Fahrudin Nasrulloh*
http://cetak.kompas.com/
Dalam riwayat orang Jawa, bahasa dan sastra Jawa biasa dijadikan medium untuk memperkenalkan ajaran Islam, dalam ruang-ruang yang disebut pesantren. Adapun dalam sastra Islam-Kejawen, anasir sufisme dan ajaran pekertinya diserap oleh pujangga Jawa untuk mengislamkan warisan sastra Jawa zaman Hindu.
Cerita bisa bermula saat imperium Majapahit dikhatamkan dengan masuknya Islam dan berdirinya Kerajaan Demak, abad ke-14 M. Demak pun berdiri pada abad ke-16 M. Banyak karya sastra Jawa yang ditulis seputar momen itu. Dua naskah di antaranya diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda: Het Boek Van Bonang dan Een Javaans Geschrift de 16e Eew (Primbon Jawa Abad ke-16 M).
Menurut Simuh, naskah yang disebut pertama berisi ”pitutur Sheikh Bari”, ihwal bagaimana mempertahankan ajaran sufisme ortodoks dan menentang setiap bentuk pembangkangan terhadap syariah. Di bagian lain, HM Rasyidi melihat dengan kritis serat-serat macam Gatoloco dan Dharmagandul, adalah kronik-kronik sejarah yang menjadi penanda masa peralihan dari Majapahit yang Hindu ke Demak-Islam.
Jawa Kuno > Islam
Het Boek Van Bonang adalah salah satu contoh karya sastra Jawa-pesantren, di samping karya-karya lainnya.
Dalam gairah kesusastraan Jawa-pesantren inilah, kalangan santri ataupun kiai melakukan semacam revitalisasi atau penulisan ulang warisan sastra Jawa Kuno dan Jawa Tengahan, dengan antara lain memasukkan unsur-unsur Islam di dalamnya. Munculnya kegairahan dan kegiatan baru untuk mengkaji sastra Jawa Kuno ini, menurut Kuntara Wiryamartana, sebagai sebuah gerakan ”renaisans sastra klasik” dalam penelitian-penelitian mutakhir.
Pada masa bergairah inilah lahir beberapa karya kapujanggan, semisal Serat Centini (12 jilid) yang ditulis oleh sejumlah pujangga Keraton Surakarta yang dipimpin oleh KGP Adipati Anom Amengkunegara III. Demikian pula karya R Ngabehi Ronggowarsito (1728-1802 Jawa/1802-1873 M), seperti Suluk Saloka Jiwa, Serat Kalatida, dan Serat Wirid Hidayat Jati.
Layak dicermati pula beberapa dasawarsa kemudian, tepatnya pada 1892 M, Kanjeng Raden Adipati Suryakusuma (pensiunan Bupati Semarang) mengarang sebuah narasi monumental berjudul Serat Cebolek. Serat ini terdiri dari 31 satu syair dalam gaya macapat.
Pudar pada masa kini
Bersama sejumlah karya, misalnya, Jamus Kalimasada (Riwayat Syekh Jambu Karang), Riwayat Bekti Jamal, Jentraning Tanah Jawa, Suluk Jaka Lontang, Serat Gita Utama Margalayu, Suluk Rara Jinem, dan Kidung Rumeksa ing Wengi, karya-karya sastra Jawa pesantren di atas merupakan ensiklopedia dan warisan dari budaya Islam Jawa yang tak ternilai harganya.
Warisan yang sayangnya tidak mendapat kelanjutannya pada masa kini. Gus Dur, dalam sebuah esai pendeknya yang bertajuk ”Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia” (Kompas, 26 November 1973) menyebut bahwa pesantren belum menjadi medan pertaruhan bagi sastrawan Indonesia.
Karya-karya Djamil Suherman, Mohammad Radjab, atau Hamka belum bisa dikatakan benar-benar menggali secara mendalam dunia pesantren (tentang surau atau kehidupan di kampung yang islami). Karya mereka sekadar memantulkan yang nostalgia atau catatan peristiwa, bukan sebuah pergulatan keagamaan yang keras dan kental.
Sementara itu, sebenarnya begitu melimpah dan penuh ragamnya persoalan di seputar Islam dan kepesantrenan sejak era modern (akhir abad ke-19) dimulai di negeri ini. Namun, seberapa jauh hal itu digarap oleh pengarang kita? Abidah El-Khalieqy dengan novelnya, Perempuan Berkalung Sorban (PBS) dan Geni Jora, seperti mencoba melakukan itu. Namun, tidak berhasil. Ia menyampaikan sekadar ”pesan”, bukan satu ”wacana”, misalnya, tentang persoalan psikologis dan keterpinggiran perempuan di wilayah domestik kiai.
Cecaran, bahkan tudingan sesat menghambur kepada Abidah dalam beberapa road show bedah novel PBS beberapa waktu lalu. Hal ini memberi fakta lain, pudarnya sastra Jawa-pesantren ternyata juga diakibatkan oleh ketidaksiapan dan ketidakterbukaan dunia pesantren dalam menghadapi kehidupan modern. Kembali kepada Gus Dur, persoalan itu disebabkan oleh dua kendala: pertama, karena persoalan dramatis di pesantren berlangsung pada ”taraf terminologis” yang tinggi tingkatannya.
Kedua, karena masih kakunya pandangan masyarakat kita terhadap manifestasi kehidupan beragama di negeri kita. Oleh Nurcholish Madjid, pandangan ini dinamai sakralisme agama. Dengan demikian, naluri sastra dan elastisitas bentuk penceritaan tidak memperoleh jalan pelepasan.
Seberapa jauh alam keterbukaan yang konon demokratis ini bisa membuat masyarakat kita, khususnya para pengarang dan para kiai yang memegang otoritas pesantren, dapat mengatasi kendala-kendala di atas? Kita masih menunggu waktu yang memprosesnya.
*) Pengarang dan Editor, Penggiat Komunitas Lembah Pring Jombang.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 07 Januari 2010
Rainer Maria Rilke (1875-1926)
Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=321
Mawar,
ah penyangkalan belaka,
gairah pada yang tak terlelap
di sebalik begitu banyak Kelopak mata
(di batu nisan Rilke, 4 Des 1875 - 29 Des 1926).*
Sejarah hasrat riwayat tubuh, telah ada semenjak di kandungan ibu, pun jauh sebelum terciptanya bumi. Demikian penyair tidak dapat mengelak takdirnya, hadir seperti peralihan jaman, menggelinding tiada mampu menghindari. Pula insan unggul tetap berjuang keras menghadapi ruang-waktu percobaan; penjegalan, amukan warna kata-kata, musik apa saja menyerap dan disergap. Jalan hidup selempengan baja atau batu-batu dibungkus mata air, bukit disapu kabut, keluar dari ikatan indrawi. Merasuk gugusan bintang bayang-bayang jiwa, penyair tulen lebih gelap dari daging terbakar. Semua dari ketaksangkaan meski atas kesuntukan, yang diemban tidak lepas dari jeruji sejarah.
Manusia pilihan bukan segebok keisengan, ada tanjung runcing mata pedang, darah menetesi ujung pisau, embun kesepian, ketampanan malang digariskan. Tinggal menajamkan hati mata curiga oleh perubahan waktu perpindahan letak, menyiapkan gulungan rambut kusut merana. Lantas penyair-penyair lain memetik anggurnya, meraup segara jiwa menghisap keayuan sukma. Tidak mengurangi ketetapan-Nya malang melintang, nasib mujur terlupa, mata sayu lelah menangkap seluruh.
Bagiku Rilke pemuda tangguh menatap jalannya hayat, tidak goyah meski puisi-puisinya dicetak terbatas. Seperti pangeran telah faham kisah kerajaannya, dan dibawa kemana rakyatnya, para seniman. Pundak keras lebih dari perhitungan, matahari mengelupas kulit dan jauh mengerti tempaan bertubi-tubi. Kesetiaan menyunggi beban kata, membuatnya terkena fitnah, pengusiran, lebih merana dari anak hilang, sesalnya pun ditulis begitu indah.
SESAL
Rainer Maria Rilke
Segalanya jadi bayang
dan fana.
Aku yakin, bintang,
yang berkeredapan di atas sana,
sudah mampus berjuta warsa silam.
Aku yakin, dalam perahu,
yang melintas menderu,
kudengar gema ucapan seram.
Di dalam rumah, jarum jam
berhenti berdetik…
Di rumah yang mana?…
Aku ingin melangkah keluar dari bilik
jantungku dan melenggang di bawah angkasa.
Aku ingin berdoa.
Dan dari jutaan bintang yang padam
satu tersisa ada.
Aku yakin, aku faham,
bintang mana
yang masih berdiam,-
yang di ujung ekor cahayanya
nampak bagai sebuah kota putih seluruhnya…**
Penyair hidup dalam kekonyolan menerus, dipikulnya sepenuh kesadaran bulan matahari, sekejap menangguhkan beban ke bumi, keluar dari peredaran ketepatannya, masa di luar waktu kebanyakan. Pemeras intisari hayat terjatuhnya bola mata, dilihat kelereng bertabrakan keluar galaksi nalar sebelumnya. Jauh melampaui kesadaran jaman, sebab bersayap ke ujung yang belum tertandakan.
Keindahan mawar abadi, darah bergolak bermekaran harum hayati, makna pencari harus melewati lubang sempit tangkai keras merunduk terbentur. Nafas-nafas kadang tak terkendali hampir ditelan maut berkali-kali suntuk ingin bunuh diri. Di rasanya bukan goda, tapi pendewasan sesal melampaui batas-batas atmosfir hati terpecah. Sayap patah terbang di atas kesadaran, menentukan pandangan nilai atau eksekusi harus dilakukan, sebelum tangan lain merebut yang telah dipastikan.
Tubuh hangat pergolakan kian matang buah-buahan siap dipetik kapan pun musim mendapatkan. Ini jantung memberi arti, nadi mengeluarkan teka-teki, hawa malam siang tak henti mencari. Berlari dengan kaki-kaki tertancap duri, batu-batu bara api, pukulan bertubi serta diringkus dingin menyayat tulang, mematahkan balung. Sendi-sendi dirasuki hujan hujatan, rawa-rawa tiada bulan, hanya kilatan petir menandaskan kecantikan teratai. Jiwa sejati; penyair tulen tak pernah mati, andaipun kuburannya sudah tak dapat dikenali.
Aku rasakan penyair atas kutukan para nabi, disumpahi jadi insan setengah gila di ambang mati, sebab percaya ayat-ayat harus disampaikan dari keblingeran, pantulan pergantian warna cakrawala melenakan. Jiwa tak tersentuh benda memasuki alam rahasia, bagi bersanggup tabah mereguk nikmatnya. Yang tidak gadaikan tubuh jiwanya terangkat, memasuki pusaran meninggalkan bayangan. Kata-kata manis dicecapnya di bathin sakit, dan ketika tersenyum hilanglah kesadarannya.
Sungguh berat takdir tak dipungkiri, mundur selangkah, lumat perjuangan, jika maju tanpa bekal sama tak bermakna. Karena ruang waktunya mematenkan setingkap lapisan jiwa, sekerak bumi pasrah digodok musim hujan kemarau perimbangan. Di sini kemampuan bernafas terolah, sebaik-baik sangkaan membumi langit kesadaran. Melewati kesilapan tenggang menegangkan, yang tiada sudah hadir, seperti pendaki mengenali mata angin, tak bakal tersesat dalam diri.
BAUDELAIRE
untuk Anita Forrer/14 April 1921
Cuma penyair seorang dunia disatukan,
yang cerai berai berjauhan.
Yang indah gila-gilaan ia ungkapkan,
meski baginya siksaan, masih juga ia rayakan,
tak habis putus reruntuhan ia bersihkan:
bahkan sekaligus kemusnahan akan segala.***
Ulrike Draesner berkata: “Jika Puisi tertuju pada-yang-tak-nampak, lalu apa itu yang-tak-nampak? Bagi Rilke, ia akan menjawab: bukan ikhwal, tapi sebuah laku sebuah sikap. Ia menyebutnya “takjub.” Bukan jenis takjub seperti pada filsuf dalam memahami. Berpuisi ialah ketakjuban pada lambang-lambang. Berjalan di muka, tafakur, dan menghayati dalam lambang-lambang.”
Di sini kodrat tegar nelangsanya penyair, kutukan tak henti meringkusnya, apalagi saat mencapai ketakjuban. Perasaan atas ufuk nalar diwaktu senjakala bathinnya terampas keindahan gamang. Hadir keampangan aneh, hampa yang ganjil, ditekan rasa sakit memberat padat. Terus dijejakkannya inspirasi demi mengekalkan kata-kata lepas, takdir yang entah sia-sia. Atau di sini, dunia mencapai klimaknya, tidak putus dirundung kesepian merindu, walau tanpa segelas kohwa.
Rilke lambang kejantanan, apapun di depannya diterjang laksana kaki-kaki baja. Kabut tersibak, senyum manis tampak, tetesan embun terlihat hati melampaui akal. Misteri melingkupi kenyataan yang dicium peluk kesungguhan hebat. Tak bakal terlupakan lumatan yang sudah disadap kangen tak tertahan. Paras tak mungkin terlupakan, senyum terkenang menjelma bayang-bayang ingatan, di setiap malam siang matahari bulan menyertai. Rilke, bintangmu masih ada.
*,**,***) terjemahan Dudy Anggawi, dari buku Puisi-puisi Rilke, Henk Publica.
http://pustakapujangga.com/?p=321
Mawar,
ah penyangkalan belaka,
gairah pada yang tak terlelap
di sebalik begitu banyak Kelopak mata
(di batu nisan Rilke, 4 Des 1875 - 29 Des 1926).*
Sejarah hasrat riwayat tubuh, telah ada semenjak di kandungan ibu, pun jauh sebelum terciptanya bumi. Demikian penyair tidak dapat mengelak takdirnya, hadir seperti peralihan jaman, menggelinding tiada mampu menghindari. Pula insan unggul tetap berjuang keras menghadapi ruang-waktu percobaan; penjegalan, amukan warna kata-kata, musik apa saja menyerap dan disergap. Jalan hidup selempengan baja atau batu-batu dibungkus mata air, bukit disapu kabut, keluar dari ikatan indrawi. Merasuk gugusan bintang bayang-bayang jiwa, penyair tulen lebih gelap dari daging terbakar. Semua dari ketaksangkaan meski atas kesuntukan, yang diemban tidak lepas dari jeruji sejarah.
Manusia pilihan bukan segebok keisengan, ada tanjung runcing mata pedang, darah menetesi ujung pisau, embun kesepian, ketampanan malang digariskan. Tinggal menajamkan hati mata curiga oleh perubahan waktu perpindahan letak, menyiapkan gulungan rambut kusut merana. Lantas penyair-penyair lain memetik anggurnya, meraup segara jiwa menghisap keayuan sukma. Tidak mengurangi ketetapan-Nya malang melintang, nasib mujur terlupa, mata sayu lelah menangkap seluruh.
Bagiku Rilke pemuda tangguh menatap jalannya hayat, tidak goyah meski puisi-puisinya dicetak terbatas. Seperti pangeran telah faham kisah kerajaannya, dan dibawa kemana rakyatnya, para seniman. Pundak keras lebih dari perhitungan, matahari mengelupas kulit dan jauh mengerti tempaan bertubi-tubi. Kesetiaan menyunggi beban kata, membuatnya terkena fitnah, pengusiran, lebih merana dari anak hilang, sesalnya pun ditulis begitu indah.
SESAL
Rainer Maria Rilke
Segalanya jadi bayang
dan fana.
Aku yakin, bintang,
yang berkeredapan di atas sana,
sudah mampus berjuta warsa silam.
Aku yakin, dalam perahu,
yang melintas menderu,
kudengar gema ucapan seram.
Di dalam rumah, jarum jam
berhenti berdetik…
Di rumah yang mana?…
Aku ingin melangkah keluar dari bilik
jantungku dan melenggang di bawah angkasa.
Aku ingin berdoa.
Dan dari jutaan bintang yang padam
satu tersisa ada.
Aku yakin, aku faham,
bintang mana
yang masih berdiam,-
yang di ujung ekor cahayanya
nampak bagai sebuah kota putih seluruhnya…**
Penyair hidup dalam kekonyolan menerus, dipikulnya sepenuh kesadaran bulan matahari, sekejap menangguhkan beban ke bumi, keluar dari peredaran ketepatannya, masa di luar waktu kebanyakan. Pemeras intisari hayat terjatuhnya bola mata, dilihat kelereng bertabrakan keluar galaksi nalar sebelumnya. Jauh melampaui kesadaran jaman, sebab bersayap ke ujung yang belum tertandakan.
Keindahan mawar abadi, darah bergolak bermekaran harum hayati, makna pencari harus melewati lubang sempit tangkai keras merunduk terbentur. Nafas-nafas kadang tak terkendali hampir ditelan maut berkali-kali suntuk ingin bunuh diri. Di rasanya bukan goda, tapi pendewasan sesal melampaui batas-batas atmosfir hati terpecah. Sayap patah terbang di atas kesadaran, menentukan pandangan nilai atau eksekusi harus dilakukan, sebelum tangan lain merebut yang telah dipastikan.
Tubuh hangat pergolakan kian matang buah-buahan siap dipetik kapan pun musim mendapatkan. Ini jantung memberi arti, nadi mengeluarkan teka-teki, hawa malam siang tak henti mencari. Berlari dengan kaki-kaki tertancap duri, batu-batu bara api, pukulan bertubi serta diringkus dingin menyayat tulang, mematahkan balung. Sendi-sendi dirasuki hujan hujatan, rawa-rawa tiada bulan, hanya kilatan petir menandaskan kecantikan teratai. Jiwa sejati; penyair tulen tak pernah mati, andaipun kuburannya sudah tak dapat dikenali.
Aku rasakan penyair atas kutukan para nabi, disumpahi jadi insan setengah gila di ambang mati, sebab percaya ayat-ayat harus disampaikan dari keblingeran, pantulan pergantian warna cakrawala melenakan. Jiwa tak tersentuh benda memasuki alam rahasia, bagi bersanggup tabah mereguk nikmatnya. Yang tidak gadaikan tubuh jiwanya terangkat, memasuki pusaran meninggalkan bayangan. Kata-kata manis dicecapnya di bathin sakit, dan ketika tersenyum hilanglah kesadarannya.
Sungguh berat takdir tak dipungkiri, mundur selangkah, lumat perjuangan, jika maju tanpa bekal sama tak bermakna. Karena ruang waktunya mematenkan setingkap lapisan jiwa, sekerak bumi pasrah digodok musim hujan kemarau perimbangan. Di sini kemampuan bernafas terolah, sebaik-baik sangkaan membumi langit kesadaran. Melewati kesilapan tenggang menegangkan, yang tiada sudah hadir, seperti pendaki mengenali mata angin, tak bakal tersesat dalam diri.
BAUDELAIRE
untuk Anita Forrer/14 April 1921
Cuma penyair seorang dunia disatukan,
yang cerai berai berjauhan.
Yang indah gila-gilaan ia ungkapkan,
meski baginya siksaan, masih juga ia rayakan,
tak habis putus reruntuhan ia bersihkan:
bahkan sekaligus kemusnahan akan segala.***
Ulrike Draesner berkata: “Jika Puisi tertuju pada-yang-tak-nampak, lalu apa itu yang-tak-nampak? Bagi Rilke, ia akan menjawab: bukan ikhwal, tapi sebuah laku sebuah sikap. Ia menyebutnya “takjub.” Bukan jenis takjub seperti pada filsuf dalam memahami. Berpuisi ialah ketakjuban pada lambang-lambang. Berjalan di muka, tafakur, dan menghayati dalam lambang-lambang.”
Di sini kodrat tegar nelangsanya penyair, kutukan tak henti meringkusnya, apalagi saat mencapai ketakjuban. Perasaan atas ufuk nalar diwaktu senjakala bathinnya terampas keindahan gamang. Hadir keampangan aneh, hampa yang ganjil, ditekan rasa sakit memberat padat. Terus dijejakkannya inspirasi demi mengekalkan kata-kata lepas, takdir yang entah sia-sia. Atau di sini, dunia mencapai klimaknya, tidak putus dirundung kesepian merindu, walau tanpa segelas kohwa.
Rilke lambang kejantanan, apapun di depannya diterjang laksana kaki-kaki baja. Kabut tersibak, senyum manis tampak, tetesan embun terlihat hati melampaui akal. Misteri melingkupi kenyataan yang dicium peluk kesungguhan hebat. Tak bakal terlupakan lumatan yang sudah disadap kangen tak tertahan. Paras tak mungkin terlupakan, senyum terkenang menjelma bayang-bayang ingatan, di setiap malam siang matahari bulan menyertai. Rilke, bintangmu masih ada.
*,**,***) terjemahan Dudy Anggawi, dari buku Puisi-puisi Rilke, Henk Publica.
YANG LIAN: Puisi adalah Kampung Halaman Saya
Pewawancara: Luky Setyarini
http://www.ruangbaca.com/
Ketika Revolusi Budaya dilancarkan di Cina antara 1966-1976, ada sekelompok penyair yang karena gaya puisinya yang sulit dipahami, seperti berkabut, disebut sebagai Misty Poets. Salah satu dari para penyair kritis yang aktif menulis di majalah Jintian (Today) itu adalah Yang Lian.
Lahir di Swiss pada 1955, ayah Yang seorang diplomat. Ketika keluarganya pulang kampung, Yang muda dikirim ke pedesaan Changping dekat Beijing, untuk mengikuti program reedukasi. Seorang putra diplomat yang berpendidikan tinggi memang diwajibkan belajar dari petani. Metode ini digunakan di masa Mao Zedong pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Selama tinggal di pedesaan, Yang mulai menulis puisi.
Sekembalinya ke Beijing, Yang bekerja di stasiun pemancar radio pemerintah. Pada 1979, Yang bergabung dengan kelompok penyair yang menulis untuk Jintian. Gaya puisi pria berusia 54 tahun ini berubah menjadi modern, eksperimental, yang jamak dipraktekkan para penyair Misty Poets. Pada 1983, karyanya berjudul Norlang (nama suatu air terjun di Tibet) membuat gusar pemerintah Cina. Surat penangkapan untuk Yang dikeluarkan, namun Yang berhasil lolos.
Ketika militer Cina menumpas demonstrasi di Lapangan Tiananmen dengan kekerasan –dikenal sebagai Peristiwa 4 Juni 1989 — Yang berada di Selandia Baru dan ikut menggelar aksi protes terhadap kekerasan oleh pemerintah Cina. Karya-karyanya kemudian dilarang beredar di Cina, termasuk dua calon buku yang akan diterbitkan waktu itu. Tak lama kemudian, kewarganegaraannya pun dicabut dan dia memohon suaka di Selandia Baru. Pada 2008, dia terpilih sebagai salah satu anggota Dewan PEN Internasional, perhimpunan penyair, esais, dan novelis. Sejak 1993, dia bermukim di London.
Pada pertengahan Oktober lalu, Yang hadir di Pameran Buku Frankfurt. Reporter Tempo Luky Setyarini berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.
Kenapa Anda hadir di pameran ini?
Titik perhatian dari pameran ini adalah seluruhnya mengenai Cina, tentang sastranya, politiknya. Dalam hal ini, membawa Cina menjadi fokus masyarakat internasional. Karena itu, diskusinya mengenai apa pun, politiknya, atau sastra, linguistik. Saya pikir ini sangat penting bagi pernyataan mengenai perubahan Cina dari versi lama era Perang Dingin hingga bergerak menjadi — yang saya harap –sedikit menjadi versi baru. Makanya saya tertarik untuk datang.
Pemerintah Cina juga hadir. Anda tidak merasa khawatir, takut, atau terancam dengan melontarkan pendapat Anda?
Tidak. Saya memang sudah beberapa kali ke Cina. Namun setelah peristiwa Tiananmen saya tidak pernah kembali menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Pertama kali saya kembali ke Cina pada 1995, ketika saya mengganti kewarganegaraan Selandia Baru. Cina menjadi negara asing bagi saya, tapi saya menulis dalam bahasa ibu. Saya tidak mengakui badan politiknya, tapi saya mengakui bahasa dan tradisinya. Ya, saya tahu mereka di sini. Lalu mengapa? Mereka ada di mana saja.
Cina saat ini ibarat memiliki wajah ganda. Satu wajah kapitalis, satu lagi komunis. Menurut Anda?
Istilah yang tepat adalah Cina merupakan komunis terburuk dan kapitalis terburuk. Inilah yang paling tepat untuk menggambarkan Cina, karena saya dapat kembali ke Cina dan melihat Cina dari dalam, sejauh ini. Ada beberapa bagian, seperti menteri propaganda, yang menjadi mitra langsung penyelenggara Pameran Buku Frankfurt. Mereka adalah bagian dari Cina dan pemerintah Cina yang paling, paling buruk. Mereka tidak membawa tanggung jawab yang nyata ke dunia nyata. Mereka hanya bertanggung jawab supaya mesin ideologi tetap berfungsi, bertanggung jawab hanya terhadap pemimpin mereka, dan tidak terhadap rakyat.
Banyak penulis dan seniman Cina dipenjara karena pemikiran vokal dan bebas mereka. Bagaimana menurut Anda?
Memang, sayang sekali. Sekali lagi, secara linguistik, ini merupakan bagian terburuk dari yang terburuk dari Cina, yaitu sensor tegas terhadap pendapat dan pemikiran bebas, dan mereka sangat takut terhadap kata-kata. Di titik ini, tidak disangkal lagi, kita harus berjuang demi pembebasan para penulis itu. Kita harus berbicara untuk mereka, kita harus berjuang sebisa mungkin untuk mereka. Makanya, ketika tahun lalu saya dipilih menjadi anggota Dewan PEN Internasional, saya juga mendorong perubahan di lapisan lain, tapi fokusnya terutama pada para penulis yang ditahan. Kami mempublikasikan daftar penulis yang berada di penjara ke hadapan internasional. Ini merupakan hal yang menyedihkan.
Anda kan dapat mengunjungi Cina. Bisa diceritakan bagaimana situasi kesusastraannya saat ini?
Inilah masalah terbesarnya. Karena kontrol politik dan sensor di satu sisi, dan pasar yang sangat besar di sisi lain, para penulis yang sebenarnya pemikir independen ditekan dari dua sisi, kekuasaan dan uang.
Jadi, ada dua kemungkinan. Pertama, penulis menjadi seseorang yang punya pemikiran kuat, memiliki pemahaman yang jernih mengenai dirinya, tulisan apa yang ingin dibuat, makanya peganglah prinsip itu, jangan peduli akan dipublikasikan atau tidak, penulis itu akan menjelma dengan jiwa tradisi klasik yang luar biasa dan menjadi penulis besar internasional.
Tapi, sayangnya, hanya sedikit penulis Cina yang ingin melakukannya. Sebagian besar lebih suka menjadi pemain, terikat pada pohon sensor, tapi bergegas ke pihak komersial dan menulis hal seperti makanan instan, seperti McDonald’s. Karena mereka ingin menulis hari ini, menjualnya besok, dan mendapat banyak uang besok lusanya. Dalam kasus ini, pasar bukanlah pasar yang sebenarnya. Ini sebenarnya pasar yang tidak sehat dengan kontrol ideologi.
Saya sudah membaca puisi Anda dan saya pikir karya Anda tidak ’berbahaya’. Apakah puisi Anda masih dilarang diterbitkan di Cina?
Puisi punya gerakan yang menarik. Kami untungnya menulis puisi yang tak mudah dipahami. Sejak kami mulai menulis, sejak kami meninggalkan dunia yang besar dan palsu seperti sosialisme, kapitalisme, kami menggunakan bahasa yang murni dan klasik, serta menggunakan matahari, bulan, air, kegelapan, kehidupan, ajal. Makanya, puisi-puisi kami disebut misty poems atau puisi yang diselubungi kabut. Karena, itu tadi, puisi kami tidak mudah dipahami, dan diasosiasikan dengan slogan politik.
Jadi, puisi-puisi kami tak hanya bercerita mengenai perlawanan terhadap propaganda politik, tapi juga menunjukkan hasrat puitis, melalui bahasa, juga mempertanyakan diri sendiri sedalam mungkin. Makanya tidak hanya mengenai hitam dan putih, tapi penuh dengan kompleksitas, kekayaan, perasaan diri yang kontradiktif, tapi pada akhirnya bentuk yang kreatif.
Pada dasawarsa 1980-an, ketika gerakan politik dibungkam, karya saya dilarang, lalu ketika demonstrasi Tiananmenn dirusak, buku-buku dimusnahkan. Itu bukan karena mereka memahami puisi saya. Mereka melarang karya saya, bukan karena puisinya, tapi mereka ingin menghancurkan saya. Jadi, sebetulnya, sang penyairlah alasannya. Jadi, puisi mati mengatasnamakan penyairnya.
Sekarang, ketika seluruh Cina menjadi komersial, masalahnya bukan lagi sensor dan melarang puisi karena politis. Puisi itu sendiri disensor secara komersial, alasan komersial. Para penerbit hampir begitu saja berhenti mencetak puisi apa pun. Karena tidak menjual. Karena itu bukanlah bisnis budaya, melainkan sekedar bisnis. Mereka tidak peduli pada gelombang budaya. Sangat menyedihkan bagi Cina, negara yang memiliki tradisi besar dalam puisi klasik. Tapi saya tetap melanjutkan menulis puisi. Tak peduli apa mereka mau menerbitkannya atau tidak, atau mereka bilang bagus atau tidak. Saya pikir, puisi itu sangat penting bagi saya sendiri.
Anda tinggal di London, Anda juga berkeliling dunia. Apakah Anda merasa bagian dari masyarakat penulis dan seniman dunia?
London adalah tempat pertemuan yang besar. Bukan karena begitu banyaknya komunitas, tapi sebenarnya karena kedalaman, sejarah, dan tradisi Inggris Raya itu sendiri sebagai lapangan pemikiran terbuka. Namun saya tidak menempatkan diri saya dalam panggung besar itu. Saya juga menciptakan London versi sendiri. Buku yang Anda miliki, Lee Valley Poems, adalah puisi-puisi London versi saya. Ini bukanlah puisipuisi London, tapi puisi-puisi London kepunyaan Yang Lian. Lee Valley adalah lembah dekat rumah saya di London, tempat saya jalan-jalan.
Apakah dengan begitu, London menjadi kampung halaman Anda? Atau masihkah Cina menjadi kampung halaman Anda? Ataukah dunia adalah tanah air Anda?
Puisi adalah kampung halaman saya. Itulah yang selalu saya gapai melalui pemikiran kaya saya. Itu tidak dibatasi oleh batas negara, abadi dan tanpa batas.
http://www.ruangbaca.com/
Ketika Revolusi Budaya dilancarkan di Cina antara 1966-1976, ada sekelompok penyair yang karena gaya puisinya yang sulit dipahami, seperti berkabut, disebut sebagai Misty Poets. Salah satu dari para penyair kritis yang aktif menulis di majalah Jintian (Today) itu adalah Yang Lian.
Lahir di Swiss pada 1955, ayah Yang seorang diplomat. Ketika keluarganya pulang kampung, Yang muda dikirim ke pedesaan Changping dekat Beijing, untuk mengikuti program reedukasi. Seorang putra diplomat yang berpendidikan tinggi memang diwajibkan belajar dari petani. Metode ini digunakan di masa Mao Zedong pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Selama tinggal di pedesaan, Yang mulai menulis puisi.
Sekembalinya ke Beijing, Yang bekerja di stasiun pemancar radio pemerintah. Pada 1979, Yang bergabung dengan kelompok penyair yang menulis untuk Jintian. Gaya puisi pria berusia 54 tahun ini berubah menjadi modern, eksperimental, yang jamak dipraktekkan para penyair Misty Poets. Pada 1983, karyanya berjudul Norlang (nama suatu air terjun di Tibet) membuat gusar pemerintah Cina. Surat penangkapan untuk Yang dikeluarkan, namun Yang berhasil lolos.
Ketika militer Cina menumpas demonstrasi di Lapangan Tiananmen dengan kekerasan –dikenal sebagai Peristiwa 4 Juni 1989 — Yang berada di Selandia Baru dan ikut menggelar aksi protes terhadap kekerasan oleh pemerintah Cina. Karya-karyanya kemudian dilarang beredar di Cina, termasuk dua calon buku yang akan diterbitkan waktu itu. Tak lama kemudian, kewarganegaraannya pun dicabut dan dia memohon suaka di Selandia Baru. Pada 2008, dia terpilih sebagai salah satu anggota Dewan PEN Internasional, perhimpunan penyair, esais, dan novelis. Sejak 1993, dia bermukim di London.
Pada pertengahan Oktober lalu, Yang hadir di Pameran Buku Frankfurt. Reporter Tempo Luky Setyarini berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.
Kenapa Anda hadir di pameran ini?
Titik perhatian dari pameran ini adalah seluruhnya mengenai Cina, tentang sastranya, politiknya. Dalam hal ini, membawa Cina menjadi fokus masyarakat internasional. Karena itu, diskusinya mengenai apa pun, politiknya, atau sastra, linguistik. Saya pikir ini sangat penting bagi pernyataan mengenai perubahan Cina dari versi lama era Perang Dingin hingga bergerak menjadi — yang saya harap –sedikit menjadi versi baru. Makanya saya tertarik untuk datang.
Pemerintah Cina juga hadir. Anda tidak merasa khawatir, takut, atau terancam dengan melontarkan pendapat Anda?
Tidak. Saya memang sudah beberapa kali ke Cina. Namun setelah peristiwa Tiananmen saya tidak pernah kembali menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Pertama kali saya kembali ke Cina pada 1995, ketika saya mengganti kewarganegaraan Selandia Baru. Cina menjadi negara asing bagi saya, tapi saya menulis dalam bahasa ibu. Saya tidak mengakui badan politiknya, tapi saya mengakui bahasa dan tradisinya. Ya, saya tahu mereka di sini. Lalu mengapa? Mereka ada di mana saja.
Cina saat ini ibarat memiliki wajah ganda. Satu wajah kapitalis, satu lagi komunis. Menurut Anda?
Istilah yang tepat adalah Cina merupakan komunis terburuk dan kapitalis terburuk. Inilah yang paling tepat untuk menggambarkan Cina, karena saya dapat kembali ke Cina dan melihat Cina dari dalam, sejauh ini. Ada beberapa bagian, seperti menteri propaganda, yang menjadi mitra langsung penyelenggara Pameran Buku Frankfurt. Mereka adalah bagian dari Cina dan pemerintah Cina yang paling, paling buruk. Mereka tidak membawa tanggung jawab yang nyata ke dunia nyata. Mereka hanya bertanggung jawab supaya mesin ideologi tetap berfungsi, bertanggung jawab hanya terhadap pemimpin mereka, dan tidak terhadap rakyat.
Banyak penulis dan seniman Cina dipenjara karena pemikiran vokal dan bebas mereka. Bagaimana menurut Anda?
Memang, sayang sekali. Sekali lagi, secara linguistik, ini merupakan bagian terburuk dari yang terburuk dari Cina, yaitu sensor tegas terhadap pendapat dan pemikiran bebas, dan mereka sangat takut terhadap kata-kata. Di titik ini, tidak disangkal lagi, kita harus berjuang demi pembebasan para penulis itu. Kita harus berbicara untuk mereka, kita harus berjuang sebisa mungkin untuk mereka. Makanya, ketika tahun lalu saya dipilih menjadi anggota Dewan PEN Internasional, saya juga mendorong perubahan di lapisan lain, tapi fokusnya terutama pada para penulis yang ditahan. Kami mempublikasikan daftar penulis yang berada di penjara ke hadapan internasional. Ini merupakan hal yang menyedihkan.
Anda kan dapat mengunjungi Cina. Bisa diceritakan bagaimana situasi kesusastraannya saat ini?
Inilah masalah terbesarnya. Karena kontrol politik dan sensor di satu sisi, dan pasar yang sangat besar di sisi lain, para penulis yang sebenarnya pemikir independen ditekan dari dua sisi, kekuasaan dan uang.
Jadi, ada dua kemungkinan. Pertama, penulis menjadi seseorang yang punya pemikiran kuat, memiliki pemahaman yang jernih mengenai dirinya, tulisan apa yang ingin dibuat, makanya peganglah prinsip itu, jangan peduli akan dipublikasikan atau tidak, penulis itu akan menjelma dengan jiwa tradisi klasik yang luar biasa dan menjadi penulis besar internasional.
Tapi, sayangnya, hanya sedikit penulis Cina yang ingin melakukannya. Sebagian besar lebih suka menjadi pemain, terikat pada pohon sensor, tapi bergegas ke pihak komersial dan menulis hal seperti makanan instan, seperti McDonald’s. Karena mereka ingin menulis hari ini, menjualnya besok, dan mendapat banyak uang besok lusanya. Dalam kasus ini, pasar bukanlah pasar yang sebenarnya. Ini sebenarnya pasar yang tidak sehat dengan kontrol ideologi.
Saya sudah membaca puisi Anda dan saya pikir karya Anda tidak ’berbahaya’. Apakah puisi Anda masih dilarang diterbitkan di Cina?
Puisi punya gerakan yang menarik. Kami untungnya menulis puisi yang tak mudah dipahami. Sejak kami mulai menulis, sejak kami meninggalkan dunia yang besar dan palsu seperti sosialisme, kapitalisme, kami menggunakan bahasa yang murni dan klasik, serta menggunakan matahari, bulan, air, kegelapan, kehidupan, ajal. Makanya, puisi-puisi kami disebut misty poems atau puisi yang diselubungi kabut. Karena, itu tadi, puisi kami tidak mudah dipahami, dan diasosiasikan dengan slogan politik.
Jadi, puisi-puisi kami tak hanya bercerita mengenai perlawanan terhadap propaganda politik, tapi juga menunjukkan hasrat puitis, melalui bahasa, juga mempertanyakan diri sendiri sedalam mungkin. Makanya tidak hanya mengenai hitam dan putih, tapi penuh dengan kompleksitas, kekayaan, perasaan diri yang kontradiktif, tapi pada akhirnya bentuk yang kreatif.
Pada dasawarsa 1980-an, ketika gerakan politik dibungkam, karya saya dilarang, lalu ketika demonstrasi Tiananmenn dirusak, buku-buku dimusnahkan. Itu bukan karena mereka memahami puisi saya. Mereka melarang karya saya, bukan karena puisinya, tapi mereka ingin menghancurkan saya. Jadi, sebetulnya, sang penyairlah alasannya. Jadi, puisi mati mengatasnamakan penyairnya.
Sekarang, ketika seluruh Cina menjadi komersial, masalahnya bukan lagi sensor dan melarang puisi karena politis. Puisi itu sendiri disensor secara komersial, alasan komersial. Para penerbit hampir begitu saja berhenti mencetak puisi apa pun. Karena tidak menjual. Karena itu bukanlah bisnis budaya, melainkan sekedar bisnis. Mereka tidak peduli pada gelombang budaya. Sangat menyedihkan bagi Cina, negara yang memiliki tradisi besar dalam puisi klasik. Tapi saya tetap melanjutkan menulis puisi. Tak peduli apa mereka mau menerbitkannya atau tidak, atau mereka bilang bagus atau tidak. Saya pikir, puisi itu sangat penting bagi saya sendiri.
Anda tinggal di London, Anda juga berkeliling dunia. Apakah Anda merasa bagian dari masyarakat penulis dan seniman dunia?
London adalah tempat pertemuan yang besar. Bukan karena begitu banyaknya komunitas, tapi sebenarnya karena kedalaman, sejarah, dan tradisi Inggris Raya itu sendiri sebagai lapangan pemikiran terbuka. Namun saya tidak menempatkan diri saya dalam panggung besar itu. Saya juga menciptakan London versi sendiri. Buku yang Anda miliki, Lee Valley Poems, adalah puisi-puisi London versi saya. Ini bukanlah puisipuisi London, tapi puisi-puisi London kepunyaan Yang Lian. Lee Valley adalah lembah dekat rumah saya di London, tempat saya jalan-jalan.
Apakah dengan begitu, London menjadi kampung halaman Anda? Atau masihkah Cina menjadi kampung halaman Anda? Ataukah dunia adalah tanah air Anda?
Puisi adalah kampung halaman saya. Itulah yang selalu saya gapai melalui pemikiran kaya saya. Itu tidak dibatasi oleh batas negara, abadi dan tanpa batas.
Sastra dan Islam Bagai Ikan dan Air
Sutan Iwan Soekri Munaf
http://www.suarakarya-online.com/
Amat menarik membaca tulisan Damhuri Muhammad yang diberi tajuk Sastra Islami dan Ketajaman Lidah Pena (Republika, Minggu, 26 Juni 2005). Cerpenis dan pengamat sastra ini terpesona melihat limpah ruahnya karya sastra terutama cerpen dengan label Islam pada akhir-akhir ini di negeri ini. Bersaman dengan keterpesonaannya itu, agaknya Damhuri juga mempertanyakan dengan kekhawatiran: Apakah sastra islami itu sungguh-sungguh eksis? Sejauh manakah ciri khas Islam dapat terpahami pada fiksi islami?
Apakah label islami yang ditempelkan di sampul buku serta justifikasi quranik dalam setiap karya-karya mereka, sudah cukup memadai untuk menyandang predikat sastra islami? Adakah parameter konstan yang dapat mengukur derajat keislaman karya sastra?
Kekhawatiran ini, apa pasal? Damhuri menyatakan : Kesimpangsiuran pemahaman terhadap sastra islami seperti dipertanyakan di atas, nampaknya masih menjadi problem mendasar yang belum terselesaikan bagi para penulis yang tekun melahirkan fiksi islami. Ini adalah akibat dari ulah memperlakukan sastra tak lebih dari sekadar medium demi meraih tujuan-tujuan dakwah.
Apalagi jika cerpenis ini menyimak di luar sastra, yang akhir-akhir ini muncul di layar kaca kita. Banyak sekali sinetron ditayangkan broadcast swasta kita, yang katanya berlabel Islam dengan TV sebagai medium dakwah, namun cenderung menjauh dari dakwah. Pasalnya, banyak sekali pemirsa yang menonton tayangan itu dicekoki dengan dunia hantu, kemusrikan dan ada upaya sekadar menakut-nakuti pemirsa.
Kendati begitu, saya tercenung selepas membaca kesimpulan cerpenis ini, yang menyatakan kesimpangsiuran ini akibat dari ulah memperlakukan sastra tak lebih sekadar medium demi meraih tujuan-tujuan dakwah. Apakah salah, jika sastra sebagai medium dakwah?
Pada hakikatnya sastrawan dan karyanya mempunyai tujuan berkomunikasi dengan pembacanya. Sesuai pendapat Harold D Lasswell, yang kemudian dijadikan salah satu teori komunikasi, bahwa saat manusia berkomunikasi selalu: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect. Maka sastrawan yang memiliki gagasan berupa karya itu, yang ingin disampaikan kepada pembacannya, tentu akan memilih medium sastra. Pasalnya, sang sastrawan sudah memperkirakan dampak dari gagasannya yang dikomunikaikan kepada pembacanya lewat medium sastra itu.
Sudah banyak karya sastrawan yang berdampak terhadap pembacanya, sehingga bangsanya berubah. Biar bagaimana pun, Chairil Anwar bukan sekadar mencatat peristiwa menjelang kemerdekaan dan selama perang kemerdekaan di negeri ini. Sajak-sajaknya ikut menggerakkan dan memberi inspirasi anak bangsa negeri ini pada masa itu, bahkan hingga masa sesudahnya.
Berangkat dari kenyataan itu, bagi saya, sastra memang merupakan salah satu medium untuk menyampaikan gagasan dan perasaan, saat berkomunikasi dengan pembaca. Tentu saja, sastra bukan satu-satunya medium berkomunikasi!
Sejalan dengan itu, apakah salah, jika ada sastrawan yang ingin menyampaikan gagasan dan perasaannya tentang Islam dalam medium yang dikenal sebagai sastra? Bukankah karya sastra itu harus mencerahkan dan memberikan sesuatu yang berarti bagi pembacanya? Dan hal ini merupakan tanggungjawab sastrawan
Seorang sastrawan yang berkediaman di Bandung, Juniarso Ridwan mengetengahkan tangungjawab ini dengan mengutip pendapat Jean Paul Sartre. Tanggungjawab seniman, seperti halnya pengarang, senantiasa memperhatikan keberadaan dirinya dalam lingkup berbagai peristiwa aktual di seluruh pelosok bumi ini. Pengarang, selaku seniman, tidak bisa mengurung dirinya di dalam ruangan terkunci menara gading, seolah tak peduli dengan alam sekitarnya.
Disebutkan lebih jauh, bahwa perlu adanya tanggungjawab pengarang terhadap kondisi lingkungan, terlebih-lebih terhadap dirinya sendiri. Tanggungjawab ini diperlihatkan dengan sikap pengarang yang dengan tegas memilih pihak di dalam setiap peristiwa. Sikap untuk memilih ini dilakukan dengan penuh kesadaran, tidak untuk mencari keuntungan atau untuk mencari kesempatan berpetualang.
Berdasarkan naluri asasi manusia; yang berpijak pada cahaya kebebasan. Pihak mana yang dipilih, tidak penting dilihat, sebab dengan itu berarti sudah terpenuhinya tanggungjawab pengarang terhadap lingkungannya, baik ruang dan waktu, maupun terhadap dirinya sendiri.
Jadi, wajar seorang sastrawan (beragama Islam) dalam rasa tanggungjawabnya untuk menyampaikan pencerahan Islam dalam medium sastra. Apalagi bila menyimak sejarah, kehadiran Islam yang disampaikan Muhammad atas perintah Allah, justru pada kurun berjayanya sastra, terutama syair atau puisi di tanah Arab. Dan merupakan hak Allah untuk menyampaikan pesan-pesanNya dalam medium sastra (puisi). Mungkin salah satu tujuan Sang Khalik agar pesanNya cepat sampai pada orang-orang yang memahami dan menggandrungi sastra di kawasan itu.
Simak saja ayat-ayat Allah yang mencakup kaidah-kaidah sastra, baik dari segi estetik dan artistik maupun pesanNya maha amat puitik. Hal ini menunjukkan Islam dan sastra seperti ikan dan air, seyogianya di mana Islam berkembang, maka sastra pun berkibar pula.
Dalam sebuah esei di internet, Aguk Irawan, yang seorang penyair, cerpenis dan novelis yang berkediaman di Kairo, mengutip pendapat Najib Kaelani, sastrawan tersohor Arab, berkebangsaan Mesir. Najib berpendapat dalam pengantar bukunya yang sangat memukau Madhal Ila Adab Al-Islami (Pengantar Sastra Islam), bahwa kehadiran sastra Islami tidak sedikitpun menodai kekuatan estetik dan nilai artistik. Justru menguatkan apa yang orang sebut dengan sastra, karena subtansi Islam dan sastra berjalan seiring, yaitu tertumpuh pada dua unsur, yaitu keindahan dan pesan moral.
Lebih lanjut, kata Najib, sastra Islami bersumber pada konsep Islam terhadap kehidupan. Dan luasnya konsep ini melampaui kapasitas imajinasi yang terkandung dalam sastra, mulai dari konsep kebendaan, alam dan metafisika, serta hubungan sosio-kultur antar ummat manusia. Karenanya membawa benderah dakwa Islam, menurutnya adalah membawa misi kemanusian yang juga sebagai ujung tombak dari sastra itu sendiri. Dengan demikian, kehadiran sastra Islami adalah mencoba membumisasikan Islam KRGatau nilai IslamKRG tidak melalui pintu formalitas. melainkan jalur yang bisa menembus segala ruang dan waktu, yang dibungkus dengan label sastra.
Mungkin yang jadi masalah, sebagaimana kekhawatiran Damhuri, bahwa penulis yang memperkuda sastra dalam penyampaian pesan tanpa mengusung nilai-nilai estetik dan artistik, sehingga sulit melahirkan karya yang berkekuatan pesan.
Namun, sejalan dengan itu, pembaca makin hari makin meningkatkan kemauannya membaca karya sastra yang berkekuatan pesan dan tidak meninggalkan nilai artistik. Pada saatnya, pembaca akan meninggalkan penulis yang memperkuda sastra sebagai medium dakwah. tanpa mengindahkan kaidah sastra. Karena, pada hakikatnya, pembaca bukanlah sasaran tembak yang diam, namun manusia yang penuh keunikan dan selalu berkembang.
Berangkat dari kenyataan ini, saya merasa bersyukur dengan limpah ruahnya kaya-karya sastra (terutama cerpen) yang diterbitkan sejumlah penerbit, baik berupa majalah maupun buku sebagaimana diutarakan Damhuri Muhammad. Sudah menjadi tanggungjawab sastrawan unuk meningkatkan kualitasnya, sehingga menghasilkan karya sastra yang mengusung pesan dakwah namun amat mengindahkan keartistikan dan estetik. Bila tidak, sastrawan kehilangan pembacanya! ***
http://www.suarakarya-online.com/
Amat menarik membaca tulisan Damhuri Muhammad yang diberi tajuk Sastra Islami dan Ketajaman Lidah Pena (Republika, Minggu, 26 Juni 2005). Cerpenis dan pengamat sastra ini terpesona melihat limpah ruahnya karya sastra terutama cerpen dengan label Islam pada akhir-akhir ini di negeri ini. Bersaman dengan keterpesonaannya itu, agaknya Damhuri juga mempertanyakan dengan kekhawatiran: Apakah sastra islami itu sungguh-sungguh eksis? Sejauh manakah ciri khas Islam dapat terpahami pada fiksi islami?
Apakah label islami yang ditempelkan di sampul buku serta justifikasi quranik dalam setiap karya-karya mereka, sudah cukup memadai untuk menyandang predikat sastra islami? Adakah parameter konstan yang dapat mengukur derajat keislaman karya sastra?
Kekhawatiran ini, apa pasal? Damhuri menyatakan : Kesimpangsiuran pemahaman terhadap sastra islami seperti dipertanyakan di atas, nampaknya masih menjadi problem mendasar yang belum terselesaikan bagi para penulis yang tekun melahirkan fiksi islami. Ini adalah akibat dari ulah memperlakukan sastra tak lebih dari sekadar medium demi meraih tujuan-tujuan dakwah.
Apalagi jika cerpenis ini menyimak di luar sastra, yang akhir-akhir ini muncul di layar kaca kita. Banyak sekali sinetron ditayangkan broadcast swasta kita, yang katanya berlabel Islam dengan TV sebagai medium dakwah, namun cenderung menjauh dari dakwah. Pasalnya, banyak sekali pemirsa yang menonton tayangan itu dicekoki dengan dunia hantu, kemusrikan dan ada upaya sekadar menakut-nakuti pemirsa.
Kendati begitu, saya tercenung selepas membaca kesimpulan cerpenis ini, yang menyatakan kesimpangsiuran ini akibat dari ulah memperlakukan sastra tak lebih sekadar medium demi meraih tujuan-tujuan dakwah. Apakah salah, jika sastra sebagai medium dakwah?
Pada hakikatnya sastrawan dan karyanya mempunyai tujuan berkomunikasi dengan pembacanya. Sesuai pendapat Harold D Lasswell, yang kemudian dijadikan salah satu teori komunikasi, bahwa saat manusia berkomunikasi selalu: Who Says What In Which Channel To Whom With What Effect. Maka sastrawan yang memiliki gagasan berupa karya itu, yang ingin disampaikan kepada pembacannya, tentu akan memilih medium sastra. Pasalnya, sang sastrawan sudah memperkirakan dampak dari gagasannya yang dikomunikaikan kepada pembacanya lewat medium sastra itu.
Sudah banyak karya sastrawan yang berdampak terhadap pembacanya, sehingga bangsanya berubah. Biar bagaimana pun, Chairil Anwar bukan sekadar mencatat peristiwa menjelang kemerdekaan dan selama perang kemerdekaan di negeri ini. Sajak-sajaknya ikut menggerakkan dan memberi inspirasi anak bangsa negeri ini pada masa itu, bahkan hingga masa sesudahnya.
Berangkat dari kenyataan itu, bagi saya, sastra memang merupakan salah satu medium untuk menyampaikan gagasan dan perasaan, saat berkomunikasi dengan pembaca. Tentu saja, sastra bukan satu-satunya medium berkomunikasi!
Sejalan dengan itu, apakah salah, jika ada sastrawan yang ingin menyampaikan gagasan dan perasaannya tentang Islam dalam medium yang dikenal sebagai sastra? Bukankah karya sastra itu harus mencerahkan dan memberikan sesuatu yang berarti bagi pembacanya? Dan hal ini merupakan tanggungjawab sastrawan
Seorang sastrawan yang berkediaman di Bandung, Juniarso Ridwan mengetengahkan tangungjawab ini dengan mengutip pendapat Jean Paul Sartre. Tanggungjawab seniman, seperti halnya pengarang, senantiasa memperhatikan keberadaan dirinya dalam lingkup berbagai peristiwa aktual di seluruh pelosok bumi ini. Pengarang, selaku seniman, tidak bisa mengurung dirinya di dalam ruangan terkunci menara gading, seolah tak peduli dengan alam sekitarnya.
Disebutkan lebih jauh, bahwa perlu adanya tanggungjawab pengarang terhadap kondisi lingkungan, terlebih-lebih terhadap dirinya sendiri. Tanggungjawab ini diperlihatkan dengan sikap pengarang yang dengan tegas memilih pihak di dalam setiap peristiwa. Sikap untuk memilih ini dilakukan dengan penuh kesadaran, tidak untuk mencari keuntungan atau untuk mencari kesempatan berpetualang.
Berdasarkan naluri asasi manusia; yang berpijak pada cahaya kebebasan. Pihak mana yang dipilih, tidak penting dilihat, sebab dengan itu berarti sudah terpenuhinya tanggungjawab pengarang terhadap lingkungannya, baik ruang dan waktu, maupun terhadap dirinya sendiri.
Jadi, wajar seorang sastrawan (beragama Islam) dalam rasa tanggungjawabnya untuk menyampaikan pencerahan Islam dalam medium sastra. Apalagi bila menyimak sejarah, kehadiran Islam yang disampaikan Muhammad atas perintah Allah, justru pada kurun berjayanya sastra, terutama syair atau puisi di tanah Arab. Dan merupakan hak Allah untuk menyampaikan pesan-pesanNya dalam medium sastra (puisi). Mungkin salah satu tujuan Sang Khalik agar pesanNya cepat sampai pada orang-orang yang memahami dan menggandrungi sastra di kawasan itu.
Simak saja ayat-ayat Allah yang mencakup kaidah-kaidah sastra, baik dari segi estetik dan artistik maupun pesanNya maha amat puitik. Hal ini menunjukkan Islam dan sastra seperti ikan dan air, seyogianya di mana Islam berkembang, maka sastra pun berkibar pula.
Dalam sebuah esei di internet, Aguk Irawan, yang seorang penyair, cerpenis dan novelis yang berkediaman di Kairo, mengutip pendapat Najib Kaelani, sastrawan tersohor Arab, berkebangsaan Mesir. Najib berpendapat dalam pengantar bukunya yang sangat memukau Madhal Ila Adab Al-Islami (Pengantar Sastra Islam), bahwa kehadiran sastra Islami tidak sedikitpun menodai kekuatan estetik dan nilai artistik. Justru menguatkan apa yang orang sebut dengan sastra, karena subtansi Islam dan sastra berjalan seiring, yaitu tertumpuh pada dua unsur, yaitu keindahan dan pesan moral.
Lebih lanjut, kata Najib, sastra Islami bersumber pada konsep Islam terhadap kehidupan. Dan luasnya konsep ini melampaui kapasitas imajinasi yang terkandung dalam sastra, mulai dari konsep kebendaan, alam dan metafisika, serta hubungan sosio-kultur antar ummat manusia. Karenanya membawa benderah dakwa Islam, menurutnya adalah membawa misi kemanusian yang juga sebagai ujung tombak dari sastra itu sendiri. Dengan demikian, kehadiran sastra Islami adalah mencoba membumisasikan Islam KRGatau nilai IslamKRG tidak melalui pintu formalitas. melainkan jalur yang bisa menembus segala ruang dan waktu, yang dibungkus dengan label sastra.
Mungkin yang jadi masalah, sebagaimana kekhawatiran Damhuri, bahwa penulis yang memperkuda sastra dalam penyampaian pesan tanpa mengusung nilai-nilai estetik dan artistik, sehingga sulit melahirkan karya yang berkekuatan pesan.
Namun, sejalan dengan itu, pembaca makin hari makin meningkatkan kemauannya membaca karya sastra yang berkekuatan pesan dan tidak meninggalkan nilai artistik. Pada saatnya, pembaca akan meninggalkan penulis yang memperkuda sastra sebagai medium dakwah. tanpa mengindahkan kaidah sastra. Karena, pada hakikatnya, pembaca bukanlah sasaran tembak yang diam, namun manusia yang penuh keunikan dan selalu berkembang.
Berangkat dari kenyataan ini, saya merasa bersyukur dengan limpah ruahnya kaya-karya sastra (terutama cerpen) yang diterbitkan sejumlah penerbit, baik berupa majalah maupun buku sebagaimana diutarakan Damhuri Muhammad. Sudah menjadi tanggungjawab sastrawan unuk meningkatkan kualitasnya, sehingga menghasilkan karya sastra yang mengusung pesan dakwah namun amat mengindahkan keartistikan dan estetik. Bila tidak, sastrawan kehilangan pembacanya! ***
Fakta dalam Fantasi
Indah S. Pratidina
http://www.ruangbaca.com/
Kalau ada yang bertanya kepada kita, sebenarnya buku fantasi itu apa sih, benak kita mungkin akan langsung menyusun jawaban yang terdiri atas kata-kata seperti: mustahil benar-benar terjadi, hasil khayalan tingkat tinggi, dunia lain di luar dunia “nyata”, dan sebagainya. Tapi justru keyakinan bahwa elemen-elemen magis dalam karya fantasi sangat berkaitan erat dengan realitalah yang membuat saya menulis skripsi saya (Analisis Wacana pada Sastra Anak: Ideologi J.K. Rowling dalam Dunia Sihir Harry Potter, 2001).
Walau sudah terbit sejak tahun 1997 di negeri asalnya, saya pertama kali mengenal Harry Potter pada tahun 2000. Setelah sekian lama tidak membaca sesuatu yang bisa membuat saya begitu bersemangat mengikuti cerita sampai akhir, J.K. Rowling menjawab kerinduan itu dengan Harry Potter dan Batu Bertuah, yang tak lama kemudian disusul Harry Potter dan Kamar Rahasia. Saking tersentuhnya, saya memutuskan menjadikan dua buku itu bahan penelitian.
Berhubung saya mengambil jurusan Komunikasi Massa, maka saya memperlakukan buku Harry Potter sebagai media massa. Dan kalau menurut Denis McQuail dalam Mass Communication Theory: an Introduction, media massa memiliki peran perantara (mediating) antara realita sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Saya meneliti isi buku karya JK Rowling ini pun atas dasar keyakinan bahwa isi media merupakan dokumen sosial yang bisa menjadi bukti keadaan masyarakat dan kebudayaan di mana media tersebut dibuat, para produsen dan tujuan mereka, termasuk audiens yang dituju dan minat mereka.
Saya pun setuju dengan Charles W. Wright dalam Sosiologi Komunikasi Massa, yang mengatakan bahwa isi pesan media massa menarik untuk diteliti karena walau sehari-hari diterpa arus komunikasi, kita jarang termotivasi untuk menganalisis aspek-aspek berharga dari isi pesan secara sosiologis.
Ketika menyaksikan televisi untuk hiburan pribadi kita sendiri, misalnya, sebenarnya kita bisa mendapatkan berbagai informasi tentang representasi masyarakat. Kita tentu saja cenderung tidak akan terlalu memerhatikan atau menganalisis kelas sosial atau karakteristik pekerjaan dari para pahlawan, penjahat, di layar televisi. Padahal analisis ini dapat memberi kita perspektif yang diperlukan dan data penting yang akurat dan bersifat sosiologis.
Mendukung alasan Wright, Dennis McQuail juga berkata isi (content) media itu sebenarnya kumpulan data yang paling berisi dan mudah diakses yang bisa memberikan banyak petunjuk tentang masyarakat, dan kemudahan akses ini melewati batas waktu dan bahkan terkadang melewati batas negara. Isi media juga muncul dalam bentuk-bentuk yang kelihatan lebih konstan sejalan dengan waktu dibandingkan fenomena budaya lain. Karena alasan ini isi media dihargai ahli sejarah, sosiolog, dan antropolog.
Fakta dalam Fantasi
Teori dan metode di atas dapat diaplikasikan pada semua tipe isi (content), termasuk pada hiburan dan fiksi. Dalam fiksi, pengeks-presian dan komunikasi dapat dilakukan dengan baik melalui usaha meniru kejadian nyata, mengajukan kasus khusus, atau dengan menyediakan kekontrasan dari yang dianggap normal. Fiksi dapat menggunakan penemuan dan fantasi untuk berkomentar terhadap kenyataan melalui representasi.
Sejak lama tradisi buku fantasi pun sering dikaitkan dengan representasi. Sebenarnya genre ini mulai berkembang sejak abad ke-19 ketika The Water Babies (1863) karya Charles Kingsley dan Alice’s Adventures in Wonderland (1865) karya Lewis Carroll diterbitkan. Keduanya menyajikan dunia alternatif yang ditemukan secara tidak sengaja, kalau Tom dalam The Water Babies karena tercebur ke sungai, sedangkan Alice terperosok ke dalam lubang. Keduanya membuat tonggak kuat dalam genre fantasi dan menuai berbagai analisis/tulisan ilmiah.
Salah satu analisis yang ingin saya kutip adalah dari Leeson: “Fantasi membantu Alice menantang otoritas keluarga dengan menyajikan hewan, kartu-kartu hidup, bidak-bidak catur untuk mengambil posisi orang dewasa (1985).”
Dalam hal hubungan fantasi dan representasi ini ada juga pendapat Humphrey Carpenter: “…Sisi lain dari menulis untuk anak… adalah representasi, dan dideskripsikan secara umum sebagai ‘fantasi’”. Walaupun tidak secara terbuka bersifat realistis dan dianggap tidak punya hubungan apa-apa dengan dunia ‘nyata’, dalam usaha menulis karya-karya fantasi ini ditemukan beberapa observasi mendalam tentang karakter manusia dan masyarakat masa kini dan (sering kali) tentang agama.” (1985)
Saya jadi teringat pada karakter masyarakat Inggris yang sering diasosiasikan dengan kelas sosial. Pertentangan kelas cenderung tampak sebagai bumbu atau bahkan isu utama dalam menyajikan fiksi karya-karya penulisnya. David Cannadine, Class in Britain, Penguin Books 2000, bilang begini: adalah diketahui secara luas, baik di Inggris sendiri maupun di luar negeri, bahwa orang Inggris sangat terobsesi dengan kelas dengan cara yang sama negara-negara lain terobsesi pada makanan, ras, seks, narkoba, atau alkohol. Biasanya kisah fiksi menampilkan kaum kelas bawah sebagai pahlawan yang meraih kemenangan sedangkan kelas atas sebagai penjahat dengan segala kesialannya, bahkan pada buku anak-anak.
Perhatian khusus pun saya berikan ketika membaca kembali buku-buku Harry Potter. Apakah ideologi pertentangan kelas juga ada di dalam karangan J.K. Rowling itu?
Dari sana, saya langsung melihat kontras yang jelas sekali pada tokoh-tokoh dalam buku Harry Potter. Harry digambarkan sebagai anak yatim-piatu, miskin (walau kemudian dia tahu dia punya simpanan yang lumayan di Bank Sihir Gringotts), dan merana hidup bersama keluarga Dursley. Sementara itu ada tokoh Draco Malfoy, musuhnya, yang berasal dari keluarga sihir tua yang terkenal berabad-abad, kaya, punya puri dan segala macam materi yang tidak dimiliki Harry Potter.
Kalau boleh berinterpretasi, Harry Potter seperti perwakilan kelas menengah yang harus berjuang dalam kehidupan sehari-harinya, sementara Draco Malfoy adalah representasi kelas atas/aristokrat yang selama hidupnya penuh dengan privileges, hak-hak istimewa karena keturunan, karena punya “darah murni”.
Teman-teman Harry di Griffindor punya ciri-ciri yang serupa dengan sang tokoh utama. Keluarga Weasley misalnya, dari berbagai ciri yang ditebarkan di mana-mana di dalam buku, tergambar jelas mereka adalah keluarga sederhana, serba pas-pasan, segala perlengkapan Ron selalu bekas kakak-kakaknya, mulai dari jubah, tongkat, dan buku. Hal ini kembali kontras dengan Malfoy yang begitu mudahnya mendapat sapu terbang baru hanya dengan meminta pada sang ayah.
Segala deskripsi sifat baik yang ditempelkan kepada kelas pekerja dan menengah (Harry Potter dan teman-temannya), tidak berhenti pada masalah ekonomi, bahkan hingga deskripsi fisik. Keluarga Weasley digambarkan berambut merah, wajah berbintik-bintik yang mencerminkan kehangatan. Sedangkan keluarga Malfoy digambarkan punya image dingin: wajah runcing pucat, mata berwarna abu-abu dingin, dan rambut pirang pucat.
Semua sifat buruk ada pada keluarga Malfoy, mulai dari sombong, selalu mau menang sendiri, egois, kejam terhadap budak (dilihat dari kasus Dobby si Peri Rumah pada buku HP2), sampai rasis (kebenciannya pada penyihir yang berdarah muggle) diungkapkan dengan jelas dalam setiap buku.
Sebenarnya segala keburukan yang dialami kelas atas ini bisa kita temui juga pada The Great Ghost Rescue dan Not Just A Witch-nya Eva Ibbotson, sang tokoh utama adalah anak miskin dan tokoh antagonis biasanya berasal dari kalangan orang kaya. Dalam buku pun berbagai komentar sarkastis terhadap gaya hidup orang kaya kerap dilontarkan Ibbotson melalui narasi. Tokoh jahat dalam di Great Ghost Rescue misalnya adalah seorang lord kaya berhati dingin yang berniat memusnahkan semua hantu di Inggris. Digambarkan Lord Bullhaven ini seorang konservatif, orang yang tidak menyukai semua yang berbeda, tidak bisa menerima apa pun yang agak aneh atau tidak biasa. Sedikit mengingatkan Anda pada keluarga Dursley, kan?
Sebagai kesimpulan, saya melihat ada ideologi nyata yang dibawa JK Rowling dalam buku-buku fantasi karyanya. Selain menempatkan dirinya sebagai anggota kelas menengah/bawah, dia juga menempatkan pembaca pada posisi yang sama, dan bersama-sama kita diajak “memerangi” dominasi kelas atas dan mewujudkan a classless society.
Dunia yang Bersentuhan
Apakah itu menciptakan dunia sendiri, seperti di The Chronicles of Narnia, Lord of the Rings, atau Eragon, atau menggabungkan dunia fantasi dengan dunia nyata masa kini, seperti Harry Potter dan Artemis Fowl karya Eowin Colfer, keduanya punya daya tarik sendiri.
Menariknya, bila kedua dunia digambarkan berdiri secara pararel, selalu diceritakan ada “gerbang/perisai” yang bisa membawa kita ke sana. Dalam Narnia, Lucy masuk ke lemari yang ternyata menghubungkan dunianya dengan tanah Narnia. Seorang teman bercerita, ini sempat membuatnya rajin membuka lemari karena berharap di belakang lemari dia juga ada dunia lain. Dalam Harry Potter ada dinding batu di belakang Bar Leaky Quadron yang bila diketuk dengan cara rahasia, akan terbuka dan menampilkan dunia sihir. Dalam Artemis Fowl, si tokoh utama mendapati bahwa sebenarnya di bawah tanah dunia kita ada dunia peri, namun ada perisai khusus yang membuat kita tidak bisa melihatnya.
Tapi di negeri mana pun kejadiannya, bagaimanapun bentuk dunianya, seaneh apa pun makhluk-makhluknya, kisah fantasi rasanya tetap tidak akan terpisahkan dari dunia nyata karena masalah-masalah yang diangkat menjadi konflik sebenarnya sama. Perang antara baik-jahat, cinta, kesombongan, keserakahan, dan sebagainya.
Daya Tarik Kisah Fantasi
Kesukaan saya terhadap cerita fantasi sebenarnya berasal dari rasa kagum. Kok bisa ya Pak Tolkien dan Pak CS Lewis begitu detailnya menciptakan dunia baru dengan makhluk-makhluk luar biasanya? Bagaimana Rowling bisa menyatukan sistem pemerintahan dunia kita dengan dunia sihir, lengkap dengan segala peraturan yang sering membuat Harry dan kawan-kawan sebal? Bagaimana Eowin Colfer bisa menggambarkan pasukan peri seperti pasukan SWAT-nya film-film Amerika?
Deskripsi mereka begitu mendetail sehingga kita bisa membayangkan dunia itu, bahkan seolah bisa benar-benar masuk ke dalamnya. Konflik-konflik yang mereka ciptakan pun begitu masuk akal, tidak mengada-ada. Misalnya kita bisa paham kenapa masalah kecil bisa jadi persiteruan besar antara elf dan dwarf dalam Lord of the Rings. Atau kenapa sebagian besar dwarf memihak Penyihir Putih dalam Narnia.
Lalu tentunya karena seru! Masalah klasik persiteruan antara baik dan jahat yang “biasa”, yang mungkin bila dimasukkan ke cerita nyata akan terasa kejam, entah bagaimana lebih indah dan menarik jika direpresentasikan menjadi peperangan antara mahluk-makhluk penghuni dunia fantasi yang ajaib.
CV singkat:
Editor fiksi di Gramedia Pustaka Utama (GPU), biasa mengedit buku anak-anak dan remaja. Saat ini juga menjadi redaktur Gramedia Junior, buletin informasi buku-buku baru anak dan remaja terbitan GPU.
Buku yang pernah diedit antara lain: 101 Dating: Jo dan Kas karangan Asma Nadia, Let’s Go Fatimah! karya Sri Izzati, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, berbagai judul TeenLit, serial Darren Shan, dsb. Saat ini sedang mengedit Kumcer Jempolankarya Sri Izzati.
Buku yang pernah diterjemahkan: karya Eva Ibbotson: The Great Ghost Rescue, Not Just a Witch, Haunting Hiram, beberapa TeenLit, dsb. Saat ini sedang menerjemahkan The Chronicles of Narnia bersama rekan.
http://www.ruangbaca.com/
Kalau ada yang bertanya kepada kita, sebenarnya buku fantasi itu apa sih, benak kita mungkin akan langsung menyusun jawaban yang terdiri atas kata-kata seperti: mustahil benar-benar terjadi, hasil khayalan tingkat tinggi, dunia lain di luar dunia “nyata”, dan sebagainya. Tapi justru keyakinan bahwa elemen-elemen magis dalam karya fantasi sangat berkaitan erat dengan realitalah yang membuat saya menulis skripsi saya (Analisis Wacana pada Sastra Anak: Ideologi J.K. Rowling dalam Dunia Sihir Harry Potter, 2001).
Walau sudah terbit sejak tahun 1997 di negeri asalnya, saya pertama kali mengenal Harry Potter pada tahun 2000. Setelah sekian lama tidak membaca sesuatu yang bisa membuat saya begitu bersemangat mengikuti cerita sampai akhir, J.K. Rowling menjawab kerinduan itu dengan Harry Potter dan Batu Bertuah, yang tak lama kemudian disusul Harry Potter dan Kamar Rahasia. Saking tersentuhnya, saya memutuskan menjadikan dua buku itu bahan penelitian.
Berhubung saya mengambil jurusan Komunikasi Massa, maka saya memperlakukan buku Harry Potter sebagai media massa. Dan kalau menurut Denis McQuail dalam Mass Communication Theory: an Introduction, media massa memiliki peran perantara (mediating) antara realita sosial yang objektif dengan pengalaman pribadi. Saya meneliti isi buku karya JK Rowling ini pun atas dasar keyakinan bahwa isi media merupakan dokumen sosial yang bisa menjadi bukti keadaan masyarakat dan kebudayaan di mana media tersebut dibuat, para produsen dan tujuan mereka, termasuk audiens yang dituju dan minat mereka.
Saya pun setuju dengan Charles W. Wright dalam Sosiologi Komunikasi Massa, yang mengatakan bahwa isi pesan media massa menarik untuk diteliti karena walau sehari-hari diterpa arus komunikasi, kita jarang termotivasi untuk menganalisis aspek-aspek berharga dari isi pesan secara sosiologis.
Ketika menyaksikan televisi untuk hiburan pribadi kita sendiri, misalnya, sebenarnya kita bisa mendapatkan berbagai informasi tentang representasi masyarakat. Kita tentu saja cenderung tidak akan terlalu memerhatikan atau menganalisis kelas sosial atau karakteristik pekerjaan dari para pahlawan, penjahat, di layar televisi. Padahal analisis ini dapat memberi kita perspektif yang diperlukan dan data penting yang akurat dan bersifat sosiologis.
Mendukung alasan Wright, Dennis McQuail juga berkata isi (content) media itu sebenarnya kumpulan data yang paling berisi dan mudah diakses yang bisa memberikan banyak petunjuk tentang masyarakat, dan kemudahan akses ini melewati batas waktu dan bahkan terkadang melewati batas negara. Isi media juga muncul dalam bentuk-bentuk yang kelihatan lebih konstan sejalan dengan waktu dibandingkan fenomena budaya lain. Karena alasan ini isi media dihargai ahli sejarah, sosiolog, dan antropolog.
Fakta dalam Fantasi
Teori dan metode di atas dapat diaplikasikan pada semua tipe isi (content), termasuk pada hiburan dan fiksi. Dalam fiksi, pengeks-presian dan komunikasi dapat dilakukan dengan baik melalui usaha meniru kejadian nyata, mengajukan kasus khusus, atau dengan menyediakan kekontrasan dari yang dianggap normal. Fiksi dapat menggunakan penemuan dan fantasi untuk berkomentar terhadap kenyataan melalui representasi.
Sejak lama tradisi buku fantasi pun sering dikaitkan dengan representasi. Sebenarnya genre ini mulai berkembang sejak abad ke-19 ketika The Water Babies (1863) karya Charles Kingsley dan Alice’s Adventures in Wonderland (1865) karya Lewis Carroll diterbitkan. Keduanya menyajikan dunia alternatif yang ditemukan secara tidak sengaja, kalau Tom dalam The Water Babies karena tercebur ke sungai, sedangkan Alice terperosok ke dalam lubang. Keduanya membuat tonggak kuat dalam genre fantasi dan menuai berbagai analisis/tulisan ilmiah.
Salah satu analisis yang ingin saya kutip adalah dari Leeson: “Fantasi membantu Alice menantang otoritas keluarga dengan menyajikan hewan, kartu-kartu hidup, bidak-bidak catur untuk mengambil posisi orang dewasa (1985).”
Dalam hal hubungan fantasi dan representasi ini ada juga pendapat Humphrey Carpenter: “…Sisi lain dari menulis untuk anak… adalah representasi, dan dideskripsikan secara umum sebagai ‘fantasi’”. Walaupun tidak secara terbuka bersifat realistis dan dianggap tidak punya hubungan apa-apa dengan dunia ‘nyata’, dalam usaha menulis karya-karya fantasi ini ditemukan beberapa observasi mendalam tentang karakter manusia dan masyarakat masa kini dan (sering kali) tentang agama.” (1985)
Saya jadi teringat pada karakter masyarakat Inggris yang sering diasosiasikan dengan kelas sosial. Pertentangan kelas cenderung tampak sebagai bumbu atau bahkan isu utama dalam menyajikan fiksi karya-karya penulisnya. David Cannadine, Class in Britain, Penguin Books 2000, bilang begini: adalah diketahui secara luas, baik di Inggris sendiri maupun di luar negeri, bahwa orang Inggris sangat terobsesi dengan kelas dengan cara yang sama negara-negara lain terobsesi pada makanan, ras, seks, narkoba, atau alkohol. Biasanya kisah fiksi menampilkan kaum kelas bawah sebagai pahlawan yang meraih kemenangan sedangkan kelas atas sebagai penjahat dengan segala kesialannya, bahkan pada buku anak-anak.
Perhatian khusus pun saya berikan ketika membaca kembali buku-buku Harry Potter. Apakah ideologi pertentangan kelas juga ada di dalam karangan J.K. Rowling itu?
Dari sana, saya langsung melihat kontras yang jelas sekali pada tokoh-tokoh dalam buku Harry Potter. Harry digambarkan sebagai anak yatim-piatu, miskin (walau kemudian dia tahu dia punya simpanan yang lumayan di Bank Sihir Gringotts), dan merana hidup bersama keluarga Dursley. Sementara itu ada tokoh Draco Malfoy, musuhnya, yang berasal dari keluarga sihir tua yang terkenal berabad-abad, kaya, punya puri dan segala macam materi yang tidak dimiliki Harry Potter.
Kalau boleh berinterpretasi, Harry Potter seperti perwakilan kelas menengah yang harus berjuang dalam kehidupan sehari-harinya, sementara Draco Malfoy adalah representasi kelas atas/aristokrat yang selama hidupnya penuh dengan privileges, hak-hak istimewa karena keturunan, karena punya “darah murni”.
Teman-teman Harry di Griffindor punya ciri-ciri yang serupa dengan sang tokoh utama. Keluarga Weasley misalnya, dari berbagai ciri yang ditebarkan di mana-mana di dalam buku, tergambar jelas mereka adalah keluarga sederhana, serba pas-pasan, segala perlengkapan Ron selalu bekas kakak-kakaknya, mulai dari jubah, tongkat, dan buku. Hal ini kembali kontras dengan Malfoy yang begitu mudahnya mendapat sapu terbang baru hanya dengan meminta pada sang ayah.
Segala deskripsi sifat baik yang ditempelkan kepada kelas pekerja dan menengah (Harry Potter dan teman-temannya), tidak berhenti pada masalah ekonomi, bahkan hingga deskripsi fisik. Keluarga Weasley digambarkan berambut merah, wajah berbintik-bintik yang mencerminkan kehangatan. Sedangkan keluarga Malfoy digambarkan punya image dingin: wajah runcing pucat, mata berwarna abu-abu dingin, dan rambut pirang pucat.
Semua sifat buruk ada pada keluarga Malfoy, mulai dari sombong, selalu mau menang sendiri, egois, kejam terhadap budak (dilihat dari kasus Dobby si Peri Rumah pada buku HP2), sampai rasis (kebenciannya pada penyihir yang berdarah muggle) diungkapkan dengan jelas dalam setiap buku.
Sebenarnya segala keburukan yang dialami kelas atas ini bisa kita temui juga pada The Great Ghost Rescue dan Not Just A Witch-nya Eva Ibbotson, sang tokoh utama adalah anak miskin dan tokoh antagonis biasanya berasal dari kalangan orang kaya. Dalam buku pun berbagai komentar sarkastis terhadap gaya hidup orang kaya kerap dilontarkan Ibbotson melalui narasi. Tokoh jahat dalam di Great Ghost Rescue misalnya adalah seorang lord kaya berhati dingin yang berniat memusnahkan semua hantu di Inggris. Digambarkan Lord Bullhaven ini seorang konservatif, orang yang tidak menyukai semua yang berbeda, tidak bisa menerima apa pun yang agak aneh atau tidak biasa. Sedikit mengingatkan Anda pada keluarga Dursley, kan?
Sebagai kesimpulan, saya melihat ada ideologi nyata yang dibawa JK Rowling dalam buku-buku fantasi karyanya. Selain menempatkan dirinya sebagai anggota kelas menengah/bawah, dia juga menempatkan pembaca pada posisi yang sama, dan bersama-sama kita diajak “memerangi” dominasi kelas atas dan mewujudkan a classless society.
Dunia yang Bersentuhan
Apakah itu menciptakan dunia sendiri, seperti di The Chronicles of Narnia, Lord of the Rings, atau Eragon, atau menggabungkan dunia fantasi dengan dunia nyata masa kini, seperti Harry Potter dan Artemis Fowl karya Eowin Colfer, keduanya punya daya tarik sendiri.
Menariknya, bila kedua dunia digambarkan berdiri secara pararel, selalu diceritakan ada “gerbang/perisai” yang bisa membawa kita ke sana. Dalam Narnia, Lucy masuk ke lemari yang ternyata menghubungkan dunianya dengan tanah Narnia. Seorang teman bercerita, ini sempat membuatnya rajin membuka lemari karena berharap di belakang lemari dia juga ada dunia lain. Dalam Harry Potter ada dinding batu di belakang Bar Leaky Quadron yang bila diketuk dengan cara rahasia, akan terbuka dan menampilkan dunia sihir. Dalam Artemis Fowl, si tokoh utama mendapati bahwa sebenarnya di bawah tanah dunia kita ada dunia peri, namun ada perisai khusus yang membuat kita tidak bisa melihatnya.
Tapi di negeri mana pun kejadiannya, bagaimanapun bentuk dunianya, seaneh apa pun makhluk-makhluknya, kisah fantasi rasanya tetap tidak akan terpisahkan dari dunia nyata karena masalah-masalah yang diangkat menjadi konflik sebenarnya sama. Perang antara baik-jahat, cinta, kesombongan, keserakahan, dan sebagainya.
Daya Tarik Kisah Fantasi
Kesukaan saya terhadap cerita fantasi sebenarnya berasal dari rasa kagum. Kok bisa ya Pak Tolkien dan Pak CS Lewis begitu detailnya menciptakan dunia baru dengan makhluk-makhluk luar biasanya? Bagaimana Rowling bisa menyatukan sistem pemerintahan dunia kita dengan dunia sihir, lengkap dengan segala peraturan yang sering membuat Harry dan kawan-kawan sebal? Bagaimana Eowin Colfer bisa menggambarkan pasukan peri seperti pasukan SWAT-nya film-film Amerika?
Deskripsi mereka begitu mendetail sehingga kita bisa membayangkan dunia itu, bahkan seolah bisa benar-benar masuk ke dalamnya. Konflik-konflik yang mereka ciptakan pun begitu masuk akal, tidak mengada-ada. Misalnya kita bisa paham kenapa masalah kecil bisa jadi persiteruan besar antara elf dan dwarf dalam Lord of the Rings. Atau kenapa sebagian besar dwarf memihak Penyihir Putih dalam Narnia.
Lalu tentunya karena seru! Masalah klasik persiteruan antara baik dan jahat yang “biasa”, yang mungkin bila dimasukkan ke cerita nyata akan terasa kejam, entah bagaimana lebih indah dan menarik jika direpresentasikan menjadi peperangan antara mahluk-makhluk penghuni dunia fantasi yang ajaib.
CV singkat:
Editor fiksi di Gramedia Pustaka Utama (GPU), biasa mengedit buku anak-anak dan remaja. Saat ini juga menjadi redaktur Gramedia Junior, buletin informasi buku-buku baru anak dan remaja terbitan GPU.
Buku yang pernah diedit antara lain: 101 Dating: Jo dan Kas karangan Asma Nadia, Let’s Go Fatimah! karya Sri Izzati, Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, berbagai judul TeenLit, serial Darren Shan, dsb. Saat ini sedang mengedit Kumcer Jempolankarya Sri Izzati.
Buku yang pernah diterjemahkan: karya Eva Ibbotson: The Great Ghost Rescue, Not Just a Witch, Haunting Hiram, beberapa TeenLit, dsb. Saat ini sedang menerjemahkan The Chronicles of Narnia bersama rekan.
Masa Depan Sastra (oleh) Perempuan
Kingkin Puput Kinanti
http://www.surya.co.id/
Saat ini dunia sastra booming dengan karya-karya berbau feminisme. Dapat dilihat di toko-toko buku berjejer nama-nama pengarang perempuan yang telah melahirkan karya sastra yang fenomenal dan spektakuler.
Sebut saja Ayu Utami yang telah berhasil menerobos pakem-pakem dalam karya sastra klasik. Keberaniannya mengangkat tema yang dianggap tabu dan diungkapkan dengan bahasa yang lugas dan menantang, menyebabkan Ayu Utami mendapat sanjungan sekaligus cacian. Ada beberapa kalangan yang kurang setuju dengan apa yang disampaikan Ayu lewat karyanya.
Ada anggapan, sisi seksualitas yang ditonjolkan Ayu Utami akan mencemari dunia sastra. Namun ada pula yang memberikan dua jempol pada Ayu lantaran kekhasan karyanya yang ditampilkan secara apa adanya. Berbeda dengan Ayu Utami, Dewi Lestari lihai mengombinasikan antara sastra dan ilmu pengetahuan.
Dewi Lestari lewat “Supernova”nya berhasil menyedot perhatian masyarakat dengan karya yang unik. Agaknya ia termasuk perempuan yang cerdas. Selain dua perempuan tadi, masih banyak penulis perempuan yang telah menyemarakkan dunia sastra kita.
Sebenarnya, penulis perempuan dalam dunia sastra sudah menampakkan keeksisannya sejak dahulu, yaitu setelah tahun 1930. Bahkan dibilang nama-nama penulis perempuan telah melimpah ruah. Hal ini wajar jika melihat kecenderungan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kaum perempuan sangat senang bercerita kepada anak-anaknya sebelum tidur. Kaum perempuan yang kebanyakan berprofesi sebagai ibu rumah tangga, juga gemar membaca. Hal tersebut menjadikan kaum perempuan tidak mengalami kesulitan untuk menulis. Bahkan bisa dibilang kegiatan tulis-menulis bagi perempuan adalah kegiatan yang sangat erat dan dekat.
Pada mulanya, tulisan dari penulis perempuan adalah cerita-cerita yang sederhana. Tema percintaan banyak mereka pilih dalam menghasilkan karya. Pokok persoalan yang sederhana dan plot cerita yang datar menjadi pilihan mereka. Namun, seiring perkembangan zaman dan pemikiran manusia, tulisan penulis perempuan berkembang.
Penulis perempuan semakin kritis menanggapi fenomena yang terjadi di masyarakat. Tulisan bertema protes sosial menjadi pilihan yang menarik bagi mereka. Kecenderungan ini diakibatkan oleh semakin majunya tingkat kecerdasan kaum perempuan. Bahkan sastrawan Sapardi Djoko Damono mengatakan, masa depan novel dan cerpen Indonesia akan ditentukan oleh kaum perempuan.
Rasa kesepian, keterpurukan, penderitaan membuat perempuan semakin kaya dengan imajiansi. Ada beberapa pengakuan bahwa keterpinggiran perempuan di dalam masyarakat menyebabkan mereka harus mengungkapkan realita yang ada. Pada akhirnya, perempuan menulis dan berkarya untuk menunjukkan keeksisan mereka yang tidak hanya pandai di dapur, tetapi juga lihai mengolah kata dalam karya.
*) Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang.
http://www.surya.co.id/
Saat ini dunia sastra booming dengan karya-karya berbau feminisme. Dapat dilihat di toko-toko buku berjejer nama-nama pengarang perempuan yang telah melahirkan karya sastra yang fenomenal dan spektakuler.
Sebut saja Ayu Utami yang telah berhasil menerobos pakem-pakem dalam karya sastra klasik. Keberaniannya mengangkat tema yang dianggap tabu dan diungkapkan dengan bahasa yang lugas dan menantang, menyebabkan Ayu Utami mendapat sanjungan sekaligus cacian. Ada beberapa kalangan yang kurang setuju dengan apa yang disampaikan Ayu lewat karyanya.
Ada anggapan, sisi seksualitas yang ditonjolkan Ayu Utami akan mencemari dunia sastra. Namun ada pula yang memberikan dua jempol pada Ayu lantaran kekhasan karyanya yang ditampilkan secara apa adanya. Berbeda dengan Ayu Utami, Dewi Lestari lihai mengombinasikan antara sastra dan ilmu pengetahuan.
Dewi Lestari lewat “Supernova”nya berhasil menyedot perhatian masyarakat dengan karya yang unik. Agaknya ia termasuk perempuan yang cerdas. Selain dua perempuan tadi, masih banyak penulis perempuan yang telah menyemarakkan dunia sastra kita.
Sebenarnya, penulis perempuan dalam dunia sastra sudah menampakkan keeksisannya sejak dahulu, yaitu setelah tahun 1930. Bahkan dibilang nama-nama penulis perempuan telah melimpah ruah. Hal ini wajar jika melihat kecenderungan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari.
Kaum perempuan sangat senang bercerita kepada anak-anaknya sebelum tidur. Kaum perempuan yang kebanyakan berprofesi sebagai ibu rumah tangga, juga gemar membaca. Hal tersebut menjadikan kaum perempuan tidak mengalami kesulitan untuk menulis. Bahkan bisa dibilang kegiatan tulis-menulis bagi perempuan adalah kegiatan yang sangat erat dan dekat.
Pada mulanya, tulisan dari penulis perempuan adalah cerita-cerita yang sederhana. Tema percintaan banyak mereka pilih dalam menghasilkan karya. Pokok persoalan yang sederhana dan plot cerita yang datar menjadi pilihan mereka. Namun, seiring perkembangan zaman dan pemikiran manusia, tulisan penulis perempuan berkembang.
Penulis perempuan semakin kritis menanggapi fenomena yang terjadi di masyarakat. Tulisan bertema protes sosial menjadi pilihan yang menarik bagi mereka. Kecenderungan ini diakibatkan oleh semakin majunya tingkat kecerdasan kaum perempuan. Bahkan sastrawan Sapardi Djoko Damono mengatakan, masa depan novel dan cerpen Indonesia akan ditentukan oleh kaum perempuan.
Rasa kesepian, keterpurukan, penderitaan membuat perempuan semakin kaya dengan imajiansi. Ada beberapa pengakuan bahwa keterpinggiran perempuan di dalam masyarakat menyebabkan mereka harus mengungkapkan realita yang ada. Pada akhirnya, perempuan menulis dan berkarya untuk menunjukkan keeksisan mereka yang tidak hanya pandai di dapur, tetapi juga lihai mengolah kata dalam karya.
*) Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang.
Mencari Bangsa di Dalam Sastra
Manneke Budiman
pikiran-rakyat.com
Dalam berbagai diskusi dan perdebatan tentang sastra dan kebangsaan, kerap terbentuk opini atau kesan bahwa dalam khazanah sastra Indonesia modern, novel-novel Pramoedya Ananta Toer adalah contoh terbaik sekaligus klasik karya sastra yang berbicara tentang kebangsaan. Lebih jauh lagi, “derajat” kebangsaan karya-karya lain yang lahir pasca-Pram pun diukur dengan tetralogi Pram untuk dinilai kekentalan minat kebangsaannya.
pikiran-rakyat.com
Dalam berbagai diskusi dan perdebatan tentang sastra dan kebangsaan, kerap terbentuk opini atau kesan bahwa dalam khazanah sastra Indonesia modern, novel-novel Pramoedya Ananta Toer adalah contoh terbaik sekaligus klasik karya sastra yang berbicara tentang kebangsaan. Lebih jauh lagi, “derajat” kebangsaan karya-karya lain yang lahir pasca-Pram pun diukur dengan tetralogi Pram untuk dinilai kekentalan minat kebangsaannya.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati