Janual Aidi*
http://sastra-indonesia.com/
“Manusia tidak dipahami melalui eksistensi fisik, secara substansial, melainkan melalui karya dan ciptaannya…” (Ernst Cassirer)
Satu kenyataan yang tidak dapat disangkal oleh siapapun juga bahwa sesungguhnya suku Sasak merupakan suku yang kaya akan sastra dan budaya. Sebut saja diantara karya-karya tulis pada zaman dahulu (naskah lama) seperti: Babad Selaparang, Babad Lombok, Babad Praya, Babad Praya (Mengawi), Babad Sakra, Babad Sari Manik, Jatiswara, Silsilah Batu Dendang, Nabi Haparas, Cilinaya, Cupak Gerantang, Doyan Neda, Pengganis, Kertanah, Dajjal dan Kotaragama. Ataupun yang dalam perkembangannya, naskah-naskah tersebut banyak diubah kedalam bentuk puisi yang selanjutnya ditembangkan. Tembang-tembang tersebut banyak dipergunakan untuk menulis sastra-sastra Sasak seperti Takepan Monyeh, Lontar Demung Sandubaya dan lainnya. Dan kurang lebih ada enam tembang yang biasa ditembangkan oleh suku Sasak pada masa dulu yaitu: tembang Maskumambang, tembang Asmarandana, tembang Dangdang, tembang Sinom, tembang Pangkur dan tembang Durma. Juga ada banyak karya-karya sastra lainnya yang tidak dapat disebut satu-persatu karena terbatas oleh “ruang kesadaran pewarisan” terhadap generasi penerus. Hal semacam ini sangat cukup untuk disayangkan. Manusia Sasak semakin digerogoti oleh ‘budaya pop’. Generasi Sasak sekarang seolah kehilangan identitas kesustraan ataupun budayanya. Mengalami kebuntuan dan terperosok jauh kedalam lembah kepopuleran. Saya yakin, diantara ribuan generasi Sasak sekarang hanya segelintir saja yang tahu sedikit, peduli dan cinta terhadap sastra dan budaya lokal. Generasi Sasak sekarang seolah ‘antipati’ terhadap sastra dan budaya sendiri. Dan kalau diadakan votting bagi generasi Sasak saat ini, apakah ingin mengonsumsi ‘sastra dan budaya Sasak’ atau ‘pop’, maka saya yakin 99,99% bahwa hasil akhirnya adalah generasi Sasak sekarang akan mengambil ‘option’ budaya pop.
Sebagai penguat argumentasi diatas, marilah kita coba perhatikan realitas generasi Sasak sekarang lewat sebuah studi penelitian kecil-kecilkan. Coba kita perhatikan dan telusuri sejenak mengenai simpanan ‘lagu apa’ yang ada atau lebih banyak di-save pada masing- masing Hand Phone , MP3 Player atau MP4 Player oleh generasi Sasak sekarang! Adapun hasil penelusuran yang saya lakukan menunjukkan bahwa dari 80 sampel hanya terdapat 2 sampel yang men-save lagu-lagu Sasak. Hasil identifikasi ini cukup mencengangkan sekaligus membuka mata kita bahwa generasi Sasak sekarang lebih condong pada sastra ataupun budaya ‘pop’ daripada sastra dan budaya sendiri.Yang perlu kita ketahui dan renungi sebagai generasi Sasak penerus adalah sejarah Sasak telah berbicara bahwa sebelum abad ke-20 hampir semua pesta rakyat yang dilangsungkan di pulau Lombok diramai-semarakkan dengan pembacaan tembang-tembang Sasak yang disusun pada daun lontar dan lainnya. Dan ternyata, pembacaan tembang-tembang tersebut selain berfungsi sebagai hiburan bagi masyarakat setempat, juga sebagai sarana pelestarian budaya atau sebagai sarana pembinaan ‘budi pekerti’ dan watak yang terpuji bagi para pendengarnya. Kini, masihkah tembang-tembang merdu yang termasuk bagian dari’kearifan local’ (local wisdom) tersebut bisa didengar dan dinikmati? Jawabannya telah kita ketahui bersama, jarang dan sulit untuk bisa didengar dan dinikmati bahkan mungkin nyaris kehilangan jiwa dan nyawa.
Terlepas dari semua hal di atas, maka lewat tulisan ini mengajak kita semua untuk kembali mencintai sastra dan budaya Sasak. Ada banyak nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam sastra dan budaya Sasak. Misalnya saja garis besar naskah Kotaragama yang berisi nilai-nilai penting yang menyangkut masalah kepemimpinan, kesejahteraan rakyat, keadilan, peraturan (hukum), dan masalah kehidupan lainnya seperti masalah perkawinan, hutang-piutang, pencurian, hak dan kewajiban raja serta rakyat dan lain sebagainya. Semua tersebut sebenarnya adalah kekayaan suku Sasak yang tak terhargakan karena semuanya syarat dengan nilai-nilai luhur. Artinya, sastra dan budaya Sasak yang ada tidak hanya sebatas memiliki kemolekan logat, melainkan ‘full’dengan nilai-nilai luhur yang sulit untuk ditandingi. Karya seni tidak lahir dari kekosongan, melainkan menggambarkan historik realitas sosial budaya yang khas dan mengandung kesadaran kolektif. Mari kita bersama peduli, mencintai dan mengonsumsi sastra dan budaya sasak yang ada. Mempelajarinya sehingga mendapatkan ‘intisari’ akan keluhuran nilai-nilai yang terkandung. Selain melestarikan sastra dan budaya Sasak dengan cara mencintai, peduli dan mengonsumsi, maka satu garis perjuangan dan pergerakan bendera sastra dan budaya yang harus dilakoni lagi adalah dengan cara menciptakan karya-karya sastra dan budaya yang berkaitan erat dengan realitas sosio-kultural masyarakat Sasak sekarang. Dengan kata lain, manusia Sasak sekarang harus mampu menelurkan karya sastra dan budaya baru. Sastra dan budaya Sasak harus eksis ditengah terpaan modernisme.
Nah, dengan memberikan perhatian pada sastra lokal berarti kita telah menopang program pengembangan sastra dan budaya secara multikultural. Dan dengan adanya kesadaran kolektif dan perhatian untuk menciptakan karya-karya bernuansa news local wisdom, maka sama artinya dengan melahirkan sastrawan dan budayawan baru. Dan pada dasarnya pula, tidak ada masyarakat yang tidak bersastra dan berbudaya. Maksudnya adalah tidak ada masyarakat yang tidak memberikan kontribusi terhadap perkembangan sastra dan budaya. Sebaliknya, tidak ada masyarakat yang tidak mendapat pengaruh perkembanagan sastra dan budaya. Institusi budayapun berfungsi untuk membangun kesadaran budaya, sebab tanpa institusi seni menjadi terasing bagi masyarakat. Institusi budaya harus berjalan efektif.
Selanjutnya, perkembangan sastra dan budaya Sasak adalah lahirnya karya-karya dan budaya yang ‘tidak sebanding’ dengan kuantitas masyarakat. Maksudnya, jumlah karya sastra yang lahir sangat jauh minimnya bila dibandingkan dengan jumlah penduduk suku Sasak. Dengan mengetahui kenyataan sastra dan budaya Sasak seperti tadi, tetap kita tidak boleh berkecil hati. Kedepan, generasi Sasak harus bisa melahirkan karya-karya sastra dan budaya yang bersifat ‘kekinian’.
Adapun karya sastra budaya dari tangan generasi Sasak sekarang seperti novel yang berjudul “Tuan Guru” dengan tebal 641 halaman yang terdiri dari 40 bagian. Novel tersebut lahir dari buah karya ‘generasi Sasak tulen’ yang bernama Salman Faris, lelaki yang lahir dari wanita buta huruf diRensing Lombok Timur.
Meski pada bedah novel dikatakan bahwa karya sastra tersebut dinilai kontraversial, namun novel tersebut lebih pantas dinilai sebagai kritik sosial. Karena sebenarnya sastra dan realitas sosial adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Sastra merupakan ‘buah karya’ yang diproduksi dan distrukturasi dari berbagai dinamika reel masyarakat. Sehingga sastra bisa saja dibahasakan sebagai potret sosial yang menyuguhkan kembali realitas masyarakat yang pernah terjadi dengan cara yang khas sesuai dengan penafsiran ataupun sudut pandang pembacanya. Saya teringat dengan sosiolog Karl Manheim yang dalam teorinya menyatakan bahwa setiap karya seni (termasuk sastra) mau tidak mau akan menyampaikan makna pada tiga tingkat yang berbeda. Pertama, tingkat objektif meaning, yaitu hubungan suatu karya sastra dengan dirinya sendiri; apakah karya sastra gagal atau berhasil dalam menjelmakan keindahan ataupun pesan yang hendak disampaikan. Kedua, tingkat expressive meaning, yaitu hubungan antara karya sastra itu dengan latar belakang psikologi penciptanya; apakah karya sastra diciptakan untuk mengenang sesuatu yang penting ataupun bermakna dalam kehidupan penciptanya. Ketiga, tingkat docementary meaning, yaitu makna yang berhubungan antara karya sastra dengan konteks sosial penciptanya. Suatu karya sastra merupakan dokumen sosial tentang keadaan masyarakat dan alam pikiran.
Nah, novel ‘Tuan Guru’ masuk pada tingkat yang ketiga. Struktur karya sastranya dibentuk dari proses strukturasi nilai-nilai sosial-budaya yang terjadi pada masyarakat Sasak. Adalah ‘Tuan Guru’ yang oleh masyarakat Sasak dipahami sebagai sosok guru yang pernah menjalankan ibadah haji serta dijadikan sebagai pemuka agama Islam yang dihormati dan menjadi panutan masyarakat. Namun, ‘Tuan Guru’ dalam karya Salman Faris lebih diartikan dari sisi lain, sisi aktor sentral yang memiliki pengaruh besar terhadap ‘pendulung suara rakyat’ pada Pemilu Pilpres ataupun Pemilu Kepala Daerah. Demikianlah ‘Tuan Guru’ ditempatkan pada nalar sastra sang pengarang. Sang pengarang yang melihat ‘Tuan Guru’ dari jendela yang berbeda. Hal demikian mungkin tidak jauh berbeda dengan sosok Nietzsche (pengarang terpenting kesusastraan Jerman) abad ke-19, Bapak Posmodernisme) dalam karya besarnya yang berjudul The Will to Power. Dalam karya tersebut Nietzsche menjelaskan pendapatnya tentang konsep “Tuhan sudah mati” (Gott ist tot). Gagasan Tuhan sudah mati, khusus kaitannya dengan seni, pengertian Tuhan sudah mati mengandung arti mengatasi pesimisme, kegagalan dan berbagai kelemahan manusia. Begitulah ketika sastra dam budaya berbicara.
Sedangkan karya sastra Sasak lainnya seperti “Tahajjut Cinta” buah karya dari Paidul Wizari, yang bisa dimasukkan pada tingkat kedua tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Dan yang tidak kalah bagus dan menariknya juga adalah beberapa karya tulis dalam bentuk untaian syair dari sosok legendaris suku Sasak yaitu Almagfullah Maulana Syaikh TGKH. Muhammad Zainuddin Abdul Madjid. Untaian-untaian syair tersebut bisa dimasukkan pada tingkat pertama tentang penyampaian makna dalam teori Karl Manheim. Begitu pula dikala memerhatikan buku-buku garapan generasi Sasak sekarang (‘Membongkar Mistreri Politik diNTB’ karangan Badrun AM) yang sengaja memasukkan metafora simbolik Sasak seperti metafora Kao Dongol (metafora yang menunjuk pada sikap yang lahir tanpa berpikir), Kemodong Aur (metafora yang menggambarkan subyek penanda atas eksistensi sebuah mahluk yang cerdik, cerdas, berwawasan dan dapat memahami semua kepentingan), dan Lepang Kerek (metafora yang menyatakan sindiran kepada orang yang bersikap lamban dan tidak progresif). Adapula teater dan musik daerah garapan generasi Sasak sekarng yang didalamnya mengandung unsur-unsur sastra. Jelasnya, karya-karya sastra dan budaya Sasak baik lama maupun moderen memegang peranan penting bagi kehidupan masyarakat Sasak. Demikian gambaran sastra dan budaya Sasak ditengah belantara moderen saat ini. Terakhir, saya ingin mengatakan “sejarah sastra dan budaya adalah sejarah tanggapan pembaca sepanjang zaman”.***
*) Mahasiswa Program Studi Pend. Sosiologi STKIP Hamzanwadi Selong
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar