Rabu, 27 Mei 2009

Pantun-pantun Gempa, Pantun-pantun Melawan Trauma*

Satmoko Budi Santoso
http://satmoko-budi-santoso.blogspot.com/

jalan-jalan pergi ke kalimantan
dapat uang satu juta
mbak ambar memakai intan
mas gopel jatuh cinta

lebih baik minum jamu
daripada minum fanta
lebih baik mencari ilmu
daripada mencari cinta

aku suka film baja hitam
daripada film superboy
aku suka pacar pendiam
daripada pacar playboy

TIGA pantun di atas ditulis secara spontan oleh sebagian anak-anak korban gempa yang berdomisili di sebuah kampung di Kecamatan Pundong Kabupaten Bantul Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Tentu saja, dalam kesempatan kali ini saya tak akan membicarakan soal kualitas estetik isi pantun yang ketiganya ditulis masing-masing di atas selembar kertas lusuh yang saya bagikan itu. Misalnya saja, dengan membuka kemungkinan adanya pertanyaan apakah teks-teks pantun yang mereka hasilkan memang “bermuatan sastra” dan relevan sebagai upaya penggambaran/deskripsi situasi gempa?

Yang pasti, saya hanya ingin membagi pengalaman soal kemungkinan metode alternatif sebagai sebuah konsekuensi atas terapi psikis. Bisa jadi, pendekatan-pendekatan terapi secara tekstual dan dimulai dengan frame pemahaman “parodi” justru lebih membuka kemungkinan menggiring anak-anak korban gempa ke dalam pengembalian alam kesadaran dunia mereka, yang tak jauh dari kebahagiaan kolektif untuk bermain-main.

Melalui aspek kebermain-mainan itulah upaya melawan trauma atas penderitaan yang mereka jalani boleh jadi menemukan katup konkretnya. Ini tentu saja sebuah perjuangan pengenalan metode alternatif yang barangkali sangat berat, karena “mencetak penderita amnesia mendadak” karena tuntutan situasi yang maunya “melupakan sejarah kelam” bisa-bisa malah bernilai spekulatif. Misalnya saja, kemungkinan adanya anggapan bahwa metode terapi semacam ini malah terkesan tak alami, terasa dipaksakan karena dimulai dengan frame tertentu, dan sebagainya, dan sebagainya.

Tetapi, menurut saya, alternatif “metode parodi” sebagai terapi psikis yang kebetulan aplikasinya berbentuk penciptaan pantun semacam ini sungguh membuka ruang-ruang dialektika masa lalu dan masa depan yang benar-benar bisa dipisahkan, dan menjadi semacam jembatan antara yang tepat. Pengedepanan “metode parodi” itu sendiri bisa sebagai bukti ilmiah bahwa mengarungi “jalan penderitaan tersebab gempa” setidaknya dapat disikapi atau dinetralisasi dengan cara mengulum senyum.

Boleh jadi, asumsi saya ini dapat dibilang amat dangkal, karena mungkin saja terasa abstrak dan menyimpang dari pendekatan idealisasi ilmu psikologi atau apa pun. Katakanlah jika kemudian membenturkannya dengan anjuran teori psikoanalisa ala Sigmund Freud. Apakah penciptaan teks-teks pantun yang dihasilkan sejumlah anak-anak korban gempa itu mewakili “lubuk jiwa terdalam” ataukah memang hanya iseng belaka? Bisakah digolongkan ke dalam sangkar idealisasi yang dalam pendekatan ala Sigmund Freud bisa dikategorikan menjadi id, ego, atau super ego? Sangkar manakah yang paling tepat?

Baiklah, sebagai perbandingan, berikut ini saya kutipkan lagi pantun-pantun sebagian anak korban gempa di wilayah yang sama, hanya saja waktu pembikinan dan orangnya berbeda.

bengi-bengi neng jaratan (malam-malam di kuburan)
weruh tuyul wedi banget (lihat tuyul takut sekali)
mbak santi nganggo intan (mbak santi memakai intan)
gopel weruh getun banget (gopel melihat kecewa sekali)

mlaku-mlaku neng kuburan (jalan-jalan di kuburan)
weruh duwet sewu (lihat uang seribu)
bengi-bengi weruh setan (malam-malam lihat setan)
ora mlayu malah ngguya-ngguyu (tak lari malah ketawa)

Kedua pantun yang ditulis dengan bahasa Jawa di atas saya “instruksikan” tanpa melalui prolog atau frame yang mengarah pada “parodi”. Saya hanya bilang, “Tulislah sebuah pantun. Terserah.” Dan jelas, masing-masing anak yang menulis kedua pantun tersebut juga tak saling menyontek. Hanya saja, kenapa hasilnya bisa “sama” dengan pantun-pantun yang ditulis dengan “instruksi” atau prolog tertentu? Lebih jelasnya lagi, kenapa frame “parodi” diam-diam merasuk ke dalam alam kesadaran sebagian anak-anak korban gempa? Apakah diam-diam juga, mereka telah mampu menyikapi “penderitaan tersebab gempa” dan tak perlu lagi ada perumusan lebih lanjut?

Saya tidak tahu. Yang pasti, segepok perbandingan di atas bisa menjelaskan satu hal. Bahwa cara menyikapi bencana bagi sebagian anak-anak korban gempa di wilayah Yogyakarta tak separah yang dibayangkan ketika gempa dan tsunami menerjang Aceh beberapa waktu silam: terlalu banyak anak yang ketika disuruh menulis pantun malah hanya mencoret-coret atau mencabik-cabik kertas. Dan ketika disuruh menggambar malah hasilnya sebuah deskripsi laut yang berwarna hitam, bukan biru, padahal mereka tahu bahwa laut itu berwarna biru.

Fakta-fakta ini semoga saja mengajarkan kepada kita bahwa adanya gempa di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah “tak terlalu susah” untuk ditanggulangi. Setidaknya, secara psikis, ada kemungkinan bahwa dalam konteks korban gempa anak-anak, upaya pemulihan kesadaran atas kebahagiaan kolektif mereka tak terlalu berat. Karena itu, ini tinggal ditindak-lanjuti oleh berbagai pihak yang berwenang, bagaimana dengan upaya-upaya recovery di luar persoalan psikis. Misalnya saja, bagaimana dengan upaya pemulihan dalam hal bantuan tempat tinggal, sekolah, dan fasilitas publik lainnya?

Sungguh, jika dari sebuah pantun yang memang terkonsepkan agar “main-main” sebuah gejolak psikis bisa disidik, maka mungkin saja kita bisa bersyukur bahwa sebagian anak-anak korban gempa di Yogyakarta telah sedikit bebas dari belenggu ketertekanan. Tanpa kerepotan mengenal rumusan soal pemahaman teori psikoanalisa ala Sigmund Freud secara subtil mereka perlahan-lahan telah dapat memasuki gerbang untuk menepis penderitaan. Dan dengan sendirinya, medium karya sastra berupa pantun ternyata bisa sebagai alternatif jalan/metode untuk menguak kemungkinan menggeloranya persoalan jiwa.

Dengan kata lain, pantun yang merupakan bagian cukup penting dalam siklus karya sastra tersebut, ternyata (diam-diam!) adalah juga medium penanda psikis. ***

*) dicumput dari Minggu Pagi

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati