Alihbahasa Aceh: Fauzan Santa
Penulis: Azhari, Agus Nur Amal
Editor: Azhari, Elsa Clave
Penerbit: Komunitas Tikar Pandan, Secours Populaire Francaise, Marque Syndicate
Tahun: 2006
Isi: 96 halaman
Peresensi : Donny Anggoro *
ruangbaca.com
Jagat kesusastraan Aceh kembali bergelora. Setelah melahirkan penyair dan cerpenis, kini kita patut salut dengan diterbitkannya buku cerita rakyat Aceh bertajuk Manusia Bersarung Kodok (Manusia Meusaruek Cangguek). Aceh yang lebih dulu dikenal dengan tradisi sastra lisannya lewat pencerita-pencerita yang unggul menjadi semakin kaya dengan dibukukannya cerita-cerita rakyatnya. Ini usaha yang tak mudah lantaran lahir dari sastra lisan yang berakibat tak banyak yang mengenal kekuatan sastrawi Aceh kecuali masyarakatnya sendiri yang memang akrab dengan budaya tutur.
Konon, penyusunan buku ini berdasarkan cerita dari penduduk Aceh dari beragam profesi (salah satunya tukang becak) yang dikumpulkan oleh Azhari dan Agus Nur Amal (Agus PM Toh) yang memang sudah dikenal sebagai seniman tutur Aceh.
Cerita-cerita dalam buku ini dihimpun Azhari dan Elsa Clave sebagai editor bukan berasal cerita rakyat umum yang semula sempat dikumpulkan sastrawan Aceh senior LK Ara. Cerita yang mereka kumpulkan berasal dari cerita yang hanya dikenal di sebuah tempat atau hanya tersebar di satu kampung saja. Jadi, buku yang kelak akan diterbitkan versi terjemahan Perancisnya ini juga berfungsi melengkapi dokumentasi cerita rakyat Aceh yang nyaris terlupakan, terutama bagi generasi anak-anak Indonesia sekarang yang lebih akrab dengan budaya menonton televisi daripada membaca.
Buku ini menghimpun enam cerita rakyat Aceh yang selain ditampilkan edisi bahasa Indonesianya dimuat pula versi dalam bahasa Aceh. Dihiasi illustrasi menarik oleh Mahdi Abdullah, buku ini diawali dengan cerita Raja Ganje. Harap diingat, ini bukan cerita tentang seorang gangster atau penjahat yang akrab dengan daun ganje (ganja). Melainkan seorang anak bernama Polem yang hidup dari ayahnya yang memelihara kambing dan menanam sayur-sayuran di belakang gubuknya. Sebelum ayah Polem meninggal ia berpesan kepada Polem agar merantau ke kota dengan membawa kambing dan sayur-sayuran sebagai bekal untuk dijual di kota.
Bersamaan dengan kepergian Polem yang berjalan menggiring kambing dan sayurannya, di kota sedang dilangsungkan sayembara menangkap harimau buas yang membuat resah penduduk kota. Hadiahnya, jika sang penangkap atau pemburu lelaki akan dinikahkan dengan putri Raja, sedangkan kalau perempuan akan dibuatkan sebuah istana. Polem yang tak tahu-menahu soal sayembara, terus saja berjalan hingga tertidur di sebuah taman. Tatkala Polem tertidur, harimau itu muncul. Dan dilahapnya kambing Polem bulat-bulat. Sialnya, sang harimau gagal menggigit tali pengikat kambing sehingga ia pun tertidur.
Ketika terbangun, Polem langsung melanjutkan perjalanannya tanpa menyadari bahwa ia menyeret harimau yang mengantuk karena memakan kambing yang sebelumnya menelan sayur-sayuran daun ganja. Singkat cerita, Polem, yang dalam khasanah dongeng rakyat agak mirip Si Kabayan dari Jawa Barat yang selalu berhasil dengan keberuntungannya, dikira penduduk kota berhasil memburu harimau. Polem kemudian berhak atas hadiah sayembara dan menjadi Raja setelah menikah dengan putri Raja. Setelah membaca cerita ini tentulah kita paham bahwa sayur-sayuran yang dibawa Polem adalah daun ganja yang di Aceh dibuat sebagai ramuan bumbu-bumbu masakan khas Aceh.
Beragam kisah dengan fantasi mengejutkan ada dalam buku ini. Seperti tipu muslihat para pencuri dalam Pencuri Tujuh (Pancuri Tujoh), atau pada cerita yang digubah sebagai judul buku ini, Manusia Bersarung Kodok (Manusia Meusaruek Cangguek), yang memungkinkan kita melihat hubungan tak seimbang antara dua bersaudara Abdul Samat dan Ramlah, yang lahir dari keluarga kaya raya. Setelah orang tua mereka meninggal, Abdul Samat yang rakus tak mau membagi warisan orang tuanya kepada Ramlah sehingga Ramlah hengkang dari rumah. Suatu hari Ramlah bernazar untuk mendapatkan anak. Tapi ketika anaknya lahir ternyata bukan anak manusia melainkan seekor kodok. Ramlah dan suaminya merawatnya seperti anak manusia.
Berbulan kemudian Sang Kodok dapat berbicara dengan bahasa manusia. Ia selalu bertanya kenapa orang tuanya, Ramlah dan suaminya, hidup miskin di gubuk yang reyot. Ramlah terus didesak Sang Kodok untuk menuntut haknya sampai pada suatu hari kaki Ramlah terluka oleh potongan kayu yang dilemparkan Abdul Samat. Luka di kaki Ramlah berangsur sembuh setelah dijilati Sang Kodok. Abdul Samat pun heran kenapa Ramlah tetap saja sembuh setelah berulangkali ia mengusir Ramlah dengan kasar.
Sampai pada suatu hari Abdul Samat sakit. Kekayaannya hampir habis untuk berobat. Mendengar hal itu Sang Kodok berpesan kepada Ramlah dapat menyembuhkan lukanya asal Samat membagi harta warisan kepada Ramlah. Usul dituruti sampai pergilah sang kodok untuk berlayar. Dalam pelayarannya sang Kodok perlahan berubah menjadi manusia setelah melakukan pertapaan. Sayang, ketika Ramlah dan suaminya berkunjung ke pulau mereka tidak percaya anak kodoknya sudah menjadi manusia.
Buku Manusia Bersarung Kodok ini patut dihargai sebagai ikhtiar mulia mengumpulkan sedikit khasanah cerita rakyat Indonesia yang selain nyaris terlupakan juga punah lantaran dari generasi ke generasi anak-anak lebih banyak dikenalkan dongeng yang dominan berlokasi di daerah Sumatera dan Jawa saja, juga cerita-cerita dongeng anak terjemahan. Dongeng-dongeng seperti Manusia Bersarung Kodok pun juga tak kalah imajiansi liarnya jika dibandingkan dengan Alice in Wonderland-nya Lewis Carrol. Ini membuktikan bahwa cerita rakyat Aceh mampu menghadirkan pesona sebaik cerita-cerita dongeng lainnya.
Menariknya dalam penyusunan buku yang didesain luks ini tak ditemui imbauan pesan-pesan moral, satu hal yang lazim dilakukan para penerbit buku dongeng atau buku cerita untuk anak-anak. Tiada yang menyadari, “cuplikan” pesan moral yang biasa ditulis di sampul belakang maupun di akhir cerita justru malah membuat anak-anak segan karena jadi berkesan menggurui, tak peduli sebaik apa pun cerita rakyat atau dongeng itu dikisahkan atau dikemas kembali. Dalam membaca buku ini anak-anak seperti dipersilakan mengambil makna masing-masing cerita tanpa “dipaksa” penerbitnya agar mengerti.
Barangkali langkah seperti ini patut dicontoh oleh penulis maupn penerbit buku cerita-cerita anak kita yang selama ini alpa bahwa anak-anak pun punya “hak” dalam menentukan imajinasinya. Bukankah kisah yang baik –meminjam perkataan Mohamad Diponegoro –tiap cerita punya sahibul hikayat, ia yang menentukan sudut pandangan dari mana cerita itu harus dilihat?
***
*) Peneliti pada komunitas Matabambu dan editor lepas sebuah penerbit di Jakarta.
http://sastra-indonesia.com/2011/03/berburu-dongeng-aceh/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar