Pewawancara: Luky Setyarini
http://www.ruangbaca.com/
Ketika Revolusi Budaya dilancarkan di Cina antara 1966-1976, ada sekelompok penyair yang karena gaya puisinya yang sulit dipahami, seperti berkabut, disebut sebagai Misty Poets. Salah satu dari para penyair kritis yang aktif menulis di majalah Jintian (Today) itu adalah Yang Lian.
Lahir di Swiss pada 1955, ayah Yang seorang diplomat. Ketika keluarganya pulang kampung, Yang muda dikirim ke pedesaan Changping dekat Beijing, untuk mengikuti program reedukasi. Seorang putra diplomat yang berpendidikan tinggi memang diwajibkan belajar dari petani. Metode ini digunakan di masa Mao Zedong pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Selama tinggal di pedesaan, Yang mulai menulis puisi.
Sekembalinya ke Beijing, Yang bekerja di stasiun pemancar radio pemerintah. Pada 1979, Yang bergabung dengan kelompok penyair yang menulis untuk Jintian. Gaya puisi pria berusia 54 tahun ini berubah menjadi modern, eksperimental, yang jamak dipraktekkan para penyair Misty Poets. Pada 1983, karyanya berjudul Norlang (nama suatu air terjun di Tibet) membuat gusar pemerintah Cina. Surat penangkapan untuk Yang dikeluarkan, namun Yang berhasil lolos.
Ketika militer Cina menumpas demonstrasi di Lapangan Tiananmen dengan kekerasan –dikenal sebagai Peristiwa 4 Juni 1989 — Yang berada di Selandia Baru dan ikut menggelar aksi protes terhadap kekerasan oleh pemerintah Cina. Karya-karyanya kemudian dilarang beredar di Cina, termasuk dua calon buku yang akan diterbitkan waktu itu. Tak lama kemudian, kewarganegaraannya pun dicabut dan dia memohon suaka di Selandia Baru. Pada 2008, dia terpilih sebagai salah satu anggota Dewan PEN Internasional, perhimpunan penyair, esais, dan novelis. Sejak 1993, dia bermukim di London.
Pada pertengahan Oktober lalu, Yang hadir di Pameran Buku Frankfurt. Reporter Tempo Luky Setyarini berkesempatan mewawancarainya. Berikut petikannya.
Kenapa Anda hadir di pameran ini?
Titik perhatian dari pameran ini adalah seluruhnya mengenai Cina, tentang sastranya, politiknya. Dalam hal ini, membawa Cina menjadi fokus masyarakat internasional. Karena itu, diskusinya mengenai apa pun, politiknya, atau sastra, linguistik. Saya pikir ini sangat penting bagi pernyataan mengenai perubahan Cina dari versi lama era Perang Dingin hingga bergerak menjadi — yang saya harap –sedikit menjadi versi baru. Makanya saya tertarik untuk datang.
Pemerintah Cina juga hadir. Anda tidak merasa khawatir, takut, atau terancam dengan melontarkan pendapat Anda?
Tidak. Saya memang sudah beberapa kali ke Cina. Namun setelah peristiwa Tiananmen saya tidak pernah kembali menjadi bagian dari Republik Rakyat Cina. Pertama kali saya kembali ke Cina pada 1995, ketika saya mengganti kewarganegaraan Selandia Baru. Cina menjadi negara asing bagi saya, tapi saya menulis dalam bahasa ibu. Saya tidak mengakui badan politiknya, tapi saya mengakui bahasa dan tradisinya. Ya, saya tahu mereka di sini. Lalu mengapa? Mereka ada di mana saja.
Cina saat ini ibarat memiliki wajah ganda. Satu wajah kapitalis, satu lagi komunis. Menurut Anda?
Istilah yang tepat adalah Cina merupakan komunis terburuk dan kapitalis terburuk. Inilah yang paling tepat untuk menggambarkan Cina, karena saya dapat kembali ke Cina dan melihat Cina dari dalam, sejauh ini. Ada beberapa bagian, seperti menteri propaganda, yang menjadi mitra langsung penyelenggara Pameran Buku Frankfurt. Mereka adalah bagian dari Cina dan pemerintah Cina yang paling, paling buruk. Mereka tidak membawa tanggung jawab yang nyata ke dunia nyata. Mereka hanya bertanggung jawab supaya mesin ideologi tetap berfungsi, bertanggung jawab hanya terhadap pemimpin mereka, dan tidak terhadap rakyat.
Banyak penulis dan seniman Cina dipenjara karena pemikiran vokal dan bebas mereka. Bagaimana menurut Anda?
Memang, sayang sekali. Sekali lagi, secara linguistik, ini merupakan bagian terburuk dari yang terburuk dari Cina, yaitu sensor tegas terhadap pendapat dan pemikiran bebas, dan mereka sangat takut terhadap kata-kata. Di titik ini, tidak disangkal lagi, kita harus berjuang demi pembebasan para penulis itu. Kita harus berbicara untuk mereka, kita harus berjuang sebisa mungkin untuk mereka. Makanya, ketika tahun lalu saya dipilih menjadi anggota Dewan PEN Internasional, saya juga mendorong perubahan di lapisan lain, tapi fokusnya terutama pada para penulis yang ditahan. Kami mempublikasikan daftar penulis yang berada di penjara ke hadapan internasional. Ini merupakan hal yang menyedihkan.
Anda kan dapat mengunjungi Cina. Bisa diceritakan bagaimana situasi kesusastraannya saat ini?
Inilah masalah terbesarnya. Karena kontrol politik dan sensor di satu sisi, dan pasar yang sangat besar di sisi lain, para penulis yang sebenarnya pemikir independen ditekan dari dua sisi, kekuasaan dan uang.
Jadi, ada dua kemungkinan. Pertama, penulis menjadi seseorang yang punya pemikiran kuat, memiliki pemahaman yang jernih mengenai dirinya, tulisan apa yang ingin dibuat, makanya peganglah prinsip itu, jangan peduli akan dipublikasikan atau tidak, penulis itu akan menjelma dengan jiwa tradisi klasik yang luar biasa dan menjadi penulis besar internasional.
Tapi, sayangnya, hanya sedikit penulis Cina yang ingin melakukannya. Sebagian besar lebih suka menjadi pemain, terikat pada pohon sensor, tapi bergegas ke pihak komersial dan menulis hal seperti makanan instan, seperti McDonald’s. Karena mereka ingin menulis hari ini, menjualnya besok, dan mendapat banyak uang besok lusanya. Dalam kasus ini, pasar bukanlah pasar yang sebenarnya. Ini sebenarnya pasar yang tidak sehat dengan kontrol ideologi.
Saya sudah membaca puisi Anda dan saya pikir karya Anda tidak ’berbahaya’. Apakah puisi Anda masih dilarang diterbitkan di Cina?
Puisi punya gerakan yang menarik. Kami untungnya menulis puisi yang tak mudah dipahami. Sejak kami mulai menulis, sejak kami meninggalkan dunia yang besar dan palsu seperti sosialisme, kapitalisme, kami menggunakan bahasa yang murni dan klasik, serta menggunakan matahari, bulan, air, kegelapan, kehidupan, ajal. Makanya, puisi-puisi kami disebut misty poems atau puisi yang diselubungi kabut. Karena, itu tadi, puisi kami tidak mudah dipahami, dan diasosiasikan dengan slogan politik.
Jadi, puisi-puisi kami tak hanya bercerita mengenai perlawanan terhadap propaganda politik, tapi juga menunjukkan hasrat puitis, melalui bahasa, juga mempertanyakan diri sendiri sedalam mungkin. Makanya tidak hanya mengenai hitam dan putih, tapi penuh dengan kompleksitas, kekayaan, perasaan diri yang kontradiktif, tapi pada akhirnya bentuk yang kreatif.
Pada dasawarsa 1980-an, ketika gerakan politik dibungkam, karya saya dilarang, lalu ketika demonstrasi Tiananmenn dirusak, buku-buku dimusnahkan. Itu bukan karena mereka memahami puisi saya. Mereka melarang karya saya, bukan karena puisinya, tapi mereka ingin menghancurkan saya. Jadi, sebetulnya, sang penyairlah alasannya. Jadi, puisi mati mengatasnamakan penyairnya.
Sekarang, ketika seluruh Cina menjadi komersial, masalahnya bukan lagi sensor dan melarang puisi karena politis. Puisi itu sendiri disensor secara komersial, alasan komersial. Para penerbit hampir begitu saja berhenti mencetak puisi apa pun. Karena tidak menjual. Karena itu bukanlah bisnis budaya, melainkan sekedar bisnis. Mereka tidak peduli pada gelombang budaya. Sangat menyedihkan bagi Cina, negara yang memiliki tradisi besar dalam puisi klasik. Tapi saya tetap melanjutkan menulis puisi. Tak peduli apa mereka mau menerbitkannya atau tidak, atau mereka bilang bagus atau tidak. Saya pikir, puisi itu sangat penting bagi saya sendiri.
Anda tinggal di London, Anda juga berkeliling dunia. Apakah Anda merasa bagian dari masyarakat penulis dan seniman dunia?
London adalah tempat pertemuan yang besar. Bukan karena begitu banyaknya komunitas, tapi sebenarnya karena kedalaman, sejarah, dan tradisi Inggris Raya itu sendiri sebagai lapangan pemikiran terbuka. Namun saya tidak menempatkan diri saya dalam panggung besar itu. Saya juga menciptakan London versi sendiri. Buku yang Anda miliki, Lee Valley Poems, adalah puisi-puisi London versi saya. Ini bukanlah puisipuisi London, tapi puisi-puisi London kepunyaan Yang Lian. Lee Valley adalah lembah dekat rumah saya di London, tempat saya jalan-jalan.
Apakah dengan begitu, London menjadi kampung halaman Anda? Atau masihkah Cina menjadi kampung halaman Anda? Ataukah dunia adalah tanah air Anda?
Puisi adalah kampung halaman saya. Itulah yang selalu saya gapai melalui pemikiran kaya saya. Itu tidak dibatasi oleh batas negara, abadi dan tanpa batas.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar