Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/
Tokoh
Lurah Guru Modin Orang asing Perempuan Warga
Sinopsis
Adalah konspirasi orang asing dengan lurah. Orang asing membantu lurah untuk merealisasikan janji-janjinya dalam memimpin kampungnya untuk mensejahterakan rakyatnya. Rencana itu disambut baik oleh kebanyakan warga. Terlebih untuk pendidikan gratis, kesejahteraan guru dan modin.
Di tengah perencanaan tersebut, seringkali ibu-ibu merasa ketakutan. Mereka seringkali memahami informasi sepotong-potong tentang nasib anak-anaknya, informasi itu seringkali dikait-kaitkan dengan maraknya penculikan dan penjualan anak, tentang jual beli organ tubuh, dan tentang penyalagunaan asuransi jiwa.
Semua warga dan guru setuju dengan rencana tersebut kecuali pak Modin. Ia satu-satunya orang yang tidak setuju dengan tawaran orang asing itu, karena konpensasinya harus mau menerapkan sistem pendidikan dengan maksud membunuh potensi dan kreatifitas anak-anak, juga dianggap tidak menghargai pekerti yang luhur. Modin bersuara lantang walau sebenarnya ia menjadi orang yang paling beruntung kalau ia setuju.
Orang asing menganggap suara Modin amat mengganggu. Ia meminta lurah untuk menyingkirkannya dengan cara mengirim perempuan cantik.
Adegan 1
Lurah berdiri tegap di tengah panggung. Menatap para penonton. Lurah menganggap mereka adalah warganya.
1. Lurah : (berteriak dengan wibawa) Para warga, aku suka kalian bergembira. Itu adalah wujud terimakasih padaku. Kalian sungguh nampak kenyang. Aku tidak sia-sia memberi kalian makanan tiap hari.
Berjalan mengitari semua area panggung
2. Lurah : Sudah kesekian hari aku memimpin kampung ini. Aku telah berjanji pada wargaku. Mereka harus sejahtera. Semuanya. Petani, guru, modin, nelayan, kuli batu, pedagang dan lain sebagainya. Namun, prioritas utama adalah anak-anak sekolah, guru dan modin. Anak-anak sebagai penerus pembangunan, mereka harus mendapatkan pendidikan yang layak secara gratis. Guru sebagai penerang kegelapan hidupnya harus lebih bermartabat. Begitu pula pada modin. Ia adalah jembatan nilai-nilai ketuhanan. Ia harus aku kasih penghargaan.
Adegan 2
Modin memimpin ibadah dengan melantunkan kalimat-kalimat suci. “sumpahku untuk Tuhan/ hidupku akan tenang”.
Adegan 3
3. Guru : Murid-muridku, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Hiasi pekerti dengan moral yang mulya.
4. Murid-Murid : (menyanyikan hymne Guru)
Adegan 4
Di kantor kelurahan siang hari
5. Lurah : Yang terhormat, seluruh warga kampung. Terimakasih atas kedatangan kalian, dan minta maaf bila ada yang tidak berkenan. Pertemuan ini bermaksud baik, terutama bagi warga yang punya pengabdian tinggi terhadap kampungnya dengan tulus. Kabar gembira buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang yang memiliki anak usia sekolah. Kabar gembira buat bapak ibu guru, juga buat bapak modin. Sesuai keputusan pemerintah nomor 1 2 3 4 5 ABCDE, menimbang dan memutuskan. 1. Pendidikan gratis. 2. Semua guru akan mendapatkan tunjangan yang layak: Gaji 5 juta perbulan, Pulsa gratis selama menjadi guru, rumah dinas dengan listrik gratis, mobil lengkap dengan sopirnya. 3. Untuk para modin, honor bulanan dan fasilitas lain sama seperti guru, ditambah bonus 3 juta tiap urusi kematian.
Para penduduk bergembira lalu bernyanyi
6. Orang-orang : “Asyik, asyik guruku kaya raya. Modinku hidup mulya”
Adegan 6
7. Orang Asing : Bapak lurah yang terhormat, bantuan ini tentunnya harus ada konpensasinya, harus ada jaminannya.
8. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
9. Orang Asing : Begini bapak, untuk anak-anak haruslah cerdas dan terukur IQ-nya. Makannya harus diuji sebagai ukuran standarisasi mutu. Bila tidak mencapai ketentuan yang kami buat, anak itu dianggap gagal atau tidak lulus.
10. Lurah : Misalnya orang asing?
11. Orang Asing : Anak-anak harus bisa menjawab soal pelajaran paling sedikit 70 dari 100 soal yang diujikan.
12. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
13. Orang Asing : Dan yang membuat soal itu adalah kami
14. Lurah : Gampang, itu semua bisa dibicarakan
15. Orang Asing : Mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa asing, matematika dan ilmu pengetahuan umum.
16. Lurah : Itu juga bisa dibicarakan Tuan. Kerja dengan kami amat mudah Tuan, yang penting ada uangnya. Tapi maaf Tuan, bukan untuk kepentingan kami pribadi, namun untuk kepentingan warga kampong
17. Orang Asing : Ya ya ya…. Saya percaya pak, itu semua bisa dibicarakan
18. Lurah : Tuan, boleh saya mengajukan pertanyaan?
19. Orang Asing : Oh boleh, semuanya bisa ditanyakan dan bisa dibicarakan (teretawa)
20. Lurah : Materi yang akan diujikan dalam ilmu pengetahuan umum itu apa Tuan?
21. Orang Asing : Ya paling tidak, pengetahuan tentang nama-nama Negara kaya
22. Lurah : Oh begitu Tuan, bagus itu. Nama saya juga ditulis kan?
23. Orang Asing : Bisa bapak, semuanya bisa dibicarakan. Namun ada syaratnya, bapak.
24. Lurah : Syarat itu bisa dibicarakan kan, Tuan?
25. Orang Asing : Bisa, semuanya pasti bisa dibicarakan. Begini bapak, syarat tersebut adalah bagi pemimpin yang punya uang dan tentara. Apa bapak Lurah punya tentara?
26. Lurah : bukan tentara tapi hansip Tuan.
27. Orang Asing : Punya senjata?
28. Lurah : Pentungan, Tuan
29. Orang Asing : Oh oh……………………
30. Lurah : Bisa dibicarakan kan, Tuan?
31. Orang asing : Bisa, bisa……. Atau bapak punya uang?
32. Lurah : Ya ada tapi dibawa istri
33. Orang Asing : Istri bapak berjumlah berapa?
34. Lurah : Masih satu, Tuan
35. Orang Asing : (tertawa) Satu istri itu indikator tidak punya banyak uang
36. Lurah : Berarti banyak uang itu harus banyak istri, Tuan?
37. Orang Asing : Bisa saja satu, tapi simpanannya yang harus banyak.
38. Lurah : Ah Tuan. Suka sekali bergurau. Kalau Tuan sendiri punya berapa istri?
39. Orang Asing : Tidak punya
40. Lurah : Tidak punya tiga atau lima?
41. Orang Asing : Sepertinya tidak punya sama sekali
42. Lurah : Wah, tuan ini ternyata masih perjaka. Terus untuk apa tuan bekerja?
43. Orang Asing : Untuk hidup bahagia dong bapak. Kebahagiaan kan bisa dibeli
44. Lurah : Maksud Tuan?
45. Orang Asing : Perempuan kan bisa dibeli. Banyak yang jualan bapak. Menikah itu merepotkan, harus buat perjanjian, harus ngurusi anak. Istri suka melarang yang ini itu. Hidup akan semaikin tidak bebas dengan ikatan pernikahan. Jadi kalau kita ingin bercinta, akan lebih baik membeli, dan bisa gonta-ganti. Tapi maaf bapak, itu semua ukurannya adalah uang. Bila tidak punya banyak uang, semuannya akan repot. Perempuan kampong sini ada yang dijual bapak?
46. Lurah : Maksud, Tuan?
47. Orang Asing : Ah, kalau itu bisa kita bicarakan nanti saja.
48. Lurah : Maksud Tuan?
49. Orang Asing : Jelasnya begini bapak, anak-anak kampung bapak perlu dibentuk untuk menjadi anak yang cerdas dan terukur. Bila ia bisa menjawab soal-soal yang kami ujikan berarti mereka adalah anak yang hebat menurut ukuran kami. Bila tidak, ya gagal alias tidak lulus. Kami tidak peduli apa mereka berbakat, apa mereka memiliki budi pekerti yang baik, karena itu bukan ukuran kami. (tertawa) Ukuran kami adalah anak-anak itu harus tahu nama-nama pemimpin hebat yang kaya dan yang punya tentara kuat.
50. Lurah : Tuan orang asing!
51. Orang asing : (tertawa semakin keras)
52. Lurah : Tuan orang asing yang terhormat!
53. Orang Asing : (tetap tertawa)
54. Lurah : Tuan orang asing, semua masih bisa dibicarakan kan?!
Adegan 7
Bayan berkeliling panggung. Ia beranggapan bahwa panggung itu adalah kampungnya, dan warga adalah penontonnya.
55. Bayan : Pengumuman! Alias woro-woro. Ini penting bapak, ibu. Ini menyangkut nasib anak bapak ibu.
56. Ibu 1 : Ada apa pak bayan?
57. Ibu 2 : Iya bapak bayan, ada apa? kok sepertinya gawat?!
58. Bayan : Ibu-ibu punya anak usia sekolah kan, nasib mereka….
59. Ibu-Ibu : Nasib mereka?!
60. Ibu 1 : gawaaaaaaaaaaaaat! Bapaaaaaaaaaaaaaaaak, anak kita diculik, bapak! Mamad, anakku, dimana kamu?!
61. Ibu 2 : si Siti anakku, kamu juga dimana, nak?
Para warga berlarian. Mereka keluar membawa kentongan. Mereka mencari anak-anaknya.
62. Warga :
“setan gundul, temokno anakku. Sing gak koen temokno anakku tak uyoi ndasmu”
Mereka terus bergerak dan bernyanyi. Nyanyiannya semakin lama seperti mantra. Menjadi sangat mistis.
63. Modin : (Mendatangani warga) Bapak ibu, ini sebenarnya ada apa?
64. Ibu 1 : Anak kita hilang pak modin
65. Modin : Hilang, hilang bagaimana bu?
66. Ibu 2 : Kok bagaimana sih, pak modin. Hilang ya hilang, pak!
67. Guru : Maksud ibu-ibu, anak anak sedang tidak ada di rumah?
68. Ibu 1 : Ah ibu guru ini, kalau hilang ya tentu tidak ada di rumah
69. Modin : Bapak ibu apa tidak salah. Sudah tidak jamannya wewe gombel nggondol anak-anak. Wewe gombel kini sudah takut sama anak-anak. Terlebih pada anak-anak yang pandai membaca kitab suci. Anak-anak ibu sudah bisa membeca dengan baik kan?
70. Ibu 1 : Bisa, pak modin!
71. Ibu 2 : Anak saya sudah khatam beberapa kali pak!
72. Ibu 1 : Anak saya juga hafal do’a-do’a. Coba Tanya pada ibu guru, yak an bu?
73. Modin : Kalau begitu tidak mungkin hilang digondol wewe gombel
74. Ibu 2 : Lho, siapa pak modin yang bilang anak-anak digondol wewe gombel!
75. Modin : Lha terus?
76. Ibu 1 : Anak kita diculik, bapak!
77. Modin : Diculik? Wah, gawat ini. Anak kita akan dijual
78. Ibu 2 : Dijual?
79. Ibu 1 : Duh gusti, si Mamad dijual, berarti daging-daging yang dijual di pasar itu bukan daging sapi, akan tetapi daging manusia.
80. Ibu 2 : Jangan-jangan daging yang saya masak tadi adalah daging anak saya
81. Modin : Bukan dagingnya yang dijual ibu, tetapi jiwanya, jiwanya yangdiasuransikan.
82. Bayan : ya betul pak modin, saya juga pernah dengar. Banyak anak-anak dikota diculik lalu diikutkan asuransi, lalu kemudian nyawanya dihilangkan. Dengan demikian penculik tersebut mendapatkan uang asuransi.
83. Ibu 1 : tidaaaaaaaaaaaaak! Si Mamad tidak boleh meninggal. Ia harus pulang
84. Ibu Guru : Juga ada kabar baru. Nyawa mereka tidak dihilangkan
85. Ibu 1 : Berarti anak kita tidak dibunuh. Anak kita belum meninggal ya, bu?
86. Ibu guru : Tetapi mereka disekap, dikurung. Organ vitalnya yang akan dijual
87. Ibu 2 : Maksud ibu guru kelaminnya?
88. Ibu 1 : Kalau begitu juga tidak mungkin, si Mamad hidup tanpa kelamin. Tidak mungkin si Mamad menjadi Mimi, alias menjadi anak perempuan.
89. Guru : Bukan kelaminnya yang akan dijual, namun organ vital seperti hati, ginjal. Organ vital tersebut dijual pada orang-orang kaya yang membutuhkannya, lantaran milik orang kaya tersebut tidak berfungsi dengan baik, alias mengidap penyakit.
90. Modin : kalau begitu ayo kita cari. Siapa tahu anak-anak kita masih hidup dan organ tubuhnya belum laku dijual.
Para warga kembali mencari anak-anaknya
“setan gundul temukan anakku, kalau tidak kau temukan ku kencingi kepalamu”
91. Modin : Berhenti sebentar!
92. Ibu : Ada apa pak modin?
93. Modin : Yang menculik anak-anak kita kan bukan setan gundul!
94. Ibu 2 : Lalu kenapa, pak modin?
95. Modin : La, tidak ada gunanya kita meminta bantuan kepada mereka.
96. Ibu 1 : Lalu kepada siapa lagi? Kepada polisi. Ah terlalu rumit prosedurnya. Juga butuh uang cukup banyak pak..
97. Modin : Kepada Tuhan yang tidak pernah tidur
98. Ibu 2 : Bagaimana carannya pak modin?
99. Modin : Kita berdo’a kepadanya untuk meminta pertolongan
100. Ibu 1 : Pak, modin. Apa masih percaya pada saya. Terlalu banyak dosa yang saya perbuat. (menangis) aku jadi ingat pada si Mamad. Satu-satunnya harapanku. Si Mamad adalah hasil hubungan gelap. Dan laki-laki itu, bapak si Mamad yang jahanam itu tidak bertanggungjawab. Alasannya sederhana. Ia terikat dengan peraturan lantaran ia pegawai. Ya, ini memang salahku aku serahkan kehormatanku hanya karena alasan cinta. Si Mamad jangan tinggalkan ibu, nak. Pulanglah. (terus menangis) pak Modin, Tuhan pasti tidak mau memaafkanku, apalagi mengabulkan do’aku.
101.Modin : Percayalah pada Tuhan. Ia pasti memaafkanmu. Pernah mendengar cerita tentang seorang pelacur yang memberi air minum pada seekor anjing. Pelacur dan anjing, sekotor apa dua makhluk itu. Spontan fikiran kita akan menimpulkan, mereka adalah dua makhluk Tuhan yang paling najis. Namun apa kata Tuhan. Mereka adalah penghuni surga. Hanya sebersit kebaiakan dalam hatinya. Pelacur itu dengan rasa kasihan pada anjing yang kehausan, dengan sepatunya, ia mengambil air dari dalam sumur. Tuhan Maha Pemaaf, Tuhan Maha Pengasih. Marilah meminta pada Tuhan. Syaratnya hanya satu, jangan berburuk sangka pada Tuhan. Yakinlah ia pasti akan memberi setiap pertolongan yang kita minta.
102. Guru : Sebentar-sebentar. Apa benar . by the way, sebenarnya anak siapa yang hilang?
103. Ibu 2 : Astaga, ibu guru, ya anak kita semua
104. Guru : semua anak kampung ini hilang?! (tertawa)
105. Ibu 2 : Kenapa ibu guru tertawa?
106. Ibu 1 : Bu guru, kita ini sedang sedih. Kenapa ibu guru tertawa?
107. Guru : Kenapa harus sedih, ibu. Ini jam berapa? Hari ini juga bukan tanggal merah kan? Ibu-ibu, kalau saat ini anak-anak ibu bisasanya sedang apa. Sedang belajar di sekolah kan? Apa ibu-ibu sudah ke sekolah? Belum kan? Ibu-ibu masih percaya pada guru-guru kan?! Anak-anak ibu aman. Tidak satupun yang diculik.
108. Ibu 1 : Pak Bayan, kamu bohong ya?!
109. Modin : Pak Bayan, kamu itu pamong warga. Seharusnya momong. Sungguh celakalah sebuah kampung bila aparatnya suka berbohong.
110. Bayan : Siapa yang berbohong, pak Modin?
111. Ibu 2 : Jangan berkelit, pak Bayan
112. Ibu 1 : Ya pak Bayan, siapa yang bilang tentang nasib anak-anak kami tadi? Ayo, siapa, pak?
113. Bayan : Saya, lalu kenapa?
114. Ibu 2 : Kok kenapa!
115. Modin : Lho pak bayan. Itu dosa besar pak. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya pejabat yang suka membohongi rakyatnya.
116. Bayan : Sungguh, kami tidak berbohong pak modin. Terkutuklah saya bila saya seorang pejabat pemerintah suka membohongi warganya.
117. Modin : Terus apa yang sesungguhnya terjadi?
118. Bayan : Ibu ibu yang over acting!
119. Ibu 1 : Hai pak bayan. Apa bapak bilang. Kami over acting?!
120. Ibu 2 : Jangan lempar mulut sembunyi hidung pak bayan.
121. Modin : Pak bayan. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya pejabat yang tidak mau bertanggungjawab atas kebijakan yang dikeluarkannya.
122. Bayan : Pak Modin, apa yang harus saya pertanggungjawabkan.
123. Ibu 1 : Ya kebohongan pak bayan!
124. Modin : Pak Bayan, Lidah itu lebih tajam daripada pedang. Lidah itu milik kita sebelum berkata-kata, namun setelahnya, kita menjadi miliknyan. Nasib kita tergantung apa yang kita katakan
125. Guru : sudahlah. Apa yang sebenarnya terjadi. Ceritakan yang sesungguhnya pak bayan!
126. Bayan : bapak ibu semua. Saya ini Bayan. Tugas saya memberi kabar yang sesungguhnya. Tidak kami kurangi dan tidak kami lebih-lebihkan.
127. Ibu 2 : Kenyataanya pak bayan!
128. Bayan : Tolong jangan dipotong apa yang sebenarnya mau saya sampaikan. Karena bila informasi ini terpotong. Akan memunculkkan reaksi yang negative. Reaksi yang ibu lakukan saat ini adalah lantaran ibu-ibu suka memotong pengumuman. Dan memahaminya sepotong-potong.
129. Ibu 1 : Pak Bayan,
130. Guru : Tolong sabar ibu. Beri kesempatan pak Bayan menyampaikan informasi yang sebenarnya.
131. Bayan : Dengar, dengar semua warga! Ini adalah pengumuman penting. Pengumuman ini tentang nasib anak-anak bapak ibu. Atas instruksi pak lurah. Semua warga yang mempunyai anak usia sekolah harus datang nanti malam di balai kelurahan!
Music penanda pergantian adegan. Lampu padam beberapa detik.
Adegan 8
Lampu kembali menyala. Suasana berganti dib alai kelurahan. Nampak lurahn memimpin rapat.
132. Lurah : Bapak ibu yang terhormat. Dana bantuan itu semua akan cair dengan jaminan yang telah saya sampaikan. Karena ini menyangkut kebaikan kita bersama untuk hidup layak. Maka kita harus setuju,
133. Modin : Pak lurah dan para warga yang saya hormati, jangan pak lurah. Tolong jangan kita jual kepribadian kita kepada orang asing.
134. Guru : Ini demi kebaikan bersama pak modin. Kapan lagi kita hidup sejahtera kalau tidak mulai sekarang.
135. Modin : Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bila kita berani menolak yang tidak baik.
136. Guru : Salah satu jalan yang kini dikasih Tuhan adalah kita harus menerimah bantuan tersebut pak Modin
137. Lurah : Pak Modin yang terhormat. Tolonglah pak modin, jangan bersikap terlalu kaku memahami ajaran agama. Pak modin harus sedikit toleran untuk mempertimbangkannya. Pak modin tahu sendiri kan? Bagaimana nasib kita dulu ketika kita sekolah. Kita masih untung bisa bersekolah. Banyak teman-teman yang tidak bisa bersekolah karena miskin. Dan kita tahu sendiri nasib para guru, hidupnya serba kekurangan. Termasuk nasib pak modin. Saatnya pak modin hidup layak. Pak modin pun faham salah satu ajaran agama. Kemiskinan itu mendekatkan seseorang dan masyarakat pada kekufuran. Dosa kekufuran itu lebih besar kan pak Modin?!
138. Modin : Bapak lurah yang terhormat. Tolong jangan berfikir pragmatis, untung sesaat, namun celaka selamanya.
139. Guru : Pak modin, benar apa kata pak lurah. Lebih celaka lagi kalau kita miskin dan kembali menyembah berhala.
140. Modin : Yakinlah ibu. Kita akan lebih kaya bila kita berani menolak yang tidak baik walaupun sedikit. Yakinlah, Tuhan akan memberi sepuluh kali lipat kebaikan dari jumlah keburukan yang kita tolak
141. Guru : Kita menjadi kaya itu tidak cukup dengan keyakinan dan do’a, pak modin. Kita harus berusaha.
142. Modin : Sungguh mulya apa yang ibu guru sampaikan. Namun haruslah dengan cara yang terpuji. Bukan berbohong, juga bukan dengan menjual nasib mereka.
143. Guru : Maksud pak, modin?
144. Modin : Ibu guru yang terhormat, tidak kah kita berfikir tentang kejiwaan anak-anak. Pendidikan akan menjadi tirani bagi mereka bila kita terus-menerus mengekploitasi intelektualnya tanpa memperhatikan emosionalnya. Lihatlah realitas, puluhan teman kita pandai yang punya nilai bagus diatas rata-rata pada ijazahnya, namun hidupnya cenderung tidak bertanggungjawab, kalau jadi pejabat ya suka korupsi. Dan lihatlah teman-teman kita yang ketika sekolah dasar sulit untuk membaca atau menerima materi pelajaran. Namun mereka suka membantu membersikan papan tulis dan halaman, mereka suka berolaraga dan menanam bunga. Kini hidupnya sukses lahir dan batin. Mereka sangat bahagia walau tidak menjadi pejabat.
145. Lurah : Pak Modin mulai subyektif dalam penilaian, mulai berani menyindir saya.
146. Modin : Sungguh, kami tidak bermaksud menyindir siapapun. Kami hanya bermaksud berargumen. Bahwa kecerdasan anak tidak hanya terukur dari intelektualnya saja, namun emosionalnya lebih penting.
147. Lurah : Sudahlah pak Modin, jangan berkhutbah di sini. Waktuynya kita rapat dan memutuskan sesuatu untuk kesejahteraan ummat.
148. Modin : Saling menasihati itu wajib hukumnya pak. Barang siapa yang melihat kemungkaran ia harus merubahnya..
149. Lurah : Bapak modin memandang bahwa apa yang selama ini kita lakukan adalah kemungkaran? Maksud kami ingin mensejahterakan warga ini termasuk kemungkaran?
150. Modin : Niat bapak mulya, namun caranya yang tidak baik. Bapak mulai menghalalkan kebohongan dengan memanipulasi data untuk mendapatkan bantuan. Dan dampak negatifnya bapak, anak-anak kita kan mudah frustasi dan tidak kreatif. Kelak anak-anak akan mudah dijajah fikirannya. Mereka akan membiarkan orang lain merampasnya dengan perhitungan jangka pendek. Seperti yang kita lakukan saat ini. Kita adalah korban dari system yang tidak benar.
151. Guru : Saya fikir pak Modin mulai tidak berfikir dengan sehat. Gaya bicaranya pak Modin tidak lagi seperti Modin yang sejuk dan menyenangkan. Saya merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri pak modin.
152. Lurah : Ya betul ibu guru
153. Guru : Saya pernah memiliki teman kuliya yang gaya bicaranya seperti dia.
154. Lurah : Jangan-jangan pak modin adalah……
155. Guru : Teman saya duluh sangat idealis
156. Lurah : Betul, dia cenderung anti kemapanan
157. Guru : Dia adalah seorang demonstran
158. Lurah : Bahkan teman saya ada yang menjadi teroris
159. Modin : Bapak lurah dan ibu guru yang terhormat. Sungguh fikirkan matang-matang kalau mengambil kebijakan. Mintahlah pada Tuhan, pasti mereka merahmatinya. Dan semoga keputusan bapak tidak mengorbankan nasib kita dan nasib anak-anak
160. Lurah : (semakin marah) Bapak modin, berhenti bicara! Saya berkesimpulan apapun resikonya keputusannya rakyat ini harus sejahtera.
161. Modin : Tidak bisa pak lurah. Sesuatu yang beresiko itu akan mencelakakan.
162. Lurah : para warga sepakat anak-anak harus sekolah, ibu guru sepakat jadi orang kaya, bapak modin bagaimana?!
163. Modin : (semakin melawan) Saya tidak sepakat. Anak-anak tidak boleh dipangkas masa depannya. Anak-anak punya bakat dan hobi. Ityulah yang harus dikembangkannya untuk hidup kreatif. Untuk survive. Standarisasi adalah pembunuhan karakter.
164. Guru : Tahu apa pak Modin perkembangan anak. Tahu apa pak modin tentang pendidikan anak. Madrasah saja tidak lulus bicara macam-macam tentang masa depan anak.
165. Lurah : Sepakat!
166. Warga : Sepakat!
Mereka statis. Lampu lamat padam. Nyanyian hymne guru sayup-sayup menggemah.
Panggung gelap
Adegan 9
Musik berubah. Adegan berganti di sebuah tempat. Hanya ada pak lurah dan orang asing.
167. Orang Asing : Modin itu adalah tokoh masyarakat. Ia punya pengaruh, terlebih pada orang-orang yang tidak mendukung bapak pada waktu pilihan. Ia sangat berbahaya
168. Lurah : Apa yang harus saya lakukan?
169. Orang Asing : Menyingkirkannya
170. Lurah : Bagaimana caranya?
171. Orang Asing : Bapak harus menjebaknya, cari perempuan yang menarik dan miskin, biayanya kami yang menanggung
Adegan 10
Di rumah bapak modin
172. Perempuan : Assalamualaikum!
173. Modin : Waalaikum salam, silakan masuk!
174. Perempuan : Maaf, pak modin
175. Modin : ya, kenapa? Tidak bisaanya zuma datang ke rumah
176. Perempuan : minta nasihat pak modin.
177. Modin : Nasihat apa Zuma?
178. Perempuan : (mulai manja) saya ini kan lama ditinggal suami… (paus)
179. Modin : terus,
180. Perempuan : ada orang yang mengajak nikah sama saya
181. Modin : wah, baik itu
182. Perempuan : laki-laki itu sudah punya istri
183. Modin : ya kalau istrinya merestui ya tidak apa-apa. Tapi tolong usahakan jangan se rumah dengan istri pertamannya
184. Perempuan : Pak Modin, apa pak modin tidak ingin menikah lagi. Ya siapa yang mau sama saya. Saya tidak punya cukup uang.. usia saya juga mulai lanjut
185. Perempuan : siapa bilang pak modin, pak modin masih nampak kuat lho (duduk merapat ke pak modin)
186. Modin : (gamang antara tergoda dan mempertahankan keimanannya) jangan lakukan ini
187. Perempuan : Maaf bapak, tidak sengaja. (mendekat lagi) bapak, saya lebih suka bapak menikahiku daripada dinikahi orang itu
188. Modin : Saya tidak mau menghianati istriku
189. Perempuan : Dia sudah menjadi tanah, pak modin. Apakah pak modin relah saya nikah dengan lelaki yang beristri. Dan istrinya pasti tidak akan mengijinkannya. Yang terjadi kami akan nikah sembunyi-sembunyi pak modin. Pak modin tolonglah kami. (semakin menggoda) nikahilah kami pak modin!
190. Modin : Jangan seperti ini. Ini tidak baik!
191. Tiba-tiba muncul suara gaduh dan teriakan dari luar
192. Orang-orang : Pak modin! ternyata pak modin lebih bejat. Pak modin melarang warga untuk mendekati zinah, tapi pak modin malah melakukannya!
193. Modin : Ini fitnah, ini fitnah……………….
194. Orang-orang : Jangan berkelit Pak Modin.. jangan lempar sembunyi tangan
195. Modin : Sungguh kami tidak melakukan apa apa. Ini sungguh fitnah!
Musik terus mengeras, dan lampu lamat-lamat padam, music mengikutinya sebagai tanda pertunjukan selesai.
TAMAT
Lamongan, 5 Juni 2010
Sumber: http://sangbala01.blogspot.com/2011/01/naskah-teater-orang-asing.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar