Selasa, 29 Maret 2011

Orang Asing, Sebuah Naskah Teater

Karya: Rodli TL
http://sastra-indonesia.com/

Tokoh

Lurah Guru Modin Orang asing Perempuan Warga

Sinopsis

Adalah konspirasi orang asing dengan lurah. Orang asing membantu lurah untuk merealisasikan janji-janjinya dalam memimpin kampungnya untuk mensejahterakan rakyatnya. Rencana itu disambut baik oleh kebanyakan warga. Terlebih untuk pendidikan gratis, kesejahteraan guru dan modin.

Di tengah perencanaan tersebut, seringkali ibu-ibu merasa ketakutan. Mereka seringkali memahami informasi sepotong-potong tentang nasib anak-anaknya, informasi itu seringkali dikait-kaitkan dengan maraknya penculikan dan penjualan anak, tentang jual beli organ tubuh, dan tentang penyalagunaan asuransi jiwa.

Semua warga dan guru setuju dengan rencana tersebut kecuali pak Modin. Ia satu-satunya orang yang tidak setuju dengan tawaran orang asing itu, karena konpensasinya harus mau menerapkan sistem pendidikan dengan maksud membunuh potensi dan kreatifitas anak-anak, juga dianggap tidak menghargai pekerti yang luhur. Modin bersuara lantang walau sebenarnya ia menjadi orang yang paling beruntung kalau ia setuju.

Orang asing menganggap suara Modin amat mengganggu. Ia meminta lurah untuk menyingkirkannya dengan cara mengirim perempuan cantik.

Adegan 1

Lurah berdiri tegap di tengah panggung. Menatap para penonton. Lurah menganggap mereka adalah warganya.

1. Lurah : (berteriak dengan wibawa) Para warga, aku suka kalian bergembira. Itu adalah wujud terimakasih padaku. Kalian sungguh nampak kenyang. Aku tidak sia-sia memberi kalian makanan tiap hari.

Berjalan mengitari semua area panggung

2. Lurah : Sudah kesekian hari aku memimpin kampung ini. Aku telah berjanji pada wargaku. Mereka harus sejahtera. Semuanya. Petani, guru, modin, nelayan, kuli batu, pedagang dan lain sebagainya. Namun, prioritas utama adalah anak-anak sekolah, guru dan modin. Anak-anak sebagai penerus pembangunan, mereka harus mendapatkan pendidikan yang layak secara gratis. Guru sebagai penerang kegelapan hidupnya harus lebih bermartabat. Begitu pula pada modin. Ia adalah jembatan nilai-nilai ketuhanan. Ia harus aku kasih penghargaan.

Adegan 2

Modin memimpin ibadah dengan melantunkan kalimat-kalimat suci. “sumpahku untuk Tuhan/ hidupku akan tenang”.

Adegan 3

3. Guru : Murid-muridku, gantungkan cita-citamu setinggi langit. Hiasi pekerti dengan moral yang mulya.
4. Murid-Murid : (menyanyikan hymne Guru)

Adegan 4

Di kantor kelurahan siang hari

5. Lurah : Yang terhormat, seluruh warga kampung. Terimakasih atas kedatangan kalian, dan minta maaf bila ada yang tidak berkenan. Pertemuan ini bermaksud baik, terutama bagi warga yang punya pengabdian tinggi terhadap kampungnya dengan tulus. Kabar gembira buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang yang memiliki anak usia sekolah. Kabar gembira buat bapak ibu guru, juga buat bapak modin. Sesuai keputusan pemerintah nomor 1 2 3 4 5 ABCDE, menimbang dan memutuskan. 1. Pendidikan gratis. 2. Semua guru akan mendapatkan tunjangan yang layak: Gaji 5 juta perbulan, Pulsa gratis selama menjadi guru, rumah dinas dengan listrik gratis, mobil lengkap dengan sopirnya. 3. Untuk para modin, honor bulanan dan fasilitas lain sama seperti guru, ditambah bonus 3 juta tiap urusi kematian.

Para penduduk bergembira lalu bernyanyi

6. Orang-orang : “Asyik, asyik guruku kaya raya. Modinku hidup mulya”

Adegan 6

7. Orang Asing : Bapak lurah yang terhormat, bantuan ini tentunnya harus ada konpensasinya, harus ada jaminannya.
8. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
9. Orang Asing : Begini bapak, untuk anak-anak haruslah cerdas dan terukur IQ-nya. Makannya harus diuji sebagai ukuran standarisasi mutu. Bila tidak mencapai ketentuan yang kami buat, anak itu dianggap gagal atau tidak lulus.
10. Lurah : Misalnya orang asing?
11. Orang Asing : Anak-anak harus bisa menjawab soal pelajaran paling sedikit 70 dari 100 soal yang diujikan.
12. Lurah : Oh, itu bisa dibicarakan
13. Orang Asing : Dan yang membuat soal itu adalah kami
14. Lurah : Gampang, itu semua bisa dibicarakan
15. Orang Asing : Mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa asing, matematika dan ilmu pengetahuan umum.
16. Lurah : Itu juga bisa dibicarakan Tuan. Kerja dengan kami amat mudah Tuan, yang penting ada uangnya. Tapi maaf Tuan, bukan untuk kepentingan kami pribadi, namun untuk kepentingan warga kampong
17. Orang Asing : Ya ya ya…. Saya percaya pak, itu semua bisa dibicarakan
18. Lurah : Tuan, boleh saya mengajukan pertanyaan?
19. Orang Asing : Oh boleh, semuanya bisa ditanyakan dan bisa dibicarakan (teretawa)
20. Lurah : Materi yang akan diujikan dalam ilmu pengetahuan umum itu apa Tuan?
21. Orang Asing : Ya paling tidak, pengetahuan tentang nama-nama Negara kaya
22. Lurah : Oh begitu Tuan, bagus itu. Nama saya juga ditulis kan?
23. Orang Asing : Bisa bapak, semuanya bisa dibicarakan. Namun ada syaratnya, bapak.
24. Lurah : Syarat itu bisa dibicarakan kan, Tuan?
25. Orang Asing : Bisa, semuanya pasti bisa dibicarakan. Begini bapak, syarat tersebut adalah bagi pemimpin yang punya uang dan tentara. Apa bapak Lurah punya tentara?
26. Lurah : bukan tentara tapi hansip Tuan.
27. Orang Asing : Punya senjata?
28. Lurah : Pentungan, Tuan
29. Orang Asing : Oh oh……………………
30. Lurah : Bisa dibicarakan kan, Tuan?
31. Orang asing : Bisa, bisa……. Atau bapak punya uang?
32. Lurah : Ya ada tapi dibawa istri
33. Orang Asing : Istri bapak berjumlah berapa?
34. Lurah : Masih satu, Tuan
35. Orang Asing : (tertawa) Satu istri itu indikator tidak punya banyak uang
36. Lurah : Berarti banyak uang itu harus banyak istri, Tuan?
37. Orang Asing : Bisa saja satu, tapi simpanannya yang harus banyak.
38. Lurah : Ah Tuan. Suka sekali bergurau. Kalau Tuan sendiri punya berapa istri?
39. Orang Asing : Tidak punya
40. Lurah : Tidak punya tiga atau lima?
41. Orang Asing : Sepertinya tidak punya sama sekali
42. Lurah : Wah, tuan ini ternyata masih perjaka. Terus untuk apa tuan bekerja?
43. Orang Asing : Untuk hidup bahagia dong bapak. Kebahagiaan kan bisa dibeli
44. Lurah : Maksud Tuan?
45. Orang Asing : Perempuan kan bisa dibeli. Banyak yang jualan bapak. Menikah itu merepotkan, harus buat perjanjian, harus ngurusi anak. Istri suka melarang yang ini itu. Hidup akan semaikin tidak bebas dengan ikatan pernikahan. Jadi kalau kita ingin bercinta, akan lebih baik membeli, dan bisa gonta-ganti. Tapi maaf bapak, itu semua ukurannya adalah uang. Bila tidak punya banyak uang, semuannya akan repot. Perempuan kampong sini ada yang dijual bapak?
46. Lurah : Maksud, Tuan?
47. Orang Asing : Ah, kalau itu bisa kita bicarakan nanti saja.
48. Lurah : Maksud Tuan?
49. Orang Asing : Jelasnya begini bapak, anak-anak kampung bapak perlu dibentuk untuk menjadi anak yang cerdas dan terukur. Bila ia bisa menjawab soal-soal yang kami ujikan berarti mereka adalah anak yang hebat menurut ukuran kami. Bila tidak, ya gagal alias tidak lulus. Kami tidak peduli apa mereka berbakat, apa mereka memiliki budi pekerti yang baik, karena itu bukan ukuran kami. (tertawa) Ukuran kami adalah anak-anak itu harus tahu nama-nama pemimpin hebat yang kaya dan yang punya tentara kuat.
50. Lurah : Tuan orang asing!
51. Orang asing : (tertawa semakin keras)
52. Lurah : Tuan orang asing yang terhormat!
53. Orang Asing : (tetap tertawa)
54. Lurah : Tuan orang asing, semua masih bisa dibicarakan kan?!

Adegan 7

Bayan berkeliling panggung. Ia beranggapan bahwa panggung itu adalah kampungnya, dan warga adalah penontonnya.

55. Bayan : Pengumuman! Alias woro-woro. Ini penting bapak, ibu. Ini menyangkut nasib anak bapak ibu.
56. Ibu 1 : Ada apa pak bayan?
57. Ibu 2 : Iya bapak bayan, ada apa? kok sepertinya gawat?!
58. Bayan : Ibu-ibu punya anak usia sekolah kan, nasib mereka….
59. Ibu-Ibu : Nasib mereka?!
60. Ibu 1 : gawaaaaaaaaaaaaat! Bapaaaaaaaaaaaaaaaak, anak kita diculik, bapak! Mamad, anakku, dimana kamu?!
61. Ibu 2 : si Siti anakku, kamu juga dimana, nak?

Para warga berlarian. Mereka keluar membawa kentongan. Mereka mencari anak-anaknya.
62. Warga :
“setan gundul, temokno anakku. Sing gak koen temokno anakku tak uyoi ndasmu”
Mereka terus bergerak dan bernyanyi. Nyanyiannya semakin lama seperti mantra. Menjadi sangat mistis.
63. Modin : (Mendatangani warga) Bapak ibu, ini sebenarnya ada apa?
64. Ibu 1 : Anak kita hilang pak modin
65. Modin : Hilang, hilang bagaimana bu?
66. Ibu 2 : Kok bagaimana sih, pak modin. Hilang ya hilang, pak!
67. Guru : Maksud ibu-ibu, anak anak sedang tidak ada di rumah?
68. Ibu 1 : Ah ibu guru ini, kalau hilang ya tentu tidak ada di rumah
69. Modin : Bapak ibu apa tidak salah. Sudah tidak jamannya wewe gombel nggondol anak-anak. Wewe gombel kini sudah takut sama anak-anak. Terlebih pada anak-anak yang pandai membaca kitab suci. Anak-anak ibu sudah bisa membeca dengan baik kan?
70. Ibu 1 : Bisa, pak modin!
71. Ibu 2 : Anak saya sudah khatam beberapa kali pak!
72. Ibu 1 : Anak saya juga hafal do’a-do’a. Coba Tanya pada ibu guru, yak an bu?
73. Modin : Kalau begitu tidak mungkin hilang digondol wewe gombel
74. Ibu 2 : Lho, siapa pak modin yang bilang anak-anak digondol wewe gombel!
75. Modin : Lha terus?
76. Ibu 1 : Anak kita diculik, bapak!
77. Modin : Diculik? Wah, gawat ini. Anak kita akan dijual
78. Ibu 2 : Dijual?
79. Ibu 1 : Duh gusti, si Mamad dijual, berarti daging-daging yang dijual di pasar itu bukan daging sapi, akan tetapi daging manusia.
80. Ibu 2 : Jangan-jangan daging yang saya masak tadi adalah daging anak saya
81. Modin : Bukan dagingnya yang dijual ibu, tetapi jiwanya, jiwanya yangdiasuransikan.
82. Bayan : ya betul pak modin, saya juga pernah dengar. Banyak anak-anak dikota diculik lalu diikutkan asuransi, lalu kemudian nyawanya dihilangkan. Dengan demikian penculik tersebut mendapatkan uang asuransi.
83. Ibu 1 : tidaaaaaaaaaaaaak! Si Mamad tidak boleh meninggal. Ia harus pulang
84. Ibu Guru : Juga ada kabar baru. Nyawa mereka tidak dihilangkan
85. Ibu 1 : Berarti anak kita tidak dibunuh. Anak kita belum meninggal ya, bu?
86. Ibu guru : Tetapi mereka disekap, dikurung. Organ vitalnya yang akan dijual
87. Ibu 2 : Maksud ibu guru kelaminnya?
88. Ibu 1 : Kalau begitu juga tidak mungkin, si Mamad hidup tanpa kelamin. Tidak mungkin si Mamad menjadi Mimi, alias menjadi anak perempuan.
89. Guru : Bukan kelaminnya yang akan dijual, namun organ vital seperti hati, ginjal. Organ vital tersebut dijual pada orang-orang kaya yang membutuhkannya, lantaran milik orang kaya tersebut tidak berfungsi dengan baik, alias mengidap penyakit.
90. Modin : kalau begitu ayo kita cari. Siapa tahu anak-anak kita masih hidup dan organ tubuhnya belum laku dijual.
Para warga kembali mencari anak-anaknya
“setan gundul temukan anakku, kalau tidak kau temukan ku kencingi kepalamu”
91. Modin : Berhenti sebentar!
92. Ibu : Ada apa pak modin?
93. Modin : Yang menculik anak-anak kita kan bukan setan gundul!
94. Ibu 2 : Lalu kenapa, pak modin?
95. Modin : La, tidak ada gunanya kita meminta bantuan kepada mereka.
96. Ibu 1 : Lalu kepada siapa lagi? Kepada polisi. Ah terlalu rumit prosedurnya. Juga butuh uang cukup banyak pak..
97. Modin : Kepada Tuhan yang tidak pernah tidur
98. Ibu 2 : Bagaimana carannya pak modin?
99. Modin : Kita berdo’a kepadanya untuk meminta pertolongan
100. Ibu 1 : Pak, modin. Apa masih percaya pada saya. Terlalu banyak dosa yang saya perbuat. (menangis) aku jadi ingat pada si Mamad. Satu-satunnya harapanku. Si Mamad adalah hasil hubungan gelap. Dan laki-laki itu, bapak si Mamad yang jahanam itu tidak bertanggungjawab. Alasannya sederhana. Ia terikat dengan peraturan lantaran ia pegawai. Ya, ini memang salahku aku serahkan kehormatanku hanya karena alasan cinta. Si Mamad jangan tinggalkan ibu, nak. Pulanglah. (terus menangis) pak Modin, Tuhan pasti tidak mau memaafkanku, apalagi mengabulkan do’aku.
101.Modin : Percayalah pada Tuhan. Ia pasti memaafkanmu. Pernah mendengar cerita tentang seorang pelacur yang memberi air minum pada seekor anjing. Pelacur dan anjing, sekotor apa dua makhluk itu. Spontan fikiran kita akan menimpulkan, mereka adalah dua makhluk Tuhan yang paling najis. Namun apa kata Tuhan. Mereka adalah penghuni surga. Hanya sebersit kebaiakan dalam hatinya. Pelacur itu dengan rasa kasihan pada anjing yang kehausan, dengan sepatunya, ia mengambil air dari dalam sumur. Tuhan Maha Pemaaf, Tuhan Maha Pengasih. Marilah meminta pada Tuhan. Syaratnya hanya satu, jangan berburuk sangka pada Tuhan. Yakinlah ia pasti akan memberi setiap pertolongan yang kita minta.
102. Guru : Sebentar-sebentar. Apa benar . by the way, sebenarnya anak siapa yang hilang?
103. Ibu 2 : Astaga, ibu guru, ya anak kita semua
104. Guru : semua anak kampung ini hilang?! (tertawa)
105. Ibu 2 : Kenapa ibu guru tertawa?
106. Ibu 1 : Bu guru, kita ini sedang sedih. Kenapa ibu guru tertawa?
107. Guru : Kenapa harus sedih, ibu. Ini jam berapa? Hari ini juga bukan tanggal merah kan? Ibu-ibu, kalau saat ini anak-anak ibu bisasanya sedang apa. Sedang belajar di sekolah kan? Apa ibu-ibu sudah ke sekolah? Belum kan? Ibu-ibu masih percaya pada guru-guru kan?! Anak-anak ibu aman. Tidak satupun yang diculik.
108. Ibu 1 : Pak Bayan, kamu bohong ya?!
109. Modin : Pak Bayan, kamu itu pamong warga. Seharusnya momong. Sungguh celakalah sebuah kampung bila aparatnya suka berbohong.
110. Bayan : Siapa yang berbohong, pak Modin?
111. Ibu 2 : Jangan berkelit, pak Bayan
112. Ibu 1 : Ya pak Bayan, siapa yang bilang tentang nasib anak-anak kami tadi? Ayo, siapa, pak?
113. Bayan : Saya, lalu kenapa?
114. Ibu 2 : Kok kenapa!
115. Modin : Lho pak bayan. Itu dosa besar pak. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya pejabat yang suka membohongi rakyatnya.
116. Bayan : Sungguh, kami tidak berbohong pak modin. Terkutuklah saya bila saya seorang pejabat pemerintah suka membohongi warganya.
117. Modin : Terus apa yang sesungguhnya terjadi?
118. Bayan : Ibu ibu yang over acting!
119. Ibu 1 : Hai pak bayan. Apa bapak bilang. Kami over acting?!
120. Ibu 2 : Jangan lempar mulut sembunyi hidung pak bayan.
121. Modin : Pak bayan. Salah satu tanda dekatnya hari kiamat adalah banyaknya pejabat yang tidak mau bertanggungjawab atas kebijakan yang dikeluarkannya.
122. Bayan : Pak Modin, apa yang harus saya pertanggungjawabkan.
123. Ibu 1 : Ya kebohongan pak bayan!
124. Modin : Pak Bayan, Lidah itu lebih tajam daripada pedang. Lidah itu milik kita sebelum berkata-kata, namun setelahnya, kita menjadi miliknyan. Nasib kita tergantung apa yang kita katakan
125. Guru : sudahlah. Apa yang sebenarnya terjadi. Ceritakan yang sesungguhnya pak bayan!
126. Bayan : bapak ibu semua. Saya ini Bayan. Tugas saya memberi kabar yang sesungguhnya. Tidak kami kurangi dan tidak kami lebih-lebihkan.
127. Ibu 2 : Kenyataanya pak bayan!
128. Bayan : Tolong jangan dipotong apa yang sebenarnya mau saya sampaikan. Karena bila informasi ini terpotong. Akan memunculkkan reaksi yang negative. Reaksi yang ibu lakukan saat ini adalah lantaran ibu-ibu suka memotong pengumuman. Dan memahaminya sepotong-potong.
129. Ibu 1 : Pak Bayan,
130. Guru : Tolong sabar ibu. Beri kesempatan pak Bayan menyampaikan informasi yang sebenarnya.
131. Bayan : Dengar, dengar semua warga! Ini adalah pengumuman penting. Pengumuman ini tentang nasib anak-anak bapak ibu. Atas instruksi pak lurah. Semua warga yang mempunyai anak usia sekolah harus datang nanti malam di balai kelurahan!
Music penanda pergantian adegan. Lampu padam beberapa detik.

Adegan 8

Lampu kembali menyala. Suasana berganti dib alai kelurahan. Nampak lurahn memimpin rapat.
132. Lurah : Bapak ibu yang terhormat. Dana bantuan itu semua akan cair dengan jaminan yang telah saya sampaikan. Karena ini menyangkut kebaikan kita bersama untuk hidup layak. Maka kita harus setuju,
133. Modin : Pak lurah dan para warga yang saya hormati, jangan pak lurah. Tolong jangan kita jual kepribadian kita kepada orang asing.
134. Guru : Ini demi kebaikan bersama pak modin. Kapan lagi kita hidup sejahtera kalau tidak mulai sekarang.
135. Modin : Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik bila kita berani menolak yang tidak baik.
136. Guru : Salah satu jalan yang kini dikasih Tuhan adalah kita harus menerimah bantuan tersebut pak Modin
137. Lurah : Pak Modin yang terhormat. Tolonglah pak modin, jangan bersikap terlalu kaku memahami ajaran agama. Pak modin harus sedikit toleran untuk mempertimbangkannya. Pak modin tahu sendiri kan? Bagaimana nasib kita dulu ketika kita sekolah. Kita masih untung bisa bersekolah. Banyak teman-teman yang tidak bisa bersekolah karena miskin. Dan kita tahu sendiri nasib para guru, hidupnya serba kekurangan. Termasuk nasib pak modin. Saatnya pak modin hidup layak. Pak modin pun faham salah satu ajaran agama. Kemiskinan itu mendekatkan seseorang dan masyarakat pada kekufuran. Dosa kekufuran itu lebih besar kan pak Modin?!
138. Modin : Bapak lurah yang terhormat. Tolong jangan berfikir pragmatis, untung sesaat, namun celaka selamanya.
139. Guru : Pak modin, benar apa kata pak lurah. Lebih celaka lagi kalau kita miskin dan kembali menyembah berhala.
140. Modin : Yakinlah ibu. Kita akan lebih kaya bila kita berani menolak yang tidak baik walaupun sedikit. Yakinlah, Tuhan akan memberi sepuluh kali lipat kebaikan dari jumlah keburukan yang kita tolak
141. Guru : Kita menjadi kaya itu tidak cukup dengan keyakinan dan do’a, pak modin. Kita harus berusaha.
142. Modin : Sungguh mulya apa yang ibu guru sampaikan. Namun haruslah dengan cara yang terpuji. Bukan berbohong, juga bukan dengan menjual nasib mereka.
143. Guru : Maksud pak, modin?
144. Modin : Ibu guru yang terhormat, tidak kah kita berfikir tentang kejiwaan anak-anak. Pendidikan akan menjadi tirani bagi mereka bila kita terus-menerus mengekploitasi intelektualnya tanpa memperhatikan emosionalnya. Lihatlah realitas, puluhan teman kita pandai yang punya nilai bagus diatas rata-rata pada ijazahnya, namun hidupnya cenderung tidak bertanggungjawab, kalau jadi pejabat ya suka korupsi. Dan lihatlah teman-teman kita yang ketika sekolah dasar sulit untuk membaca atau menerima materi pelajaran. Namun mereka suka membantu membersikan papan tulis dan halaman, mereka suka berolaraga dan menanam bunga. Kini hidupnya sukses lahir dan batin. Mereka sangat bahagia walau tidak menjadi pejabat.
145. Lurah : Pak Modin mulai subyektif dalam penilaian, mulai berani menyindir saya.
146. Modin : Sungguh, kami tidak bermaksud menyindir siapapun. Kami hanya bermaksud berargumen. Bahwa kecerdasan anak tidak hanya terukur dari intelektualnya saja, namun emosionalnya lebih penting.
147. Lurah : Sudahlah pak Modin, jangan berkhutbah di sini. Waktuynya kita rapat dan memutuskan sesuatu untuk kesejahteraan ummat.
148. Modin : Saling menasihati itu wajib hukumnya pak. Barang siapa yang melihat kemungkaran ia harus merubahnya..
149. Lurah : Bapak modin memandang bahwa apa yang selama ini kita lakukan adalah kemungkaran? Maksud kami ingin mensejahterakan warga ini termasuk kemungkaran?
150. Modin : Niat bapak mulya, namun caranya yang tidak baik. Bapak mulai menghalalkan kebohongan dengan memanipulasi data untuk mendapatkan bantuan. Dan dampak negatifnya bapak, anak-anak kita kan mudah frustasi dan tidak kreatif. Kelak anak-anak akan mudah dijajah fikirannya. Mereka akan membiarkan orang lain merampasnya dengan perhitungan jangka pendek. Seperti yang kita lakukan saat ini. Kita adalah korban dari system yang tidak benar.
151. Guru : Saya fikir pak Modin mulai tidak berfikir dengan sehat. Gaya bicaranya pak Modin tidak lagi seperti Modin yang sejuk dan menyenangkan. Saya merasakan ada sesuatu yang aneh pada diri pak modin.
152. Lurah : Ya betul ibu guru
153. Guru : Saya pernah memiliki teman kuliya yang gaya bicaranya seperti dia.
154. Lurah : Jangan-jangan pak modin adalah……
155. Guru : Teman saya duluh sangat idealis
156. Lurah : Betul, dia cenderung anti kemapanan
157. Guru : Dia adalah seorang demonstran
158. Lurah : Bahkan teman saya ada yang menjadi teroris
159. Modin : Bapak lurah dan ibu guru yang terhormat. Sungguh fikirkan matang-matang kalau mengambil kebijakan. Mintahlah pada Tuhan, pasti mereka merahmatinya. Dan semoga keputusan bapak tidak mengorbankan nasib kita dan nasib anak-anak
160. Lurah : (semakin marah) Bapak modin, berhenti bicara! Saya berkesimpulan apapun resikonya keputusannya rakyat ini harus sejahtera.
161. Modin : Tidak bisa pak lurah. Sesuatu yang beresiko itu akan mencelakakan.
162. Lurah : para warga sepakat anak-anak harus sekolah, ibu guru sepakat jadi orang kaya, bapak modin bagaimana?!
163. Modin : (semakin melawan) Saya tidak sepakat. Anak-anak tidak boleh dipangkas masa depannya. Anak-anak punya bakat dan hobi. Ityulah yang harus dikembangkannya untuk hidup kreatif. Untuk survive. Standarisasi adalah pembunuhan karakter.
164. Guru : Tahu apa pak Modin perkembangan anak. Tahu apa pak modin tentang pendidikan anak. Madrasah saja tidak lulus bicara macam-macam tentang masa depan anak.
165. Lurah : Sepakat!
166. Warga : Sepakat!
Mereka statis. Lampu lamat padam. Nyanyian hymne guru sayup-sayup menggemah.
Panggung gelap

Adegan 9

Musik berubah. Adegan berganti di sebuah tempat. Hanya ada pak lurah dan orang asing.
167. Orang Asing : Modin itu adalah tokoh masyarakat. Ia punya pengaruh, terlebih pada orang-orang yang tidak mendukung bapak pada waktu pilihan. Ia sangat berbahaya
168. Lurah : Apa yang harus saya lakukan?
169. Orang Asing : Menyingkirkannya
170. Lurah : Bagaimana caranya?
171. Orang Asing : Bapak harus menjebaknya, cari perempuan yang menarik dan miskin, biayanya kami yang menanggung

Adegan 10

Di rumah bapak modin
172. Perempuan : Assalamualaikum!
173. Modin : Waalaikum salam, silakan masuk!
174. Perempuan : Maaf, pak modin
175. Modin : ya, kenapa? Tidak bisaanya zuma datang ke rumah
176. Perempuan : minta nasihat pak modin.
177. Modin : Nasihat apa Zuma?
178. Perempuan : (mulai manja) saya ini kan lama ditinggal suami… (paus)
179. Modin : terus,
180. Perempuan : ada orang yang mengajak nikah sama saya
181. Modin : wah, baik itu
182. Perempuan : laki-laki itu sudah punya istri
183. Modin : ya kalau istrinya merestui ya tidak apa-apa. Tapi tolong usahakan jangan se rumah dengan istri pertamannya
184. Perempuan : Pak Modin, apa pak modin tidak ingin menikah lagi. Ya siapa yang mau sama saya. Saya tidak punya cukup uang.. usia saya juga mulai lanjut
185. Perempuan : siapa bilang pak modin, pak modin masih nampak kuat lho (duduk merapat ke pak modin)
186. Modin : (gamang antara tergoda dan mempertahankan keimanannya) jangan lakukan ini
187. Perempuan : Maaf bapak, tidak sengaja. (mendekat lagi) bapak, saya lebih suka bapak menikahiku daripada dinikahi orang itu
188. Modin : Saya tidak mau menghianati istriku
189. Perempuan : Dia sudah menjadi tanah, pak modin. Apakah pak modin relah saya nikah dengan lelaki yang beristri. Dan istrinya pasti tidak akan mengijinkannya. Yang terjadi kami akan nikah sembunyi-sembunyi pak modin. Pak modin tolonglah kami. (semakin menggoda) nikahilah kami pak modin!
190. Modin : Jangan seperti ini. Ini tidak baik!
191. Tiba-tiba muncul suara gaduh dan teriakan dari luar
192. Orang-orang : Pak modin! ternyata pak modin lebih bejat. Pak modin melarang warga untuk mendekati zinah, tapi pak modin malah melakukannya!
193. Modin : Ini fitnah, ini fitnah……………….
194. Orang-orang : Jangan berkelit Pak Modin.. jangan lempar sembunyi tangan
195. Modin : Sungguh kami tidak melakukan apa apa. Ini sungguh fitnah!

Musik terus mengeras, dan lampu lamat-lamat padam, music mengikutinya sebagai tanda pertunjukan selesai.

TAMAT
Lamongan, 5 Juni 2010
Sumber: http://sangbala01.blogspot.com/2011/01/naskah-teater-orang-asing.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati