Soeprijadi Tomodihardjo
http://www.sinarharapan.co.id/
Dalam penalaran selintas yang tiba-tiba mengundang keraguan menghadapi masa depan, ada sejenis penyakit kronis yang selama ini diderita kaum eksil Indonesia, yakni home sick: rindu kampung, kangen keluarga.
Penyakit ini sudah 40 tahun lebih melanda mereka. Saya bukan dokter tetapi sumber data Dinas Kesehatan di Jerman mencatat, banyak Gastarbeiter menderita penyakit heimweh, ya home sick itu. Tetapi para Gastarbeiter (bukan Indonesia tapi Turki, Yunani, Itali, Spanyol dsb.), itu relatif mudah mengatasi penyakit ini: ambil saja cuti beberapa minggu setiap tahun (tidak seperti nasib TKW kita). Namun pulang bagi kaum eksil Indonesia di Eropa bukan urusan gampang, kecuali mereka yang beruang dan belum telanjur uzur, meski bukan lagi warganegara Indonesia.
Bagaimanapun pulang adalah naluri alami yang melekat pada diri manusia, bahkan bagi si tunawisma. Keterikatan pada sesuatu yang bisa disebut tempat-tinggal, tak peduli apakah itu berupa tanahair, kampung halaman, sebuah gedung mewah, rumah sederhana, gubuk reot atau sepetak tanah di kolong jembatan yang bukan miliknya, merupakan condisio sine quanon. Kian lama seseorang berada di paran, kian terasa kerinduan tak tertahankan dan akhirnya memuncak pada hasrat segera pulang, ibarat seekor burung: ke mana ia terbang akhirnya pulang ke sarang.
Wawasan berikut membatasi diri pada persoalan para penulis eksil Indonesia berkenaan aktivitas kreatif mereka dalam kondisi tragedi pascaperistiwa G30S-1965. Sebagai minoritas kecil dari komunitas eksil yang tersebar di beberapa negara di dunia, mereka pun terimpit dalam kesamaan nasib: selama puluhan tahun terhalang pulang. Tentu ada sejumlah masalah intern maupun ekstern, subjektif dan objektif, mengapa hal ini bisa terjadi.
Namun sebab paling utama adalah dicabutnya kewarganegaraan mereka berdasarkan tuduhan rezim penguasa bahwa mereka terindikasi terlibat peristiwa G30S-1965. Tindakan itu dari tahun ke tahun mereka gugat karena dasar tuduhan itu hingga kini tidak pernah terbukti secara hukum dan karenanya mereka anggap sebagai perampasan hak sipil mereka, pelanggaran HAM secara kejam.
Beberapa tahun terakhir ini kasus tersebut mulai mendapat perhatian dari pemerintah Indonesia. Namun 2 kali berturut-turut menteri yang ditugasi mengantisipasi masalah ini (pertama Yusril Mahendra di bawah Presiden Abdurrahman Wahid, kedua Awalludin di bawah Presiden Susilo Bambang Yudoyono) telah gagal memenuhi misi mereka. Kasus ini nampaknya masih akan memakan waktu lama sebelum tercapai penyelesaian. Bahkan tak tertutup kemungkinan upaya itu menghadapi jalan buntu karena kasusnya sama alot dengan TAP MPR No. 25 Tahun 1966 yang dituntut agar dicabut.
Tragedi tersebut sudah terlalu lama berlangsung hingga generasi ketiga: 42 tahun. Mereka tidak lagi ikut langsung mengalami proses perkembangan sosial-budaya tanahairnya selama puluhan tahun. Secara kultural mereka tertinggal jauh di belakang kereta peradaban yang melaju menurut haluan dan kendali sistem kekuasaan.
Maka terbentanglah jarak semakin panjang antara si anak hilang dan Ibunda tercinta: tanahair dan bangsa. Seseorang mengguratkan pena dalam sebuah puisi sarat emosi:
si anak hilang
segeralah pulang
bunda dirundung malang
Ketika seluruh tanahair dan bangsa terus-menerus terjerumus dalam bencana multidimensi, suara hati-nurani para penulis eksil terdengar lantang dan tak jarang sangat emosional. Bagaimanapun mereka tak bisa tinggal diam selama masih bisa berbicara.
Maka berbicaralah mereka lewat karya sastranya. Dan tiba-tiba suara itu sampai di telinga para pengamat sastra eksil sebagai sumpah-serapah bergelimang keluh-kesah dan penderitaan masa silam. Tetapi pola karya-karya mereka nampak tersekap dalam perangkap mitos angkatan 1950-an atau 1960-an: jaman sebelum mereka meninggalkan tanahairnya untuk berbagai keperluan di luarnegeri. Mitos ini sangat kentara pada pilihan tema dan gaya bahasa yang mereka terapkan dalam kreasi sastranya.
Saya teringat tulisan Dr. Asvi Warman Adam dalam Epilog untuk buku kumpulan cerpen Martin Aleida “Leontin Dewangga“, menyangkut karangan-karangan ”penulis kiri“ termasuk yang eksil kecuali karya-karya Pramudya Ananta Toer.
Dari naskah ”penulis T“ yang pernah dibacanya beliau mendapat kesan, yang diceritakan adalah ”kisah suasana tahun 1950-an dengan pilihan kata yang terasa ganjil bagi pembaca yang berdiam di Indonesia“. Namun kesan demikian segera kehilangan makna jika orang mengabaikan sebab dan latar belakang sejarah yang parah dan lama. Sangat lama.
Seorang pengarang yang terasing dari masyarakat Ibu selama puluhan tahun, sendirinya terasing dan ketinggalan pula dalam segala hal yang menyangkut perkembangan bahasa, sastra dan budaya tanahairnya. Ketinggalan ini kentara dalam hal gaya bahasa, pilihan tema, tehnik mengarang, bahkan penguasaan kosakata yang berkembang pesat berkat pembauran antara kata-kata bahasa asing, nasional dan lokal (daerah), yang dikemas begitu bebas dan sangat invasif menyusup ke dalam tubuh bahasa Indonesia.
Sampai porsi tertentu resapan ini memang memperkaya dan nampaknya juga mendorong proses modernisasi bahasa Indonesia. Setiap kalimat dalam ”bahasa baru“ ini dicoba dikemas dengan menghemat kata-kata yang tidak dirasa perlu, atau sebaliknya diboroskan demi meraih efek lirik-literal-intelektual sebuah karya ilmiah semisal esai, analisis sastra dan semacamnya. Apa yang terasa janggal bagi citarasa penulis eksil, bagi khalayak sastra di Indonesia masa kini adalah lumrah dan justru perlu. Kiranya dalam wawasan ini tidak diperlukan contoh-contoh.
Cukup ditarik kesimpulan, selama puluhan tahun ini struktur kalimat-kalimat bahasa Indonesia sudah mengalami proses perubahan berangsur-angsur menuju pola baru yang semakin baku. Proses kejenuhan ini terasa menggusur karakter dan struktur lama bahasa Indonesia sendiri seperti banyak terdapat pada teks-teks intelek bertema sains dan kerohanian (agama, filsafat, sosiologi, politik, esai sastra dsb.).
Para penulis eksil yang telanjur awam seolah dihadapkan pada teks-teks multilingual yang memerlukan banyak sekali catatan kaki. Mereka terus-menerus coba mengejar dan menyesuaikan diri pada pertumbuhan linguistik ini. Tak ada pilihan lain selama mereka tak ingin terus-terusan ketinggalan kereta. Namun ”mengejar“ pada wacana ini hanya berarti belajar dan berlatih melalui pengalaman praktis dalam aktivitas kreatif.
Membaca literatur baru berbahasa Indonesia dan menemukan corak estetika baru dari khazanah ini, merupakan bagian penting dalam upaya belajar kembali, tetapi bukan tanpa risiko: terjerumus menjadi sastra(wan) sablon.
Beberapa pengarang prosa dan puisi seperti Utuy Tatang Sontani, Rumambi, Agam Wispi, Sobron Aidit (mereka sudah almarhum), JJ Kusni, Hersri Setiawan, Asahan Alham Aidit, A. Kohar Ibrahim, Ibarruri Putri Alam (anak DN Aidit) dan lain-lain, sempat menggeliat sebagai pengarang eksil yang terpencil dari realitas kehidupan rakyatnya. Dengan segenap tenaga dan daya kreatifnya mereka coba menampilkan realitas kehidupan eksil sekaligus memberi arti perlawanan moral-kultural terhadap represi sistem kekuasaan.
Gerakan reformasi di tanahair menjelang akhir abad silam selangkah demi selangkah telah membuka kebebasan bersuara dan juga kesempatan relatif luas bagi undergroud literary, termasuk para penulis eksil, untuk tampil kembali dengan agak leluasa di tanahairnya.
Awal periode ini media penerbitan yang terbiasa melakukan selfcencorship karena ancaman pemberangusan puluhan tahun lamanya di bawah telapak kaki kekuasaan, tetap saja bersikap wait and see, ogah-ogahan meninggalkan prasangka lama terhadap pulangnya si anak hilang.
Sastra koran nyaris tak punya peran dalam pemulihan kebebasan mereka di bidang sastra. Larangan resmi terhadap ”literatur kiri“ semisal Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan No. 1381/1965 (30 November 1965), sampai hari ini tidak pernah dicabut. Tidak dicabut berarti masih berlaku, padahal sudah tidak diambil pusing oleh siapapun.
Surutnya minat para pengamat sastra eksil (Alex Supartono, Lisabona Rachman, Nur Zain Hae, Bambang Agung dll.) sejak awal abad ini membuat saya sangsi, jangan-jangan sastra eksil Indonesia memang sudah tidak ada atau dianggap tak ada lagi. Nalarnya sederhana: kalau buku-buku dan karya-karya para penulis eksil sudah dengan leluasa berkeliaran di Indonesia (padahal dilarang), maka underground literary maupun sastra eksil memang tak ada lagi, tak diperlukan lagi, semuanya secara formal tetap ilegal tetapi menganggap diri legal, untuk tampil kembali di tanahair, ikut menghuni khazanah sastra Indonesia tanpa hirau kemungkinan pembakaran buku-buku dan pembunuhan sastrawan seperti pengalaman Jerman di jaman Nazi.
Betapa penting peran bahasa seiring perkembangan baru di era reformasi dalam kendala globalisasi. Semua cabang disiplin keilmuan (matematika, fisika, kimia, politik, tehnik, sosial, filsafat, bahkan teologi dsb.) yang bergulat di ranah teori dan logika, pada dasarnya mengejawantah melalui bahasa.
Franz Magnis Suseno, guru besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, bahkan coba menggapai Tuhan melalui sarana bahasa tanpa pretensi membuktikan adanya Tuhan. (”Menalar Tuhan” – Penerbit Kanisius 2006). Hanya dengan bahasa, manusia mampu mencipta teori ilmu pengetahuan menjadi karya ilmiah akademik yang sistematis dan berguna bagi perkembangan peradaban umat manusia. Hanya dengan bahasa yang tersusun dengan santun manusia mampu berkomunikasi dengan sesamanya atas dasar etika dan estetika, bebas menyatakan pendapat yang berbeda tanpa paksaan dan ancaman.
Hakekat kesatuan hidup manusia sebagai makhluk sosial pada dasarnya justru perbedaannya: unity in diversity, tanpa kebencian karena perbedaan ras, etnik, politik, ideologi, agama maupun status sosial. Perkembangan dunia sastra dan ilmu pengetahuan pada gilirannya pun menuntut taraf kecanggihan tertentu dalam penguasaan bahasa. Tak henti-hentinya. Tak habis-habisnya.
Koeln, Agustus 2007
*) Penulis adalah cerpenis, tinggal di Jerman.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar