Saut Situmorang
Pemakaian gambar dan tulisan sekaligus dalam sebuah tanda (sign) sebagai alat komunikasi antar-manusia merupakan sebuah kenyataan sejarah yang berumur panjang dan universal. Historisitasnya yang panjang bisa dilihat pada produk-produk budaya yang dihasilkan oleh peradaban yang telah mengenal baik gambar maupun tulisan, terutama yang terakhir ini, sebagai pencapaian intelektual menakjubkan dari evolusi sejarah manusia. Kaligrafi, atau seni menulis indah, mungkin merupakan produk budaya yang bisa dikategorikan sebagai pencapaian awal manusia dalam usahanya untuk menggabungkan gambar dan tulisan sebagai tanda dalam berkomunikasi antar manusia. Seni menulis indah ini sendiri sudah dikenal oleh peradaban manusia ribuan tahun lamanya, yakni bisa ditelusuri sejarahnya mulai dari lukisan-lukisan gua, seperti yang terdapat di Lascaux, Perancis (35.000-20.000 Sebelum Masehi), sampai ke bentuk-bentuk abstraksi yang kemudian menjadi huruf-huruf alfabet yang kita kenal sekarang. Secara populer, seni kaligrafi dari Timur memang yang lebih dikenal sekarang ini, yaitu kaligrafi dari Arab, Cina dan Jepang, walaupun seni menulis indah kaligrafi terdapat di mana-mana, universal, baik di budaya Barat maupun Timur.
Membaca Puisi Rupa Made Wianta mengingatkan saya pada sebuah genre puisi yang disebut sebagai Concrete Poetry atau Puisi Konkrit. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya memori puitis ini, tapi yang paling dominan adalah faktor collage teks tulisan dan gambar yang menjadi ciri khas kedua jenis puisi tersebut, terutama pada karya Wianta yang saya namakan sebagai “Puisi Rupa”.
Secara umum kita dapat memberi definisi pada Puisi Konkrit sebagai eksperimen tekstual dengan bentuk visual dalam menghadirkan sebuah teks puisi di atas kertas. Para penyair Junani Kuno di awal abad ke-3 Sebelum Masehi mungkin merupakan “Penyair Konkrit” pertama dalam sejarah. Mereka menuliskan karya mereka dalam bentuk visual dari objek yang jadi isi puisi mereka. Di Eropa eksperimen mereka ini kemudian diikuti secara luas di jaman Renaissance dan di abad ke-17 dimana puisi dalam bentuk berpola tertentu ini ditulis dengan baris-baris kalimat yang beragam panjangnya hingga membentuk pola dasar dari subjek puisi masing-masing. Jenis puisi ini dikenal dengan nama Puisi Emblem (Emblem Poems). Seorang penyair Inggris yang terkenal dengan puisi emblemnya adalah George Herbert dengan karya-karya seperti “Easter Wings” dan “The Altar”. Dekat dengan jaman Posmo kita saat ini, para penyair Modernis yang sangat terkenal dengan puisi-puisi konkrit mereka adalah penyair Simbolis Stéphane Mallarmé dan penyair Guillaume Apollinaire dari Prancis, serta Ezra Pound dan e.e. cummings dari Amerika Serikat.
Sebuah hal yang membuat Mallarmé jadi penting dalam dunia Puisi Konkrit adalah eksperimen radikal yang dilakukannya dengan ruang pada bidang kertas untuk menguatkan arti puisi yang ditulisnya. Puisinya yang diberinya judul “Lempar Dadu/Tidak Lepas dari Keberuntungan”, atau “Un Coup de Dés/jamais n’abolira le Hasard”, misalnya, memakai begitu banyak halaman yang nyaris kosong dari kata-kata hingga menimbulkan kesulitan besar pada pencetaknya waktu itu. Pertama kali terbit ternyata lay-outnya salah dan terdapat salah-cetak yang parah di mana-mana.
Sebuah puisi konkrit yang sangat terkenal dari penyair Apollinaire adalah yang berasal dari kumpulan puisinya Calligrammes berjudul “Turun Hujan” (“Il pleut”), dimana huruf-huruf dari puisi tersebut seolah-olah jatuh menetes dari bagian atas halaman kertas menirukan rintik-rintik air hujan.
Penyair Amerika Ezra Pound melakukan eksperimen dengan menulis puisinya dalam campur-sari bahasa, terutama Inggris dan kaligrafi Cina. Walaupun pengetahuan bahasa Cina Pound tidak baik, tapi eksperimen dan teori menulis puisi berdasarkan estetika kaligrafi Cina (ditulisnya bersama ahli sastra klasik Cina, Ernest Fenollosa) tokoh utama aliran Puisi Imagis ini sangat berpengaruh atas para penyair bahasa Inggris baik di Inggris, dimana dia cukup lama bermukim, maupun di Amerika Serikat sendiri di tahun 1950an. Bersama pelukis Inggris Wyndham Lewis, Pound juga memulai gerakan seni Vorticisme, yang merupakan semacam sintesis gaya dari Cubisme dan Futurisme Itali, di tahun 1914 dan sekaligus menerbitkan jurnal gerakan mereka yang diberi nama BLAST. Dalam jurnal inilah karya-karya grafis Lewis serta puisi-puisi eksperimen dan teori-teori seni Pound diumumkan secara luas dan pengaruhnya masih terus kuat sampai lewat Perang Dunia II.
Penyair Amerika lain yang juga penting dalam silsilah sejarah Puisi Konkrit dunia adalah e.e. cummings. Hampir semua puisi cummings ditulis dengan tidak melupakan penampakan visual subjek puisinya di atas halaman kertas. Contoh yang terkenal adalah puisi berjudul aneh “r-p-o-p-h-e-s-s-a-g-r”, dimana secara tekstual mula-mula huruf-huruf bertaburan di ruang kertas lalu perlahan-lahan mulai membentuk sebuah kata yang pada akhirnya kita kenali sebagai kata “grasshopper” atau “belalang”, seolah-olah merupakan representasi dari bagaimana pembaca secara samar-samar menyadari kehadiran dan kemudian mengenali sebuah sosok serangga melompat yang ternyata adalah seekor belalang atau “grasshopper”!
Sementara itu di negeri Belanda seorang arsitek bernama Theo van Doesburg memulai gerakan seni Dada Belanda dengan menerbitkan manifesto-manifesto sastra dan puisi-puisi yang sangat berpengaruh. Dengan memakai nama samaran I.K. Bonset, van Doesburg –yang sangat dipengaruhi tulisan-tulisan seniman Futuris Itali F.T. Marinetti dan pelukis Ekspresionis Jerman asal Rusia, Vassily Kandinsky (juga dikenal sebagai pelukis pertama yang mengembangkan gaya lukis Abstrak), dan akrab dengan para seniman Dada Berlin khususnya Kurt Schwitters– menerbitkan dua majalah Dada Belanda yaitu Mecano dan Art Concret yang berisi puisi-puisi rupanya. Puisi-puisi tersebut berisi simbol-simbol matematik, angka-angka dan juga fonem-fonem dan huruf-huruf yang dicetak dengan tipografi yang unik. Puisi-puisinya itu merupakan sebuah pengaruh penting bagi para penyair visual di tahun 1950an. Bersama pelukis Piet Mondrian, van Doesburg juga menerbitkan majalah De Stijl di tahun 1917 yang tidak hanya berisi karya para seniman avantgarde Belanda tapi juga tulisan-tulisan dan puisi-puisi para seniman Dada Eropa lainnya seperti Schwitters, Hugo Ball, Tristan Tzara dan Hans Arp, serta seniman Futuris Itali, Fino Severini, dan komposer Amerika George Antheil.
Istilah “Puisi Konkrit” sendiri pertama kali dipakai secara bersamaan di awal tahun 1950an oleh penyair Eugen Gomringer di Swiss dan penyair ?yvind Fahlstr?m di Swedia. Gomringer dekat dengan para pelukis konkrit di tahun 1940an, terutama Max Bill yang kemudian mempekerjakannya sebagai sekretarisnya. Di tahun 1953 Gomringer menerbitkan sebuah buku kumpulan puisi yang puisi-puisinya hanya berisi satu kata sementara makna masing-masing puisi sangat tergantung pada letak kata di ruang halaman. Puisi-puisinya ini dia namakan konstelasi (constellations) dan dengan penerbitannya itu maka dimulailah apa yang kemudian kita kenal sebagai gerakan Puisi Konkrit di seluruh dunia.
Puisi Konkrit ditulis secara luas di seluruh dunia dan ciri umumnya adalah bahasa yang sudah sangat direduksi sedemikian rupa dan dicetak dalam tipografi yang memaksakan teks puisi masuk ke dalam perhatian pembaca sebagai sebuah objek yang sekaligus tak bisa dipisahkan dari keseluruhan persepsi visualnya di ruang halaman. Dan banyak memang puisi ini tidak bisa dibaca dengan cara biasanya kita membaca puisi karena hanya berisi satu kata atau frase yang sudah diubah secara sistematis susunan dan posisi huruf-hurufnya, atau terdiri dari fragmen kata, ataupun silabel-silabel nonsens, bahkan huruf-huruf tunggal, angka-angka dan tanda baca. Para penyair Puisi Konkrit juga sering memakai bermacam jenis, ukuran dan warna font atau huruf, dengan kadang-kadang ditambahi dengan drawing atau foto. Beberapa bentuk dari Puisi Konkrit disebut “kinetik” karena bentuk-bentuk visual puisi tercipta kalau kita membalik-balik halaman per halaman.
Puisi Rupa Made Wianta tidak sepenuhnya mengikuti ciri umum Puisi Konkrit di atas, terutama penulisan teks puisi dalam bentuk visual dari objek yang dibicarakan puisinya. Itulah makanya saya lebih suka memakai istilah “Puisi Rupa” yang berkonotasi terdapatnya kesetaraan nilai antara teks puisi dan gambar visual pada medium dimana puisi tersebut kita baca/lihat. Pada Puisi Konkrit umumnya teks puisi menempati posisi yang tidak setara dengan unsur visual keseluruhan karya karena teks puisi memang dengan sengaja dituliskan dalam bentuk objek yang sedang dibicarakannya. Representasi teks puisi seperti ini telah memaksakan penampilan visual teks hanya dalam satu bentuk saja, yaitu bentuk objek puisi tersebut. Teks puisi telah kehilangan kebebasannya untuk menjadi liar, untuk memilih sendiri bentuk visual yang bagaimana yang ia inginkan dirinya dilihat pembacanya di atas kertas.
Hal ini jadi mengingatkan saya pada bentuk-bentuk puisi tradisional yang memang sangat ketat peraturan pakem persajakannya, seperti Pantun di Indonesia, Haiku di Jepang dan Soneta di Itali. Memang keketatan pakem persajakan puisi tradisional itu tidak dimaksudkan untuk menciptakan “lukisan visual” dari objek puisi secara sadar seperti pada Puisi Konkrit, tapi absennya alternatif lain untuk menuliskan puisi secara tidak langsung sudah menunjukkan bahwa bentuk visual tertentulah yang mesti dihadirkan kepada pembaca, bentuk visual abab untuk pantun, bentuk visual 5-7-5 bagi haiku dan bentuk visual abbaabba cdecde pada soneta. Pola rima akhir tertentu atau banyaknya jumlah silabel-kata dalam satu baris seperti pada ketiga contoh di atas telah menutup kemungkinan penulisan ketiga jenis puisi tradisional tersebut dalam bentuk-bentuk alternatif lain.
Di sinilah saya pikir terlihat ciri tradisionalisme Puisi Konkrit pada umumnya. Dengan lebih mengutamakan faktor representasi bentuk visual dari objek puisi, Puisi Konkrit telah mengorbankan kebebasan teks puisi untuk memilih bentuk representasi visual bagaimana yang diinginkan. Representasi teks puisi dalam bentuk visual dari objek puisi adalah pakem persajakan pada Puisi Konkrit pada umumnya.
Hal ini berbeda dengan jenis puisi yang saya sebut sebagai “Puisi Rupa”. Teks puisi dan ilustrasi yang memang sudah terdapat pada medium tempat teks puisi dituliskan, bisa sobekan halaman majalah, kartu pos, tiket, atau uang kertas, dikawinkan dalam pesta kolase yang tidak mengutamakan peranan teks puisi atau ilustrasi tapi keduanya sekaligus. Teks puisi tidak menerangkan ilustrasi dan sebaliknya ilustrasi juga tidak menjelaskan teks puisi. Keduanya hadir berdiri sendiri tapi sekaligus tidak bisa dipisahkan. Keduanya menjadi satu tanda (sign) yang utuh.
Karakter seperti inilah yang saya baca pada Puisi Rupa Made Wianta. Wianta menuliskan puisi-puisinya pada objek-objek yang kebetulan berada di atau dalam jangkauan tangannya (found objects/ready-mades), seperti berbagai macam jenis kertas, bisa tissue, bungkus rokok, karton obat nyamuk, tiket atau bahkan Tampax. Dia tidak dengan sengaja memilih medium tempat dia akan menuliskan puisinya. Dan puisi yang akan dituliskannya itu pun tidak dituliskan dengan tujuan untuk merespons objek yang ditemukannya itu atau ilustrasi visual yang kebetulan ada di objek tersebut. Jadi sejarah bertemunya teks puisi dan ilustrasi visual pada Puisi Rupa Wianta adalah sejarah yang yatim piatu, sejarah tanpa sejarah, sejarah ahistoris. Ini mengingatkan saya pada proses kreatif para seniman avantgarde Surrealis dari Prancis. Pencetus dan teoritikus utama Surrealisme, André Breton, di masa awal munculnya gerakan seni ini di Prancis memperkenalkan sebuah teori menulis puisi yang dia sebut sebagai “menulis otomatis”, yaitu sebuah proses menulis yang keseluruhannya dilakukan dengan spontan tanpa terlebih dulu memikirkan puitis-tidaknya, bagus-tidaknya, atau logis-tidaknya tulisan itu nanti bagi pembaca. Alam ketaksadaran manusia merupakan satu-satunya alat dalam menulis di sini dan semua kontrol pikiran ditiadakan. Teori “menulis otomatis” ini juga dipraktekkan oleh para pelukis, pematung, pembuat film dan dramawan Surrealis. Breton bisa sampai pada teori “menulis otomatis” ini karena pengaruh besar dua penyair Prancis yang oleh kaum Surrealis dianggap sebagai dua dari antara nenek moyang mereka, yaitu Arthur Rimbaud yang menganjurkan semua penyair untuk melakukan pengacaubalauan sistematis atas kelima indra untuk mencapai keindahan dan penyair asal Amerika Latin, Lautréamont, nama samaran dari Isidore Ducasse, yang dalam kumpulan puisinya berjudul Nyanyian Maldoror (Les Chants de Maldoror) menuliskan kalimat ini: “Keindahan adalah pertemuan tak disengaja antara sebuah mesin jahit dan sebuah payung di atas meja operasi”!
Dalam proses kreatifnya sebagai penyair, Wianta mengaku menolak membuat puisi menjadi sekedar kumpulan catatan tentang suatu tema yang biasanya langsung bisa kita duga dari judul puisi. Cinta, misalnya. Umumnya, penyair yang menulis tentang cinta akan berbicara tentang segala sesuatu yang menerangkan rasa cintanya itu dan pemilihan diksi kata akan selalu diusahakan untuk memperjelas rasa cinta yang sedang dirasakan si penyairnya, semacam deskripsi definisi tentang cinta. Wianta tidak melakukan hal konvensional ini dalam puisinya. Dia merasakan cinta tapi yang diekspresikannya secara tekstual adalah baris-baris sintaksis yang berkelebatan dalam ruang ketaksadarannya yang dengan spontan dia rekam pada objek-temuan yang berada paling dekat dengan jangkauan tangannya. Seperti pada sebuah Puisi Rupanya dimana teks puisi dan ilustrasi merupakan perkawinan dua elemen tanda (sign), masing-masing baris sintaksis dari sebuah teks puisinya pun merupakan kolase dari bermacam ide spontan yang otonom berdiri sendiri, tanpa ada relasi arti semantis yang saling memperkuat/memperjelas makna tematis keseluruhan teks puisi. Arsitektur teks puisi jadinya seperti bayangan kembar, the double, dari bangunan keseluruhan Puisi Rupa itu sendiri.
Sebuah medium berilustrasi, sobekan kertas majalah misalnya, yang menjadi tempat Wianta menuliskan teks puisinya tidak seluruhnya hanya berisi ilustrasi gambar atau foto belaka. Malah sering medium tersebut juga sudah memiliki teks tulisan asli yang merupakan teks penjelas ilustrasi itu sendiri. Di sinilah keunikan Puisi Rupa Wianta terlihat nyata sebagai sebuah Puisi Rupa yang sebenarnya. Mungkin ilustrasi visual (bisa sebuah wajah closed-up, bisa sebuah mobil atau sebuah gedung) pada objek-temuan yang pada awalnya, secara tak sadar, menarik selera artistik Wianta untuk memakainya jadi tempat penulisan teks puisinya, tapi keberadaan teks tulisan asli pada objek-temuan tersebut justru telah membuat pembacaan kita atas sebuah Puisi Rupanya menjadi sebuah pengalaman Resepsi-Pembaca yang penuh petualangan dan mengasyikkan.
Dalam karier kepenyairannya yang sudah berlangsung cukup lama, mulai dari tahun 1979 dan masih terus menulis puisi sampai saat ini, Wianta telah menghasilkan lebih dari 600 puisi dan dua buku kumpulan puisi, Korek Api Membakar Almari Es (1996) dan 2½ Menit (2000), serta sebuah Puisi Rupa berjudul “Kita” yang merupakan puisi kontemporer terpanjang yang pernah ditulis di Indonesia. Puisi Rupa “Kita” itu ditulisnya sendiri pada lembaran-lembaran kertas berukuran 4m x 4,5m setiap malam selama lebih dari 4 bulan di Basel, Swiss, di tahun 1997. Bagi saya sendiri, Puisi Rupa yang paling panjang dan salah satu dari yang paling menarik yang pernah diciptakan Wianta adalah kain putih sepanjang 2000 meter yang ditulisi pesan-pesan perdamaian dalam 124 bahasa dan diberi ilustrasi drawing-drawing Wianta sendiri yang dibentangkan oleh sekitar 2000 siswa dari berbagai SMA di Denpasar di sepanjang Pantai Padang Galak, Sanur, Bali dalam performance art “Art & Peace” yang sangat kontroversial itu pada 10 Desember 1999.***
*) Esei ini diambil dari buku Politik Sastra (2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar