Rabu, 16 Juli 2014

Pesona Pram di Asia Tenggara

Iswara N Raditya
MelayuOnline.com

Nama besar Pramoedya Ananta Toer memang sudah kesohor ke seluruh pelosok bumi. Lantas, bagaimana pesona Pramoedya di wilayah Asia Tenggara? Apakah jejak-jejak Pramoedya di rumpun Melayu itu juga jelas terpacak? Tema inilah yang menjadi perbincangan menarik dalam seminar bertajuk “Pramoedya Ananta Toer di Asia Tenggara” yang diselenggarakan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gajah Mada (UGM), Selasa, 19 Mei 2009, yang lalu.
Seminar yang diadakan di Lantai 5 Gedung Pascasarjana UGM, Jalan Teknika Utara, Barek, Sleman, tersebut menghadirkan Max Lane sebagai pemateri utama. Max Lane adalah penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris sekaligus pengajar di Malay Studies, National University of Singapore. Lelaki asal Australia kelahiran 16 Januari 1951 ini telah lama menekuni studi tentang Indonesia dan Malaysia sejak menempuh perkuliahan di Universitas Sydney di mana dia mendapat gelar Bachelor of Arts (Honours) tahun 1972. Selain menerjemahkan karya-karya Pramoedya, penggagas majalah Inside Indonesia yang terbit pada 1981 ini juga banyak memberi catatan atas berbagai karya penyair WS Rendra dan telah menulis beberapa buku.

Dalam uraian pembukanya, Max Lane mengatakan, tema yang diangkat dalam diskusi siang itu cukup unik dan tak biasa, di mana dia harus “membenturkan” sosok Pramoedya Ananta Toer dengan rumpun budaya dan geografis Asia Tenggara. “Kebudayaan Melayu yang tersebar di negara-negara Asia Tenggara dipersatukan oleh satu semangat yang sama, kendati dengan proses dan corak berbeda-beda, yaitu semangat melawan kolonialisme!” seru Max Lane dalam bahasa Indonesia yang nyaris sempurna.

“Kebangkitan nasional bangsa Indonesia dipengaruhi oleh semangat pergerakan bangsa-bangsa di Asia,” tutur Max Lane. Salah satunya, lanjut Max, seperti yang terjadi di Asia Tenggara yaitu perjuangan rakyat Filipina menentang penindasan Spanyol pada akhir abad ke-19. Jose Rizal, motor aksi pergerakan rakyat Filipina, menjadi salah satu inspirator Pramoedya dalam menggugah semangat kebangsaan rakyat Indonesia melalui karya-karyanya.

Pramoedya Merevolusi Asia Tenggara

Max Lane melihat bahwa pemikiran Pramoedya tentang Asia Tenggara setidaknya terfokus ke dalam dua poin penting. Pertama, menyikapi geliat juang bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang marak di penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, Pramoedya melihat bahwa bangsa-bangsa di Asia Tenggara tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan asas internasionalisme. Gejala ini bisa dimaknai bahwa bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang ditindas oleh kolonialisme Eropa bergerak bersama dalam lingkup regional.

Kedua, masih menurut Max Lane, Pramoedya juga cenderung meyakini bahwa kebangkitan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dan Filipina, terwujud akibat rangsangan dari situasi politik yang terjadi di beberapa negara di Asia, termasuk Revolusi Cina dan perlawanan Jepang terhadap Rusia. Keberanian bangsa-bangsa di benua terbesar inilah yang kemudian memantik kebangkitan dari bangsa-bangsa lain di Asia, tidak terkecuali di Asia Tenggara.

Khusus di Indonesia, Pramoedya mencermati bahwa gerakan menuju revolusi yang terjadi di negeri ini merupakan gerakan yang paling lengkap unsur-unsurnya. Revolusi Indonesia, dalam kacamata Pramoedya, menyerap semua unsur penting yang menentukan perubahan dunia, yaitu Manifesto Komunis (Eropa), Declaration of Independent (Amerika), dan pidato-pidato Dr. Sun Yat Sen (Asia). “Revolusi Indonesia merupakan kombinasi dari semua ide-ide dari seluruh dunia,” kata Max Lane menegaskan rumusan Pramoedya.

Max Lane, yang sejak tahun 2003 menjadi peneliti pada Departemen Penelitian Asia di Universitas Murdoch-Perth, menyatakan keyakinan Pramoedya bahwa revolusi hanya akan dapat dicapai melalui tiga gerakan penting. Pertama, revolusi dilakukan dari bawah karena Pramoedya sangat yakin kaum borjuis tidak bisa berbuat apapun demi revolusi. Kedua, menggunakan kuasa pers/surat kabar sebagai alat perjuangan. Ketiga, perubahan yang dilakukan harus benar-benar revolusioner, menyeluruh, dan tuntas sampai ke akar-akarnya.

Max Lane menukil pernyataan Pramoedya bahwa dia sepenuh-penuhnya adalah orang Indonesia, bukan orang Jawa. Keindonesiaan yang dimiliki Pramoedya itu, menurut hemat Max Lane, adalah bentuk nasionalisme yang khas dan berani. Pramoedya menggambarkan Indonesia sebagai makhluk yang benar-benar baru, bukan merupakan perpanjangan dari yang sudah ada, bukan kelanjutan dari Majapahit atau Sriwijaya, bukan pula warisan dari rezim kolonial Eropa ataupun Jepang. Indonesia adalah kreasi baru yang dimulai pada awal abad ke-20. “Legitimasi Indonesia tidak harus dicari dari masa lalu, tetapi dari proses kreatif itu sendiri,” tutur Pramoedya seperti yang dibahasakan Max Lane.

Prinsip keindonesiaan seperti itulah yang digunakan Pramoedya untuk melihat proses kebangkitan di negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tentu saja berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. “Setiap bangsa di Asia Tenggara punya proses kreatif dan sejarah sendiri-sendiri, memiliki watak dan kebudayaan masing-masing,” ungkap Max Lane yang dalam kesempatan itu menjadi pembicara tunggal.

Selanjutnya Max Lane mengatakan, bangsa-bangsa besar di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, memendam hasrat yang hampir seragam. Kesemua negara itu bangkit karena dibangunkan oleh fenomena kolonial yang menurut Max, juga Pramoedya, semua proses dan hasil perjuangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara adalah gerakan revolusi, dan itu semua belum selesai.

Jejak-Langkah Pramoedya di Jazirah Melayu

Pesona Pramoedya di ranah sastra dunia tidak perlu diperdebatkan lagi. Publik Asia Tenggara pun turut bertakzim terhadap kiprah seorang anak semua bangsa bernama Pramoedya Ananta Toer. Rasa hormat itu salah satunya datang dari Filipina, di mana Pramoedya memperoleh “Ramon Magsaysay Award” pada 1995. Ironisnya, pemberian penghargaan tersebut justru ditentang oleh beberapa sastrawan dari Indonesia sendiri. Atas nama dendam sejarah, sejumlah pelaku sastra bernama besar, termasuk Mochtar Lubis dan HB Jassin, menulis surat protes atas penghargaan kepada Pramoedya itu. Nasib sial Pramoedya yang selalu menjadi orang asing di negeri sendiri, dari zaman kolonial, era Orde Lama di bawah kuasa Sukarno, hingga rezim Soeharto yang memimpin Orde Baru selama 32 tahun.

Di luar kontroversi tersebut, karya-karya Pramoedya, terutama serial “Tetralogi Pulau Buru” (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang melegenda itu, ternyata digandrungi di seantero Asia Tenggara. Bahkan, seperti yang dipaparkan Max Lane sebagai penerjemah buku-buku Pramoedya, saking larisnya, buku-buku Pramoedya di Filipina banyak yang beredar dalam bentuk buku bajakan.

Apa yang terjadi di Singapura lain lagi. Kondisi politik dan pemerintahan di negara tempat Max Lane saat ini bermukim itu jauh dari kebebasan, terbelenggu oleh kebijakan represif yang diberlakukan oleh penguasa. Namun, kata Max Lane, “Generasi muda di Singapura sekarang banyak yang justru tertarik terhadap pemikiran Pramoedya.”

Ajaran Pramoedya yang mendorong manusia untuk memiliki sifat humanis, berpikir sendiri, serta bertindak berani demi perubahan, membuat buku-buku Pramoedya laris manis di Singapura. Bahkan, tambah Max Lane, untuk memenuhi banyaknya permintaan, karya-karya Pramoedya di Singapura sudah mempunyai percetakan tersendiri yang dipasarkan khusus untuk segmen Singapura.

Tampilnya Pramoedya sebagai pahlawan kebangkitan bangsa-bangsa Asia Tenggara ternyata memunculkan kegamangan bagi Negeri Jiran. “Malaysia mempunyai masalah dalam penuntasan revolusi nasionalnya,” demikian analisis Max Lane. Negara tetangga dekat Indonesia ini memang tidak sempat merasakan perjuangan heroik dan berdarah-darah dalam rangka mencapai kemerdekaan. Dengan demikian, gelora semangat yang digulirkan Pramoedya tentu saja tidak terlalu mengena di dalam lubuk hati segenap orang Malaysia.

Meskipun begitu, timpal Max Lane, peredaran karya-karya Pramoedya di Malaysia masih cukup menggembirakan. Di negeri bekas koloni Inggris itu, buku-buku Pramoedya dicetak dan diedarkan dalam bahasa Inggris.

Bahasa Bersama: Tonggak Kebudayaan Nasional

Di sela-sela pemaparannya, Max Lane juga menyoroti soal bahasa nasional. Menurut Max, yang menjadi komponen utama dalam upaya membangun dan memperkokoh kebudayaan nasional adalah sastra bersama atau bahasa pemersatu sebagai wujud identitas berbangsa. Pramoedya, kata Max Lane, melalui karya-karya sastranya telah berhasil menanamkan pengaruh bahasa Indonesia sebagai tonggak kebudayaan nasional. “Sifat dari nation adalah bahasa bersama,” kata Pramoedya seperti yang dikutip Max Lane pada diskusi siang itu.

Hal yang seperti ini, lanjut Max, masih belum bisa ditemukan di Malaysia. Max Lane lantas bercerita bahwa dia pernah melontarkan wacana: bahasa apakah yang paling tepat digunakan untuk buku-buku Pramoedya yang diedarkan di Malaysia. Banyak kalangan di Malaysia, terutama dari orang-orang Melayu dan Tionghoa, sepakat bahwa bahasa yang paling bisa diterima adalah bahasa Inggris, baru kemudian bahasa Melayu sebagai bahasa kedua.

Sementara bahasa Kanton maupun Mandarin, bahasa orang-orang Tionghoa yang populasinya cukup banyak di Malaysia, justru tidak masuk hitungan, bahkan dukungan pun jarang datang dari kalangan Tionghoa sendiri. Dengan adanya fenomena seperti ini, ujar Max Lane, Malaysia lagi-lagi bermasalah dengan identitas nasionalnya bahwa mereka tidak atau belum memiliki bahasa bersama. Soal bahasa lingua franca, Malaysia masih nihil.

Minke, tokoh utama dalam “Tetralogi Pulau Buru” Pramoedya, yang merupakan representasi dari Tirto Adhi Soerjo, yang oleh Pramoedya disebut-sebut sebagai bapak pers nasional melalui bukunya bertajuk Sang Pemula, merupakan orang Indonesia yang memperkenalkan bahasa Melayu pasar sebagai lingua franca di kalangan rakyat Bumiputera.

Tirto Adhi Soerjo konsisten menggunakan bahasa Melayu pasar, bahasa Pribumi kebanyakan dan bukan bahasa Melayu tinggi yang hanya digunakan oleh kalangan tertentu, dalam setiap penerbitan surat kabarnya, dari masa ketika Tirto bekerja untuk surat kabar Pembrita Betawi (1901) hingga saat Tirto berhasil menerbitkan seabrek koran, terutama Soenda Berita (1902), Medan Prijaji (1907), juga surat kabar perempuan Poetri Hindia (1908).

Selain itu, Max Lane juga menyayangkan tidak diberikannya materi sastra nasional dalam sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini, sastra nasional masih menumpang pada pelajaran bahasa Indonesia, dan itu pun belum begitu mendalam. Max mengeluh, “Indonesia adalah satu-satunya negara di Indonesia yang tidak mengajarkan mata pelajaran sastra nasional di sekolah!” Padahal, tambah Max, Indonesia sangat kaya akan karya sastra berkualitas, termasuk karya sastra hasil guratan tangan dan pemikiran Pramoedya Ananta Toer.

Dalam sesi diskusi yang dibagi dalam dua termin seusai Max Lane memaparkan materi, muncul beberapa pertanyaan yang cukup menarik. Salah seorang peserta diskusi menanyakan kepada Max, meski beberapa kali masuk nominasi peraih nobel, tetapi mengapa Pramoedya tidak pernah merasakan penghargaan prestisius itu? “Apakah hanya karena Pramoedya adalah orang Asia Tenggara, terlebih lagi berasal dari Indonesia?” demikian pertanyaan untuk Max Lane.

Max menjawab, kegagalan Pramoedya meraih nobel lebih dikarenakan alasan politis, bahwa sepak-terjang Pramoedya di bidang politik sebelum tahun 1965 masih cukup masif dan mungkin faktor inilah yang kemudian menyebabkan nobel belum bisa jatuh ke tangan Pramoedya. “Namun, mayoritas dunia sudah mengakui kualitas Pramoedya dan dia sangat layak untuk memperoleh penghargaan nobel,” tegas Max Lane.

Akhir kata, Max Lane dengan mantap menegaskan bahwa Pramoedya, melalui pemikiran dan karya-karyanya, telah menjelma menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam merangsang tradisi pergerakan di kawasan Asia Tenggara. “Pramoedya Ananta Toer adalah sejarawan yang paling radikal dan mempelopori kebangkitan di Asia Tenggara,” simpul Max Lane memungkasi sesi diskusi.

*) Tulisan ini merupakan hasil liputan untuk MelayuOnline.com, dengan judul “Max Lane: Pramoedya Pelopor Kebangkitan Asia Tenggara”, diposting tanggal 22 Mei 2009.
Dijumput dari: http://dejavaraditya.wordpress.com/2009/08/02/pesona-pramoedya-di-asia-tenggara/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati