Komarudin
http://www2.kompas.com/
SELAMA rezim Orde Baru berkuasa, ada larangan terhadap sejumlah karya sastrawan yang dituduh terlibat dalam G 30 S/PKI, sehingga karya-karya mereka tak terjamah oleh publik pembaca sastra Indonesia, termasuk sastra eksil.
Namun, belakangan ini perbincangan mengenai sastra eksil kian mengemuka yang diiringi dengan penerbitan sejumlah karya-karya mereka. Sebut saja Kisah Intel dan Sebuah Warung karya Sobron Aidit, adik kandung DN Aidit, Perang dan Kembang karya Asahan Alham, Di Bawah Langit tak Berbintang dan Menuju Kamar Durhaka karya Utuy Tatang Sontani, antologi Di Negeri Orang: Puisi Penyair Eksil Indonesia, karya Asahan Alham, Sobron Aidit, dan kawan-kawan.
Eksil adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tingkat tekanan politik pemerintah. Mereka menjadi eksil berawal saat peristiwa G 30 S/PKI yang terjadi pada tahun 1965, ketika itu mereka sedang berada di luar negeri dengan pelbagai tujuan. Mulai dari tugas belajar, anggota sekretariat organisasi internasional, delegasi suatu perayaan, sampai berobat.
Semula mereka merasa yakin suatu saat akan pulang kembali ke Tanah Air, dengan asumsi pemerintahan Orde Baru tidak bisa berjalan lama. Namun, kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya, pemerintahan Orde Baru mampu mempertahankan kekuasaannya dalam waktu yang panjang.
Proses penantian panjang dan sangat melelahkan itu, sampai usia mereka pun berangsur-angsur tua. Bahkan, ada di antara mereka yang sudah meninggal dunia sebelum pemerintahan Orde Baru tumbang. Pada akhirnya, mereka memutuskan dan mempersiapkan diri untuk tidak akan bisa pulang ke Tanah Air. Kebanyakan dari mereka kini bersandar di Eropa.
Tanah Air
Problem Tanah Air dalam sastra eksil memang sangat dominan. Dalam karya-karya mereka mempunyai ideal tersendiri tentang Tanah Air. Misalnya kerinduan mereka tentang kampung halaman, orang-orang tercinta, hingga kritik atas kondisi Tanah Air saat ini.
Tentang Tanah Air, Goenawan Mohamad pernah menuliskannya dengan menarik. Tanah air adalah sebuah proyek yang ditempuh bersama-sama. Sebuah kemungkinan yang menyingsing, sebuah cita-cita yang digayuh generasi demi generasi, sebuah impian yang kita jalani dengan tungkai kaki yang kadang capek dan kesadaran yang kadang tanpa fokus. Bagi Goenawan, Tanah Air adalah sebuah ruang masa kini kita arungi karena ada harapan untuk kita semua kelak. Tanah Air adalah sebuah engagement. Kenangan, pengalaman, engagement: kata-kata itu semua menunjukkan bahwa ketika kita berpikir tentang Indonesia, kita tak hanya mengetahui dan menyimpulkan, tapi berdiri, dengan kegembiraan dan kesedihan, dengan waswas, dan berharap (Goenawan Mohamad, Tempo, 28/5/2000).
Pernyataan Goenawan itu sebetulnya juga dapat dilihat dalam karya-karya sastra eksil. Seperti diungkapkan Sobron Aidit dalam Kisah Intel dan Sebuah Warung. Menurutnya, kalau di Jakarta, misalnya, rasa takut, khawatir, dan waswas selalu saja menghantui. Ini sangat menyedihkan. Mungkin terlalu banyak mendengar dan membaca koran atau mendengarkan berita radio-televisi yang selalu memberitakan kejahatan, perampokan, penjambretan, dan sebagainya. Pada kenyataannya memang ada bayangan yang selalu mengikuti. Sejarah gelap bagi keluarga, dan orang-orang sepertinya, yang sangat menyedihkan. Tidak semua orang dan tidak semua keluarga, serta teman yang dulu dekat, mau dan bersedia menerimanya. Karena itu, bisa dipahami, eksil Indonesia sangat haus bergaul dan bertemu dengan orang Indonesia. Bila bertemu orang Indonesia atau bertemu muka, ngobrol, cerita-cerita, bukan main senangnya.
Sementara itu, dalam memoar Di Bawah Langit tak Berbintang karya Utuy Tatang Sontani sedikit sekali menyinggung kerinduannya pada Tanah Air, kepada istri, dan anak-anaknya. Berita-berita dari radio dari Tanah Air yang kian lama kian santer menceritakan pengejaran dan pembunuhan terhadap orang-orang komunis dan progresif, sengaja dihindarinya. Termasuk mendengarkan musik-musik Indonesia. Di Bawah Langit tak Berbintang merupakan bentuk kekecewaan Utuy melihat realitas komunitas eksil Indonesia di Cina.
Kepedihan tak terperi memang nyaris mewarnai sastra eksil Indonesia. Baik Utuy, Sobron, maupun Alham, dan lainnya. Sekalipun berada di pengasingan, ingatan kolektif mereka tidak pernah berhenti untuk berpikir tentang Tanah Air. Sebagai tempat lahirnya kenangan gembira dan sedih, pengalaman pahit dan manis, serta keterlibatan bersama dalam membentuk sebuah Tanah Air. Nun jauh di sana, Tanah Air, tak lebih hanya sebagai “komunitas terbayangkan”-meminjam istilah Benedict Anderson yang tersohor. Mereka membayangkan diri, seolah- olah berada di Indonesia. Atau paling tidak mereka dilahirkan dan pernah berpijak di Indonesia.
Seperti halnya bangsa, Tanah Air, tampaknya juga bagi para eksil merupakan sesuatu yang imajiner karena para anggota terkecil sekalipun tidak bakal tahu dan takkan kenal sebagian besar anggota lain, tidak akan bertatap muka dengan sebagian besar anggota lain itu, bahkan mungkin tidak pula pernah mendengar mereka. Namun, toh di benak setiap orang yang menjadi anggota bangsa itu hidup sebuah bayangan tentang kebersamaan mereka (Benedict Anderson, 1999: 7).
Oleh karena itu, seperti ditegaskan Martin Tucker (ed), dalam Literary Exil in the Twentieth Century: An Analysis and Biographical Dictionary, eksil Indonesia mempunyai kekhasan tersendiri, dibandingkan dengan eksil dunia lainnya. Berbeda dengan pengungsi yang menganggap status pengasingan diri mereka sementara dan karenanya ikatan yang tercipta dengan tanah baru tempat mereka mengasingkan diri hanya sedikit, eksil menganggap tanah pengasingan adalah rumah baru mereka sehingga ada ikatan yang lebih kuat antara pribadi eksil dengan tanah pengasingannya ini. Dengan demikian, komunitas-komunitas eksil semacam ini, menjadikan tanah pengasingan mereka yang baru sebagai rumah dan menciptakan kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Dari sinilah kita mengenal apa yang disebut kebudayaan diaspora (Alex Supartono, 2001:158).
Namun, dalam karya sastrawan eksil tidak mengalami diaspora. Sekalipun dari mereka menguasai bahasa asing, tetapi mereka tetap menulis karya-karyanya dalam bahasa Indonesia. Itu pula yang membuat sastra eksil memiliki kekhasan.
“Subaltern”
Meminjam istilah diskursus pascakolonialisme, eksil Indonesia lebih mirip sebagai komunitas subaltern, subyek yang dibungkam dan tertekan. Secara lebih umum, mereka yang berada di tingkat “inferior”.
Seperti dituturkan Asahan Alham dalam Perang dan Kembang terutama pascatragedi tahun 1965 di Indonesia yang mengakibatkan manusia tidak berdosa turut menjadi korban. Terutama yang menimpa keluarga Salam, tokoh utama dalam novel tersebut. “Semua orang bisa dituduh komunis asal yang menuduh punya senjata, punya kekuasaan. Kalau sudah dicap komunis, boleh dibunuh, seperti tikus dan ayam. Atau boleh ditangkap, seperti menangguk ikan, besar atau kecil yang masuk ke dalam tangguk itu, diambil dan dimakan.”
Hal serupa juga terdapat dalam Menuju Kamar Durhaka karya Utuy. Terutama dalam salah satu cerpennya Anjing. Cerita itu ditulis Utuy saat berada di Moskwa, yang menceritakan retaknya hubungan para eksil di Tiongkok akibat perilaku yang mementingkan diri sendiri, bak “anjing”.
Dalam cerpen itu, kehidupan para eksil Indonesia di perkampungan di Tiongkok terbagi atas dua golongan. Utuy dan kawan-kawannya adalah golongan yang oleh pihak lainnya disebut “penentang”. Sedangkan golongan lainnya disebut “pemerintah”. Disebut golongan “penentang” karena mereka mengatur kehidupannya sendiri. Sementara, mereka yang disebut “pemerintah” karena mereka diberi wewenang untuk melaksanakan segala peraturan dari pihak kawan di Tiongkok untuk mengurus kehidupan semua eksil di situ. “Anjing-anjing” itu secara statistik termasuk golongan “penentang”. Gara-gara banyak anjing, pihak pemerintah berusaha untuk mengeluarkannya dari perkampungan.
Sebagai kelompok subaltern, melalui karya-karyanya para eksil berusaha menemukan kembali suara-suaranya yang selama ini dibungkam. Mereka juga berusaha untuk bebas dari pengaruh kekuatan elite yang mengungkungnya. Selain itu, melalui sastra para eksil berusaha merepresentasikan dirinya yang menderita, merana, kesepian, terasing, yang selama ini menyesakkan hati dan pikiran. Semuanya mereka tumpahkan.
Dengan meminjam istilah Martin Heidegger, Lichtung, yang berarti “cahaya” dan “pembukaan” (wilayah), diskursus sastra eksil akan mengingatkan kita bahwa identitas selalu didukung oleh keberadaan yang lainnya. Dalam konteks ini, sastra eksil. Sejalan dengan pandangan Asahan Alham bahwa sastra eksil juga bagian dari kekayaan sastra Indonesia. Memperlakukannya sebagai anak tiri atau bahkan tidak mengakuinya sebagai anak karena cacat tak molek, hanya akan mempermalu diri sendiri.
Seiring perjalanan waktu dan dengan kekhasan tersendiri, memang sudah sewajarnya sastra eksil berbicara dalam kancah sastra Indonesia dan tidak lagi sebagai “sastra minor” (a minor literature). Terutama untuk merajut kembali benang kemanusiaan dan sejarah sastra yang sempat putus.
*) Peminat masalah sastra eksil.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar