Sabtu, 02 Mei 2009

Sastra Eksil, Adakah?

Soeprijadi Tomodihardjo
http://www.sinarharapan.co.id/

Dalam penalaran selintas yang tiba-tiba mengundang keraguan menghadapi masa depan, ada sejenis penyakit kronis yang selama ini diderita kaum eksil Indonesia, yakni home sick: rindu kampung, kangen keluarga.

Penyakit ini sudah 40 tahun lebih melanda mereka. Saya bukan dokter tetapi sumber data Dinas Kesehatan di Jerman mencatat, banyak Gastarbeiter menderita penyakit heimweh, ya home sick itu. Tetapi para Gastarbeiter (bukan Indonesia tapi Turki, Yunani, Itali, Spanyol dsb.), itu relatif mudah mengatasi penyakit ini: ambil saja cuti beberapa minggu setiap tahun (tidak seperti nasib TKW kita). Namun pulang bagi kaum eksil Indonesia di Eropa bukan urusan gampang, kecuali mereka yang beruang dan belum telanjur uzur, meski bukan lagi warganegara Indonesia.

Bagaimanapun pulang adalah naluri alami yang melekat pada diri manusia, bahkan bagi si tunawisma. Keterikatan pada sesuatu yang bisa disebut tempat-tinggal, tak peduli apakah itu berupa tanahair, kampung halaman, sebuah gedung mewah, rumah sederhana, gubuk reot atau sepetak tanah di kolong jembatan yang bukan miliknya, merupakan condisio sine quanon. Kian lama seseorang berada di paran, kian terasa kerinduan tak tertahankan dan akhirnya memuncak pada hasrat segera pulang, ibarat seekor burung: ke mana ia terbang akhirnya pulang ke sarang.

Wawasan berikut membatasi diri pada persoalan para penulis eksil Indonesia berkenaan aktivitas kreatif mereka dalam kondisi tragedi pascaperistiwa G30S-1965. Sebagai minoritas kecil dari komunitas eksil yang tersebar di beberapa negara di dunia, mereka pun terimpit dalam kesamaan nasib: selama puluhan tahun terhalang pulang. Tentu ada sejumlah masalah intern maupun ekstern, subjektif dan objektif, mengapa hal ini bisa terjadi.

Namun sebab paling utama adalah dicabutnya kewarganegaraan mereka berdasarkan tuduhan rezim penguasa bahwa mereka terindikasi terlibat peristiwa G30S-1965. Tindakan itu dari tahun ke tahun mereka gugat karena dasar tuduhan itu hingga kini tidak pernah terbukti secara hukum dan karenanya mereka anggap sebagai perampasan hak sipil mereka, pelanggaran HAM secara kejam.

Beberapa tahun terakhir ini kasus tersebut mulai mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Namun 2 kali berturut-turut menteri yang ditugasi mengantisipasi masalah ini (pertama Yusril Mahendra di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, kedua Awalludin di bawah Presiden Susilo Bambang Yudoyono) telah gagal memenuhi misi mereka. Kasus ini nampaknya masih akan memakan waktu lama sebelum tercapai penyelesaian. Bahkan tak tertutup kemungkinan upaya itu menghadapi jalan buntu karena kasusnya sama alot dengan TAP MPR No. 25 Tahun 1966 yang dituntut agar dicabut.

Tragedi tersebut sudah terlalu lama berlangsung hingga generasi ketiga: 42 tahun. Mereka tidak lagi ikut langsung mengalami proses perkembangan sosial-budaya tanahairnya selama puluhan tahun. Secara kultural mereka tertinggal jauh di belakang kereta peradaban yang melaju menurut haluan dan kendali sistem kekuasaan.

Maka terbentanglah jarak semakin panjang antara si anak hilang dan Ibunda tercinta: tanahair dan bangsa. Seseorang mengguratkan pena dalam sebuah puisi sarat emosi:

si anak hilang
segeralah pulang
bunda dirundung malang

Ketika seluruh tanahair dan bangsa terus-menerus terjerumus dalam bencana multidimensi, suara hati-nurani para penulis eksil terdengar lantang dan tak jarang sangat emosional. Bagaimanapun mereka tak bisa tinggal diam selama masih bisa berbicara.

Maka berbicaralah mereka lewat karya sastranya. Dan tiba-tiba suara itu sampai di telinga para pengamat sastra eksil sebagai sumpah-serapah bergelimang keluh-kesah dan penderitaan masa silam. Tetapi pola karya-karya mereka nampak tersekap dalam perangkap mitos angkatan 1950-an atau 1960-an: jaman sebelum mereka meninggalkan tanahairnya untuk berbagai keperluan di luarnegeri. Mitos ini sangat kentara pada pilihan tema dan gaya bahasa yang mereka terapkan dalam kreasi sastranya.

Saya teringat tulisan Dr. Asvi Warman Adam dalam Epilog untuk buku kumpulan cerpen Martin Aleida “Leontin Dewangga“, menyangkut karangan-karangan ”penulis kiri“ termasuk yang eksil kecuali karya-karya Pramudya Ananta Toer.

Dari naskah ”penulis T“ yang pernah dibacanya beliau mendapat kesan, yang diceritakan adalah ”kisah suasana tahun 1950-an dengan pilihan kata yang terasa ganjil bagi pembaca yang berdiam di Indonesia“. Namun kesan demikian segera kehilangan makna jika orang mengabaikan sebab dan latar belakang sejarah yang parah dan lama. Sangat lama.

Seorang pengarang yang terasing dari masyarakat Ibu selama puluhan tahun, sendirinya terasing dan ketinggalan pula dalam segala hal yang menyangkut perkembangan bahasa, sastra dan budaya tanahairnya. Ketinggalan ini kentara dalam hal gaya bahasa, pilihan tema, tehnik mengarang, bahkan penguasaan kosakata yang berkembang pesat berkat pembauran antara kata-kata bahasa asing, nasional dan lokal (daerah), yang dikemas begitu bebas dan sangat invasif menyusup ke dalam tubuh bahasa Indonesia.

Sampai porsi tertentu resapan ini memang memperkaya dan nampaknya juga mendorong proses modernisasi bahasa Indonesia. Setiap kalimat dalam ”bahasa baru“ ini dicoba dikemas dengan menghemat kata-kata yang tidak dirasa perlu, atau sebaliknya diboroskan demi meraih efek lirik-literal-intelektual sebuah karya ilmiah semisal esai, analisis sastra dan semacamnya. Apa yang terasa janggal bagi citarasa penulis eksil, bagi khalayak sastra di Indonesia masa kini adalah lumrah dan justru perlu. Kiranya dalam wawasan ini tidak diperlukan contoh-contoh.

Cukup ditarik kesimpulan, selama puluhan tahun ini struktur kalimat-kalimat bahasa Indonesia sudah mengalami proses perubahan berangsur-angsur menuju pola baru yang semakin baku. Proses kejenuhan ini terasa menggusur karakter dan struktur lama bahasa Indonesia sendiri seperti banyak terdapat pada teks-teks intelek bertema sains dan kerohanian (agama, filsafat, sosiologi, politik, esai sastra dsb.).

Para penulis eksil yang telanjur awam seolah dihadapkan pada teks-teks multilingual yang memerlukan banyak sekali catatan kaki. Mereka terus-menerus coba mengejar dan menyesuaikan diri pada pertumbuhan linguistik ini. Tak ada pilihan lain selama mereka tak ingin terus-terusan ketinggalan kereta. Namun ”mengejar“ pada wacana ini hanya berarti belajar dan berlatih melalui pengalaman praktis dalam aktivitas kreatif.

Membaca literatur baru berbahasa Indonesia dan menemukan corak estetika baru dari khazanah ini, merupakan bagian penting dalam upaya belajar kembali, tetapi bukan tanpa risiko: terjerumus menjadi sastra(wan) sablon.

Beberapa pengarang prosa dan puisi seperti Utuy Tatang Sontani, Rumambi, Agam Wispi, Sobron Aidit (mereka sudah almarhum), JJ Kusni, Hersri Setiawan, Asahan Alham Aidit, A. Kohar Ibrahim, Ibarruri Putri Alam (anak DN Aidit) dan lain-lain, sempat menggeliat sebagai pengarang eksil yang terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap tenaga dan daya kreatifnya mereka coba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus memberi arti perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan.

Gerakan reformasi di tanahair menjelang akhir abad silam selangkah demi selangkah telah membuka kebebasan bersuara dan juga kesempatan relatif luas bagi undergroud literary, termasuk para penulis eksil, untuk tampil kembali dengan agak leluasa di tanahairnya.

Awal periode ini media penerbitan yang terbiasa melakukan selfcencorship karena ancaman pemberangusan puluhan tahun lamanya di bawah telapak kaki kekuasaan, tetap saja bersikap wait and see, ogah-ogahan meninggalkan prasangka lama terhadap pulangnya si anak hilang.

Sastra koran nyaris tak punya peran dalam pemulihan kebebasan mereka di bidang sastra. Larangan resmi terhadap ”literatur kiri“ semisal Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 (30 November 1965), sampai hari ini tidak pernah dicabut. Tidak dicabut berarti masih berlaku, padahal sudah tidak diambil pusing oleh siapapun.

Surutnya minat para pengamat sastra eksil (Alex Supartono, Lisabona Rachman, Nur Zain Hae, Bambang Agung dll.) sejak awal abad ini membuat saya sangsi, jangan-jangan sastra eksil Indonesia memang sudah tidak ada atau dianggap tak ada lagi. Nalarnya sederhana: kalau buku-buku dan karya-karya para penulis eksil sudah dengan leluasa berkeliaran di Indonesia (padahal dilarang), maka underground literary maupun sastra eksil memang tak ada lagi, tak diperlukan lagi, semuanya secara formal tetap ilegal tetapi menganggap diri legal, untuk tampil kembali di tanahair, ikut menghuni khazanah sastra Indonesia tanpa hirau kemungkinan pembakaran buku-buku dan pembunuhan sastrawan seperti pengalaman Jerman di jaman Nazi.

Betapa penting peran bahasa seiring perkembangan baru di era reformasi dalam kendala globalisasi. Semua cabang disiplin keilmuan (matematika, fisika, kimia, politik, tehnik, sosial, filsafat, bahkan teologi dsb.) yang bergulat di ranah teori dan logika, pada dasarnya mengejawantah melalui bahasa.

Franz Magnis Suseno, guru besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, bahkan coba menggapai Tuhan melalui sarana bahasa tanpa pretensi membuktikan adanya Tuhan. (”Menalar Tuhan” – Penerbit Kanisius 2006). Hanya dengan bahasa, manusia mampu mencipta teori ilmu pengetahuan menjadi karya ilmiah akademik yang sistematis dan berguna bagi perkembangan peradaban umat manusia. Hanya dengan bahasa yang tersusun dengan santun manusia mampu berkomunikasi dengan sesamanya atas dasar etika dan estetika, bebas menyatakan pendapat yang berbeda tanpa paksaan dan ancaman.

Hakekat kesatuan hidup manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya justru perbedaannya: unity in diversity, tanpa kebencian karena perbedaan ras, etnik, politik, ideologi, agama maupun status sosial. Perkembangan dunia sastra dan ilmu pengetahuan pada gilirannya pun menuntut taraf kecanggihan tertentu dalam penguasaan bahasa. Tak henti-hentinya. Tak habis-habisnya.

Koeln, Agustus 2007
*) Penulis adalah cerpenis, tinggal di Jerman.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati