Sabtu, 24 Juli 2021

Senapan

AS. Sumbawi
 
Sejujurnya, barangkali kita akan membawa lari ketakukan kita saat mengetahui seseorang berdiri di pinggir jalan dengan membawa senapan yang siap mengambil nyawa manusia. Apalagi dandanan seorang itu begitu menyeramkan. Bermata tajam elang yang memburu mangsa dan bertubuh besar seperti raksasa.
 
Kemudian setelah berada dalam radius yang aman darinya, barangkali juga sebagian di antara kita ada yang menelepon atau datang langsung ke kantor polisi guna melaporkan bahwa ada seorang gila yang membikin kerusuhan di tempat umum. Melanggar hukum dan meresahkan masyarakat. Lantas buru-buru raungan sirine menembus gendang telinga, mengabarkan bahwa sekompi petugas segera datang demi menenangkan keadaan. Memang, sebagai pelayan masyarakat sudah seharusnya seperti itu.
 
Akan tetapi, keadaan sebenarnya tidak seperti itu. Orang-orang bersikap biasa saja menanggapi keberadaan raksasa bersenjata senapan yang siap mengambil nyawa manusia itu. Mereka lewat di depannya tanpa terganggu dengan keberadaannya. Mungkin hanya orang-orang yang belum pernah melihatnya saja yang memberikan tatapan dengan tanda tanya. Misalnya, orang-orang yang dalam perjalanan dari luar kota yang tengah menaiki kendaraan pribadi atau kendaraan umum yang melintasi jalanan di depannya, dan menaiki gerbong-gerbong kereta api yang melaju dengan bertumpu pada rel yang terpasang di belakangnya. Hal ini membuktikan bahwa kenyataannya, sekarang ini kehidupan kita telah benar-benar aman, tentram, dan damai. Atau mungkin juga, kehidupan telah membikin kita menjadi acuh tak acuh. Namun yang lebih melegakan hati, adalah seorang yang bersenjata senapan dan bertubuh raksasa itu hanyalah sebuah patung yang berdiri di jantung kota kabupaten ini.
 
Dulu ketika masih kecil, saya pernah bertanya kepada ayah setelah mengetahui keberadaan patung itu yang berdiri tak jauh dari rumah kami.
 
“Dia seorang pahlawan. Namanya Surendra. Dia berjuang dengan gagah berani memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini dari penjajah Belanda dan Jepang,” ayah diam sejenak. “Makanya, kita harus menghargai jasa-jasa para pahlawan yang gugur demi bangsa dan negara. Juga berjuang mengisi kemerdekaan dengan sebaik-baiknya. Membangun bangsa dan negara.”
“Bukankah setiap hari senin di sekolah, kamu mengikuti upacara?”
“Iya.”
“Ikutilah dengan sungguh-sungguh. Mengingat perjuangan para pahlawan. Dan mendoakan mereka. Termasuk Surendra.”
*
 
Setelah lulus sekolah dasar, setiap hari, kecuali hari libur saya selalu mengawasi patung Surendra. Maklumlah, untuk mencapai sekolahan SMP, saya harus menyusuri jalan berkerikil yang ada di sebelah kanan patung tersebut. Di saat seperti itu, pikiran saya mencoba membayangkan begitu besar perjuangannya. Kepahlawanannya. Sehingga di kota ini mesti dibangun patung dirinya. Monumen.
 
Suatu hari dalam pelajaran sejarah, seorang guru menyuruh saya untuk menyebutkan beberapa nama pahlawan nasional. Kemudian saya menjawabnya dengan lancar. Guru tersebut tersenyum bangga dengan jawaban saya.
“… dan Surendra,” jawab saya.
 
Tiba-tiba seluruh kelas tersentak memandang saya. Begitu juga guru sejarah itu. Beberapa teman tertawa mendengar saya menyebut nama patung tersebut.
 
“Mohon tenang,” katanya kemudian menatap saya.
“Dia bukan pahlawan nasional, Nalia. Memang Surendra adalah pejuang bangsa. Akan tetapi, dia bukan termasuk pahlawan nasional.
“Kenapa, Bu Guru? Bukankah dia seorang pahlawan besar?! Karenanya di kota ini didirikan patung dirinya. Dan siapa sebenarnya yang menentukan masuk atau tidaknya seseorang sebagai pahlawan nasional?”
“Nalia. Memang dia seorang pahlawan negeri ini. Pejuang kemerdekaan yang gagah berani. Namun, Surendra hanya dikenal di kota ini saja. Tidak meluas secara nasional. Barangkali karena itu, dia tidak termasuk pahlawan nasional.”
 
Saya diam. Hanya diam hingga pelajaran sejarah selesai. Namun, dalam hati saya belum sepenuhnya bisa menerima perkataan guru sejarah itu. Sementara beberapa teman laki-laki yang kerap mengganggu saya, menjadikan Surendra sebagai bahan olok-olok.
 
“Nalia. Apa dia itu kakek-buyutmu?” kata Nurel yang disambut dengan tawa oleh anggota gengnya itu.
Saya mencoba tak menghiraukan mereka.
“Lantas kalau tidak, buat apa kau bela seperti itu?”
Saya hanya diam.
“Ee, teman-teman. Jangan-jangan Nalia nggak naksir sama kita-kita sebab dia mencintai Surendra,” kata Haris yang kembali membikin mereka tertawa.
“Jancuk,” umpat Saya. Mereka terdiam, lantas serentak tertawa kembali. Barangkali karena saya yang tak pernah misuh, sehingga kata yang saya umpatkan terdengar lucu.
 
Sementara teman-teman yang lain hanya tersenyum kepada saya.
Sebentar terdengar olok-olok dari mereka:
“Nalia misuh, Nalia misuh….Nalia naksir patung…”
 
Sejak saat itu, perasaan saya tambah dekat dengan Surendra. Meskipun saat itu pula, saya pertama kali mengucapkan kata kotor: jancuk! Saya tak rela pahlawan besar itu dijadikan bahan olok-olok.
 
Dan diam-diam dalam hati saya berkata, kalau sudah besar nanti, saya ingin mempunyai suami seperti Surendra. Tidak seperti Nurel, Haris, dan anggota gengnya yang suka mengganggu itu.
*
 
Ketika SMU, perasaan saya masih dekat dengan patung pahlawan besar itu. Setiap hari, kecuali hari libur, saya selalu mengawasinya ketika berangkat sekolah. Yah, sungguh gagahnya. Dengan celana dilipat sebetis, kaos polos, senapan, dan ikat kepala, tegak berdiri dipayungi langit yang cerah, pikir saya.
 
Dalam keseharian seperti itu, tiba-tiba terbersit di benak saya untuk mengetahui siapa sebenarnya Surendra. Kapan dan di mana dia lahir dan wafat? Bagaimana sejarah hidupnya? Perjuangannya?
 
Kemudian dalam beberapa kesempatan, saya berkunjung ke perpustakaan kabupaten untuk mencari literatur tentang Surendra setelah di perpustakaan sekolah saya tidak mendapatkannya. Akan tetapi sampai berkali-kali kunjungan, saya tak juga mendapatkannya. –Hingga kini, yang saya tahu tentang dirinya hanyalah seperti kata ayah ketika saya kecil dulu—.
 
Sore yang cerah itu saya mengawasi patung Surendra sekali lagi. Sementara siang tadi saya menyudahi kunjungan ke perpustakaan kabupaten. Saya putus asa.
Saat mengawasinya itu, dalam benak saya mengatakan bahwa dia tidak hanya gagah, tetapi juga tampan.
 
Dalam hidupmu, selain berjuang mengusir penjajah, apa kau pernah menikah? Punya keturunan? Kalau saja aku hidup pada saat kau masih hidup, sungguh bahagianya diriku, bila kau menjadikan aku sebagai istrimu, pikir saya kepada patung itu.
 
“Hei, Nalia…”
Saya tersentak. Saya lihat Lisa tersenyum, mendekat dengan sepeda motornya.
“Jangan-jangan benar apa yang dikatakan Haris waktu SMP dulu, bahwa kamu naksir dia…” katanya melirik ke patung itu.
“Sialan,” kata saya tersenyum. Yah. Dulu, saya dan Lisa teman sekelas di SMP. Namun sekarang, kami beda SMU. Begitu juga dengan Nurel dan Haris.
Kami kemudian bercakap-cakap.
*
 
Malam itu malam musim penghujan. Di pelataran langit, rembulan disaput awan. Tidak jauh di sebelah timurnya, kilatan petir keperakan membelah awan. Sementara di lokasi patung itu, hanya tiga pasangan muda-mudi duduk di sana.
 
Memang, sejak beberapa tahun terakhir ini, lokasi patung itu dijadikan sebagai tempat memadu kasih. Saya kerap menemukan mereka ketika pulang dari kegiatan kampus. Apalagi kalau malam minggu, wah, ramai sekali. Para pedagang kaki lima pun tak mau melewatkan kesempatan untuk mengais rejeki di sana. Begitu juga dengan umbul-umbul iklan produk rokok yang terpasang di kanan-kirinya.
 
Dan malam itu, sungguh saya bahagia. Seorang yang diam-diam saya rindukan beberapa bulan terakhir ini mengungkapkan perasaan cintanya kepada saya.
“Aku juga mencintaimu,” kata saya memberi jawaban.
Kami tersenyum berpegangan tangan.
 
Sebentar langit meneteskan gerimis. Kami beranjak dan siap-siap pergi. Begitu juga dengan dua pasangan muda-mudi itu. Kemudian dia membawa saya dengan sepeda motornya. Meninggalkan patung itu dengan kesepian sejarahnya. Masa lalu yang senyap.
 
Aku mengeratkan pelukan ke tubuh Haris ketika angin mendera dan terasa begitu dingin.
 
2006

http://sastra-indonesia.com/2008/11/senapan/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati