Mohamad Sobary
http://kompas-cetak/
Sastra menyodorkan ke hadapan kita ekspresi estetis tentang manusia dan kebudayaannya. Di dalamnya tercakup kompleksitas ideologi, dunia nilai, norma hidup, etika, pandangan dunia, tradisi, dan variasi-variasi tingkah laku manusia. Dengan kata lain, sastra berbicara tentang tingkah laku manusia di dalam kebudayaannya.
Di dalam sastra, seperti halnya di dalam kajian tentang kebudayaan, manusia disorot sebagai makhluk sosial, makhluk politik, makhluk ekonomi, dan makhluk kebudayaan. Tak mengherankan sastra disebut cermin masyarakat, dan cermin zaman, yang secara antropologis merepresentasikan usaha manusia menjawab tantangan hidup dalam suatu masa, dalam suatu konteks sejarah tertentu.
Manusia individual, atau sang tokoh dalam sastra tersebut, hanya cuilan kecil dan bagian dari sastra yang besar dan luas: bagian dari sastra yang mewakili potret zaman dan cerminan masyarakat tadi. Tapi, sekecil apa pun peran sosialnya, manusia adalah aktor. Dia aktor penentu dalam hidupnya sendiri, dan dalam dunianya.
Maka, ketika di zaman bergolak sastra dianalisis dalam kaitannya dengan—misalnya—semangat nasionalisme, sebagaimana analisis Keith Foulcher dalam Pujangga Baru: Kesusasteraan dan Nasionalisme di Indonesia, 1933-1942, Keith Foulcher memperlihatkan bahwa dalam gagasan Takdir (Sutan Takdir Alisjahbana) seniman memiliki peranan sebagai pemimpin dan penunjuk jalan dalam proses perubahan sosial. Pendirian ini menimbulkan perdebatan dan penentangan dari banyak kalangan, terutama, saya kira, dari Goenawan Mohamad, seperti dapat dibaca kembali dalam Sang Pujangga, buku yang diterbitkan untuk memperingati 70 tahun Polemik Kebudayaan dan menyongsong 100 tahun Takdir Alisjahbana.
Bagi Goenawan, perubahan tidak datang dari sastra dan seni, melainkan dari politik. Ia menolak gagasan Takdir bahwa sastra bisa menjadi penggerak masyarakat. Hal ini dianggapnya sebagai terlalu banyak berharap terhadap sastra dan seni. Goenawan beranggapan bahwa Takdir membesar-besarkan peranan seniman.
Dalam buku itu juga Sutardji Calzoum Bachri menganggap seni terlalu lemah, dan sastra baginya cukup berhenti pada kata. Sastrawan ialah manusia “kata”, bukan manusia “tindakan”. Manusia “kata”, baginya, tak sama dengan manusia “tindakan”. Ia tak ingin seperti Takdir yang menempatkan seni di luar proporsinya, menuntut di luar kodratnya.
Emha Ainun Nadjib, dalam buku yang sama, lain lagi cara memandangnya. Takdir dan Goenawan dianggap orang-orang yang tertutup dari dialog sehat karena tak mau memahami kebenaran lain di luar diri mereka. Takdir bicara tentang sastra yang memiliki tanggung jawab besar, sementara Goenawan lebih membatasi sistem forma keseniannya dalam sistem nilai dan disiplin seni itu sendiri, sedangkan tanggung jawab sosial dianggap merupakan bagian dari perjuangan di luar dunia seni. Kedua tokoh ini dianggapnya hidup dalam blok-blok pemikiran dan mazhab—bila tidak kiri, ya kanan, bila bukan Barat, ya Timur—sehingga kemandirian mereka dalam berkesusastraan layak dipertanyakan. Bagi Emha, yang tampak ialah komitmen kemanusiaan para seniman dewasa ini umumnya lebih menyempit pada dirinya belaka. Kita butuh sastra yang bukan Marxis, dan bukan kapitalis, melainkan sastra Indonesia yang merdeka dari dominasi siapa pun, termasuk dari dominasi panglima di bidang politik maupun kebudayaan sendiri.
Saya kira, sastra bukanlah sekadar dunia simbol yang penghuninya semuanya hanya kata-kata, tapi juga bukan dunia pergerakan, yang penuh dengan segenap tindakan seperti dalam kerusuhan, dalam revolusi yang bergejolak, atau dalam suatu perhelatan. Sastra itu cermin hidup manusia, dan dunianya, dan di sana manusia berkata-kata, dan kata-katanya juga meninggalkan jejak, kata-kata—selemah dan sehalus apa pun—bisa memengaruhi dan memberi inspirasi bagi tumbuhnya suatu ideologi sosial. Dan sastra dengan begitu minimal secara tak langsung bisa memberi manusia gagasan membikin dunianya lebih baik.
Lebih tegas saya kira sastra membawa muatan, dan menawarkan pada kita, suatu corak ideologi, atau faham, misalnya faham kebangsaan, yang perlahan tumbuh dalam kesadaran kita setelah sebuah karya sastra bisa betul-betul dibaca banyak kalangan dan memberi mereka inspirasi. Apa pun maknanya, faham kebangsaan itu kita tangkap, merasuk di dalam diri, dan melekat menjadi bagian hidup kita. Ia menjadi “api” yang menyala, terutama, di zaman bergolak.
Gagasan-gagasan simbolik Takdir dalam Layar Terkembang maupun dalam Kalah dan Menang, dan pemikiran para penentangnya, saya kira jelas sudah menjadi warisan kebudayaan yang memperkaya hidup kita, dan kita bersyukur bahwa perdebatan itu pernah ada.
Kita diberi tahu oleh perdebatan itu bahwa kita tak bisa bersikap apriori menolak, bahwa di masyarakat Minangkabau, misalnya, terjadi perubahan kebudayaan—terutama dalam kaitan kawin paksa—beberapa lama setelah roman Siti Nurbaya lahir. Kira-kira, roman itu lalu menjadi sejenis counter culture, yang mengejek pada tiap saat orangtua hendak memaksakan anaknya untuk kawin dengan orang yang dikehendakinya, dengan argumen: ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya.
Perubahan di dalam jiwa masyarakat lembut, dan tak terlihat, dan karena itu tak seorang ahli kebudayaan pun yang bisa menyusun hukum-hukum kebudayaan untuk memaksakan ini dan itu, atau menolak ini dan itu yang bisa saja terjadi di dalam suatu masyarakat. Dunia agama yang dianggap kolot, dan statis, sebenarnya bergerak, dan berubah, akibat pengaruh kata-kata, dan juga perbuatan manusia.
Di zaman bergolak, ketika faham kebangsaan yang baru pelan-pelan meresapi jiwa warga masyarakat kita, yang berjuang menentang penjajah—kaum kolonialis dan imperialis—jiwa kita bangkit, menyala, dan berkobarlah “api” kesadaran berbangsa yang menyulut ke mana-mana.
Dalam kaitan ini kita semua tahu bahwa—misalnya puisi-puisi Chairil Anwar—turut menyediakan tungku pembakar semangat kebangsaan kita, semangat mandiri, otonom dan merdeka, sekaligus menumbuhkan sebuah pengertian dan kesadaran baru akan betapa tidak manusiawi, dan tidak adilnya kekuatan penjajah yang merampas hak asasi segala bangsa, dan karena itu kita sadar pula bahwa penjajahan, dalam bentuk apa pun, harus dihapuskan dari muka bumi, hingga bersih ke akar-akarnya.
Semangat kebangsaan ini menyala di dalam jiwa setiap pemuda progresif revolusioner—dan di zaman bergolak semua pemuda dan juga pemudi pada dasarnya progresif revolusioner—hingga tumbuhlah rasa harga diri kita, dan pelan-pelan kita kemudian membangun sebuah identitas bangsa. Apa identitas kita saat itu?
“Bahwa kita bangsa cinta damai, tetapi bagaimanapun, kita lebih cinta kemerdekaan”. Maka, kita pun melanjutkan perlawanan terhadap kekuatan kaum kolonialis, dan imperialis, bukan untuk perlawanan itu sendiri, melainkan untuk bisa mewujudkan makna damai tadi. Dan karena itulah, selain terbentuk identitas diri, saat itu terbentuk pula aspirasi yang menjadi corak kontribusi kita pada tata kehidupan dunia yang merdeka, adil dan makmur. Apa kontribusi kita?
“Turut serta menciptakan ketertiban dunia. Kita sadar, kita hadir di muka bumi bukan untuk diri sendiri, melainkan juga untuk dunia seluruhnya, yang rindu akan rasa damai, rindu kemerdekaan, rindu akan keadilan, dan sekaligus, dengan sendirinya, antipenjajahan, sebagai the root of all evils.”
Di tahun vivere perikoloso, tahun 1966 yang juga bergolak, kita mencatat Tirani dan Benteng karya penyair Taufiq Ismail, yang turut membakar semangat perlawanan pada ketidakadilan. Juga puisi-puisi Rendra yang sangat beken di tahun 1970-an, yang hadir di berbagai kampus di Tanah Air, dan memberi kekuatan kesadaran lebih kental di kalangan mahasiswa yang bergolak menentang kezaliman penguasa.
Saya menganggap, inilah tampaknya, tugas para pemimpin bangsa di zaman bergolak. Ini tugas yang dinyalakan tungkunya oleh—antara lain—dunia sastra, dan para sastrawannya. Tapi warna zaman memang selalu turut menentukan tugas dan corak kepemimpinan.
Di zaman bergolak, kepemimpinan tak sama dengan apa yang tampil di zaman “tenteram”, di zaman yang oleh para pemimpinnya dipahami bahwa hidup hanyalah tinggal perkara bagaimana menjalaninya, hidup hanya tinggal urusan teknis karena hal-hal penting dan mendasar lainnya sudah selesai tertata.
“Apa tugas para pemimpin di zaman ’tenteram’, zaman pembangunan, yang tinggal menyedot segenap tambang, dan aneka kekayaan alam kita?”
Jawabnya, saya kira, mengejutkan kita semua: kita malah mengundang penjajah. Penjajahan ekonomi kita lestarikan dengan Pelita demi Pelita di zaman Orde Baru, yang buku Repelita-nya disusun atas sumbangan dan legalisasi dunia kampus dan segenap kaum intelektual di seluruh pelosok negeri. Modal asing, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, Dana Moneter Internasional, perdagangan luar negeri, dan sekarang aturan perdagangan bebas yang tak adil, semua kita terima dengan syukur dan takjub, seolah itu semua kiriman langsung dari tangan Tuhan sendiri.
Penjajahan kebudayaan pun kita lestarikan dengan kekaguman tanpa rasa malu kepada Amerika, yang di zaman bergolak hendak kita setrika, dan juga pada bangsa Inggris, yang hendak kita linggis. Juga pada bangsa Nipon, wong kate yang kuning “kulite”, yang mampir ke sini dengan nyaru sebagai “saudara tua”, yang dengan semangat “Tiga A”-nya yang chauvinistic, pongah dan menjengkelkan, menganggap dirinya pemimpin, pelindung, dan cahaya Asia.
Tiga setengah tahun dalam jajahan bangsa Nipon merupakan tahun-tahun traumatik, dan mengenaskan, yang terornya belum juga kita lupakan. Di tahun-tahun ini kaum perempuan, yang diperlakukan sebagai barang dagangan yang sangat dilecehkan, memiliki catatan kegetiran zaman tersendiri.
Tapi, sebagai si lemah yang bodoh dan diperbodoh, kita pun menghadap ke Jepang dengan wajah menunduk. Dan sampai saat ini kita masih tetap bodoh dan diperbodoh karena tiap saat kita menanti kiriman mobil, benda-benda elektrik, dan semua corak teknologi yang keluar dari industri mereka.
Dulu kita dibikin menjadi kuli, tapi kita pernah bergolak melawan. Dan kini, ketika diperbudak secara kebudayaan, kita “liyep-liyep”, seperti bangsa terbius, yang hilang kesadaran kebangsaannya, hilang rasa harga dirinya. Saya kira, kita memang terbius oleh pesona industri dan teknologi mereka.
Kita menjadi bangsa yang kagum, dan menyesali diri tertinggal ilmu dan teknologi, lalu kita bukan belajar mandiri, melainkan memperbudak diri di mata mereka.
“Di mana, hari ini, rasa kebangsaan kita? Di mana harga diri kita, yang dulu ditanam dengan penuh kebanggaan oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir, dan kawan-kawan, yang menjadi pemimpin yang memimpin, dan menjadi tokoh yang mengerti arti harga diri bangsa, dan karena itu bergerak membangun harga diri dengan proyek nation building and character building? Di mana itu semua kini bekasnya?”
Sastra membakar kita punya jiwa, dan semangat besar membangun bangsa. Tapi, mengapa kita tak lagi membaca sastra? Mengapa di sekolah, guru-guru berhenti mengajar sastra? Mengapa sastra—yang pada sekitar 60 tahun lalu menjadi kekuatan mahadahsyat yang ikut menyumbangkan gairah perjuangan bangsa—kini kita anggap sebagai “kusta”, yang dijauhi dan dijauhkan dari kita, dan anak-anak, yang butuh dibakar jiwanya agar tahu siapa dirinya, dan siapa bangsanya?
Mengapa kita dijauhkan dari puisi, yang membakar jiwa tapi juga memperhalus budi pekerti? Siapa yang mengajari kita jauh dari puisi? Pemimpin yang hanya mengerti mesin, dan besi-besi, dan karena itu menjadi pemimpin dungu tapi bertangan besi? Kita dijauhkan dari dunia sastra, termasuk puisi, oleh mereka yang mengagung-agungkan peranan teknologi, dan tak mengerti puisi dan karena itu tak punya kehalusan budi?
“Kembalikan Indonesia Kepadaku” jerit penyair Taufiq Ismail, seorang Muslim yang saleh, dan warga negara Hutan Kayu yang nasionalis, yang dalam kesadarannya, dulu bangsanya punya harga diri, otonom dan merdeka di mata semua bangsa. Tapi, ketika semua pemimpin, pertama pemimpin agama, hanya mengerti sabda suci, tapi tak mengerti cara menerapkannya di bumi, dan para pemimpin politik, dan ekonomi hanya mengerti angka-angka, bermain angka, mengotak-atik angka, untuk memperbesar korupsi mereka, dan membuat negeri kita menjadi hampir seburuk wajah neraka, maka menangislah penyair kita itu, dan menjerit dengan penolakan: “Malu (Aku) Menjadi Orang Indonesia”.
Kita tak peduli apakah penyair Taufiq Ismail menulis hanya karena merasa harus menulis atau ia menulis dengan kesadaran politik yang menyala dan membakarnya, dan karena itu ia bermaksud membikin kita bangkit dan menyadari ketertiduran kita yang panjang bagaikan kisah para “ashabul kahfi” dalam kitab suci, tapi kita tahu satu hal: puisi, juga puisi Taufiq Ismail, memiliki kekuatan menggugah. Dan itu sudah cukup untuk peran puisi.
Selebihnya, itu menjadi urusan pemimpin politik, pemimpin ekonomi, tentara, dan polisi, yang harus bertindak membikin hidup lebih baik. Sastra, juga puisi, menghibur, membuka wawasan, memperluas pandangan dunia, memberi kita gagasan-gagasan besar, kiblat ideologi, dan memperkaya khazanah nilai-nilai bagi hidup dan dunia yang kita huni.
Puisi membikin lembut cita rasa hidup kita. Puisi menawarkan pilihan dan membuka peluang memperbesar watak humanis kita, dan menghargai manusia dengan harga kemanusiaannya. Saya kira puisi membantu usaha manusia menjadi manusia.
Tapi mengapa puisi dijauhkan dari hidup kita, seolah puisi penyakit menular dalam sekali sentuh seperti “kusta”? Siapa yang menjauhkan kita dari puisi? Mengapa Menteri Pendidikan membiarkan pendidikan buruk ini berlangsung di depan kita, dan tak ada yang berteriak mengenai perlunya pendidikan kesusastraan yang memadai agar anak-anak mengerti puisi?
Mengapa penerbit-penerbit tak mau menyumbang bangsanya dengan menerbitkan buku-buku puisi gratis, atau menjualnya dengan harga murah, supaya warga negara menjadi lebih pintar, lebih sensitif, lebih manusiawi? Mengapa para bankir kikirnya luar biasa terhadap warga negara baik-baik, tapi luar biasa pemurah hatinya kepada pembobol bank dan para penipu yang bisa bikin mereka bangkrut?
Sastra, juga puisi, memang bukan panglima, dan tak usah menjadi panglima agar kita hidup demokratis dan menghargai kesetaraan. Tapi di tengah keserakahan dunia usaha kita, selalu kita dapati ketidakadilan yang melukai konstitusi dan harapan warga seluruh negeri.
Dunia sastra menyindir keserakahan kita, misalnya dalam cerpen Leo Tolstoy, Berapa Luas Tanah yang Diperlukan Seseorang, yang menggambarkan keserakahan Pakhom, yang berakhir tragis. Pakhom petani yang didera ambisi memiliki seluas mungkin tanah. Dan ia tak pernah merasa cukup. Dalam usahanya memperoleh tanah, yang nyaris didapatkannya, ia mati. Dan kita tahu, yang dibutuhkannya hanyalah seluas kuburnya.
Kata Tolstoy, “Hanya pelayan Pakhom saja yang tetap tinggal di situ. Ia menggali sebuah kuburan dengan panjang yang sama dengan tubuh Pakhom, dari ujung kepala sampai ke ujung kaki—tiga elo saja. Lalu ia menguburkan jasad tuannya.”
Sastra, di tangan Tolstoy dalam cerpen ini, memandang orang serakah sebagai orang yang hidup dalam kesia-siaan. Kita dibuat merenung, dan kembali merombak apa yang pernah kita anggap sudah “jadi” di dalam bingkai kehidupan moral, ideologi dan tata nilai kita, untuk diperbarui, atau diganti dengan bingkai moral, ideologi dan tata nilai yang lebih relevan, yang lebih menjawab kebutuhan manusia untuk menjadi manusia.
Saya kira, sastra memberi kita pilihan-pilihan bebas, yang kaya, dan bervariasi, untuk membuat kita menjadi manusia yang lebih manusiawi.
Karya alegoris Rumi, yang lembut, tapi tajam dan kaya nuansa rohani, membuat kita merenung, dan dengan nyaman menelanjangi segenap watak buruk kita. Dan pelan-pelan kata yang keluar dari lubuk hati Rumi pun menghuni dan memperkaya jiwa kita.
Peradaban Islam menjulang hingga ke Kordoba sesudah periode “iqra”—sebuah sabda di goa Hira—yang juga hanya kata-kata. Dunia Minang berubah tajam sesudah gerakan kaum Padri, yang memegang ajaran dalam bentuk kata-kata. Muhammadiyah lahir karena ideologi keagamaan Abduh, yang dibawa ke Kiai Haji Ahmad Dahlan ke Yogyakarta. Nahdlatul Ulama lahir oleh panggilan dunia dari apa yang namanya ajaran, yang sumbernya juga kata-kata. Sastra dan agama menyentuh manusia, dan mengubahnya dari dalam. Dan pelan-pelan manusia mengubah dunianya.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar