Shiny.ane el’poesya
elpoesya.wordpress.com
“Saut hanya bermain libido (nafsu berahi yang bersifat naluri) untuk meresepsi (menekan) dunia khayalan belaka. Sampai-sampai tercetuslah kata-kata ‘jembut Tuhan’ yang melampaui batas itu… Perhatikan saja judul puisinya: ‘Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu.’ Ucapan yang aneh ini bukan termasuk hulul, tetapi semacam kecerobohan logika (akal sehat) Saut, Ucapan ini menderita ketidak relevanan pemikiran.” Narudin Pituin–
Sudah jelas ungkapan Saut bukanlah termasuk ungkapan hulul sebagaimana pernah diungkapkan oleh al Hallaj. Akan lebih mengherankan pula ketika kita menyatakan bahwa ungkapan tersebut merupakan sebuah ungkapan “libidinal”, melampaui batas, hingga “ketidakrelevanan pemikiran” tanpa menjelaskan akan pemikiran apa, dan kenapa tidak relevan dalam konteks yang seperti apa? Membaca (penggalan) ulasan puisi yang dibuat oleh Narudin atas sajak Jembut Saut–sebagaimana dikutipkan di atas, kembali membuat hati penulis tertegun miris. Hal tersebut dikarenakan, kembali hadir di hadapan kita sebuah bentuk arogansi seorang pembaca yang terlalu berkeinginan untuk mengoreksi sajak milik orang lain, tetapi tanpa ditopang oleh argumentasi analitik yang memuaskan, bahkan cenderung didasarkan pada pemahaman yang kurang baik–untuk tidak mengatakan buruk serta mengecewakan. Lebih jauh, upaya untuk mencoba mengkritisi sebuah tulisan, tanpa sama sekali diimbangi apresiasi yang cukup untuk bisa kita baca sebagai sebuah tradisi bersama.
Nah, tulisan ini adalah satu usaha kecil untuk memulai, mencoba mengapresiasi sajak yang baru-baru ini jadi bahan pembicaraan. (Di bawah, sajak yang dimaksud).
Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu
ada jembut nyangkut
di sela gigiMu!
seruKu
sambil menjauhkan mulutKu
dari mulutMu
yang ingin mencium itu.
sehelai jembut
bangkit dari sela kata dan puisi
tersesat dalam mimpi
tercampak dalam igauan birahi semalaman
dan menyapa lembut
dari mulut
antara langit langit dan gusi merah mudaMu
yang selalu tersenyum padaKu itu.
Aku mencintaiMu dengan seluruh jembutKu
tapi bersihkan dulu gigiMu
sebelum Kau menciumku!
Jogja, 6 januari 2002
I. Intertekstualitas
Satu hal sbagai contoh yang amat mengecewakan dari ulasan yang dibuat oleh Narudin adalah, ia tengah mencoba membawa Sajak Jembut di atas ke dalam sebuah alam fikiran yang benar-benar amat naif dalam benaknya. Padahal, dalam narasi pengantar ulasannya, ia telah mengabarkan telah menonton video-pembacaan sajak tersebut oleh empunya yang dibacakan di Gedung teater Kecil, Taman Ismail Marzuki Jakarta 2015 lalu.
Sebelum membacakan sajak tersebut, Saut mengatakan bahwa sajak Jembutnya diarahkan kepada Sapardi–seperti kita pernah mendengar pada sajak-sajak lainnya yang seringkali ia “bidikkan” secara langsung untuk si A, untuk si B dan untuk si Sutardji misalnya dalam “Sajak Perahu Mabuk”, yang menjelaskan betapa ada soal intertekstualitas di sana. Tetapi, betapa naifnya Narudin hampir penuh dalam ulasannya tak sedikit pun menyebut nama Sapardi. Alih-alih justru ia menyebut banyak nama-nama yang menurut penulis kurang penting dalam konteks sajak Jembut Saut: Siti Jenar, Al Hallaj dst.
Soal intertekstualitas ini menjadi penting dalam proses apresiasi puisi, terlebih ketika seorang penyair telah menyebutkan secara eksplisit kemana arah acuannya. Hal ini menjadi penting, agar usaha pen-takwil-an ( : mengembalikan teks pada makna awalnya) tidak memperolah jalan yang sesat; (noted: Ta’wil, bukan semiotik sebagaimana Narudin gunakan untuk mendekati sajak Jembut Saut. Apalagi pendekatan semiotika yang lagi-lagi digunakan dengan cara tidak jelas).
Bagi penulis, sajak Jembut yang di-kuar-kan Saut dalam pembacaannya untuk Sapardi itu, merujuk pada sajak “Aku ingin” yang telah dikenal banyak publik dari berbagai generasi. Hal tersebut bisa kita cerap secara langsung (sebenarnya) dari model stilistika “Aku ingin” yang Saut gunakan. Mari kita bandingkan.
“Aku ingin mencintaimu dengan sederhana.” (Sapardi DD)
“Aku mencintaimu dengan seluruh jembutKu.” (Saut St.)
Secara sintaksis, kalimat yang dibuat Saut maupun Sapardi, menunjukkan susunan fungsional yang sama, yaitu, S-P-O-K, dengan subjek “Aku”, kata kerja “mencintai”, dan “Mu” sebagai objeknya, yang diulang sebanyak dua kali (2 kali) samanya dalam keseluruhan sajak. Yang membedakannya adalah, hanya pada bentukan predikat dan keterangannya: Sapardi mengisi predikat dalam kalimat yang dibuatnya dengan verba non performatif berupa frasa “Aku ingin”, sedangkan Saut mempredikasikan subjeknya dengan verba prformatif “mencintaiMu”; Sapardi mengisi fungsi keterangan dengan kata keterangan adjektif, sedangkan Saut menggunakan keterangan frasa numerelia.
Aku Ingin
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu
kepada api yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya tiada
(1989)
II. Jarak interteks sajak Saut dan Sapardi
Sudah tentu, dari perbedaan yang kelihatannya sederhana itulah (dari sudut pandang sintaksis) justru terbentang penjarakan interteks yang signifikan (secara hermeneutis) yang telah dibuat oleh Saut dari sajak “pendahulunya.”
Sebagai contoh, perbedaan penggunaan verba performatif dan non-performatif di atas memberikan pada kita gambaran posisi eksistensial antara “I” dan “Thou” yang berbeda yang coba dibuat oleh Saut dari sajak Sapardi. Yang mana ketika kita membaca sajak Sapardi kita akan menemukan satu posisi eksistensial dari sang “Aku” yang retoris, tetapi kita menemukan dari sajak Saut posisi eksistensial yang … ya performatif ( : telah rampung dalam hal). Tentu, gaya yang demikian punya kekuatan, kelebihan dan tujuannya masing-masing dalam proses komunikasi baik antara penyairnya dan pembacanya, atau minimal antara “I” dan “Thou” nya.
Contoh lainnya adalah ketika Saut menggunakan penggunaan numerelia dengan pilihan kata “seluruh”, ketimbang kata lainnya seperti “sebagian”, “sejumlah” atau yang secara matematis mirip dengan kata “sederhana” yang digunakan oleh Sapardi, misal “secuil” atau “sehelai Jembut”, seakan secara performatif Saut ingin menunjukkan satu jarak hermenuetis lainnya akan satu hal; Terkait cara sang “I” ketika ia memperlakukan “Thou” dalam konteks perjamuan tertentu. Atau secara bebas kita bisa membacanya sebagai ungkapan metaforis, bahkan politik dari Saut yang secara tak langsung hendak mengabarkan kepada publik sastra bahwa ia benar-benar berada di posisi yang bersebrangan dari Sapardi; sebuah ungkapan politik kesusastraan.
Jarak lain yang sebenarnya amat mencolok adalah dari segi watak stilistik keseluruhan dua sajak tersebut, pertama, yang mana jika kita menemukan sajak milik Sapardi telah ditulis dalam stilistika puisi lirik yang berima. Sajak “Aku ingin” milik Sapardi adalah sebuah sajak, yang bisa saja kita sikapi sebagai sajak perumpamaan; Mengungkapkan satu maksud dengan cara, mengambil kalimat-kalimat ilustratif dari kalimat-kalimat langsung yang seharusnya ia ungkapkan. Sedangkan sajak Saut justru memiliki watak ekspresifnya yang kuat dengan penggalan-penggalan frasa dan klausa yang lebih tegas, sebagaimana sajak-sajak Chairil yang begitu menonjol aspek enjambemennya.
Jika sajak “Aku ingin” Sapardi mengambil bentuk … tapi pada kesempatan tulisan ini agaknya penulis tidak ingin menjelaskan lebih panjang mengenai Sapardi.
Namun, menjadi catatan lebih jauh di sini ketika Sapardi dalam puisi “Aku ingin” terlihat hanya tengah mencoba menggambarkan akan satu hal melalui perumpamaan yang dibuatnya, tanpa terlihat akan adanya pretensi “Ide”, dalam sajak “Jembut”–setelah kita menganalisanya secara stilistik, dari situ justru Saut tengah mencoba menulis sesuatu yang benar-benar berbeda dari sajak (sekali lagi dalam tanda kutip) “pendahulunya” itu.
Dalam sajak Jembut, penulis mengalami pengalaman pembacaan di mana betapa kuatnya “Ide” yang coba dieksplorasi Saut ketimbang Sapardi. Pengalaman pembacaan demikian pernah penulis rasakan persis ketika membaca sajak Saut lainnya, “Saut Kecil Bicara dengan Tuhan.”
III. Ide, penciptaan
Sampai pada mengganti promina “Ku” dan “Mu” dalam sajak Saut dengan kata “Tuhan” dan “Tuhan” (sic!), Narudin sebenarnya sudah betul dan patut kita acungi jempol. Namun bagaimana mendudukkan relasi antara sang “I” dan sang “Thou” tersebut, kita melihat betapa kesesatan Narudin memang amat begitu nyata dan tak tertolong; Ketika Narudin menganggap bahwa ungkapan Saut adalah ungkapan “hulul yang gagal”, dan ketika sekaligus secara bersamaan Narudin menganggap bahwa komposisi “Ku-Tuhan” dan “Mu-Tuhan” sebagai sebuah ungkapan kekacauan akal sehat, kita sebenarnya patut bertanya, mengapa Narudin punya asumsi dengan begitu yakin bahwa Saut tengah mencoba menulis tentang hulul? Padahal ia sendiri tidak membuktikan sama sekali asumsinya itu, barang satu paragraf!
Sedang dalam pengalaman membaca sajak Saut (terutama jika dibandingkan dengan sajak Saut Kecil Bicara dengan Tuhan), sajak Jembut tersebut jelas bukanlah sajak yang mengindikasikan secara verbal sebagai sajak yang tengah bicara mengenai rumpun paham “wahdatul wujud. Di sini justru penulis menemukan kembali satu Ide metaforik yang cukup unik dalam sajak Saut tersebut mengenai (meminjam istilah Heidegger) akan adanya satu Rede (pembicaraan gelap) yang terjadi dalam diri Tuhan ketika berlangsungnya satu peristiwa penciptaan.
sehelai jembut
bangkit dari sela kata dan puisi
tersesat dalam mimpi
tercampak dalam igauan birahi semalaman
dan menyapa lembut
dari mulut
antara langit langit dan gusi merah mudaMu
yang selalu tersenyum padaKu itu.
Dalam bait tersebut, di sana digambarkan betapa sebuah proses penciptaan terjadi dalam perantara kata dan puisi (perumpamaan yang sebenarnya sudah begitu dekat bagi mereka yang memang akrab dengan teks-teks agama monotheis). Peristiwa tersebut yang digambarkan terjadi dalam sebuah “mimpi” dan “igauan semalaman” sebagaimana kerap digambarkan oleh para filsuf muslim mengenai proses munculnya alam semesta dalam sebuah periode sebab kerja kreatif Tuhan ketika memikirkan mengenai dirinya sendiri; self mirroring. Satu proses pentakwilan lain ketika kita ingin mengejar lebih dalam mengapa digunakan term “langit-langit”, “gusi merah muda” yang “selalu tersenyum padaKu” agar tidak terjebak pada kesesatan sepertimana pernah dilakukan oleh kelompok Musyabbihah dan Mujassimah–sebagaimana di era (sejarah perkembangan islam) modern gemar dianut oleh berbagai kelompok neo-khawarij serta anak-anak ideologisnya, dan kini dipraktikkan oleh Narudin. Duh. Kasihan! Apalagi hingga ia membayangkan dalam benaknya akan adanya indikasi “oral seks” dalam sajak Saut!
“Bagaimana jembut bisa tersangkut di sela gigi Tuhan? Tentu ada proses jembut itu sampai di sana. Pakah itu semacam oral seks? Sampai jembut itu luruh dan tersangkut di sela gigi? …” Narudin Pituin
Menyedihkan sekali pengembaraan imajinasinya. Sekaligus memprihatinkan membaca kemampuan reflektifnya yang dangkal seperti itu.
IV. dan Soal Jembut Saut
Dan soal Jembut Saut, penulis ingin coba mengatakan justru bahwa melalui metafor Jembut yang digunakan oleh Saut inilah, kita bisa melihat bagimana rentang horizon pemahaman Saut itu demikian lebar dan signifikan pentingnya dalam konteks penciptaan puisi saat-saat ini. Mengapa? Paling tidak, pertama, melalui penggunaan kata Jembut inilah, ia kembali menegaskan bahwa ia memang konsisten tengah menempuh jalur sastra “liar”nya sebagai media perlawanan; kedua, ia menggunakan term yang, secara semiotik dekat dengan medan makna “perut dan selangkangan” dan segala nilai-nilai yang berhubungan dengannya, dalam setting wacana “filsafat ketuhanan”, dan mungkin yang paling penting bagi penulis adalah, ketika Saut pentempatkan Jembut sebagai terma yang justru menjadi sumber kegelisahan yang bisa jadi muncul dan “mengganggu” dari segala proses penciptaan (kali ini penulis hendak membebaskan pembaca apakah ingin menafsirkan kata penciptaan dalam sajak Jembut Satu secara teologis–filosofis, semiotis, maupun secara leksikal sebagai penciptaan puisi) yang pada hakikatnya adalah sebuah proses yang (mungkin untuk) transendental. Ini amat unik.
Ya, penulis mengatakan Ide seperti ini unik sebagaimana Ide yang pernah ia tuangkan dalam Saut Kecil Bicara Dengan Tuhan sebab keluar secara kreatif dari orang yang sebenarnya lebih dikenal sebagai penganjur filsafat kritis ketimbang isu-isu filsafat “tradisional”.
Taman Barito, 11:17 PM, Jakarta, 28 November, 2017. –selesai.
https://elpoesya.wordpress.com/2017/11/28/intertekstualitas-penciptaan-dan-soal-jembut-saut-situmorang/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar