sebagainya. Mereka perlu membaca novel Pramoedya Ananta Toer, William Shakespeare, atau membaca puisi-puisi Hamka, Chairil Anwar, Amir Hamzah, dan sastrawan-sastrawan besar lainnya. Selain menghadiri kampanye politik, politisi juga perlu mendatangi orasi-orasi budaya, pembacaan puisi dan bergaul dengan para sastrawan. Kedekatan politisi dengan sastrawan, tentu saja memiliki pengaruh signifikan atau setidaknya akan memberi nuansa lain dalam sepak terjang politiknya. Semoga!
*) Esais Sastra, Mahasiswa Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati