Iswara N Raditya
MelayuOnline.com
Nama besar Pramoedya Ananta Toer memang sudah kesohor ke seluruh pelosok bumi. Lantas, bagaimana pesona Pramoedya di wilayah Asia Tenggara? Apakah jejak-jejak Pramoedya di rumpun Melayu itu juga jelas terpacak? Tema inilah yang menjadi perbincangan menarik dalam seminar bertajuk “Pramoedya Ananta Toer di Asia Tenggara” yang diselenggarakan Pusat Studi Sosial Asia Tenggara (PSSAT) Universitas Gajah Mada (UGM), Selasa, 19 Mei 2009, yang lalu.
Seminar yang diadakan di Lantai 5 Gedung Pascasarjana UGM, Jalan Teknika Utara, Barek, Sleman, tersebut menghadirkan Max Lane sebagai pemateri utama. Max Lane adalah penerjemah karya-karya Pramoedya Ananta Toer ke dalam bahasa Inggris sekaligus pengajar di Malay Studies, National University of Singapore. Lelaki asal Australia kelahiran 16 Januari 1951 ini telah lama menekuni studi tentang Indonesia dan Malaysia sejak menempuh perkuliahan di Universitas Sydney di mana dia mendapat gelar Bachelor of Arts (Honours) tahun 1972. Selain menerjemahkan karya-karya Pramoedya, penggagas majalah Inside Indonesia yang terbit pada 1981 ini juga banyak memberi catatan atas berbagai karya penyair WS Rendra dan telah menulis beberapa buku.
Dalam uraian pembukanya, Max Lane mengatakan, tema yang diangkat dalam diskusi siang itu cukup unik dan tak biasa, di mana dia harus “membenturkan” sosok Pramoedya Ananta Toer dengan rumpun budaya dan geografis Asia Tenggara. “Kebudayaan Melayu yang tersebar di negara-negara Asia Tenggara dipersatukan oleh satu semangat yang sama, kendati dengan proses dan corak berbeda-beda, yaitu semangat melawan kolonialisme!” seru Max Lane dalam bahasa Indonesia yang nyaris sempurna.
“Kebangkitan nasional bangsa Indonesia dipengaruhi oleh semangat pergerakan bangsa-bangsa di Asia,” tutur Max Lane. Salah satunya, lanjut Max, seperti yang terjadi di Asia Tenggara yaitu perjuangan rakyat Filipina menentang penindasan Spanyol pada akhir abad ke-19. Jose Rizal, motor aksi pergerakan rakyat Filipina, menjadi salah satu inspirator Pramoedya dalam menggugah semangat kebangsaan rakyat Indonesia melalui karya-karyanya.
Pramoedya Merevolusi Asia Tenggara
Max Lane melihat bahwa pemikiran Pramoedya tentang Asia Tenggara setidaknya terfokus ke dalam dua poin penting. Pertama, menyikapi geliat juang bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang marak di penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20, Pramoedya melihat bahwa bangsa-bangsa di Asia Tenggara tidak bergerak sendiri-sendiri, melainkan berdasarkan asas internasionalisme. Gejala ini bisa dimaknai bahwa bangsa-bangsa di Asia Tenggara yang ditindas oleh kolonialisme Eropa bergerak bersama dalam lingkup regional.
Kedua, masih menurut Max Lane, Pramoedya juga cenderung meyakini bahwa kebangkitan bangsa-bangsa di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia dan Filipina, terwujud akibat rangsangan dari situasi politik yang terjadi di beberapa negara di Asia, termasuk Revolusi Cina dan perlawanan Jepang terhadap Rusia. Keberanian bangsa-bangsa di benua terbesar inilah yang kemudian memantik kebangkitan dari bangsa-bangsa lain di Asia, tidak terkecuali di Asia Tenggara.
Khusus di Indonesia, Pramoedya mencermati bahwa gerakan menuju revolusi yang terjadi di negeri ini merupakan gerakan yang paling lengkap unsur-unsurnya. Revolusi Indonesia, dalam kacamata Pramoedya, menyerap semua unsur penting yang menentukan perubahan dunia, yaitu Manifesto Komunis (Eropa), Declaration of Independent (Amerika), dan pidato-pidato Dr. Sun Yat Sen (Asia). “Revolusi Indonesia merupakan kombinasi dari semua ide-ide dari seluruh dunia,” kata Max Lane menegaskan rumusan Pramoedya.
Max Lane, yang sejak tahun 2003 menjadi peneliti pada Departemen Penelitian Asia di Universitas Murdoch-Perth, menyatakan keyakinan Pramoedya bahwa revolusi hanya akan dapat dicapai melalui tiga gerakan penting. Pertama, revolusi dilakukan dari bawah karena Pramoedya sangat yakin kaum borjuis tidak bisa berbuat apapun demi revolusi. Kedua, menggunakan kuasa pers/surat kabar sebagai alat perjuangan. Ketiga, perubahan yang dilakukan harus benar-benar revolusioner, menyeluruh, dan tuntas sampai ke akar-akarnya.
Max Lane menukil pernyataan Pramoedya bahwa dia sepenuh-penuhnya adalah orang Indonesia, bukan orang Jawa. Keindonesiaan yang dimiliki Pramoedya itu, menurut hemat Max Lane, adalah bentuk nasionalisme yang khas dan berani. Pramoedya menggambarkan Indonesia sebagai makhluk yang benar-benar baru, bukan merupakan perpanjangan dari yang sudah ada, bukan kelanjutan dari Majapahit atau Sriwijaya, bukan pula warisan dari rezim kolonial Eropa ataupun Jepang. Indonesia adalah kreasi baru yang dimulai pada awal abad ke-20. “Legitimasi Indonesia tidak harus dicari dari masa lalu, tetapi dari proses kreatif itu sendiri,” tutur Pramoedya seperti yang dibahasakan Max Lane.
Prinsip keindonesiaan seperti itulah yang digunakan Pramoedya untuk melihat proses kebangkitan di negara-negara Asia Tenggara lainnya yang tentu saja berbeda dengan apa yang terjadi di Indonesia. “Setiap bangsa di Asia Tenggara punya proses kreatif dan sejarah sendiri-sendiri, memiliki watak dan kebudayaan masing-masing,” ungkap Max Lane yang dalam kesempatan itu menjadi pembicara tunggal.
Selanjutnya Max Lane mengatakan, bangsa-bangsa besar di Asia Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina, memendam hasrat yang hampir seragam. Kesemua negara itu bangkit karena dibangunkan oleh fenomena kolonial yang menurut Max, juga Pramoedya, semua proses dan hasil perjuangan bangsa-bangsa di Asia Tenggara adalah gerakan revolusi, dan itu semua belum selesai.
Jejak-Langkah Pramoedya di Jazirah Melayu
Pesona Pramoedya di ranah sastra dunia tidak perlu diperdebatkan lagi. Publik Asia Tenggara pun turut bertakzim terhadap kiprah seorang anak semua bangsa bernama Pramoedya Ananta Toer. Rasa hormat itu salah satunya datang dari Filipina, di mana Pramoedya memperoleh “Ramon Magsaysay Award” pada 1995. Ironisnya, pemberian penghargaan tersebut justru ditentang oleh beberapa sastrawan dari Indonesia sendiri. Atas nama dendam sejarah, sejumlah pelaku sastra bernama besar, termasuk Mochtar Lubis dan HB Jassin, menulis surat protes atas penghargaan kepada Pramoedya itu. Nasib sial Pramoedya yang selalu menjadi orang asing di negeri sendiri, dari zaman kolonial, era Orde Lama di bawah kuasa Sukarno, hingga rezim Soeharto yang memimpin Orde Baru selama 32 tahun.
Di luar kontroversi tersebut, karya-karya Pramoedya, terutama serial “Tetralogi Pulau Buru” (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca) yang melegenda itu, ternyata digandrungi di seantero Asia Tenggara. Bahkan, seperti yang dipaparkan Max Lane sebagai penerjemah buku-buku Pramoedya, saking larisnya, buku-buku Pramoedya di Filipina banyak yang beredar dalam bentuk buku bajakan.
Apa yang terjadi di Singapura lain lagi. Kondisi politik dan pemerintahan di negara tempat Max Lane saat ini bermukim itu jauh dari kebebasan, terbelenggu oleh kebijakan represif yang diberlakukan oleh penguasa. Namun, kata Max Lane, “Generasi muda di Singapura sekarang banyak yang justru tertarik terhadap pemikiran Pramoedya.”
Ajaran Pramoedya yang mendorong manusia untuk memiliki sifat humanis, berpikir sendiri, serta bertindak berani demi perubahan, membuat buku-buku Pramoedya laris manis di Singapura. Bahkan, tambah Max Lane, untuk memenuhi banyaknya permintaan, karya-karya Pramoedya di Singapura sudah mempunyai percetakan tersendiri yang dipasarkan khusus untuk segmen Singapura.
Tampilnya Pramoedya sebagai pahlawan kebangkitan bangsa-bangsa Asia Tenggara ternyata memunculkan kegamangan bagi Negeri Jiran. “Malaysia mempunyai masalah dalam penuntasan revolusi nasionalnya,” demikian analisis Max Lane. Negara tetangga dekat Indonesia ini memang tidak sempat merasakan perjuangan heroik dan berdarah-darah dalam rangka mencapai kemerdekaan. Dengan demikian, gelora semangat yang digulirkan Pramoedya tentu saja tidak terlalu mengena di dalam lubuk hati segenap orang Malaysia.
Meskipun begitu, timpal Max Lane, peredaran karya-karya Pramoedya di Malaysia masih cukup menggembirakan. Di negeri bekas koloni Inggris itu, buku-buku Pramoedya dicetak dan diedarkan dalam bahasa Inggris.
Bahasa Bersama: Tonggak Kebudayaan Nasional
Di sela-sela pemaparannya, Max Lane juga menyoroti soal bahasa nasional. Menurut Max, yang menjadi komponen utama dalam upaya membangun dan memperkokoh kebudayaan nasional adalah sastra bersama atau bahasa pemersatu sebagai wujud identitas berbangsa. Pramoedya, kata Max Lane, melalui karya-karya sastranya telah berhasil menanamkan pengaruh bahasa Indonesia sebagai tonggak kebudayaan nasional. “Sifat dari nation adalah bahasa bersama,” kata Pramoedya seperti yang dikutip Max Lane pada diskusi siang itu.
Hal yang seperti ini, lanjut Max, masih belum bisa ditemukan di Malaysia. Max Lane lantas bercerita bahwa dia pernah melontarkan wacana: bahasa apakah yang paling tepat digunakan untuk buku-buku Pramoedya yang diedarkan di Malaysia. Banyak kalangan di Malaysia, terutama dari orang-orang Melayu dan Tionghoa, sepakat bahwa bahasa yang paling bisa diterima adalah bahasa Inggris, baru kemudian bahasa Melayu sebagai bahasa kedua.
Sementara bahasa Kanton maupun Mandarin, bahasa orang-orang Tionghoa yang populasinya cukup banyak di Malaysia, justru tidak masuk hitungan, bahkan dukungan pun jarang datang dari kalangan Tionghoa sendiri. Dengan adanya fenomena seperti ini, ujar Max Lane, Malaysia lagi-lagi bermasalah dengan identitas nasionalnya bahwa mereka tidak atau belum memiliki bahasa bersama. Soal bahasa lingua franca, Malaysia masih nihil.
Minke, tokoh utama dalam “Tetralogi Pulau Buru” Pramoedya, yang merupakan representasi dari Tirto Adhi Soerjo, yang oleh Pramoedya disebut-sebut sebagai bapak pers nasional melalui bukunya bertajuk Sang Pemula, merupakan orang Indonesia yang memperkenalkan bahasa Melayu pasar sebagai lingua franca di kalangan rakyat Bumiputera.
Tirto Adhi Soerjo konsisten menggunakan bahasa Melayu pasar, bahasa Pribumi kebanyakan dan bukan bahasa Melayu tinggi yang hanya digunakan oleh kalangan tertentu, dalam setiap penerbitan surat kabarnya, dari masa ketika Tirto bekerja untuk surat kabar Pembrita Betawi (1901) hingga saat Tirto berhasil menerbitkan seabrek koran, terutama Soenda Berita (1902), Medan Prijaji (1907), juga surat kabar perempuan Poetri Hindia (1908).
Selain itu, Max Lane juga menyayangkan tidak diberikannya materi sastra nasional dalam sistem pendidikan di Indonesia. Selama ini, sastra nasional masih menumpang pada pelajaran bahasa Indonesia, dan itu pun belum begitu mendalam. Max mengeluh, “Indonesia adalah satu-satunya negara di Indonesia yang tidak mengajarkan mata pelajaran sastra nasional di sekolah!” Padahal, tambah Max, Indonesia sangat kaya akan karya sastra berkualitas, termasuk karya sastra hasil guratan tangan dan pemikiran Pramoedya Ananta Toer.
Dalam sesi diskusi yang dibagi dalam dua termin seusai Max Lane memaparkan materi, muncul beberapa pertanyaan yang cukup menarik. Salah seorang peserta diskusi menanyakan kepada Max, meski beberapa kali masuk nominasi peraih nobel, tetapi mengapa Pramoedya tidak pernah merasakan penghargaan prestisius itu? “Apakah hanya karena Pramoedya adalah orang Asia Tenggara, terlebih lagi berasal dari Indonesia?” demikian pertanyaan untuk Max Lane.
Max menjawab, kegagalan Pramoedya meraih nobel lebih dikarenakan alasan politis, bahwa sepak-terjang Pramoedya di bidang politik sebelum tahun 1965 masih cukup masif dan mungkin faktor inilah yang kemudian menyebabkan nobel belum bisa jatuh ke tangan Pramoedya. “Namun, mayoritas dunia sudah mengakui kualitas Pramoedya dan dia sangat layak untuk memperoleh penghargaan nobel,” tegas Max Lane.
Akhir kata, Max Lane dengan mantap menegaskan bahwa Pramoedya, melalui pemikiran dan karya-karyanya, telah menjelma menjadi sosok yang sangat berpengaruh dalam merangsang tradisi pergerakan di kawasan Asia Tenggara. “Pramoedya Ananta Toer adalah sejarawan yang paling radikal dan mempelopori kebangkitan di Asia Tenggara,” simpul Max Lane memungkasi sesi diskusi.
*) Tulisan ini merupakan hasil liputan untuk MelayuOnline.com, dengan judul “Max Lane: Pramoedya Pelopor Kebangkitan Asia Tenggara”, diposting tanggal 22 Mei 2009.
Dijumput dari: http://dejavaraditya.wordpress.com/2009/08/02/pesona-pramoedya-di-asia-tenggara/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar