Senin, 19 Juli 2021

Cerpen, Dialog, Naratif

Asarpin
lampungpost.com
 
Suatu hari saya ditanya oleh seorang teman yang kebetulan merasa mengikuti perkembangan cerpen kita. Katanya: apakah yang membedakan cerpen dengan naskah drama? Saya jawab: tidak ada bedanya, dan banyak cerpen itu berupa drama dan drama itu berupa cerpen.
 
Tentu saja teman saya itu tak puas dengan jawaban itu. Ia tetap penasaran. Lalu, setelah sejenak berpikir, ia pun mengajukan pertanyaan yang lain lagi: Apa perbedaan antara cerpen yang selama ini dimuat di Kompas dengan cerpen yang dimuat di Koran Tempo?
 
Terus terang saya tak berhak menjawab pertanyaan semacam itu. Selain harus membutuhkan penelitian serius, sementara tak ada ruang di sini untuk memaparkan secara panjang-lebar persoalan itu. Tapi kalau mau dipaksakan untuk dijawab, maka perbedaan cerpen yang terbit di dua media nasional itu, adalah:
 
Pertama, cerpen di Kompas banyak dialog, sedanngkan di Koran Tempo jarang dialog, atau hanya naratif. Kedua, cerpen Kompas realis, sedangkan cerpen Koran Tempo tidak.
 
Tentu saja jawaban saya itu tak bisa dipertanggungjawabkan. Tapi saya kira, sebagian besar orang melihat perbedaan yang sama, di samping perbedaan yang lain. Saya cukup sering mengikuti cerpen yang dimuat di dua harian nasional itu, dan tentu saja saya pernah mendengar kritikus sastra mengungkapkan kecenderungan tema dan gaya cerpen yang dimuat di kedua media itu.
 
Jawaban itu tak perlu dianggap sebagai kesimpulan ilmiah. Ia hanya generalisasi berdasarkan gejala luar yang tampak menonjol. Dan bukan soal ini yang ingin saya bicarakan. Sebab, seperti sudah banyak diketahui, cerpen yang banyak menampilkan dialog dengan yang monolog atau naratif sama-sama punya peluang sebagai cerpen yang baik atau jelek. Nilai sebuah cerpen tidak diukur dengan itu.
 
Seorang bijak di bidang penulisan cerpen pernah bersaran: sekarang ini dirasakan perlu adanya porsi yang seimbang antara cerpen yang menampilkan dialog dengan cerpen tanpa dialog. Terlalu banyak menekankan dialog tentu saja bisa menjadi cerpen yang cengeng dan terasa ringan, dan minus dialog bisa menjadi serius dan lambat.
 
Jarang ada cerpenis yang lihai dan piawai membangun dialog. Banyak dialog dalam cerpen yang ternyata lemah. Hanya beberapa pengarang yang berhasil menampilkan dialog yang cerdas dan mengejutkan, seperti Umar Kayam, Sutardji, dan Seno. Selebihnya gagal. Dialog yang dibuat justru membuat cerita kehilangan nyawa dan karakter menjadi lemah.
 
Sementara itu, cerpen naratif cukup digemari akhir-akhir ini. Kelebihannya terletak pada narasi dan tuturan yang segera akan memperlihatkan apakah si penulis cerpen berbakat atau tidak. Saya termasuk jatuh cinta pada cerpen yang tidak ada dialog.
 
Cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma sebagian besar bermain di wilayah eksperimen berbahasa dan satu-dua cerpen dialognya cukup berhasil. Seno menampilkan dialog dan naratif yang cukup seimbang. Ada kalanya ia melonggarkan dialog, tapi sering juga ia mengetatkan dialog itu hingga iramanya jadi unik dan menarik. Kedua-duanya cukup diperhitung. Seno kadang memberontak terhadap asas penulisan cerpen sehingga cerpen-cerpennya terasa bebas. Sementara itu, cerpen-cerpen Isbedy terasa ringan dan enteng karena begitu banyak dialog yang fungsinya kurang diketatkan. Andaikan dialog-dialog itu diketatkan, maka ia akan bunyi dan iramanya akan menggema.
 
Karena Koran Tempo banyak menampilkan cerpen eksperimen, maka ada anggapan bahwa cerpen-cerpen yang dimuat di koran ini lebih banyak yang bagus dibandingkan dengan yang dimuat di Kompas. Apakah ini bukan sebuah perbandingan nilai yang kacau? Ya, tapi betapa sulit membahas sebuah cerpen tanpa penilaian. A. Teeuw saja melakukan penilaian. Yang namanya penilaian sudah pasti akan bicara soal baik dan buruk, gagal dan berhasil.
 
Bagaimana cerpen-cerpen di Lampung Post? Izinkan saya menyampaikan sedikit pengalaman membaca cerpen di harian ini. Tentu saja banyak cerpen yang justru menampilkan dialog karena ada anggapan bahwa cerpen tanpa dialog bukan cerpen. Tapi beberapa kali pula harian ini menurunkan cerpen tanpa dialog, dan bagus.
 
Saya merindukan ruang untuk cerpen dan kolom di Lampung Post diisi oleh tulisan naratif. Rubrik Buras dan Nuansa sayangnya jarang atau tidak pernah menghadirkan tulisan naratif. Kualitasnya pun makin lama makin merosot dan jadi rutin. Membacanya cepat letih karena dialog yang ditampilkan menjadi seperti kuda beban yang sayangnya tidak serbabisa. Eksplorasi berbahasa tidak pernah jadi pertimbangan. Hanya kolom Refleksi Djadjat Sudrajat yang muncul tiap Minggu itu yang dapat diandalkan. Dan Djadjat memang bukan lagi berbakat, tapi ia adalah Goenawan Mohamad-nya Lampung.
 
Iswadi pernah menulis beberapa cerpen di Koran Tempo yang naratif dan enak dibaca, walau belum tentu perlu. Arman beberapa kali menurunkan cerpen naratif, dan bagus. Muhammad Amin, di pendatang baru di jagat cerpen di Lampung, juga punya bakat menghadirkan cerpen naratif yang kuat.
 
Edgar Allan Poe adalah cerpenis yang sangat bakhil dengan dialog. Cerpen-cerpennya jarang sekali ada dialognya. Mungkin ia tak percaya dengan dialog sebagai kunci yang membuat tokoh cerita jadi hidup, konflik bisa terbuka secara bebas, dan emosi bisa bangkit. Minusnya cerpen kita yang menampilkan konflikpenokohan selama ini karena terlampau girang pada dialog.
 
Seandainya gaya Allan Poe diterapkan dalam esai, saya membayangkan esai naratif ternyata juga cerpen naratif. Prosa naratif- baik berupa esai maupun cerpen- adalah prosa tertua yang di mulut nenek moyang kita berwujud penuturan-penuturan atau dongeng-dongeng. Sarana mendongeng yang ampuh adalah dengan mengurangi dialog.
 
Salah satu pengarang yang pandai mendongeng, dan dongengannya selalu berhasil, adalah Salman Rushdie. Salah satu prosanya yang menebar pesona adalah Harun dan Lautan Dongeng. Novel ini berkisah di sebuah kota yang sedih, tentang seorang sobat muda bernama Harun. Bapaknya adalah Rasyid Khalifa, lelaki yang dikenal sebagai Raja Dongeng paling masyhur di sentero Alifbay. Sementara ibunya, Soraya, adalah perempuan yang pintar bernyanyi.
 
Rasyid Khalifa dikenal juga sebagai Rasyid Sang Samudera Khayal. Namun bagi musuhnya, yang alergi terhadap sebuah dongeng, Rasyid Khalifa adalah Raja Omong Kosong. Apa yang didongengkannya hanya omong kosong. Tak ada kebenaran, semuanya khayalan ompong yang membuai dan menghanyutkan. Mungkin juga sebuah kemewahan terselubung. Kalau bukan sebuah laku-borjuis.
 
Keluarga kecil itu tinggal di sebuah lantai bawah rumah sederhana yang berdinding merah muda dan berjendela warna hijau limau. Sementara di lantai atas tinggal Pak Sengupta dan istrinya, Oneeta. Keduanya tak memiliki anak. Sang istri begitu perhatian pada si Harun. Tapi Pak Sengupta tak peduli pada Harun. Namun, ia selalu bercakap-cakap dengan Soraya, ibunya Harun. Dan Harun merasa kurang suka lantaran lelaki ini begitu kritis terhadap ayahnya.
 
Pernah, pada suatu hari Pak Sengupta menjelek-jelekkan si Raja Omong Kosong kepada Soraya, dan Harun mendengar dengan jelas kata-kata penuh kebencian yang meluncur dari mulut lelaki itu. “Sumimu itu, kepalanya terpaku di udara dan kakinya melayang di atas bumi. Apa gunanya dongeng-dongeng itu? Hidup bukanlah sebuah buku cerita atau toko lelucon. Semua kenangan ini akan berujung tidak baik. Apalah gunanya dongeng-dongeng yang tak mungkin terjadi di alam nyata?”
 
Singkat cerita, hasutan Sengupta berhasil. Soraya– ibu Harun dan istri Rasyid Khalifa–minggat bersama Sengupta dan meninggalkan sepucuk surat penuh kebencian pada Raja Omong Kosong yang sedang sedih itu. Begini bunyi suratnya: “Kau hanya tertarik pada kesenangan, seorang lelaki yang bermartabat mestinya tahu bahwa hidup adalah urusan serius. Otakmu penuh dengan dongengan, sehingga tak ada lagi tempat untuk kenyataan. Pak Sengupta tak punya imajinasi sama sekali. Dan itu baik buatku.”
 
Tetes air hujan menitik di atas surat itu, jatuh bergulir dari rambut Harun yang kebetulan ada di situ. “Apa yang musti kulakukan, Nak,” Rasyid berkata mengiba di hadapan anaknya. “Mendongeng adalah satu-satunya pekerjaan yang bisa kulakukan,” kata Rasyid Khalifa.
 
Itulah dongeng yang menggetarkan, haru dan di sana sini muncul gelak tersembunyi. Kepiawaian Rushdie mendongeng mengingatkan kita pada kisah-kisah fantastis Jorges Luis Borges. Bahkan buku Harun dan Lautan Dongeng bisa memulihkan nama Rushdie di masa lalu yang heboh itu.
***

*) Asarpin, Pembaca sastra. http://sastra-indonesia.com/2010/07/cerpen-dialog-naratif/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati