Selasa, 29 Maret 2011

MUSIK-TARIAN KEABADIAN; EKSTASE DIMABUK CINTA

M.D. Atmaja
http://sastra-indonesia.com/

PENGANTAR

Cinta sebagai sesuatu yang lumrah dalam kehidupan manusia, yang di dalamnya dipenuhi dengan puja-puji atas sesuatu yang dicintai. Hidup yang dipenuhi dengan rasa cinta, membuat kehidupan menjadi lebih indah dan bermakna. Cinta yang menjadikan hidup indah, dan indah di sini tidak mengacu pada keindahan materi, melainkan lebih pada pengaruh dari keindahan rasa yang menentukan eksistensi dari dunia materi. Menurut saya, cinta itu jauh dari apa yang namanya nilai badaniah, karena cinta bersifat ruh yang suci dan membawa manusia pada jalan terang yang memabukkan.

Ibnu Al-Arabi (Shah, 1985: 95) mengungkapkan suatu “Cinta Istimewa” yang mana mampu memilih dalam pengungkapan yang lebih, “keindahan-keindahan semata terdiamkan: sifat kesederhanaan melimpah”. Bahwa cinta itu tidak hanya mengacu pada sesuatu yang indah secara bentuk, namun memberikan nilai yang lebih dari itu. keberadaannya terkadang tersembunyi, karena bersifat ruh dan berada di dalam jiwa manusia.

Perjalanan manusia, hakekatnya dimulai dari rasa cinta akan sesuatu. Cinta juga dapat dikatakan sebagai rangsangan dari dalam diri yang menggerakkan manusia untuk berbuat sesuatu demi mencapai sesuatu yang dicintai. Cinta sebagai rasa yang sejati dan mampu menjauhkan manusia dari kejahatan, walau terkadang, ketika cinta memiliki cabang, cinta bisa menghadirkan berhala baru yang akhirnya menyekutukan Hidup (Tuhan). Cinta itu, menurut Jalaluddin Rumi (Schimmel, 2002: 213) sebagai kehidupan yang abadi, dan melipat-gandakan kehidupan yang menyenangkan.

Karena keberadaan cinta sebagai kehidupan yang abadi dan melipat-gandakan kesenangan, yang tentu saja untuk manusia, maka seringkali seorang pecinta mengalami keterlupaan pada dunia realitas. Hal ini yang dinamakan sebagai ekstase karena cinta, yang menyenangkan dalam keberlimpahan dapat membuat mabuk. Walau tanpa candu dan minuman berakhohol, manusia dapat mabuk karena cinta. Lebih hebat dari benda-benda yang memabukkan semisal candu dan anggur, cinta bisa membuat manusia seperti manusia gila yang tidak tersembuhkan kecuali oleh sesuatu yang dicintai.

Tulisan ini merupakan hasil dari pembacaan dan pemahaman, kemudian saya berusaha menafsirkan dari karya Nurel Javissyarqi berjudul “Musik-Tarian Keabadian, V : I – LXXIV” dalam antologi puisi “Kitab Para Malaikat” yang diterbitkan Pustaka Pujangga tahun 2007. Saya mencoba menguraikan bagaimana pengalaman Nurel Javissyarqi dalam perjalanan pengelanaannya untuk menuliskan energi-energi cinta yang ditemui.

JALAN KE-WIKU-AN

Tidak bermaksud menisbatkan sesuatu, namun menurut saya pribadi, seseorang yang berjalan menuruti rasa cinta, seseorang tersebut mencoba jalan yang dilakukan para Wiku. Hal ini disadari argumen, bahwa para Wiku itu sudah berusaha untuk melepaskan kepentingan-kepentingan duniawi yang tidak memiliki manfaat untuk perjalanan manusia yang lebih panjang di alam akhirat. Atau, para Wiku menjalani kehidupan di jalan tertentu yang mereka percayai untuk mencapai tarf hidup yang lebih tinggi, misalnya moksa dalam ajaran Hindu-Budha ataupun Penyatuan (mahrifat) dalam tasawuf Islam.

Saya memiliki alasan khusus dengan menggunakan istilah Wiku, bukan rahib atau Biksu walau dari keseluruhan istilah yang ada merujuk pada satu makna, yaitu para pemeluk teguh dari suatu agama atau keyakinan. Hanya saja, istilah Wiku lebih umum untuk semua kalangan, sebagai manusia bijak (manusia Jawa yang bijak) dan memiliki kedekatan dengan manusia, alam, dan tatanan kosmos lain yang lebih tinggi, serta Hidup (Tuhan).

Hal mendasar ketika saya menuliskan ini, bahwa dalam pemahaman saya ketika manusia berusaha berjalan di perjalanan cinta dia seperti seorang Wiku, yang berusaha sebijak mungkin. Karena bagaimana pun juga, jalan hidup seorang Wiku digerakkan oleh cinta, yang entah karena cinta pada diri sendiri karena ingin mencari keselamatan, cinta pada manusia yang berusaha memberikan pencerahan hidup, dan cinta pada Hidup (Hyang atau Tuhan) demi mendapatkan cinta kasih-Nya.

Jalan seorang Wiku dapat saya temukan di dalam puisi Musik-Tarian Keabadian karya Nurel Javissyarqi pada ayat:

Di atas ketinggian dahan, ruh para malaikat penunggu bukit datang berseru,
bergelombang siur bayu berkilau membusa liar di pantai pada kulit luka menerawan,
ia menghisap arus keringat perjuangan, haus akan madu kepujanggaan (V : IV) (Kitab Para Malaikat, 2007: 31)

Ketika kita berusaha untuk memahami sebuah langkah awal yang dimiliki oleh seorang Wiku dalam memulai perjalanannnya, dapat dikatakan sebagai pengetahuan mengenai sesuatu hal. Perjalanan di dasari oleh pengetahuan, sebab pengetahuan membawa pada kesadaran seseorang untuk menjalani sesuatu yang di dalamnya jauh sekali dari apa yang namanya paksaan. Cinta adalah gerakan hati, karena itu keberadaannya di dasari oleh kesadaran yang tanpa paksaan. Tidak ada cinta yang memaksa, baik untuk mencintai atau cintai.

Seperti halnya, sebagai contoh cinta manusia kepada Tuhan, dimana seorang hamba memiliki pengetahuan akan keesaan Tuhan. Pengetahuan dapat didapat dari lima indera manusia, yang akan membawa suatu rasa nikmat ketika manusia dekat pada apa yang diketahui dan dicintai. Dan apabila cinta mengikuti pada apa yang diketahui dan dikenal, maka cinta akan terbagi menurut pengenalannya yang melalui panca indera (Al-Ghazali, 1994: 511). Akantetapi, cinta berangkat dari pengetahuan itu, yang melalui panca indera manusia bisa mengenal, sehingga menurut saya ini yang mendasari Nurel Javissyarqi mengatakan: “di atas ketinggian dahan”.

“Di atas ketinggian dahan” sebagai langkah awal mengenai suatu perjalanan. Pengetahuan dari indera hanya sebagai langkah awal bagi sang Wiku sampai dalam babak perjalanannya mendengarkan “ruh para malaikat penunggu bukit datang berseru”. Seruan di sini dapat kita pandang sebagai buah dari pengetahuan indera mengenai sesuatu. Karena ini dalam konteks Jalan Ke-Wiku-an, maka saya langsung merujukkan pada aspek spiritualitas. Seruan malaikat yang menunggu bukit (baca: tempat tinggi dalam aspek spiritual) agar sang Wiku tidak berhenti dalam menimba ilmu. Hal ini bisa ditilik, antara dahan dan bukit lebih tinggi bukit sehingga, sang Wiku yang memiliki pengetahuan mengenai sesuatu hal diseru dari atas, dari keilmuan yang lebih tinggi.

Seruan ini merupakan panggilan bagi orang yang memahami karena memiliki pengetahuan dan kesadaran. Pengetahuan serta kesadaran yang akhirnya menumbuhkan cinta membuat sang Wiku untuk mau meniti jalan demi mencapai pengetahun yang lebih tinggi. Tentu saja, pengetahuan yang tidak dapat diraih dengan kemampuan panca indera. Cinta yang merupakan kehidupan serta cahaya (Al-Jauziyah, 2009: 421) akan membawa manusia untuk memahami lebih jauh melalui indera keenam yang bertempat di hati (Al-Ghazali, 1994: 512).

Seruan malaikat itu, tentu saja musti di dengar dengan indera keenam, melalui rasa sejati (sanubari manusia). Ketika manusia hendak menjalani seruan itu, dia pun akan merasakan hidup yang dipenuhi penderitaan, yang “membusa liar di pantai pada kulit luka” yang mana menyatakan penderitaan ini hanya sebatas pada resiko yang sungguh tidak sebanding dengan kenikmatan cinta. Hal ini, ketika kita menempuh jalan cinta seorang Wiku pada Tuhan untuk mencapai kebijaksanaan maka seperti sabda Rasulullah SAW ketika seorang sahabat mengatakan, “aku mencintai Allah Ta’ala” maka Rasulullah SAW bersabda: bersedialah untuk menghadapi bala’ (cobaan)” (HR. At Tirmidzi dalam Al-Ghazali, 1994: 505).

Karena itu, untuk siap menghadapi cobaan dari Allah, manusia yang menempuh jalan ke-Wiku-an mesti mampu untuk “menghisap arus keringat perjuangan” yang Nurel Javissyarqi ungkapkan. Dan menurut saya, “menghisap arus keringat perjuangan” sebagai tapak jalan dalam memperoleh ilmu pengetahuan mengenai agama, pun mengenai kehidupan serta tingkatan-tingkatan cinta. Lalu, Nurel Javissyarqi pun mengatakan: “haus akan madu kepujanggaan” yang menyatakan nilai dari keluhuran karya seorang pujangga. Bukan pada seorang pujangganya, namun lebih pada karya yang dihasilkan.

Hal ini dapat ditilik dari pandangan Aristoteles (dalam Ratna, 2007: 70) yang mengungkapkan berfungsi karya seni untuk mensucikan jiwa manusia (Aristoteles dalam Ratna, 2007: 70), maupun pendapat dari Imam Al-Ghazali (Abdul Hadi W.M., 2004: 34) yang menyatakan bahwa efek yang ditimbulkan karya seni terhadap jiwa manusia sangat besar, dan karenanya menentukan pembentukan moral dan penghayatan keagamaannya. “Madu kepujanggaan” mengarahkan manusia untuk belajar kebijaksanaan dari seni.

“Madu kepujanggaan” karena itu, Nurel Javissyarqi melanjutkan puisinya dengan:

Sesobek-sobek kenangan ganjil dalam puisi,
kau pegang bagi teori atas hukum-hukummu (V : IX) (Kitab Para Malaikat, 2007: 31).

Rangkaian kata yang tadinya mengandung kemajemukan makna, Nurel Javissyarqi sederhanakan menjadi “sesobek-sobek kenangan ganjil dalam puisi” yang lebih memberikan pengertian secara sederhana. “Sesobek-sobek kenangan” dapat kita pahami sebagai penggalan dari sebuah pengetahuan mengenai hal yang “ganjil”. Kita perlu mengingat kalau istilah “ganjil” lebih merujuk pada keanehan atau keindahan yang ada di luar batas manusia, sehingga dengan ini saya pun menyimpulkan istilah “ganjil” bermakna pada keesaan dan kekuatan Tuhan. Seperti dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Bukhari (Al-Qasimi, 2010; 293), Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya di antara syair itu ada hikmah”.

Hikmah atau patahan-patahan ilmu kebijaksanaan yang membawa manusia pada jalan cinta ini lah yang layak untuk pahami. Bahkan, secara radikal kita bisa saja mengatakan Quran sebagai serangkaian puisi yang Tuhan Semesta Alam turunkan ke bumi untuk menjadi pegangan Kitab Islam sehingga agama tersebut menjadi Rahmatan Lil ‘Alamin. Sehingga puisi yang Nurel Javissyarqi maksudkan adalah Quran itu sendiri, yang akhirnya bagi seorang pejalan yang menempuh jalan ke-Wiku-an, akan menggunakan Quran (baca juga: kitab suci) sebagai penunjuk jalan. Itu yang mungkin saja dimaksudkan Nurel Javissyarqi dengan: “kau pegang bagi teori atas hukum-hukummu”, yaitu adalah puisi sebagai simbolisme dari kitab suci. Untuk mencapai tingkatan tinggi, jalan kebatinan (tasawuf Jawa) mengenal tingkatan-tingkatan, yaitu sarengat, tarekat, hakekat, mahrifat (Mulder, 1984: 24-25).

Menjadi seorang pejalan yang menempuh untuk mencapai taraf yang lebih tinggi, menjadi seorang Wiku atau seorang pecinta yang mencapai ma’rifat, maka manusia hendaknya menjadikan Quran (kitab suci) sebagai pegangan hidup dan hukum. Selain itu, ada aspek lain yang berada di luar diri manusia yaitu alam semesta yang mana, dalam Quran surat Adz-Dzariyat ayat 20, yaitu: “Dan di bumi itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang yaqin” dan melalui tanda-tanda itu, manusia bisa belajar mengenai hakekat kehidupan.

Dari alam itu, kita bisa belajar mengenai hakekat dalam perjalanan ke-Wiku-an ini:

Menimbang tidak lebih berat,
bayangkan ia awan, kau pelajar di matanya (V : XXIX) (Kitab Para Malaikat, 2007: 32)

Belajar dari alam mengenai kehidupan, hakekat hidup dan bagaimana menjalani kehidupan agar menjadi bijaksana. Sebab, seorang Wiku adalah sosok yang dekat dengan alam yang merupakan tempat dimana Tuhan memanifestasikan kekuatannya. Untuk itu, dalam tradisi Jawa mengenal adanya “memayu-hayuning bawana” yang oleh Sosrosudigdo diterjemahkan sebagai menguasakan keselamatan dunia pada umumnya (Mulder, 1984: 39-40). Istilah menjaga keselamatan adalah dengan membaca tanda-tanda alam, yang secara tidak langsung menjadikan alam sebagai guru bagi kehidupan manusia. Seperti para petani yang menggunakan tanda-tanda alam dalam kerja pertanian mereka.

Bersinggungan dengan kondisi ini, saya teringat dengan lagu yang dinyanyikan Ebit G. Ade, berjudul “Bahasa Matahari”, dimana mempelajari alam dengan kalimat rahasia karena Tuhan menghendaki manusia memelihara bumi dan isinya. Alam menjadi suatu medan pembelajaran bagi manusia yang menempuh jalan ini. Di dalam alam itu, terkadang Tuhan memberikan pertanda mengenai sesuatu, sehingga manusia Jawa memiliki ilmu titen atau menandai dengan skema gathak-gathuk yang dilandasi dengan rasa sejati.

Belajar dari alam ini, Nurel Javissyarqi tegaskan kembali dalam ayat:

Usah menyebut di masa kapan ialah sudut menjangkau kepenuhan,
mengkristal embun daun jati di hutan pelajaran, ambil perekat mahabbah itu
demi untaian rambutmu menghitam panjang sepenantian ganjil abadi (V : LIV) (Kitab Para Malaikat, 2007: 33)

Dengan mempelajari alam ini, bisa membuat manusia mengenal hakekat Hidup (Tuhan) secara lebih dalam untuk mencapai tahapan cinta seorang Wiku pada Tuhan (Hyang). Dengan melihat alam, “mempersaksikan kebaikan, kemurahan, karunia dan nikmat Allah yang zhahir maupun yang batin” (Al-Jauziyah, 2009: 427) yang mana dapat menambah rasa cinta tersebut.

Karena itu, “mengkristal embun daun jati di hutan pelajaran” berarti memahami kehidupan, mengenai kebaikan, kemurahan, karunia serta nikmat Allah tersebut, sehingga manusia akan menemukan “perekat mahabbah” pada apa “ganjil abadi”. Sudah saya sebutkan di atas, bahwa istilah “ganjil” bermakna pada keesaan dan kekuatan Tuhan, sehingga perjalanan seorang Wiku adalah perjalanan di jalan cinta menuju Tuhan Yang Maha Abadi.

Dan ketika seorang manusia menempuh jalan ke-Wiku-an ini, tidak perduli seberapa mudanya ia, namun ketika kesadaran dan pengetahuan menuntun untuk melangkah, maka:

Hilang kepemudaan atas kehendak berkepompong, benang-benang
sutramu balutan penari ulat, akan menjelma kekupu di panggung bayangan,
nantinya bakal berkabarkan cahaya kepenuhan (V : XLII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 33)

Sehingga, di sana kita menemui bagaimana manfaat dan kelebihan ketika manusia menyadari atas jati-diri seorang Wiku, yang hidup dalam kesederhanaan, kerasnya perjalanan yang bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi untuk umat manusia yang berada di sekitarnya. Dan mungkin saja lebih jauh, karena Wiku adalah pertapa hari dalam penjagaan malam.

MANUSIA CINTA

Manusia cinta, yang saya maksudkan adalah manusia yang mengisi hidupnya dengan cinta. Saya sengaja membedakannya dengan perjalanan ke-Wiku-an, sebab manusia cinta ini keberadaannya kadang tersembunyi dari orang lain, dan terkadang tidak mengindahkan orang lain. Hanya ada dirinya sendiri dan objek yang dicintai. Mungkin saja ini, yang diungkapkan Maman S. Mahayana (2007: vii) dalam mengantari “Kitab Para Malaikat” dengan mengatakan, serangkaian keasyikmasyukan, keterlenaan dan ekstase yang memabukkan dirinya sendiri.

Manusia cinta berusaha keras dengan semua kekurangan, dan mungkin saja keterbatasan pengetahuan. Akantetapi, manusia cinta ini memiliki kadar cinta yang banyak, yang membuatnya berusaha keras menuju yang dia cintai. Perjuangan manusia cinta dapat kita lihat di:

Anak-anak menarik tali pedati seberat beban hidupnya,
Ia terlunta mengamati bening-hening-cermin berserak duka (V : XII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 31)

Seperti inilah penggambaran manusia cinta itu. Dia seperti “anak-anak” kecil yang menjadi simbol atas keterbatasan pengetahuan hidup. Pengetahuan di sini merujuk kepada pengetahuan agama dan kebijaksanaan. Jadi, manusia cinta berbekal keinginan untuk membawa kehidupannya pada jalan cinta. Seperti yang Nurel Javissyarqi ungkapkan: “menarik tali pedati seberat beban hidupnya” yang menggambarkan mengenai usaha manusia cinta untuk membawa diri menemui sang tercinta.

Tapi, sebentar, saya masih ragu, apakah ini sebagai penggambaran kehidupan manusia yang memiliki pengetahun sedikit namun menuju pada jalan cinta, atau justru rasa cinta yang besar membuat manusia cinta menjadi seperti anak kecil. Manusia yang berubah kanak karena perasaan cinta terus mendesak, membuat ilmu tidak berjalan selain kekuatan keinginan itu sendiri. Menjadi sesuatu yang cukup logis, ketika manusia cinta dibutakan dan dibodohkan oleh cinta. Sebab, seperti bagi manusia cinta, perbuatan dan ilmu bercampur menjadi satu. Bahkan, manusia itu sendiri sudah tenggelam di dalam cinta.

Keadaan ini dapat kita temukan dalam tulisan Rauf Mazari, Niazi (Shah, 1985: 327) yang mengatakan bahwa: “Cinta adalah Perbuatan, Perbuatan adalah Pengetahuan, Pengetahuan adalah Kebenaran, Kebenaran adalah Cinta”. Dari ungkapan ini, kita bisa menilik kembali mengenai aspek dari perbuatan dan pengetahuan sang manusia cinta. Ia, manusia cinta adalah manusia yang menuruti kehendak hati (cinta) yang terus mendesaknya untuk melakukan gerakan. Di dalam gerakannya, ada pengetahuan dan di dalam pengetahuannya ada kebenaran, setelah itu keseluruhannya bernama cinta.

Sudah tidak ada lagi objek dan subjek, bersatu lebur menjadi satu yaitu cinta. Karena itu, manusia cinta menjadi anak kecil, bahkan Syibli dan Junaid (Shah, 1985: 207) menyatakan kalau kekuatan cinta mampu membuat manusia menjadi gila. Karena kondisi ini, cukup wajar jiwa Nurel Javissyarqi menyatakan: “terlunta mengamati beling-hening-cermin berserak luka” yang mana mereka (manusia cinta) mampu melihat diri dengan jernih. Manusia cinta mampu mengenal dirinya sendiri, sehingga merasa sakit dengan kehidupan manusia yang fana.

Ketika manusia telah mampu melihat dirinya sendiri, tentang bagaimana keadaan hidupnya, maka Nurel Javissyarqi lalu berucap:

Di dasar kesunyian, temukan tangisan tinta hitam di waktu lambat membisu,
berharum kembang khusyuk sesalan kalbu (V : LVI) (Kitab Para Malaikat, 2007: 33)

Diri yang sejati, yang berada di dalam sanubari, kebenaran manusia nampak dengan jelas oleh manusia cinta. Ungkapan “kesunyian” dapat dimaknai sebagai hati manusia, karena sunyi dipandang mengandung nilai keheningan dan tentu saja, adalah kesucian. Hati manusia hakekatnya sunyi, tidak bising dengan keinginan. Gerakan dari hati itu pun pasti, merujuk pada kebaikan yang didasari oleh hakekat dan ruh kehidupan, yaitu cinta dan Tuhan.

Ketika manusia mengedepankan hati, dan dengannya melihat realitas dirinya yang dikejar oleh hawa nafsu, maka hati itu sedikit banyak akan merasakan prihatin. Apalagi kalau itu adalah “tinta hitam” kehidupannya sendiri, maka manusia pecinta akan lebih merasakan sakit, merasa kalau dirinya begitu hina di depan Kekasihnya. “Dasar kesunyian” merujuk pada perenungan manusia atas jalan hidup manusia. Ketika di sana menemukan berbagai “tinta hitam” sebagai perjalanan (baca: takdir) yang sudah terlaksana dan tidak sesuai dengan sanubari, maka manusia cinta pun merasakan kesedihannya.

Kesedihan di sini bukan karena dosa-dosa yang mengancam yang membuatnya masuk ke neraka. Akantetapi lebih pada perasaan tidak pantas untuk bersanding dengan sang Kekasih. Sampai, “berharum kembang khusyuk sesalan kalbu” atas kehidupan yang sudah dijalani. Inilah, hakekat dari hati yang sudah pernah saya bahas dalam uraian “Hukum-hukum Pecinta, Nasehat Penyari untuk Diri” bahwa hati manusia adalah pemangku otoritas kehidupan. Dan manusia cinta, meletakkan seluruh perjalanan hidupnya pada hati, arah mana yang musti ditempuh dan bagaimana.

PERTEMUAN RINDU

Bagaimana perasaan kita kalau sedang menanggung perasaan rindu, kemudian disuatu ketika yang sangat kita nantikan, kita bisa bertemu dalam pertemuan rindu untuk melepaskan semua rasa yang ada? Tidak bisa terbayangkan indahnya, menghadapi perjamuan yang membayangi hidup kita setiap tarikan napas. Ini keajaiban rindu, yang tidak hanya sekedar dari rangsangan hebat pada seseorang untuk melakukan sesuatu, yang tentu saja demi tersalurkan hasrat kerinduan tersebut.

Bayu meniup api melambai, bara bergolak ke uluh hati dan prasangka
tumpah merajah prahara, menelusup ke dada, meruh ke dalam sukma (V : II) (Kitab Para Malaikat, 2007: 31)

Perasaan rindu pada sesuatu yang dicintai selayaknya kejadian angin yang meniup api: “bayu meniup api melambai” yang dapat membuat kerinduan semakin besar. Kerinduan yang semisalnya saja kita umpamakan dengan percikan api kecil di tumpukan daunan kering, maka api itu dapat membesar dan menghanguskan keseluruhan daunan tersebut. Kita lihat saja, berbagai kasus kebakaran hutan yang justru semakin meluas ketika ada angin bertiup. Aspek rindu digantikan oleh aspek “api melambai” sedangkan aspek “bayu” dapat disebut dengan perasaan sendiri yang membawa pada suatu ketergantungan atau perasaan membutuhkan.

Rasa membutuhkan yang tentu saja membuat seseorang untuk bertemu dengan sesuatu yang dicinta menuntunnya untuk melakukan suatu gerakan (entah itu perjalanan atau sekedar menjalankan aktivitas) dalam rangka memuaskan rindu. Al-Jauziyah (2009: 444) memandang rindu sebagai salah satu pengaruh dan hukum cinta, yang sekaligus merupakan perjalanan hati menuju kekasih (suatu yang dicintai) dalam keadaan bagaimana pun. Perjalanan menuju kekasih ini tidak semerta-merta tindakan untuk bertemu, dia dapat berwujud apa saja yang mesti dilakukan dalam usaha mengobati rindu.

Kalau Nurel Javissyarqi mengumpakan rindu sebagai jilatan api, hal ini dapat dipahami, seperti yang juga diungkapkan Al-Jauziyah (2009: 444) bahwa rindu dapat membakar hati dan menghentakkan jantung. Hal ini dapat kita pahami dari berbagai kasus, yang tentu saja merupakan pengalaman pribadi setiap manusia. Bahwa rindu, membuat hati manusia tidak tenang, tidak jenak dalam melakukan berbagai aktivitas, yang ada di dalam benak manusia perindu hanya bagaimana caranya untuk bertemu dengan yang dirindui.

Rindu yang memuncak dan tidak tertahan, kemudian juga tidak tersalurkan akan membawa keresahan yang sangat. Tidak sedikit yang sampai terbawa ke alam mimpi. Resahnya hati dalam merindukan yang dicintai tersebut, oleh Nurel Javissyarqi dikatakan mampu: “bara bergolak ke ulu hati dan prasangka tumpah merajah prahara” yang mengungkapkan mengenai keresahan dimaksud. Resah yang tidak segera terobati akan mendatangkan kekalutan yang membuat seseorang berada dalam keraguan-keraguannya sendiri.

Kita juga bisa melihat mengenai suatu nilai dari sembahyangnya manusia atau pemujaan manusia pada sesuatu. Manusia yang bersembahyang (yang tulus) karena di dorong oleh aspek rindu ini. Keinginan untuk bertemu dan perasaan membutuhkan. Memang kita tidak bisa memukul rata dalam pendapat ini, bahwa tidak setiap orang yang bersembahyang karena rindu, lebih banyak yang karena faktor membutuhkan pertolongan. Akantetapi, ini sebagai penggambaran saja, bahwa dalam konteks religius seorang pecinta yang merasakan rindu pada Tuhannya akan menjadikan sembahyang sebagai media bertemu.

Sampai ketika kerinduan terus ada, kerinduan yang “meruh dalam sukma” seorang pecinta terkadang tidak bisa lepas dari yang dicintai. Ia kemudian melakukan suatu aktivitas yang bisa membuat si pecinta senantiasa bersama dengan yang dicintai. Ketika kita merujukkan khasanah ini pada kecintaan manusia pada Tuhan, maka seperti yang dilakukan para Wiku, maka mereka akan senantiasa meluangkan keseluruhan dari kehidupan mereka untuk mendekatkan diri pada Tuhan dengan cara bersemedi atau menyepi. Semedi di sini bukan hanya masalah mengenai pemusatan pemikiran, namun di dalamnya terdapat doa, pemujaan, dan tentu saja kontemplasi.

Kerangka bersemadi adalah sebagai perwujudan dari penggunaan keseluruhan waktu (seluruh hidup) untuk berada lebih dengan dengan Tuhan, sehingga di dalam semedi yang terpenting adalah pertemuan itu sendiri. Keadaan diri, saat itu tidak dihiraukan apakah mengalami penderitaan atau berada di ujung kehidupan, sebab pertemuan dengan sang Kekasih (Tuhan) sebagai hal yang paling utama dan menepis semua penderitaan manusia.

Keadaan ini seperti dalam penggambaran Ansari dari Herat (Huxley, 2001: 418) yang menyatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa ketika kamu belajar untuk mengabaikan dirimu, kamu akan mencapai yang kamu kasihi.” Perihal yang mana, seseorang tidak lagi memperdulikan diri, hanya mengenai pertemuan dirinya dengan kekasih. Semadi sebagai bagian dari ritual doa yang merupakan aspek dari usaha untuk memenuhi kerinduan kodrati dari hati manusia untuk mencurahkan cinta dan rasa syukur kepada sang Pencipta (Davamony, 1985: 265).

Semadi juga sebagai jalan bagi manusia, dalam literatur Jawa, untuk memusatkan kesaktian, kekuatan kosmis yang ada di dalam dirinya sendiri (Magnis-Suseno SJ, 1985: 104). Semadi, jalan mendekatkan diri pada kehidupan semesta serta Tuhan untuk mencapai kekuatan ketuhanan (atau magis) yang mana sebagai hasil dari kedekatan manusia dengan Tuhan. Pertemuan yang berlangsung lama menjadikan manusia yang bersemadi memiliki keistimewaan yang oleh masyarakat Jawa disebut dengan kasekten atau kesaktian.

Pelaksanaan dari semadi sebagai pelaksanaan dari laku spiritual, yang dapat juga dikatakan sebagai suatu perjalanan menuju kesejatian hidup atau Tuhan. Jalan yang ditempuh dalam perjalanan ini adalah dengan lebih membersihkan hati untuk mencapai kesucian rasa sejati atau aspek ilahi dalam diri manusia. Jadi, perjalanan seorang pecinta dalam mencapai tingkatan religius adalah perjalanan hati, seperti dengan berpuasa, bersemadi, beribadah yang di dalamnya menyangkut shalat dan pujian lainnya.

DI GERBANG CINTA

Manusia yang mencintai, kemudian merasakan gejolak rindu, setelah itu melakukan perjalanan untuk bertemu dengan yang tercinta, dia mengalami keterlupaan pada dunianya. Keterlupaan yang saya maksudkan lebih pada kepasrahan hidup, yang dilakukan secara totalitas. Apalabila dalam khasanah manusia Jawa, totalitas di sini tercermin dalam pandangan nrima ing pandhum, menerima semua hal (nasib) yang sudah digariskan oleh Tuhan. Sifat pasrah dalam konteks ini bukan pasrah pasif, melainkan pasrah yang aktif dimana manusia berusaha keras dan meletakkan semua keputusan di tangan Tuhan.

Sikap nrima manusia Jawa sebagai sikap untuk mau menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasib dengan rela (Koentjaraningrat, 1994: 404). Sabar dan rela, yang menuntun manusia untuk menerima apa pun yang sudah Tuhan berikan dalam jalan cinta. Kepasrahan juga disertai dengan rasa yaqin, dimana nasib yang diterima adalah yang terbaik dari Tuhan. Yaqin mampu memberikan kekuatan dalam melakukan kepasrahan total, sebab “di dalam yaqin tidak ada keraguan sama sekali” (Al-jauziyah, 2009: 352).

Manusia yang pasrah secara total, seperti yang diungkapkan Nurel Javissyarqi dalam ayat berikut:

Kau pena tergolek tidak menghiraukan lelembaran kertas,
membiarkan diri terlelap sampai hilang rasa berkata (V : LXVIII) (Kitab Para Malaikat, 2007: 34).

“Pena yang tergolek” menjabarkan mengenai pertautan bangunan simbol kepasrahan manusia. Pena, seperti manusia yang dalam gerakan dibutuhkan adanya kekuasaan. Akantetapi, pena di sini membiarkan dirinya tergeletak kalau tidak ada tangan yang menggunakannya untuk membuat suatu garis atau kata. Lalu, tangan siapa yang menggerakkan pena? Itu adalah kekuasaan Tuhan, dimana manusia yang yaqin tidak akan bergerak sama sekali, tidak akan meronta kalau nanti tiba waktunya Tuhan mencelupkannya di dalam cawan tinta atau membiarkan tergeletak begitu saja.

Nuansa yang tergambar di sini, hanya untuk menggambarkan mengenai kematian hawa nafsu manusia. Yang dalam pandangan hidup manusia Jawa, dikatakan sebagai mati sajroning urip lan urip sajroning mati. Orang yang pasrah dalam ketotalitasan, akan nampak seperti orang mati, akantetapi jiwanya terus bergerak menuju yang tercinta. Sebab, ketika Tuhan yang menjadi sang Kekasih, maka hanya dengan kematian itu manusia bisa bertemu Tuhan untuk lebih lama.

Terkuaklah kerahasiaan sedari menampar kekangan,
rindu lebur lenyap sudah dan kematian membangkitkan rasa
dan perasaan menjelma pengetahuan pertama (V : LXXIV) (Kitab Para Malaikat, 2007: 34)

Kepercayaan para pecinta, ketika mereka mencapai kematian mereka mampu untuk mencapai Tuhan, sebab tubuh mereka bersifat duniawi dan tidak mampu menggapai dunia ruh. Sa’di (dalam Seyyed Hossein Nasr et al, 2003: 343) mengatakan bahwa: “Para pecinta terbunuh oleh sang Kekasih [Tetapi] mereka yang terbunuh tidak dapat berbicara”. Terbunuh di sini untuk mencapai aspek penyatuan. Kematian seorang pecinta berarti memasuki kehidupan yang sebenarnya, karena “Orang yang mengetahui kekuatan rahasia perputaran cepat itu, hidup di dalam Tuhan: Cinta sedang membunuh dan menghidupkan mereka – mengetahuinya…” (Rumi dalam Schimmel, 2002: 238).

Lantas, apakah mereka yang terbunuh itu mati? Untuk menjawab dan mengakhiri kajian ini, saya mengutip langsung syair Jalaluddin Rumi (Schimmel, 2002: 238): “Para pecinta aneh – semakin mereka dibunuh, semakin mereka hidup”.

Bantul – Studio SDS Fictionbooks, 01 Maret 2010

Orang Asing, Sebuah Naskah Teater

Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Tokoh

Lurah Guru Modin Orang asing Perempuan Warga

Sinopsis

Adalah konspirasi orang asing dengan lurah. Orang asing membantu lurah untuk merealisasikan janji-janjinya dalam memimpin kampungnya untuk mensejahterakan rakyatnya. Rencana itu disambut baik oleh kebanyakan warga. Terlebih untuk pendidikan gratis, kesejahteraan guru dan modin.

Di tengah perencanaan tersebut, seringkali ibu-ibu merasa ketakutan. Mereka seringkali memahami informasi sepotong-potong tentang nasib anak-anaknya, informasi itu seringkali dikait-kaitkan dengan maraknya penculikan dan penjualan anak, tentang jual beli organ tubuh, dan tentang penyalagunaan asuransi jiwa.

Semua warga dan guru setuju dengan rencana tersebut kecuali pak Modin. Ia satu-satunya orang yang tidak setuju dengan tawaran orang asing itu, karena konpensasinya harus mau menerapkan sistem pendidikan dengan maksud membunuh potensi dan kreatifitas anak-anak, juga dianggap tidak menghargai pekerti yang luhur. Modin bersuara lantang walau sebenarnya ia menjadi orang yang paling beruntung kalau ia setuju.

Orang asing menganggap suara Modin amat mengganggu. Ia meminta lurah untuk menyingkirkannya dengan cara mengirim perempuan cantik.

Adegan 1

Lurah berdiri tegap di tengah panggung. Menatap para penonton. Lurah menganggap mereka adalah warganya.

1. Lurah : (berteriak dengan wibawa) Para warga, aku suka kalian bergembira. Itu adalah wujud terimakasih padaku. Kalian sungguh nampak kenyang. Aku tidak sia-sia memberi kalian makanan tiap hari.

Berjalan mengitari semua area panggung

2. Lurah : Sudah kesekian hari aku memimpin kampung ini. Aku telah berjanji pada wargaku. Mereka harus sejahtera. Semuanya. Petani, guru, modin, nelayan, kuli batu, pedagang dan lain sebagainya. Namun, prioritas utama adalah anak-anak sekolah, guru dan modin. Anak-anak sebagai penerus pembangunan, mereka harus mendapatkan pendidikan yang layak secara gratis. Guru sebagai penerang kegelapan hidupnya harus lebih bermartabat. Begitu pula pada modin. Ia adalah jembatan nilai-nilai ketuhanan. Ia harus aku kasih penghargaan.

Adegan 2

Modin memimpin ibadah dengan melantunkan kalimat-kalimat suci. “sumpahku untuk Tuhan/ hidupku akan tenang”.

Adegan 3

3. Guru : Murid-muridku, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Hiasi pekerti dengan moral yang mulya.
4. Murid-Murid : (menyanyikan hymne Guru)

Adegan 4

Di kantor kelurahan siang hari

5. Lurah : Yang terhormat, seluruh warga kampung. Terimakasih atas kedatangan kalian, dan minta maaf bila ada yang tidak berkenan. Pertemuan ini bermaksud baik, terutama bagi warga yang punya pengabdian tinggi terhadap kampungnya dengan tulus. Kabar gembira buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang yang memiliki anak usia sekolah. Kabar gembira buat bapak ibu guru, juga buat bapak modin. Sesuai keputusan pemerintah nomor 1 2 3 4 5 ABCDE, menimbang dan memutuskan. 1. Pendidikan gratis. 2. Semua guru akan mendapatkan tunjangan yang layak: Gaji 5 juta perbulan, Pulsa gratis selama menjadi guru, rumah dinas dengan listrik gratis, mobil lengkap dengan sopirnya. 3. Untuk para modin, honor bulanan dan fasilitas lain sama seperti guru, ditambah bonus 3 juta tiap urusi kematian.

Para penduduk bergembira lalu bernyanyi

6. Orang-orang : “Asyik, asyik guruku kaya raya. Modinku hidup mulya”

Adegan 6

7. Orang Asing : Bapak lurah yang terhormat, bantuan ini tentunnya harus ada konpensasinya, harus ada jaminannya.
8. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
9. Orang Asing : Begini bapak, untuk anak-anak haruslah cerdas dan terukur IQ-nya. Makannya harus diuji sebagai ukuran standarisasi mutu. Bila tidak mencapai ketentuan yang kami buat, anak itu dianggap gagal atau tidak lulus.
10. Lurah : Misalnya orang asing?
11. Orang Asing : Anak-anak harus bisa menjawab soal pelajaran paling sedikit 70 dari 100 soal yang diujikan.
12. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
13. Orang Asing : Dan yang membuat soal itu adalah kami
14. Lurah : Gampang, itu semua bisa dibicarakan
15. Orang Asing : Mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa asing, matematika dan ilmu pengetahuan umum.
16. Lurah : Itu juga bisa dibicarakan Tuan. Kerja dengan kami amat mudah Tuan, yang penting ada uangnya. Tapi maaf Tuan, bukan untuk kepentingan kami pribadi, namun untuk kepentingan warga kampong
17. Orang Asing : Ya ya ya…. Saya percaya pak, itu semua bisa dibicarakan
18. Lurah : Tuan, boleh saya mengajukan pertanyaan?
19. Orang Asing : Oh boleh, semuanya bisa ditanyakan dan bisa dibicarakan (teretawa)
20. Lurah : Materi yang akan diujikan dalam ilmu pengetahuan umum itu apa Tuan?
21. Orang Asing : Ya paling tidak, pengetahuan tentang nama-nama Negara kaya
22. Lurah : Oh begitu Tuan, bagus itu. Nama saya juga ditulis kan?
23. Orang Asing : Bisa bapak, semuanya bisa dibicarakan. Namun ada syaratnya, bapak.
24. Lurah : Syarat itu bisa dibicarakan kan, Tuan?
25. Orang Asing : Bisa, semuanya pasti bisa dibicarakan. Begini bapak, syarat tersebut adalah bagi pemimpin yang punya uang dan tentara. Apa bapak Lurah punya tentara?
26. Lurah : bukan tentara tapi hansip Tuan.
27. Orang Asing : Punya senjata?
28. Lurah : Pentungan, Tuan
29. Orang Asing : Oh oh……………………
30. Lurah : Bisa dibicarakan kan, Tuan?
31. Orang asing : Bisa, bisa……. Atau bapak punya uang?
32. Lurah : Ya ada tapi dibawa istri
33. Orang Asing : Istri bapak berjumlah berapa?
34. Lurah : Masih satu, Tuan
35. Orang Asing : (tertawa) Satu istri itu indikator tidak punya banyak uang
36. Lurah : Berarti banyak uang itu harus banyak istri, Tuan?
37. Orang Asing : Bisa saja satu, tapi simpanannya yang harus banyak.
38. Lurah : Ah Tuan. Suka sekali bergurau. Kalau Tuan sendiri punya berapa istri?
39. Orang Asing : Tidak punya
40. Lurah : Tidak punya tiga atau lima?
41. Orang Asing : Sepertinya tidak punya sama sekali
42. Lurah : Wah, tuan ini ternyata masih perjaka. Terus untuk apa tuan bekerja?
43. Orang Asing : Untuk hidup bahagia dong bapak. Kebahagiaan kan bisa dibeli
44. Lurah : Maksud Tuan?
45. Orang Asing : Perempuan kan bisa dibeli. Banyak yang jualan bapak. Menikah itu merepotkan, harus buat perjanjian, harus ngurusi anak. Istri suka melarang yang ini itu. Hidup akan semaikin tidak bebas dengan ikatan pernikahan. Jadi kalau kita ingin bercinta, akan lebih baik membeli, dan bisa gonta-ganti. Tapi maaf bapak, itu semua ukurannya adalah uang. Bila tidak punya banyak uang, semuannya akan repot. Perempuan kampong sini ada yang dijual bapak?
46. Lurah : Maksud, Tuan?
47. Orang Asing : Ah, kalau itu bisa kita bicarakan nanti saja.
48. Lurah : Maksud Tuan?
49. Orang Asing : Jelasnya begini bapak, anak-anak kampung bapak perlu dibentuk untuk menjadi anak yang cerdas dan terukur. Bila ia bisa menjawab soal-soal yang kami ujikan berarti mereka adalah anak yang hebat menurut ukuran kami. Bila tidak, ya gagal alias tidak lulus. Kami tidak peduli apa mereka berbakat, apa mereka memiliki budi pekerti yang baik, karena itu bukan ukuran kami. (tertawa) Ukuran kami adalah anak-anak itu harus tahu nama-nama pemimpin hebat yang kaya dan yang punya tentara kuat.
50. Lurah : Tuan orang asing!
51. Orang asing : (tertawa semakin keras)
52. Lurah : Tuan orang asing yang terhormat!
53. Orang Asing : (tetap tertawa)
54. Lurah : Tuan orang asing, semua masih bisa dibicarakan kan?!

Adegan 7

Bayan berkeliling panggung. Ia beranggapan bahwa panggung itu adalah kampungnya, dan warga adalah penontonnya.

55. Bayan : Pengumuman! Alias woro-woro. Ini penting bapak, ibu. Ini menyangkut nasib anak bapak ibu.
56. Ibu 1 : Ada apa pak bayan?
57. Ibu 2 : Iya bapak bayan, ada apa? kok sepertinya gawat?!
58. Bayan : Ibu-ibu punya anak usia sekolah kan, nasib mereka….
59. Ibu-Ibu : Nasib mereka?!
60. Ibu 1 : gawaaaaaaaaaaaaat! Bapaaaaaaaaaaaaaaaak, anak kita diculik, bapak! Mamad, anakku, dimana kamu?!
61. Ibu 2 : si Siti anakku, kamu juga dimana, nak?

Para warga berlarian. Mereka keluar membawa kentongan. Mereka mencari anak-anaknya.
62. Warga :
“setan gundul, temokno anakku. Sing gak koen temokno anakku tak uyoi ndasmu”
Mereka terus bergerak dan bernyanyi. Nyanyiannya semakin lama seperti mantra. Menjadi sangat mistis.
63. Modin : (Mendatangani warga) Bapak ibu, ini sebenarnya ada apa?
64. Ibu 1 : Anak kita hilang pak modin
65. Modin : Hilang, hilang bagaimana bu?
66. Ibu 2 : Kok bagaimana sih, pak modin. Hilang ya hilang, pak!
67. Guru : Maksud ibu-ibu, anak anak sedang tidak ada di rumah?
68. Ibu 1 : Ah ibu guru ini, kalau hilang ya tentu tidak ada di rumah
69. Modin : Bapak ibu apa tidak salah. Sudah tidak jamannya wewe gombel nggondol anak-anak. Wewe gombel kini sudah takut sama anak-anak. Terlebih pada anak-anak yang pandai membaca kitab suci. Anak-anak ibu sudah bisa membeca dengan baik kan?
70. Ibu 1 : Bisa, pak modin!
71. Ibu 2 : Anak saya sudah khatam beberapa kali pak!
72. Ibu 1 : Anak saya juga hafal do’a-do’a. Coba Tanya pada ibu guru, yak an bu?
73. Modin : Kalau begitu tidak mungkin hilang digondol wewe gombel
74. Ibu 2 : Lho, siapa pak modin yang bilang anak-anak digondol wewe gombel!
75. Modin : Lha terus?
76. Ibu 1 : Anak kita diculik, bapak!
77. Modin : Diculik? Wah, gawat ini. Anak kita akan dijual
78. Ibu 2 : Dijual?
79. Ibu 1 : Duh gusti, si Mamad dijual, berarti daging-daging yang dijual di pasar itu bukan daging sapi, akan tetapi daging manusia.
80. Ibu 2 : Jangan-jangan daging yang saya masak tadi adalah daging anak saya
81. Modin : Bukan dagingnya yang dijual ibu, tetapi jiwanya, jiwanya yangdiasuransikan.
82. Bayan : ya betul pak modin, saya juga pernah dengar. Banyak anak-anak dikota diculik lalu diikutkan asuransi, lalu kemudian nyawanya dihilangkan. Dengan demikian penculik tersebut mendapatkan uang asuransi.
83. Ibu 1 : tidaaaaaaaaaaaaak! Si Mamad tidak boleh meninggal. Ia harus pulang
84. Ibu Guru : Juga ada kabar baru. Nyawa mereka tidak dihilangkan
85. Ibu 1 : Berarti anak kita tidak dibunuh. Anak kita belum meninggal ya, bu?
86. Ibu guru : Tetapi mereka disekap, dikurung. Organ vitalnya yang akan dijual
87. Ibu 2 : Maksud ibu guru kelaminnya?
88. Ibu 1 : Kalau begitu juga tidak mungkin, si Mamad hidup tanpa kelamin. Tidak mungkin si Mamad menjadi Mimi, alias menjadi anak perempuan.
89. Guru : Bukan kelaminnya yang akan dijual, namun organ vital seperti hati, ginjal. Organ vital tersebut dijual pada orang-orang kaya yang membutuhkannya, lantaran milik orang kaya tersebut tidak berfungsi dengan baik, alias mengidap penyakit.
90. Modin : kalau begitu ayo kita cari. Siapa tahu anak-anak kita masih hidup dan organ tubuhnya belum laku dijual.
Para warga kembali mencari anak-anaknya
“setan gundul temukan anakku, kalau tidak kau temukan ku kencingi kepalamu”
91. Modin : Berhenti sebentar!
92. Ibu : Ada apa pak modin?
93. Modin : Yang menculik anak-anak kita kan bukan setan gundul!
94. Ibu 2 : Lalu kenapa, pak modin?
95. Modin : La, tidak ada gunanya kita meminta bantuan kepada mereka.
96. Ibu 1 : Lalu kepada siapa lagi? Kepada polisi. Ah terlalu rumit prosedurnya. Juga butuh uang cukup banyak pak..
97. Modin : Kepada Tuhan yang tidak pernah tidur
98. Ibu 2 : Bagaimana carannya pak modin?
99. Modin : Kita berdo’a kepadanya untuk meminta pertolongan
100. Ibu 1 : Pak, modin. Apa masih percaya pada saya. Terlalu banyak dosa yang saya perbuat. (menangis) aku jadi ingat pada si Mamad. Satu-satunnya harapanku. Si Mamad adalah hasil hubungan gelap. Dan laki-laki itu, bapak si Mamad yang jahanam itu tidak bertanggungjawab. Alasannya sederhana. Ia terikat dengan peraturan lantaran ia pegawai. Ya, ini memang salahku aku serahkan kehormatanku hanya karena alasan cinta. Si Mamad jangan tinggalkan ibu, nak. Pulanglah. (terus menangis) pak Modin, Tuhan pasti tidak mau memaafkanku, apalagi mengabulkan do’aku.
101.Modin : Percayalah pada Tuhan. Ia pasti memaafkanmu. Pernah mendengar cerita tentang seorang pelacur yang memberi air minum pada seekor anjing. Pelacur dan anjing, sekotor apa dua makhluk itu. Spontan fikiran kita akan menimpulkan, mereka adalah dua makhluk Tuhan yang paling najis. Namun apa kata Tuhan. Mereka adalah penghuni surga. Hanya sebersit kebaiakan dalam hatinya. Pelacur itu dengan rasa kasihan pada anjing yang kehausan, dengan sepatunya, ia mengambil air dari dalam sumur. Tuhan Maha Pemaaf, Tuhan Maha Pengasih. Marilah meminta pada Tuhan. Syaratnya hanya satu, jangan berburuk sangka pada Tuhan. Yakinlah ia pasti akan memberi setiap pertolongan yang kita minta.
102. Guru : Sebentar-sebentar. Apa benar . by the way, sebenarnya anak siapa yang hilang?
103. Ibu 2 : Astaga, ibu guru, ya anak kita semua
104. Guru : semua anak kampung ini hilang?! (tertawa)
105. Ibu 2 : Kenapa ibu guru tertawa?
106. Ibu 1 : Bu guru, kita ini sedang sedih. Kenapa ibu guru tertawa?
107. Guru : Kenapa harus sedih, ibu. Ini jam berapa? Hari ini juga bukan tanggal merah kan? Ibu-ibu, kalau saat ini anak-anak ibu bisasanya sedang apa. Sedang belajar di sekolah kan? Apa ibu-ibu sudah ke sekolah? Belum kan? Ibu-ibu masih percaya pada guru-guru kan?! Anak-anak ibu aman. Tidak satupun yang diculik.
108. Ibu 1 : Pak Bayan, kamu bohong ya?!
109. Modin : Pak Bayan, kamu itu pamong warga. Seharusnya momong. Sungguh celakalah sebuah kampung bila aparatnya suka berbohong.
110. Bayan : Siapa yang berbohong, pak Modin?
111. Ibu 2 : Jangan berkelit, pak Bayan
112. Ibu 1 : Ya pak Bayan, siapa yang bilang tentang nasib anak-anak kami tadi? Ayo, siapa, pak?
113. Bayan : Saya, lalu kenapa?
114. Ibu 2 : Kok kenapa!
115. Modin : Lho pak bayan. Itu dosa besar pak. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya pejabat yang suka membohongi rakyatnya.
116. Bayan : Sungguh, kami tidak berbohong pak modin. Terkutuklah saya bila saya seorang pejabat pemerintah suka membohongi warganya.
117. Modin : Terus apa yang sesungguhnya terjadi?
118. Bayan : Ibu ibu yang over acting!
119. Ibu 1 : Hai pak bayan. Apa bapak bilang. Kami over acting?!
120. Ibu 2 : Jangan lempar mulut sembunyi hidung pak bayan.
121. Modin : Pak bayan. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya pejabat yang tidak mau bertanggungjawab atas kebijakan yang dikeluarkannya.
122. Bayan : Pak Modin, apa yang harus saya pertanggungjawabkan.
123. Ibu 1 : Ya kebohongan pak bayan!
124. Modin : Pak Bayan, Lidah itu lebih tajam daripada pedang. Lidah itu milik kita sebelum berkata-kata, namun setelahnya, kita menjadi miliknyan. Nasib kita tergantung apa yang kita katakan
125. Guru : sudahlah. Apa yang sebenarnya terjadi. Ceritakan yang sesungguhnya pak bayan!
126. Bayan : bapak ibu semua. Saya ini Bayan. Tugas saya memberi kabar yang sesungguhnya. Tidak kami kurangi dan tidak kami lebih-lebihkan.
127. Ibu 2 : Kenyataanya pak bayan!
128. Bayan : Tolong jangan dipotong apa yang sebenarnya mau saya sampaikan. Karena bila informasi ini terpotong. Akan memunculkkan reaksi yang negative. Reaksi yang ibu lakukan saat ini adalah lantaran ibu-ibu suka memotong pengumuman. Dan memahaminya sepotong-potong.
129. Ibu 1 : Pak Bayan,
130. Guru : Tolong sabar ibu. Beri kesempatan pak Bayan menyampaikan informasi yang sebenarnya.
131. Bayan : Dengar, dengar semua warga! Ini adalah pengumuman penting. Pengumuman ini tentang nasib anak-anak bapak ibu. Atas instruksi pak lurah. Semua warga yang mempunyai anak usia sekolah harus datang nanti malam di balai kelurahan!
Music penanda pergantian adegan. Lampu padam beberapa detik.

Adegan 8

Lampu kembali menyala. Suasana berganti dib alai kelurahan. Nampak lurahn memimpin rapat.
132. Lurah : Bapak ibu yang terhormat. Dana bantuan itu semua akan cair dengan jaminan yang telah saya sampaikan. Karena ini menyangkut kebaikan kita bersama untuk hidup layak. Maka kita harus setuju,
133. Modin : Pak lurah dan para warga yang saya hormati, jangan pak lurah. Tolong jangan kita jual kepribadian kita kepada orang asing.
134. Guru : Ini demi kebaikan bersama pak modin. Kapan lagi kita hidup sejahtera kalau tidak mulai sekarang.
135. Modin : Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bila kita berani menolak yang tidak baik.
136. Guru : Salah satu jalan yang kini dikasih Tuhan adalah kita harus menerimah bantuan tersebut pak Modin
137. Lurah : Pak Modin yang terhormat. Tolonglah pak modin, jangan bersikap terlalu kaku memahami ajaran agama. Pak modin harus sedikit toleran untuk mempertimbangkannya. Pak modin tahu sendiri kan? Bagaimana nasib kita dulu ketika kita sekolah. Kita masih untung bisa bersekolah. Banyak teman-teman yang tidak bisa bersekolah karena miskin. Dan kita tahu sendiri nasib para guru, hidupnya serba kekurangan. Termasuk nasib pak modin. Saatnya pak modin hidup layak. Pak modin pun faham salah satu ajaran agama. Kemiskinan itu mendekatkan seseorang dan masyarakat pada kekufuran. Dosa kekufuran itu lebih besar kan pak Modin?!
138. Modin : Bapak lurah yang terhormat. Tolong jangan berfikir pragmatis, untung sesaat, namun celaka selamanya.
139. Guru : Pak modin, benar apa kata pak lurah. Lebih celaka lagi kalau kita miskin dan kembali menyembah berhala.
140. Modin : Yakinlah ibu. Kita akan lebih kaya bila kita berani menolak yang tidak baik walaupun sedikit. Yakinlah, Tuhan akan memberi sepuluh kali lipat kebaikan dari jumlah keburukan yang kita tolak
141. Guru : Kita menjadi kaya itu tidak cukup dengan keyakinan dan do’a, pak modin. Kita harus berusaha.
142. Modin : Sungguh mulya apa yang ibu guru sampaikan. Namun haruslah dengan cara yang terpuji. Bukan berbohong, juga bukan dengan menjual nasib mereka.
143. Guru : Maksud pak, modin?
144. Modin : Ibu guru yang terhormat, tidak kah kita berfikir tentang kejiwaan anak-anak. Pendidikan akan menjadi tirani bagi mereka bila kita terus-menerus mengekploitasi intelektualnya tanpa memperhatikan emosionalnya. Lihatlah realitas, puluhan teman kita pandai yang punya nilai bagus diatas rata-rata pada ijazahnya, namun hidupnya cenderung tidak bertanggungjawab, kalau jadi pejabat ya suka korupsi. Dan lihatlah teman-teman kita yang ketika sekolah dasar sulit untuk membaca atau menerima materi pelajaran. Namun mereka suka membantu membersikan papan tulis dan halaman, mereka suka berolaraga dan menanam bunga. Kini hidupnya sukses lahir dan batin. Mereka sangat bahagia walau tidak menjadi pejabat.
145. Lurah : Pak Modin mulai subyektif dalam penilaian, mulai berani menyindir saya.
146. Modin : Sungguh, kami tidak bermaksud menyindir siapapun. Kami hanya bermaksud berargumen. Bahwa kecerdasan anak tidak hanya terukur dari intelektualnya saja, namun emosionalnya lebih penting.
147. Lurah : Sudahlah pak Modin, jangan berkhutbah di sini. Waktuynya kita rapat dan memutuskan sesuatu untuk kesejahteraan ummat.
148. Modin : Saling menasihati itu wajib hukumnya pak. Barang siapa yang melihat kemungkaran ia harus merubahnya..
149. Lurah : Bapak modin memandang bahwa apa yang selama ini kita lakukan adalah kemungkaran? Maksud kami ingin mensejahterakan warga ini termasuk kemungkaran?
150. Modin : Niat bapak mulya, namun caranya yang tidak baik. Bapak mulai menghalalkan kebohongan dengan memanipulasi data untuk mendapatkan bantuan. Dan dampak negatifnya bapak, anak-anak kita kan mudah frustasi dan tidak kreatif. Kelak anak-anak akan mudah dijajah fikirannya. Mereka akan membiarkan orang lain merampasnya dengan perhitungan jangka pendek. Seperti yang kita lakukan saat ini. Kita adalah korban dari system yang tidak benar.
151. Guru : Saya fikir pak Modin mulai tidak berfikir dengan sehat. Gaya bicaranya pak Modin tidak lagi seperti Modin yang sejuk dan menyenangkan. Saya merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri pak modin.
152. Lurah : Ya betul ibu guru
153. Guru : Saya pernah memiliki teman kuliya yang gaya bicaranya seperti dia.
154. Lurah : Jangan-jangan pak modin adalah……
155. Guru : Teman saya duluh sangat idealis
156. Lurah : Betul, dia cenderung anti kemapanan
157. Guru : Dia adalah seorang demonstran
158. Lurah : Bahkan teman saya ada yang menjadi teroris
159. Modin : Bapak lurah dan ibu guru yang terhormat. Sungguh fikirkan matang-matang kalau mengambil kebijakan. Mintahlah pada Tuhan, pasti mereka merahmatinya. Dan semoga keputusan bapak tidak mengorbankan nasib kita dan nasib anak-anak
160. Lurah : (semakin marah) Bapak modin, berhenti bicara! Saya berkesimpulan apapun resikonya keputusannya rakyat ini harus sejahtera.
161. Modin : Tidak bisa pak lurah. Sesuatu yang beresiko itu akan mencelakakan.
162. Lurah : para warga sepakat anak-anak harus sekolah, ibu guru sepakat jadi orang kaya, bapak modin bagaimana?!
163. Modin : (semakin melawan) Saya tidak sepakat. Anak-anak tidak boleh dipangkas masa depannya. Anak-anak punya bakat dan hobi. Ityulah yang harus dikembangkannya untuk hidup kreatif. Untuk survive. Standarisasi adalah pembunuhan karakter.
164. Guru : Tahu apa pak Modin perkembangan anak. Tahu apa pak modin tentang pendidikan anak. Madrasah saja tidak lulus bicara macam-macam tentang masa depan anak.
165. Lurah : Sepakat!
166. Warga : Sepakat!
Mereka statis. Lampu lamat padam. Nyanyian hymne guru sayup-sayup menggemah.
Panggung gelap

Adegan 9

Musik berubah. Adegan berganti di sebuah tempat. Hanya ada pak lurah dan orang asing.
167. Orang Asing : Modin itu adalah tokoh masyarakat. Ia punya pengaruh, terlebih pada orang-orang yang tidak mendukung bapak pada waktu pilihan. Ia sangat berbahaya
168. Lurah : Apa yang harus saya lakukan?
169. Orang Asing : Menyingkirkannya
170. Lurah : Bagaimana caranya?
171. Orang Asing : Bapak harus menjebaknya, cari perempuan yang menarik dan miskin, biayanya kami yang menanggung

Adegan 10

Di rumah bapak modin
172. Perempuan : Assalamualaikum!
173. Modin : Waalaikum salam, silakan masuk!
174. Perempuan : Maaf, pak modin
175. Modin : ya, kenapa? Tidak bisaanya zuma datang ke rumah
176. Perempuan : minta nasihat pak modin.
177. Modin : Nasihat apa Zuma?
178. Perempuan : (mulai manja) saya ini kan lama ditinggal suami… (paus)
179. Modin : terus,
180. Perempuan : ada orang yang mengajak nikah sama saya
181. Modin : wah, baik itu
182. Perempuan : laki-laki itu sudah punya istri
183. Modin : ya kalau istrinya merestui ya tidak apa-apa. Tapi tolong usahakan jangan se rumah dengan istri pertamannya
184. Perempuan : Pak Modin, apa pak modin tidak ingin menikah lagi. Ya siapa yang mau sama saya. Saya tidak punya cukup uang.. usia saya juga mulai lanjut
185. Perempuan : siapa bilang pak modin, pak modin masih nampak kuat lho (duduk merapat ke pak modin)
186. Modin : (gamang antara tergoda dan mempertahankan keimanannya) jangan lakukan ini
187. Perempuan : Maaf bapak, tidak sengaja. (mendekat lagi) bapak, saya lebih suka bapak menikahiku daripada dinikahi orang itu
188. Modin : Saya tidak mau menghianati istriku
189. Perempuan : Dia sudah menjadi tanah, pak modin. Apakah pak modin relah saya nikah dengan lelaki yang beristri. Dan istrinya pasti tidak akan mengijinkannya. Yang terjadi kami akan nikah sembunyi-sembunyi pak modin. Pak modin tolonglah kami. (semakin menggoda) nikahilah kami pak modin!
190. Modin : Jangan seperti ini. Ini tidak baik!
191. Tiba-tiba muncul suara gaduh dan teriakan dari luar
192. Orang-orang : Pak modin! ternyata pak modin lebih bejat. Pak modin melarang warga untuk mendekati zinah, tapi pak modin malah melakukannya!
193. Modin : Ini fitnah, ini fitnah……………….
194. Orang-orang : Jangan berkelit Pak Modin.. jangan lempar sembunyi tangan
195. Modin : Sungguh kami tidak melakukan apa apa. Ini sungguh fitnah!

Musik terus mengeras, dan lampu lamat-lamat padam, music mengikutinya sebagai tanda pertunjukan selesai.

TAMAT
Lamongan, 5 Juni 2010
Sumber: http://sangbala01.blogspot.com/2011/01/naskah-teater-orang-asing.html

Takdir Sang Adonis

Asarpin
http://sastra-indonesia.com/

Hidup punya takdirnya sendiri. Dan takdir juga punya ceritanya sendiri.

Pada suatu hari di bawah langit malam, aku berjalan ke negeri mimpi. Di sana aku berjumpa dengan nujuman lama Babilonia, tentang sosok Dewa muda yang tampan bernama Adonis. Riwayat mencatat: Adonis tumbuh menjadi remaja yang cemas memikirkan nasib negerinya yang tak maju-maju. Sejak itu ia banyak merenung dan melontarkan ide-ide yang segar tentang masa depan kehidupan. Pikiran-pikirannya tampak aneh dan asing. Bahkan tak jarang ia menyulut polemik di antara para Dewa lantaran pendapat-pendapatnya dianggap lebih “maju” dari rekan-rekannya.

Wajahnya tampak menggoda. Maka tak heran jika dewi Aphrodite—dewi cinta Babilonia—jatuh cinta padanya. Tapi bukan lantaran itu saja yang membuat Aphrodite tak berdaya ketika dekat dengan Dewa muda ini. Adonis ternyata Dewa yang punya segudang kelebihan di bandingkan Dewa yang lain. Di antara kelebihan itu adalah: keindahan tutur, semangat mencintai kebaruan, di mana kata-kata mesti berombak dan berontak.

Adonis menjadi dewa pemberontak terhadap segala kemapanan. Termasuk memberontak terhadap kemapanan pikiran. “Aku berontak, maka aku ada”, katanya. Bukan aku berontak, maka kita ada. Salah satu kesukaannya adalah: mendendangkan kata-kata yang bergelora-bergemuruh dengan efek yang jauh. Dalam berbagai kesempatan, ia menekankan perjuangan dan tanggungjawab sebagai pilihan. Tiap-tiap kata yang terucap dari individu berwawasan kemajuan, mesti dipertanggungjawabkan. Dan tiap-tiap karya sastra yang kita hasilkan, mesti dapat dipertanggungjawabkan kepada khalayak.

Di Libanon ada seorang sastrawan yang dipanggil Adonis. Dan sudah bisa diduga kenapa. Ia suka dengan nama itu. Padahal kedua orang tuanya memberinya nama Ali Ahmad Said. Tapi tak banyak yang tahu nama aslinya itu, karena ia sendiri selalu menggunakan nama Adonis.

Dalam sebuah riwayat dikatakan: ada seorang pemimpin partai di Syiria, yang mula-mula memanggil Ali Ahmad Said sebagai Adonis. Menurutnya, Ali Ahmad Said pantas menerima nama baru itu karena sepak-terjangnya dianggap cocok untuk mempersatukan budaya negara Syiria, Irak, dan Libanon. Tapi apakah yang dialkukan Adonis kemudian sesuai dengan harapan pemimpin partai itu?

Riwayat bercerita lain. Di Indonesia ada Adonis yang lain. Ambisinya sama bergelora-membahana. Namanya Takdir. Ia adalah sastrawan terkemuka yang, selain menulis novel, juga banyak menulis esai polemis. Banyak kata-kata yang telah jadi semboyan hidupnya, di antaranya adalah: maju, baru, individu, kebangunan, menjebol, menghancur-remukkan, menyala-nyala, berombak, mengalun, bergelombang. Kata-kata ini berhasil membetot pikiran para penggemarnya, terutama mereka yang gemar berseru tentang tanggungjawab sosial seorang sastrawan.

Dalam usia 27 tahun, Adonis kita yang satu ini telah menyulut polemik yang paling kritis dalam sejarah kebudayaan Indonesia. Ke-Adonis-annya ditunjukkan dengan semangatnya yang ingin menyatukan ejaan bahasa Melayu antara Indonesia dan Malaysia. Bahkan cita-citanya untuk menyatukan ejaan Indonesia dengan Malaysia terhenti sebagai cita-cita. Dan keinginan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar di kawasan Asia Tenggara, pun tak pernah terwujud.

Dengan mengikuti bangsa Jepang, Takdir berusaha mengimpor buku-buku Barat yang dinamis. Idenya untuk menerjemahkan karya ilmiah dan karya sastra dari Barat ke dalam bahasa Indonesia, agar api kebudayaan yang lama segera padam dan kebudayaan yang baru dan maju berkobar menyala-nyala, tak sepenuhnya terwujud. Hanya beberapa saja buku dari Barat yang diterjemahkan penerbit Dian Rakyat. Malah yang tak terduga, justru Yayasan Obor dan Pustaka Jaya yang banyak menerbitkan karya terjemahan yang jadi impian Takdir.

Sejumlah karyanya mirip rajutan kultural dari apa yang disebut—mengutip kata-kata Takdir sendiri—sebagai “benang yang tak putus-putusnya di rajut kembali di zaman kita” atau “tuntutan perasaan tanggungjawab yang terus-menerus tentang masyarakat dan kebudayaan”.

Pada suatu hari ia mengaku sebagai penulis yang menjelmakan semangat Adonis, yaitu “penulis yang bukan saja menjadi pembaca yang pertama, tetapi juga pembaca yang berulang-ulang membaca ciptaannya sendiri”. Takdir mencitrakan dirinya sebagai penulis sekaligus pembaca yang langka. Menulis dan membaca baginya adalah: panggilan takdir manusia yang menjadikan dirinya sebagai manusia.

Ada banyak pembaca yang lebih baik, tapi lebih langka dari penulis yang baik. Demikian pula sebaliknya. Kalau kita mengikuti pandangan Jorge Luis Borges, maka ada yang mirip dengan sikap Takdir. Ketika Borges membaca kembali Lelaki Pojok Jalan yang telah ditulisnya, ia memandang penulis dan pembaca sebagai pergantian kontinuitas yang sering kali mendadak, atau pemenggalan keseluruhan hidup seseorang hanya menjadi dua atau tiga babak. “Terkadang saya curiga bahwa pembaca yang baik adalah angsa yang bahkan lebih hitam dan lebih langka dari penulis yang baik”, tulis Borges dalam pengantar Sejarah Aib—terjemahan Arif Bagus Prasetyo.

Seperti halnya dengan Borges yang banyak membaca dan menulis, Takdir juga percaya bahwa membaca adalah laku yang muncul setelah menulis, yang menurutnya sering biasa-biasa saja, tak kentara, lebih intelektuil. Tak ubahnya “sebagai seorang Adonis yang girang menikmati bayang-bayang wajahnya dalam cermin”, tulisnya.

Tidak semua sifat Adonis Babilonia sama dengan watak Takdir. Takdir tidak dilahirkan sebagai anak haram jadah, sebagaimana Adonis dalam mitologi Babilon itu. Ia justru lahir dari keluarga terrpandang dari keturunan sultan Minang dan permaisuri Tapanuli. Sementara Dewa Adonis malah mirip dengan seorang Mevrouw Annelis dalam novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Annelis lahir dari persetubuhan di luar nikah antara gundik Sanikem atau Nyai Ontosoroh, dengan Herman Mellema.

Khairon Abu Asdavi pernah meriwayatkan kehidupan Adonis Babilonia yang lahir melalui hubungan gelap antara raja Siprus dengan putrinya Myrrha—yang dalam legenda itu, Myrrha dikutuk jadi pohon dan dari akarnya lahirlah si Adonis, yang merupakan simbol bagi kehidupan baru yang bebas dari dosa dan nista. Seperti halnya keluarga Nyai Ontosoroh-Herman Mellema yang berantakan, dan kedua putranya begitu lemah jiwa dan moralnya, tapi kemudian muncullah sosok Nyai Ontosoroh yang sangat tangguh hingga melampaui kepribadian Kartini.

Sementara Adonis Indonesia tetap girang menatap wajhnya di cermin yang retak. Ketika pihak Jepang sedang asyik menyusun pusat kebudayaan dan banyak menarik seniman Indonesia, Takdir—sebagai penjelmaan sosok Adonis Babilonia itu—berharap agar seniman yang telah memperkaya dirinya dengan ukuran internasional, segera kembali ke sekitarnya; yaitu kembali ke akar, ke masyarakat dan kebudayaan Indonesia. Tugas seorang seniman, kata Takdir, bukan cuma mencari bahan mentah sejarah, atau melap-lap warisan lama, tapi supaya jiwanya bisa tumbuh dan berkembang dengan sewajarnya.

Dengan kembalinya sang seniman ke bumi manusianya sendiri, kelak akan datang suatu masa yang subur dan rimbun bagi kebudayaan Indonesia: suatu kebudayaan yang menjelma “seperti pohon beringin yang beribu akarnya menyelami bumi dan di bawah lindungannya bangsa Indonesia hidup jaya, dan berbahagia”.

Adakah harapan itu sudah terwujud?

Mengungkap Sisi Gelap Karl May

Lusiana Indriasari
Kompas, 2 Januari 2011

”ORANG kulit putih datang dengan senyum manis di wajah, tetapi menyelipkan pisau tajam di pinggang serta senjata api yang siap ditembakkan. Mereka menjanjikan cinta kasih dan perdamaian, tetapi menebar kebencian dan pertumpahan darah”.

Itulah penggalan kalimat yang selalu ditulis Karl May dalam buku-bukunya yang berkisah tentang dunia Barat. Salah satu karya besarnya, antara lain, adalah buku Winnetou yang menceritakan petualangan dan persahabatan kepala suku Indian Apache Winnetou dan orang berkulit putih Old Shatterhand.

Melalui buku-bukunya, penulis asal Jerman yang hidup tahun 1842-1912 ini mampu menyihir anak-anak muda dari berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, karya-karya Karl May ini sudah dibaca sejak tahun 1911 pada masa kolonial Hindia Belanda. Lalu, pada tahun 1950, buku Karl May mulai diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku-buku itu kemudian diterbitkan ulang secara mandiri oleh penggemar Karl May yang bergabung di Paguyuban Karl May Indonesia (PKMI).

Kisah petualangannya tidak hanya berlatar belakang di Amerika, tetapi juga negara-negara lain di kawasan Timur Tengah. Oleh Karl May, kisah petualangan itu ia akui sebagai bahwa kisah-kisah petualangan dalam bukunya merupakan pengalaman pribadinya selama menjelajahi negara-negara di dunia. Benarkah?

Di balik kesuksesan sebagai penulis terkenal, ternyata Karl May menyimpan kisah gelap dalam hidupnya. Pada tahun 1910, kisah kelam itu ia tuliskan dalam buku otobiografi yang merupakan salah satu karya terakhir Karl May sebelum meninggal tahun 1912.

Berdasarkan buku otobiografi tersebut, dibuatlah film dokumenter di Jerman dengan judul der phantasm aur sachsen atau penghayal dari saksen. Film dokumenter ini, pekan lalu (21/12) lalu, diputar oleh PKMI di Goethe Institut, Jakarta, untuk memperingati 60 tahun karya Karl May dalam edisi bahasa Indonesia.

Kepribadian ganda

Dalam film ini terungkap bahwa Karl May adalah orang dengan kepribadian ganda. Ketika kepribadian lainnya muncul, ia menjelma menjadi Old Shatterhand yang kemudian menjadi tokoh utama dalam buku-buku petualangannya di dunia Barat. Ia juga menjadi Kara Ben Nemsi yang berpetualang di negeri Timur Tengah. Dalam bukunya, ia memakai bahasa ”saya” untuk menceritakan petualangannya.

”Winnetou adalah tokoh khayalan sekaligus saudara sedarah Karl May. Ia menjadi seorang kriminal karena tidak mampu dan tidak mau memisahkan dunia nyata dengan khayalannya,” kata narator berbahasa Jerman membuka film dokumenter tersebut.

Karl May lahir 25 Februari 1842 di sebuah desa kecil bernama Saksen atau Saxony, Jerman. Ia berasal dari keluarga penenun yang sangat miskin. Dari 14 anak, hanya lima orang yang masih hidup dan tumbuh hingga dewasa, termasuk Karl May. Ia adalah anak laki-laki satu-satunya.

Karena kekurangan gizi, ia mengalami kebutaan hingga usianya empat tahun. Setelah itu, ia mampu melihat kembali yang oleh para dokter disebut sebagai kemustahilan. ”Saya adalah anak kesayangan dari kemiskinan, penderitaan, dan kesedihan, ” kata Karl May

Masa kebutaan membuat daya imajinasi Karl May berkembang di atas rata-rata. Ia mengembangkan khayalannya dari dongeng-dongeng yang diceritakan neneknya. Ketika berusia lima tahun, ia digambarkan sebagai anak yang mampu menarik perhatian anak-anak lain dengan dongeng-dongengnya.

Pada umur 14 tahun, ia dididik keras oleh ayahnya yang bertekad menjadikan Karl May sebagai orang berpendidikan. Ia diwajibkan membaca buku setiap hari hingga larut malam dan menghabiskan banyak waktu untuk belajar daripada bermain. Ia banyak mempelajari budaya, adat istiadat, dan kepercayaan suku Indian.

Terkekang

Karl May belajar bahasa Latin secara otodidak dan juga belajar bahasa Prancis dari les privat. Untuk membayar uang lesnya, ia bekerja selama 12 jam sebagai penyusun bola boling di sebuah kedai minuman.

Ia merasa terkekang oleh keadaan. Namun, buku-buku yang dibaca telah membebaskan jiwanya. Ia sempat dipenjara karena kejahatan dilakukan tanpa disadarinya. Ia berperan menjadi pencuri seperti kisah Robin Hood, menjadi dokter yang menipu tukang kain, dan mengaku menjadi salah satu kerabat keluarga kaya-raya. Peran gandanya ini telah menjebloskan Karl May ke penjara selama total delapan tahun sebelum ia mulai menulis pada usia 32 tahun.

Ketika buku petualangan dengan tokoh Winnetou dan Old Shatterhand melejit, Karl May mengakui bahwa cerita yang ditulisnya benar-benar dialaminya. Di rumahnya, ia bahkan menyimpan beberapa benda, seperti senapan perak, kulit beruang, kalung dari gigi binatang, dan lain-lain yang diakuinya diperoleh selama petualangan. Belakangan diketahui bahwa Karl May memesan barang-barang tadi untuk memenuhi imajinasinya.

Terlepas dari masa lalunya yang kelam, pesan yang dibawa Karl May melalui buku-bukunya dirasa tetap relevan sampai sekarang. Pandu Ganesha, Ketua PKMI, mengatakan, sejak abad ke-19 Karl May sudah membicarakan tentang perdamaian, cinta lingkungan, dan kemanusiaan.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/01/kepenulisan-mengungkap-sisi-gelap-karl.html

Selasa, 22 Maret 2011

PLAGIATOR VS PENGARANG

Nurel Javissyarqi
http://sastra-indonesia.com/

Pengarang yang mentalnya teriming-imingi keinginan menjiplak pesona karya para pendahulunya, ialah pengkarya yang tak memiliki keberanian mengeruk kesejatian di tengah peredaran sejarah. Terpedaya laluan kecil, lalu berhamburan bersuka ria, layaknya si bocah menyenangi permainan, tiada keinginan belajar lebih atas realitas. Sebayang-bayang terhapus, kala pamor yang dijiplak meningkatkan sorot cahaya, di siang hari jaman yang didengungkan.

Pilar-pilar keadaban insan tercipta oleh mereka yang sungguh menempuh nasib, bergulat pemahaman masa lalu ke jenjang dimungkinkan. Temuan dari kesadaran waktu dikumandangkan, bersegenap bacaan menguliti jatidiri, sebelum membangun segugus gagasan murni, sepantulan daya hidup menyerap-menggetarkan.

Tak terpungkiri, pergerakan hayat saling belajar, tentu tidak asal caplok menelan mentah sandaran yang ada. Harus menggapai bersemangat kuat, di sini fitroh mengangkat sumber mata air pribadi; tradisi juga wewarna menaungi. Ialah bebatuan berkarakter tinggi ditempa musim silih berganti soal membentuknya. Ikhtiar pengarang menuju alam-sesama dan saluran informasi yang menggerayangi.

Dalam pada itu, siapa pun pembawa hawa mentalitas menjiplak, menempati kesenangan rendah, surga terdangkal keramaian, manipulasi tak menghantar pencerah. Langkah tanggung, jauh dari tanggung jawab; keberanian palsu, tiada kemerdekaan, dan akrab siksaan. Bagaimana sanggup meloloskan seluruh hasrat kepengarangan, jika kaki-kaki lincahnya terjerat bebenang halus rayuan rendah?

Suatu bangsa mengalami tingkatan mutunya, jika penghuninya peduli-mampu mengudar karya pengarangnya. Yang siapkan diri menyunggi jaman dikandung gairah tertinggi; mendendungkan kebebasan tanpa dekte memincangkan ayunan, tak memicingkan pandangan yang ada.

Aku sebut satu saja, anak manusia benar-benar pengaruhi rentetan sejarah ke belakangnya; Voltaire, sastrawan Prancis berjasa besar untuk bangsanya juga bebangsa lain. Dia abdikan hidup demi prinsipnya, birahinya menanjak tak peduli laguan lama, terpesona sendiri dimasa-masa menempa, tiada waktu mencari-cari sewatak penjiplak.

Manusia-manusia unggul belajar kepada jiwa-jiwa paripurna, mematangkan nasib demi mentakdirkan nafas-nafasnya bersatu alam raya. Menyimak silang pendapat abad-abad lampau, maka telisiknya tidak terbodohi tak membodohi. Tapakan teliti mengudar kalbu fikiran, secahaya menerobosi lubang kunci pada pintu di malam gulita. Yang tersaksikan lorong cahaya tegas, andai menembus bidang air-sungai, meski terbengkokkan, nyata bergerak lurus.

Faham-faham abad lampau dipelajari ulang demi ketepatan berpijak, menyinauhi derajat maknawi realitas berhembusan. Politik siasat penguasa juga masa percobaan menjegal gagasan disimaknya dalam kurungan pelita. Renungan panjang kausalitas terpaparkan tanak hujatan keragu-raguan, dan was-was di sekitar meloloskan sikap kukuh disetiap lekukan kalimah.

Dalam kesusastraan Indonesia, ada beberapa pengarang ketahuan menjiplak namun masih disebut keberadaannya, juga karyanya yang lain meski bukan plagiat. Parahnya berbondong-bondong orang seolah hendak mengamini tak menolak. Yang terjadi kualitas bangsa belunder tidak mandiri, silau mental-mental tidak berpayah-payah. Maka sekali tradisi kebohongan didukung, jangan keliru disusul berikutnya, seperti biang kerok korupsi tak dipenggal, usah heran menjamur koruptor membeludak lagi.

Lebih edan sekaligus kumprung, orang-orang pernah njiplak ditokohkan. Alamak, memang tiada lain? Sekuat apapun yang ngincipi njiplak, tak patutlah dijadikan taulatan. Pribadi terpedaya muka, bukan kandungan isi menariknya. Sekadar mengada ataupun diadakan demi manipulasi sejarah.

Suatu bangsa masih mengedepankan penjiplak, jelas tak punya harga diri di mata bangsa lain. Ia telah merusak martabat, mencoreng muka negerinya dengan arang abadi. Otomatis tidak ada rasa hormat pada kaum pengarang. Pantaskah menjadi pembaharu meski karya lainnya baik? Tidakkah asal kepergokan itu, mentalnya dangkal kekanak-kanakan, juga bukti mengabaikan fitroh diberikan Tuhan.

Kebesaran bangsa terletak betapa keras anak-anaknya mengumpulkan puing berserak, mewujud impian moyangnya di hadapan lain. Bahwa lingkup nafasnya tradisi, budaya mengeram lama menjelma pondasi terpenting di tiap guratannya.

Dan sejarah berangkat dari pembenaran keliru akan jatuh ke jurang nista, hinalah meneguknya. Di sini sepatutnya berontak pada pendahulu picisan, memberondong umpat mereka yang bersikap kemayu mendukung penjiplak berkidungan kolosal pembenaran, mungkin ia teman lamanya.

Secara sederhana-hakikatnya, pengarang dalam hidupnya berusaha mencipta, mencari temuan anyar, mereka-reka pantulan hayat. Tentu tiada kesamaan nasib dengan lainnya, andai ada kemiripan, semata lagu kesejatian universal. Jadi rupa-rupa memirip-miripkan bukan temuan, sekadar pemalas tak menguliti masa-masa direguk, penyakit turunan tak menyehatkan hati fikir sesama.

Kesenangan semu, kelezatan kulit dicecap plagiator, mengelabuhi pembaca sekilas, tertipu sebab tidak berbaca ulang karya di samping semangat jaman pengarangnya. Terperdaya tampakan tanpa menelisik putaran keberadaan, atau kesadaran karya di belahan jiwa pengarang. Padahal itu bisa ditengok berapa rentang usia pengalaman, tampak di setiap lekukan kata kehadirannya atas ciptaan, ataukah sekadar sulapan.

Jalan-jalan pintas dilewati pemalas yang cepat terpuaskan meski pemalsuan; di mana kapan pun, pasti terlihat boroknya. Mentalitas nanggung di alam keraguan, tiada kehendak menanjak dan was-was mudahlah tertangkap.

Sejatinya, pembaca suntuk mengetahui sejauh mana kata-kata racikan, rakitan, atau sungguh dari jiwa sederajat capaian niscaya. Karena penyuntuk memahami kerasnya mbeteti sukma, menghardik watak picik yang diturunkan alam dangkal kerap memenggal jalur-jalur pencariannya dalam berkarya.

Yang terbuai tumpukan bebuku tanpa mencangkul ladang diri, tanpa mengeduk keberadaannya di antara bacaan. Sekadar menambah sampah nan buram tidak meyakinkan di belantara dunia.

Di tanjung karang menjulang; penggagas, penemu, pelopor, tidak kering kaki-kakinya oleh datangnya penimba, dibasahi guyuran para peneliti. Tonggak itu nancap menelisiki bawah sadar pembaca. Maka hanya penyetia hayatnya demi berkarya, datang kemudian mampu keluar dari jaring laba-laba.

Nyatalah pengetahuan penjiplak selebar daun talas, ragu memelanting, asyik bermain di wilayah sempit, hawatir terjatuh nan tak mampu menguap kembali. Padahal kejadian itu menghadirkan kemurnian dari pesona daun-daun. Atau yang terpikat kilau terlupa dirinya ada inti cahaya, serupa kemalasan yang mengambil untung kemenangan para pelaku sebelumnya.

Tiada dalam sejarah dunia, pengarang yang kepincut menjiplak menjadi pemersatu dan jelas tak punya ajaran. Atau ujaran-ujaran terpantul darinya tak layak dan tidak langgeng dinafaskan. Ia hanya pengacau temuan sebelumnya, tiada isme dibelakang namanya, dan tidak pantas menduduki kursi kepengarangan sejati.

Karena kerja mengarang berangkat dinaya lahir-bathin nalar-perasaan menyatukan tekad, menyusuri laluan belum terjamah, air ganjil tak tersentuh, membuka kelambu asing belum terfikir. Maka jikalau terdapati mencontek, wajib dipertanyakan, sebab kerahasiaan insan tidak sama meski keyakinan serupa. Penyakit serakah ini paling buruk daripada tamak pada benda. Karena mengarang mengolah ruh rasa memendarkan kesadaran puitika penyimaknya, dengan bobot seirama lebih.

Sebenarnya, olah cipta dapat dinilai turunan, pencarian, ataukah penggembira. Ini terlihat perjuangan dalam kehidupan, pengorbanan kemanusiaan. Tersebab tidak mungkin keyakinan cemerlang, kalau tidak ditempa ribuan soal jutaan masalah menggayuh. Minimal gagasan penulis sejati yang tak ke medan sosial langsung berwatak keras, karakter tanggung jawab dikeluarkan, telah ditimang selaksa menimbang nyawa di depan algojo;

pergulatan bersama masa-masa penciptaan, sebelum dihadapkan berpundi-pundi kemenangan, selepas sekapan. Kerangkeng nalar-hati menggemuruh, ruh karya meledak segunung memuntahkan lahar. Andai alunannya halus, telah melewati ketabahan tanpa pamrih, kecuali demi abadi ke tanah dijanjikan.

Panggilan menjadi pengarang semisal undangan berjanji, kesaksiannya dipertanggungjawabkan, nilainya kejujuran. Tepat hidupnya mandiri, dinamis menggalang kejayaan umat. Yang rasanya tidak berharap sepeser pun kecuali gagasan ditimbangnya lama diterima sewarna kain maslahat. Andai tak sampai, jiwanya dicukupkan kesaksian hari-harinya bersuntuk mempelajari lekukan hayat.

Seperti penyeru ta’at atas apa yang diserap, siap menanggung resiko terburuk pada segenap dinaya capaiannya. Keimannya pada ondakan penelitian, serupa kefahaman menyeluruh merasai udara sekeliling. Di sana mencecapi madu murni tempaan waktu, maka tiada mungkin dilepas sekejapan. Itu nirwananya, keintiman bathin kepuasan iman pada pencariannya tidak menyerah, kecuali diambil nyawanya oleh el-maut.

Lamongan, JaTim, Untuk 8 Maret 2011

OLIMPIADE SASTRA: MEMBANGUN PARADIGMA

Maman S Mahayana *

Olimpiade mulanya dimaksudkan sebagai penghormatan pada Zeus, Dewa Yunani kuno. Perayaan yang diselenggarakan di kota Olympia, Yunani itu sebagai cikal bakal pesta olahraga sejagat yang hingga kini diyakini sebagai perhelatan olahraga paling bergengsi dan reputasional. Pierre de Coubertin yang konon bertindak sebagai orang pertama yang membawa perhelatan itu menjadi olimpiade modern yang diselenggarakan pertama kali di Athena, Yunani tahun 1896. Selepas itu, setiap empat tahun sekali pesta olahraga termegah ini diselenggarakan yang melibatkan lebih dari separoh negara yang berada di jagat raya ini.

SASTRA DAN BUDAYA SASAK DIBELANTARA MODEREN

Janual Aidi*
http://sastra-indonesia.com/

“Manusia tidak dipahami melalui eksistensi fisik, secara substansial, melainkan melalui karya dan ciptaannya…” (Ernst Cassirer)

Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya suku Sasak merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Sebut saja diantara karya-karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Babad Praya (Mengawi), Babad Sakra, Babad Sari Manik, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Nabi Haparas, Cilinaya, Cupak Gerantang, Doyan Neda, Pengganis, Kertanah, Dajjal dan Kotaragama. Ataupun yang dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah kedalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra Sasak seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma. Juga ada banyak karya-karya sastra lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu karena terbatas oleh “ruang kesadaran pewarisan” terhadap generasi penerus. Hal semacam ini sangat cukup untuk disayangkan. Manusia Sasak semakin digerogoti oleh ‘budaya pop’. Generasi Sasak sekarang seolah kehilangan identitas kesustraan ataupun budayanya. Mengalami kebuntuan dan terperosok jauh kedalam lembah kepopuleran. Saya yakin, diantara ribuan generasi Sasak sekarang hanya segelintir saja yang tahu sedikit, peduli dan cinta terhadap sastra dan budaya lokal. Generasi Sasak sekarang seolah ‘antipati’ terhadap sastra dan budaya sendiri. Dan kalau diadakan votting bagi generasi Sasak saat ini, apakah ingin mengonsumsi ‘sastra dan budaya Sasak’ atau ‘pop’, maka saya yakin 99,99% bahwa hasil akhirnya adalah generasi Sasak sekarang akan mengambil ‘option’ budaya pop.

Sebagai penguat argumentasi diatas, marilah kita coba perhatikan realitas generasi Sasak sekarang lewat sebuah studi penelitian kecil-kecilkan. Coba kita perhatikan dan telusuri sejenak mengenai simpanan ‘lagu apa’ yang ada atau lebih banyak di-save pada masing- masing Hand Phone , MP3 Player atau MP4 Player oleh generasi Sasak sekarang! Adapun hasil penelusuran yang saya lakukan menunjukkan bahwa dari 80 sampel hanya terdapat 2 sampel yang men-save lagu-lagu Sasak. Hasil identifikasi ini cukup mencengangkan sekaligus membuka mata kita bahwa generasi Sasak sekarang lebih condong pada sastra ataupun budaya ‘pop’ daripada sastra dan budaya sendiri.Yang perlu kita ketahui dan renungi sebagai generasi Sasak penerus adalah sejarah Sasak telah berbicara bahwa sebelum abad ke-20 hampir semua pesta rakyat yang dilangsungkan di pulau Lombok diramai-semarakkan dengan pembacaan tembang-tembang Sasak yang disusun pada daun lontar dan lainnya. Dan ternyata, pembacaan tembang-tembang tersebut selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat setempat, juga sebagai sarana pelestarian budaya atau sebagai sarana pembinaan ‘budi pekerti’ dan watak yang terpuji bagi para pendengarnya. Kini, masihkah tembang-tembang merdu yang termasuk bagian dari’kearifan local’ (local wisdom) tersebut bisa didengar dan dinikmati? Jawabannya telah kita ketahui bersama, jarang dan sulit untuk bisa didengar dan dinikmati bahkan mungkin nyaris kehilangan jiwa dan nyawa.

Terlepas dari semua hal di atas, maka lewat tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali mencintai sastra dan budaya Sasak. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra dan budaya Sasak. Misalnya saja garis besar naskah Kotaragama yang berisi nilai-nilai penting yang menyangkut masalah kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), dan masalah kehidupan lainnya seperti masalah perkawinan, hutang-piutang, pencurian, hak dan kewajiban raja serta rakyat dan lain sebagainya. Semua tersebut sebenarnya adalah kekayaan suku Sasak yang tak terhargakan karena semuanya syarat dengan nilai-nilai luhur. Artinya, sastra dan budaya Sasak yang ada tidak hanya sebatas memiliki kemolekan logat, melainkan ‘full’dengan nilai-nilai luhur yang sulit untuk ditandingi. Karya seni tidak lahir dari kekosongan, melainkan menggambarkan historik realitas sosial budaya yang khas dan mengandung kesadaran kolektif. Mari kita bersama peduli, mencintai dan mengonsumsi sastra dan budaya sasak yang ada. Mempelajarinya sehingga mendapatkan ‘intisari’ akan keluhuran nilai-nilai yang terkandung. Selain melestarikan sastra dan budaya Sasak dengan cara mencintai, peduli dan mengonsumsi, maka satu garis perjuangan dan pergerakan bendera sastra dan budaya yang harus dilakoni lagi adalah dengan cara menciptakan karya-karya sastra dan budaya yang berkaitan erat dengan realitas sosio-kultural masyarakat Sasak sekarang. Dengan kata lain, manusia Sasak sekarang harus mampu menelurkan karya sastra dan budaya baru. Sastra dan budaya Sasak harus eksis ditengah terpaan modernisme.

Nah, dengan memberikan perhatian pada sastra lokal berarti kita telah menopang program pengembangan sastra dan budaya secara multikultural. Dan dengan adanya kesadaran kolektif dan perhatian untuk menciptakan karya-karya bernuansa news local wisdom, maka sama artinya dengan melahirkan sastrawan dan budayawan baru. Dan pada dasarnya pula, tidak ada masyarakat yang tidak bersastra dan berbudaya. Maksudnya adalah tidak ada masyarakat yang tidak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan budaya. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak mendapat pengaruh perkembanagan sastra dan budaya. Institusi budayapun berfungsi untuk membangun kesadaran budaya, sebab tanpa institusi seni menjadi terasing bagi masyarakat. Institusi budaya harus berjalan efektif.

Selanjutnya, perkembangan sastra dan budaya Sasak adalah lahirnya karya-karya dan budaya yang ‘tidak sebanding’ dengan kuantitas masyarakat. Maksudnya, jumlah karya sastra yang lahir sangat jauh minimnya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk suku Sasak. Dengan mengetahui kenyataan sastra dan budaya Sasak seperti tadi, tetap kita tidak boleh berkecil hati. Kedepan, generasi Sasak harus bisa melahirkan karya-karya sastra dan budaya yang bersifat ‘kekinian’.

Adapun karya sastra budaya dari tangan generasi Sasak sekarang seperti novel yang berjudul “Tuan Guru” dengan tebal 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian. Novel tersebut lahir dari buah karya ‘generasi Sasak tulen’ yang bernama Salman Faris, lelaki yang lahir dari wanita buta huruf diRensing Lombok Timur.

Meski pada bedah novel dikatakan bahwa karya sastra tersebut dinilai kontraversial, namun novel tersebut lebih pantas dinilai sebagai kritik sosial. Karena sebenarnya sastra dan realitas sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan ‘buah karya’ yang diproduksi dan distrukturasi dari berbagai dinamika reel masyarakat. Sehingga sastra bisa saja dibahasakan sebagai potret sosial yang menyuguhkan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran ataupun sudut pandang pembacanya. Saya teringat dengan sosiolog Karl Manheim yang dalam teorinya menyatakan bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, tingkat objektif meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri; apakah karya sastra gagal atau berhasil dalam menjelmakan keindahan ataupun pesan yang hendak disampaikan. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara karya sastra itu dengan latar belakang psikologi penciptanya; apakah karya sastra diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting ataupun bermakna dalam kehidupan penciptanya. Ketiga, tingkat docementary meaning, yaitu makna yang berhubungan antara karya sastra dengan konteks sosial penciptanya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran.

Nah, novel ‘Tuan Guru’ masuk pada tingkat yang ketiga. Struktur karya sastranya dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak. Adalah ‘Tuan Guru’ yang oleh masyarakat Sasak dipahami sebagai sosok guru yang pernah menjalankan ibadah haji serta dijadikan sebagai pemuka agama Islam yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Namun, ‘Tuan Guru’ dalam karya Salman Faris lebih diartikan dari sisi lain, sisi aktor sentral yang memiliki pengaruh besar terhadap ‘pendulung suara rakyat’ pada Pemilu Pilpres ataupun Pemilu Kepala Daerah. Demikianlah ‘Tuan Guru’ ditempatkan pada nalar sastra sang pengarang. Sang pengarang yang melihat ‘Tuan Guru’ dari jendela yang berbeda. Hal demikian mungkin tidak jauh berbeda dengan sosok Nietzsche (pengarang terpenting kesusastraan Jerman) abad ke-19, Bapak Posmodernisme) dalam karya besarnya yang berjudul The Will to Power. Dalam karya tersebut Nietzsche menjelaskan pendapatnya tentang konsep “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot). Gagasan Tuhan sudah mati, khusus kaitannya dengan seni, pengertian Tuhan sudah mati mengandung arti mengatasi pesimisme, kegagalan dan berbagai kelemahan manusia. Begitulah ketika sastra dam budaya berbicara.

Sedangkan karya sastra Sasak lainnya seperti “Tahajjut Cinta” buah karya dari Paidul Wizari, yang bisa dimasukkan pada tingkat kedua tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Dan yang tidak kalah bagus dan menariknya juga adalah beberapa karya tulis dalam bentuk untaian syair dari sosok legendaris suku Sasak yaitu Almagfullah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Untaian-untaian syair tersebut bisa dimasukkan pada tingkat pertama tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Begitu pula dikala memerhatikan buku-buku garapan generasi Sasak sekarang (‘Membongkar Mistreri Politik diNTB’ karangan Badrun AM) yang sengaja memasukkan metafora simbolik Sasak seperti metafora Kao Dongol (metafora yang menunjuk pada sikap yang lahir tanpa berpikir), Kemodong Aur (metafora yang menggambarkan subyek penanda atas eksistensi sebuah mahluk yang cerdik, cerdas, berwawasan dan dapat memahami semua kepentingan), dan Lepang Kerek (metafora yang menyatakan sindiran kepada orang yang bersikap lamban dan tidak progresif). Adapula teater dan musik daerah garapan generasi Sasak sekarng yang didalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya Sasak baik lama maupun moderen memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Sasak. Demikian gambaran sastra dan budaya Sasak ditengah belantara moderen saat ini. Terakhir, saya ingin mengatakan “sejarah sastra dan budaya adalah sejarah tanggapan pembaca sepanjang zaman”.***

*) Mahasiswa Program Studi Pend. Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong

Senin, 21 Maret 2011

MELQUIADES ITU BERNAMA PAMAN RIFKI

Dwicipta
http://sastra-indonesia.com/

“…Suatu hari nanti aku akan menulis buku dan aku akan memakai namamu untuk tokoh utamanya.”
“Sebuah buku seperti Pertev dan Peter?” aku bertanya, jantungku berdegup.
“Bukan, bukan buku bergambar, melainkan sebuah buku yang di dalamnya aku menuturkan ceritamu.” [Kehidupan Baru, hal 422]

Osman mengenang percakapannya dengan paman Rifki itu di ujung usahanya dalam mengetahui teka-teki di balik berbagai peristiwa yang telah dialaminya. Ia telah terpukau oleh sebuah buku yang dibacanya, melakukan perjalanan demi perjalanan dengan bus, mengalami dan menyaksikan berbagai kecelakaan demi mendapatkan impiannya akan kehidupan baru seperti yang dijanjikan oleh buku itu. Adakah kemungkinan bahwa ia dan hidupnya adalah ciptaan paman Rifki, orang yang di kemudian hari diketahuinya sebagai penulis buku itu?

Novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini membuka kemungkinan pembacaan semacam itu. Untuk memuluskan skenario itu, penulisan sebuah buku yang didedikasikan bagi Osman kecil –anak cerdas teman sejawatnya di Perkeretaapian Negara– yang kelak mewujud dalam bentuk novel yang juga berjudul Kehidupan Baru, Paman Rifki ‘membunuh’ dirinya dalam novel karangannya, meskipun hampir di sepanjang novel tersebut kita merasakan kehadirannya yang terus-menerus, membayangi kehidupan Osman dari awal hingga akhir cerita. Pamuk tak berhenti hanya sampai di situ. Karyanya yang luar biasa ini seolah-olah mengembangkan lebih jauh kemungkinan-kemungkinan bercerita baru, yang kita sebut model bercerita posmodern, dengan mengeluarkan tokoh utama, Osman, dari dunia rekaan paman Rifki layaknya para keluarga Buendia dalam Seratus Tahun Kesunyian-nya Marquez merespons segala tulisan Melquiades, mengikuti dan mengomentari skenario yang telah dibuat paman Rifki untuknya.

Walaupun di akhir cerita sang tokoh tunduk pada desain besar yang telah membentuknya, namun ada fakta yang tak bisa dipungkiri di sepanjang novel ini dimana sang tokoh seperti melakukan suatu tanggapan berkesinambungan akan sosok penulis bukunya. Hasilnya adalah jalinan cerita memukau yang menggambarkan ketegangan antara kemandirian yang berusaha direbut oleh sang tokoh dan desain besar yang telah membentuknya. Pengarang yang semula ditempatkan sebagai pemegang otoritas tunggal atas tokoh-tokohnya kini harus menyerahkan sebagian otoritas itu pada tokoh-tokohnya tersebut. Ada humor segar nan intelek dalam hubungan antara tokoh dan pengarang dalam novel ini.

Pembacaan pertama

Marilah terlebih dahulu kita menelusuri alur konvensional dalam novel Kehidupan Baru karya Orhan Pamuk ini, yang memakai baju cerita detektif, sebelum melihat salah satu varian pembacaan dari sekian kemungkinan varian pembacaan yang bisa dilakukan.

Osman adalah seorang mahasiswa jurusan teknik yang tinggal bersama ibunya yang sudah menjanda. Ketika berada di kampus dan sedang memandang seorang teman perempuannya, Janan, ia terpikat pada sebuah buku misterius yang ada di tangan perempuan itu. Selagi penasaran dengan isi buku itu, dalam perjalanan pulang ke rumah dengan melewati lapak penjualan buku bekas, ia melihat buku yang semula ada dalam genggaman tangan Janan itu di sebuah lapak. Sebagai usaha untuk memikat Janan sekaligus penasaran akan isi buku yang dipegang oleh perempuan itu, ia membeli, dan membaca buku yang menjanjikan sebuah kehidupan baru bagi siapapun yang membacanya itu. Di kampus, ketika bertemu kembali dengan Janan yang telah ditemani Mehmet, Osman diberitahu bahaya yang mengancam bila membaca buku itu.

Akibat membaca buku itu, dan usahanya menemukan Janan yang dianggap menjadi belahan jiwanya, Osman meninggalkan kehidupannya di Istanbul bersama ibunya maupun pendidikannya di Universitas. Selama berbulan-bulan ia melakukan banyak perjalanan, naik turun bus yang membawanya ke berbagai tempat di pedalaman Anatolia itu sebelum akhirnya bertemu dengan Janan dan melakukan perjalanan bersama dengan perempuan yang ia cintai itu. Dalam perjalanan tersebut mereka mengalami dan melihat banyak kecelakaan lalu lintas. Kadangkala mereka menemukan diri mereka dalam suatu keadaan letih antara tertidur dan terjaga, suatu keadaan yang membuat Osman berhasrat untuk meninggal dalam suatu tabrakan maut.

Titik balik dari perjalanan panjang kedua orang itu adalah ketika mereka sampai di Tempat kediaman Dr. Fine (barangkali lebih tepat dengan nama Turki yang dipakai Pamuk dalam versi bahasa Turki-nya, Dr. Narin) dimana setelah ia meninggalkan Janan selama seminggu dan kembali ke kediaman Dr. Narin perempuan yang ia cintai telah lenyap entah kemana. Di kediaman Dr. Narin ini, Osman dan Janan mendapatkan sebuah fakta bahwa Mehmet, teman sekampus mereka yang lebih dahulu membaca buku dan mencari Kehidupan Baru yang dijanjikan oleh buku itu, adalah anak dari Dr. Narin yang kabur dari rumah. Nama aslinya adalah Nahit. Naluri Osman mengatakan bahwa Mehmet, anak Dr. Narin dengan nama asli Nahit, masih hidup dengan kemungkinan kembali berganti nama –sebuah kemungkinan yang menemukan kebenarannya yang mengagetkan karena nama baru Mehmet alias Nahit itu adalah Osman, persis seperti namanya sendiri.

Dan tak lain tak bukan, bahaya akibat membaca buku itu berasal dari Dr. Narin. Dr. Narin, yang percaya bahwa anaknya minggat dari rumah karena membaca buku ini. Ia berusaha menghancurkan semua cetakan buku ini dan berusaha menghabisi siapapun yang membacanya lewat para mata-matanya yang memakai nama alias seperti Movado, Zenith, Seiko, Serkisof –semuanya nama merk jam. Salah satu korban pembunuhan ini adalah Paman Rifki, yang merupakan pengarang buku Kehidupan Baru yang sangat mengilhami Osman dalam pencarian sebuah dunia dan kehidupan baru.

Dirundung asmara tak berkesudahan dan tanpa kepastian pada Janan, meskipun ia ditinggalkan oleh perempuan itu yang menikah dengan seorang dokter dan pindah ke Jerman, Osman memutuskan pulang ke rumah dan menikah dan hidup kembali seperti biasanya. Pada suatu waktu, panggilan pada kehidupan baru kembali merasukinya, membuatnya kembali bepergian. Kepergiannya kali ini secara mengejutkan membuatnya bertemu dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman –persis seperti namanya sendiri. Setelah percakapan panjang dengan Mehmet yang telah berganti nama menjadi Osman itu ia membunuhnya di dalam gedung bioskop. Kembali ke dalam bus dan berniat pulang kembali menemui istri dan anaknya, ia meninggal dalam suatu kecelakaan lalu lintas dan jiwanya melayang ke dalam suatu Kehidupan Baru.

Pembacaan kedua

Jika kita mengikuti dengan seksama detil-detil yang menyempurnakan alur konvensional yang menciptakan pembacaan pertama tadi, secara mengejutkan kita akan menemukan kemungkinan pembacaan lain yang lebih menarik. Inilah yang mungkin membentuk pembacaan kedua dimana bentuk penceritaan yang konvensional dibongkar sedemikian rupa oleh Pamuk sehingga menciptakan spektrum penafsiran yang tak tunggal.

Argumen bahwa Osman adalah karakter rekaan Paman Rifki boleh jadi sebuah pembacaan kedua yang menarik dan logis. Dari kenangan Osman akan masa kecilnya, ketika pada suatu hari ia dan ayahnya berkunjung ke paman Rifki dan ditanyai berbagai nama stasiun di semenanjung Anatolia itu, dan kutipan yang ada di awal tulisan ini, nampak jelas jikalau sosok Melquiades telah menjelmakan diri pada diri paman Rifki. Kesadaran akan peran besar paman Rifki sebagai salah satu penentu jalan hidupnya baru disadari Osman dalam dialognya dengan Mehmet sebelum ia membunuh lelaki yang telah mengganti namanya dengan nama yang persis sama dengannya itu, ketika ia dan Mehmet sekedar iseng-iseng membuat generalisasi pada topik situasi mereka.

“Sebenarnya, segalanya sangat sederhana. Seorang lelaki tua fanatik yang menulis untuk majalah kereta api dan memandang hina perjalanan serta kecelakaan bus telah menulis buku yang terilhami oleh komik anak-anak goresan penanya sendiri. Lalu beberapa tahun kemudian pemuda optimistis seperti kami yang telah membaca komik tersebut dimasa kecil kebetulan membaca buku itu dan percaya bahwa seluruh hidup kami telah berubah total…” [Kehidupan Baru, hal 361].

Pegawai perkeretaapian negara ini, yang menulis seluruh kisah hidup Osman, selain menulis artikel di majalah Rail untuk para penggemar kereta api memang juga menulis dan membuat ilustrasi untuk serial komik anak-anak berjudul “Petualangan Mingguan Untuk Anak-anak” dan membuat komik berjudul Pertev dan Peter serta Kamus Berkunjung ke Amerika [hal 23-24]. Lewat gaya humornya yang khas, Pamuk menempatkan Osman pada posisi mengolok-olok otoritas besar paman Rifki selaku pencipta dirinya, yaitu pada momen ia dan Mehmet sedang membuat generalisasi pada situasi yang mereka alami, ketika Osman menyadari bahwa tempat pertemuan kembali mereka berdua adalah di Viran bag, kota kecil indah yang dan juga nama stasiun yang dulu gagal diingatnya sebelum ia mengunyah Karamel bermerk Kehidupan Baru pemberian Bibi Ratibe.

“…Kau tahu,” ujarku, dengan mengucapkan setiap suku kata dan menatap wajahnya, “berkali-kali aku menangap kesan bahwa buku itu adalah tentang diriku, bahwa ceritanya adalah cerita diriku…” [hal. 362]

Penelanjangan diri Osman tidak hanya berhenti pada diterimanya kesan bahwa dirinya adalah ciptaan paman Rifki. Setelah membunuh Mehmet atau Nahit, ia kembali ke Istambul, menjalani kehidupan baru dengan menikahi anak perempuan tetangganya. Sampai pada suatu malam, ketika sedang berjalan tanpa arah yang jelas, kedua kakinya membawa Osman ke rumah paman Rifki. Ia menelusuri asal-usul lebih detil penciptaan buku itu, yang juga merupakan penciptaan dirinya, dengan meneliti secara seksama tiga puluh tiga buku yang ada di rak buku Paman Rifki. Ia memperhatikan bahwa beberapa adegan dalam Kehidupan Baru, beberapa ungkapan dan fantasinya, diilhami oleh bahan-bahan dari buku itu atau dicomot begitu saja dari buku-buku-buku tersebut [hal. 407].

Dan barangkali inilah puncak dari olok-olok Pamuk pada superioritas pengarang atas tokoh-tokoh rekaannya dengan cara membuat si pengarang justru sebagai pihak yang dibedah secara seksama oleh tokohnya: “…saat aku membandingkan beragam fantasi dan ungkapan dalam bacaanku, aku menemukan bisikan-bisikan tersandikan di sela-sela teks yang dari sini aku dapat melacak rahasia mereka… Bangga atas kompleksitas jaringan keterkaitan yang kubuat, aku bekerja dengan penuh kesabaran seperti seseorang yang menggali sumur dengan sebatang jarum, dalam upaya untuk menebus sedemikian hal yang kuabaikan dalam hidup…” [Hal 411]

Secara indah Pamuk merangkai penggambaran malaikat dalam karangan paman Rifki dalam wilayah fiksional dan intertekstual. Pada wilayah fiksional, Osman mengenang pada gambar malaikat pada pembungkus Karamel yang bernama Kehidupan Baru yang sangat ia sukai di masa kecilnya, sebuah penggambaran yang setelah ia telusuri kepada orang yang membuatnya ternyata diilhami dari artis cantik Marlene Dietrich dari Jerman yang bermain dalam film Der Balue Engel yang diadaptasi dari novel dengan judul yang sama karya Heinrich Mann. Penggambaran malaikat secara fiksional ini kemudian dipadukan secara referensial dengan gambaran malaikat-nya Rilke –yang juga berasal dari Jerman- dalam Duino Elegies. Dalam suratnya pada Lou Salome, Rilke mengatakan bahwa malaikat dalam Duino Elegies bukanlah malaikat yang berasal dari surganya orang Kristen, namun lebih mendekati malaikat-malaikat dalam surga kaum Islam.

Puisi Dalam Prosa dan Permainan Semiotika

Membaca novel ini, kita menemukan sebuah prosa yang digarap dengan ekspresi bahasa puitik yang memikat, terutama di bagian awal cerita. Dalam suatu wawancara, Pamuk mengakui intensinya pada penghadiran sebentuk prosa puitik semacam ini, dimana sumber ilham lahirnya novel Kehidupan Baru ini adalah karya-karya para penulis romantik Jerman.

“Prosa yang dilahirkan para penulis romantik Jerman memiliki suatu tarikan yang kuat dengan kematian; mereka mencari yang absolut dan berharap menciptakan sebuah ‘puisi’ yang jauh menjangkau pencarian ini hingga ke suatu platform non eksisten. Inilah buku –Kehidupan Baru- yang ditulis dengan harapan-harapan tersebut.” [The Other Colors: Selected essays and a story, hal. 147]

Maka sejak dari awal kalimat dalam novel ini, meskipun tidak menguasai seluruh novel melainkan hanya di bagian-bagian tertentu, ekspresi bahasa yang puitik ini telah menjerat perhatian kita. Seperti Gabriel Garcia Marquez, nampaknya Pamuk menyadari arti pentingnya yang besar dari kalimat pembuka novel yang memikat dan langsung menyergap perhatian pembaca, sehingga dibukalah novelnya itu dengan sebuah kalimat yang menghentak: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Memasuki bagian kedua novel ini, pembaca novel langsung disergap dengan sebuah kalimat lain yang membuat mereka terperangah: “Hari berikutnya aku jatuh cinta.” Jika di bagian pertama aspek puitik ini terjalin lewat sebuah perenungan mendalam akan efek sebuah buku dalam diri si tokoh, di bagian kedua kedua kita disuguhi sebuah penggambaran yang betul-betul puitik tentang pengalaman jatuh cinta Osman pada Janan, keresahannya dalam menanggung beban cinta dalam dadanya dan sebuah kehidupan baru yang terus menerus memanggilnya untuk mendekat. Semua hal ini memadat ketika Osman menempelkan keningnya di kaca jendela ruang Universitas, tempat dimana Janan menciumnya, sembari menatap butiran salju yang turun.

“Aku mengamati serpihan salju yang jatuh dalam deraian lembut hujan salju, yang berlengah-lengah tak pasti pada suatu titik mengejar serpihan salju lain, tak mampu membuat keputusan, ketika angin ringan bertiup dan menyapunya. Dan sesekali, sekeping serpihan salju lain meliuk di udara kemudian diam sesaat, lantas seakan telah berubah pikiran, ia lalu berbalik dan perlahan-lahan menuju angkasa…” [Hal. 47]

Hasrat untuk menciptakan sebuah “puisi” dalam prosa seperti pada karya-karya pengarang romantik Jerman ini tercermin kuat di dua bagian ini di samping pada penggambaran Pamuk akan kecelakaan-kecelakaan lalu lintas, perjalanan-perjalanan bus tanpa henti yang dilakukan Osman, dan kepiluannya untuk menemukan kembali Janan sebelum diakhiri secara memikat pada momen-momen akhir novel ini, ketika fajar merekah di ufuk timur dan Osman melihat wujud malaikat seperti yang digambarkan dalam buku yang dibacanya serta ‘pintu’ kehidupan baru yang telah terbuka untuknya. Maka seiramalah apa yang telah disuguhkan oleh Pamuk dalam novelnya ini dengan apa yang ia nyatakan di bawah ini:

“Ketika sedang menuliskan novel ini, aku memutuskan menjadi seorang penyair. Maksudku, aku memutuskan bertindak secara parsial dengan intuisi-intuisiku dansecara parsiap seolah-olah seseorang sedang berbisik padaku. Dalam kenyataannya, saya tidak memaksudkannya untuk keseluruhan novel ini, namun hanya beberapa bagiannya. Bagian-bagian dimana kecelakaan lalu lintas dideskripsikan, dan dimana sang protagonis jatuh cinta dan berkelanan sendirian. Pada bagian-bagian ini aku menuliskannya tanpa rencana atau program. Sebagaimana mereka mungkin bicara, dewi Musae berkata padaku “hei!” dan kemudian dengan mudah aku menuliskannya seperti itu.”

Ekspresi bahasa yang puitik ini bertumpang tindih dengan peristiwa-peristiwa surealistik yang dialami tokoh-tokohnya. Maka tidak mengherankan jika kita mendapatkan kesan dari keseluruhan alur cerita ini bahwa yang riil dan yang surreal terus bergandengan dalam novel. Perjalanan-perjalanan dengan bus ke wilayah-wilayah pedalaman Turki dan kecelakaan-kecelekaaan lalu lintas yang realistik dalam novel ini dipadukan dengan respons Osman dan Janan yang kerapkali fantastik dan tak terduga-duga. Dalam suatu kecelakaan, misalnya, ketika keningnya berdarah, Osman merasakan suatu ekstase berdiri di ambang batas kehidupan lamanya dan kehidupan baru yang sedang dicarinya. Ia merasakan alangkah sudah dekatnya ia dengan malaikat yang telah digambarkan dalam buku yang telah ia baca. Ketika perjalanan Osman mengantarkannya pada Dr. Narin yang kemudian diketahui melakukan spionase dan pembunuhan terhadap pembaca buku Kehidupan Baru karangan paman Rifki lewat mata-matanya, sekali lagi, kita dihadapkan pada sesuatu yang riil dan fantastik sekaligus. Sekalipun Pamuk telah menata detil-detil cerita ini dengan sangat rapi, pembaca akan sulit memahami, misalnya, pergantian nama Mehmet sebanyak tiga kali –dari awalnya Nahit, kemudian berganti menjadi Mehmet, sebelum akhirnya berganti lagi menjadi Osman, persis seperti nama tokoh utama-, kenapa Janan meninggalkan Osman yang tengah mempelajari arsip-arsip di kediaman Dr. Narin, dan kenapa Osman meninggalkan pencariannya akan kehidupan baru setelah ditinggalkan Janan.

Hal lain yang sangat menarik perhatian dari novel ini adalah permainan semiotik memikat yang disuguhkan Pamuk. Lihatlah judul Kehidupan Baru-nya yang memiliki banyak hubungan rumit. Judul Kehidupan Baru ini pertama-tama menunjuk pada buku yang ditulis oleh Orhan Pamuk, dan kemudian mengacu pula pada buku yang dikatakan ditulis oleh Paman Rifki dalam novel Pamuk. Judul buku ini mengingatkan kita pada La Vita Nuova karya Dante, karena Paman Rifki —dan sebagai konsekuensinya Orhan Pamuk— menyebutnya sebagai sumber inspirasi: sebuah buku yang menjanjikan kehidupan baru bagi pembacanya—yang dinarasikan oleh seseorang yang mengenang bahwa dulu ia biasa melahap Karamel Kehidupan Baru. Di sinilah kita bisa melihat Kehidupan Baru sebagai sebuah penanda dengan tetanda ganda. Salah satu dari tetanda itu adalah La Vita Nuova karya Dante, sementara tetanda yang lain adalah kehidupan baru yang dituliskan dalam kasus yang lebih rendah yang kita harapkan hidup secara faktual. Namun Pamuk dengan piawai membuat tetanda ini kerapkali berubah, bahkan saling menggantikan.

Sebuah hubungan semiotik serupa bisa dilihat dalam citra malaikat yang ditemukan dalam pembungkus Karamel Kehidupan Baru. Pemilik pabrik karamel Kehidupan Baru ini, Sureyya, begitu menggandrungi Marlene Dietrich, artis yang berperan sebagai seorang perempuan bak malaikat yang dicintai oleh Professor Unrat dalam film Der Blaue Engel. Dari sinilah kemudian citra malaikat dalam pembungkus karamel itu muncul. Citra malaikat dalam Kehidupan Baru karya paman Rifki, dan secara otomatis mengacu pada Kehidupan Baru karya Pamuk, juga bisa ditarik benangnya pada penggambaran malaikat dalam Duino Elegies karya Rilke selain pada literatur-literatur timur seperti Kunci Kebijaksanaan karya Ibnu Arabi. Pamuk mengkombinasikan citra malaikat yang suci ini dengan citra-citra malaikat yang lain sehingga menciptakan suatu paradoks. Permainan semiotik inilah yang membuat karya Pamuk ini mengusung suatu unsur posmodern dalam cerita.

Kehidupan Baru: Alegori tentang Turki

Banyak kritikus yang menilai bahwa novel Kehidupan Baru ini adalah sebuah alegori tentang Turki yang terbangun dengan baik. Di luar Istanbul yang sekuler dan modern, terdapat daerah-daerah pinggiran atau pedalaman yang kumuh dan miskin dan tengah berjuang mencapai tujuannya di tengah serangan gencar globalisasi. Karamel Kehidupan Baru hanyalah sebuah kiasan dari semakin tergusur dan matinya produk-produk lokal dan bisnis kecil akibat membanjirnya produk-produk dari luar Turki. Mereka, produk-produk dan bisnis kecil lokal, tak mampu berkompetisi dengan kekuatan besar kapitalisme Barat yang tidak hanya melanda Turki namun juga seluruh dunia. Dari cerita Dr. Narin pada Osman kita tahu bagaimana yoghurt dingin tradisional atau serbet Ceri masam telah digantikan oleh Coca Cola, terpinggirkannya lem damar lokal oleh lem UHU yang lisensinya di bawah merk dagang berlambang burung hantu kecil manis dari Jerman, dan lenyapnya sabun lempung oleh membanjirnya sabun merk Lux. Gambaran penuh kemurungan ini memunculkan dugaan adanya konspirasi besar untuk menghancurkan Turki sekaligus mengakibatkan kemarahan yang mewujud dalam fundamentalisme agama dan konservatisme yang buruk.

Akibat Westernisasi yang dijalankan sejak era Kemal Ataturk, Turki menjadi sebuah bangsa yang penuh kontradiksi. Ia ingin menjadi bagian dari Uni Eropa guna memperoleh keuntungan-keuntungan ekonomi, namun di sisi lain negeri ini masih menindas kebebasan ekspresi dan menutup pintu pada opini-opini yang kritis pada pemerintah dan kebijakan-kebijakannya. Pamuk membawa kita pada gambaran Westernisasi yang menegangkan dan penuh konflik di Turki ini secara literer, salah satunya, lewat kenangan Osman akan komik Pertev dan Peter dan Pahlawan-Pahlawan Kereta Api yang ia baca pada masa kanak-kanak, dan kemudian ia baca ulang dalam ruang arsip Dr. Narin. Namun yang paling menonjol, dan ini yang menjadi salah satu bagian utama novel Kehidupan Baru yang sangat indah, adalah curahan literer Pamuk untuk mengkritik kebebasan ekspresi di Turki lewat tindakan spionase, dokumentasi dan pembunuhan terhadap siapapun yang membaca buku Kehidupan Baru karya paman Rifki.

Penutup

Novel Kehidupan Baru ditulis oleh Pamuk ketika ia telah mengerjakan separuh dari novel My Name is Red –Namaku Merah Kirmizi. Selesai ditulis pada tahun 1994, bersama penerbitnya di Turki, Pamuk meluncurkannya dengan suatu kampanye iklan yang tak jamak. Mereka memasang papan-papan reklame di Istanbul yang bertuliskan kalimat pertama dalam novel itu: “Suatu hari, aku membaca sebuah buku dan seluruh kehidupanku pun berubah.” Saat itu, strategi pemasaran novel yang dilakukannya adalah sesuatu yang baru dalam sistem literer Turki. Namun pembaca merespons-nya dengan baik sehingga novel Kehidupan Baru menjadi buku yang terjual paling cepat dalam sejarah literer Turki –satu menit per buku dalam pekan raya buku di Istanbul.

Para pengulas buku dan kritikus pun sibuk dengan novel ini. Oleh sebagian kritikus, novel ini dianggap terlalu terpusat pada kehidupannya sendiri –Pamuk adalah bekas mahasiswa Teknik Arsitektur yang meninggalkan studinya untuk bisa berkarir penuh sebagai penulis, serebral, dan sulit. Namun para penulis terkenal seperti Salman Rushdie dan John Updike, membandingkan novel Pamuk dengan karya-karya Marcel Proust, Jorge Luis Borges, Gabriel Garcia Marquez dan Franz Kafka. Pamuk sendiri mengakui pengaruh Kafka yang besar dalam novel ini, terutama kecenderungan tokoh utama yang terserap pada dunianya sendiri.

Namun dalam terjemahan bahasa Inggrisnya yang digarap oleh Guneli Gun –penerjemah yang juga mengalihbahasakan novel Pamuk yang berjudul Black Book, novel ini cukup kontroversial dan mendapatkan dua tanggapan yang bertolak belakang di dua negara yang berbeda. Para kritikus di Inggris menganggap kualitas terjemahan Guneli Gun ini buruk sehingga novel ini mendapatkan penghargaan sebagai novel terjemahan terburuk tahun itu, sementara publik Amerika memuji tinggi terjemahan novel ini.

Terlepas dari kontroversi itu, kejeniusan Pamuk terletak pada kemampuannya untuk mengganggu konvensi-konvensi pembacaan kita. Jika bagi sebagian orang novel ini dianggap susah, namun bagi kritikus yang teliti, alih-alih terganggu, novel ini justru menyuguhkan padanya berbagai model pembacaan yang menarik. Dan yang paling utama, novel ini telah mewariskan pada kita suatu capaian literer luar biasa dimana kita bisa belajar darinya untuk melahirkan karya-karya yang lebih baik. Membaca novel ini kita seperti Osman ketika membaca buku yang mengubah seluruh hidupnya: “sudut pandang kita diubah oleh novel ini, dan novel ini diubah oleh sudut pandang kita.”

Sokawangi, Desember 2008
Untuk Ibuku tersayang

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati