Minggu, 01 Juni 2014

“Sekayu” Karya Nh. Dini Sebagai Catatan Kearifan Lokal

Redhitya Wempi Ansori
http://naskahesai.blogspot.com
 
Kepada ramuna guruku
Kepada kampungku sekayu
Dengan harapan dia tidak akan
Berganti nama di masa mendatang


Itulah cuplikan yang dituliskan Nh. Dini untuk mengawali cerita-cerita dalam novel yang berjudul sekayu, novel yang ditulis dengan latar desa tempat tinggal masa kecilnya yang penuh dengan kenangan dan lika-liku hidup. Kenangan ketika ayahnya masih hidup dan dan menemani hari-harinya menjalani berbagai aktivitas pada masa kecilnya hingga ia jadikan pundi-pundi inspirasi dalam karya-karyanya termasuk dalam sekayu . dalam kehadirannya suatu karya sastra tidak akan pernah lepas dari suatu proses kreatif yang selalu mendampingi terciptanya suatu karya sastra. Proses kreatif yang dialami Nh. Dini dalam menciptakan karya-karyanya termasuk novel sekayu adalah pengalaman dan kisah-kisah hidupnya pada masa kecil hingga ia remaja bahkan dewasa. Jika kita membaca karya Nh. Dini kita seperti diajak berputar-putar pada sebuah kisah masa lalu yang dialami penulis. Setiap kejadian yang  digambarkan penulis melalui untaian kata demi kata hingga membentuk kalimat yang mampu ditangkap, sehingga membentuk imajinasi membaca yang seolah tampak nyata. Setiap peristiwa dari masa ke masa ia tuliskan dengan tidak melewatkan selembar kisah pun yang ia alami untuk dijadikannya suatu kisah yang menjadi sumber inspirasinya. Sebuah kisah kecil yang tertuang dalam novel sekayu mengungkapkan beberapa ciri khas budaya yang tidak dimiliki daerah lain dalam lingkup kecil bahkan dalam lingkup besar tidak dimiliki Negara lain. Kisah-kisah yang mengungkapkan betapa besarnya budaya dan ciri khas budaya yang terdapat dalam suatu desa kecil di daerah Sekayu, yang berada di Semarang Jawa Tengah yang mempunyai banyak kearifan lokal. Melalui karya sastra Nh. Dini ingin menjadi sebuah catatan kecil menganai desa sekayu pada masa itu, dengan goresan pena-pena yang membalut kisah-kisah sederhana penulis ingin menjadikan karyanya secara tidak langsung menjadi sebuah catatan sejarah yang diilhami dari cerita yang dituliskan dalam suatu karya. Meskipun A. Teew dalam bukunya pernah menyebutkan bahwa sastra bukan merupakan catatan sejarah, dengan berbagai pertimbangan bahwa karya sastra kebanyakan merupakan karya fiksi dan rekaan dari penciptanya untuk menimbulkan suatu kepuasaan dalam batin penulis atau sastrawan. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep sejarah yang merupakan hasil yang tidak dibuat-buat dan benar-benar terjadi di masa lalu. Memang dalam karya sastra tidak dapat mewakili konteks sejarah yang sesungguhnya, tapi setidaknya dalam karya sastra dapat mengungkapkan suatu kejadian pada masa yang melingkupi inspirasi pengarang ketika menulis suatu karya. Termasuk dalam konteks melihat suatu kearifan lokal yang berada dalam suatu daerah pada masa lalu yang diungkapkan melalui suatu karya sastra. Seiring berjalannya waktu terkadang nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di suatu daerah itu tidak bisa bertahan hingga hanya menyisakan puing-puing kecil dari kearifal lokal itu sendiri, bahkan terkadang kearifan itu ikut hanyut dalam arus modernisasi dan globalisasi, sehingga tidak tersisa sama sekali bahkan tidak ada bangkainya. Dalam hal ini diperlukan suatu catatan kecil yang dapat mengangkat kembali suatu kearifan lokal yang terdapat dalam suatu daerah dalam konteks ini catatan tersebut adalah karya sastra. Nh. Dini sebagai sastrawan telah melakukan hal tersebut, meskipun tampaknya dia tidak menyadarinya yang  dilakukan pada masa itu adalah berkarya dengan tujuan menghasilkan suatu karya yang dapat memuaskan batinnya sebagai seorang sastrawan. Kearifan lokal yang digambarkan dalam suatu pengkaryaan sastra yang merupakan esensi dari suatu catatan yang secara tidak langsung turut serta melestarikan suatu budaya dan kearifan lokal yang terjadi pada suatu masa.

Sosok Nh. Dini


Penulis Indonesia yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, atau lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini lahir di Sekayu, Semarang, Jawa Tengah 29 Februari 1936. Nh. Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya yang penuh larangan ini tertuang dalam kumpulan ceritanya yang berjudul “Sekayu”.  NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.


 Nh. Dini lebih dikenal sebagai seorang sastrawan yang kebanyakan dari kisah yang ditulisnya mengisahkan tokoh wanita yang memberontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia dari kecaman laki-laki. Novel pertama Ibu dari Marie Claire Lintang dan Pierre Louris Padang ini berjudul Dua Dunia (1956) yang dengan ringannya ia menyatakan bahwa tulisan-tulisannya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya khayalan. Disusul dengan karya Nh. Dini selanjutnya yaitu La Barka (1973) dan Pada Sebuah Kapal (1985) yang tidak dipungkiri telah memberinya sebuah pengakuan sebagai seorang sastrawan.


N.H. Dini menikah dengan seorang diplomat Perancis bernama Yves Coffin. Dini berpisah dengan suaminya itu pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta. Pada saat bersuamikan Yves, Dini benar-benar memanfaatkan keadaannya sebagai seorang istri diplomat yang berkesempatan menetap di berbagai Negara. Dia menulis cerita-cerita yang bersetting di berbagai Negara berdasarkan pengalamannya. Pada periode ini hadirlah novel-novel N.H. Dini yang berjudul Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), dan Namaku Hiroko (1977). Selain novel-novel yang bersettingkan di berbagai Negara tersebut, Nh. Dini juga menulis novel yang berlatar di tempat kelahirannya di Semarang seperti Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979). Selain novel-novel tersebut, Nh. Dini pun menulis Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989; perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), dan Kemayoran (2000).


Karena karya-karyanya itu, ia diakui sebagai salah seorang penulis pertama yang mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara terbuka dan blak-blakan ke dalam tulisan. Selain itu, tidak heran jika penghargaan-penghargaan telah berhasil diperolehnya, yaitu : Penghargaan sastra terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), SEA Write Award bidang sastra dari Pemerintah Thailand. Walaupun banyak kenangannya berpusat pada kehidupannya di Semarang dan kemudian di Paris, Ia kini tinggal di Yogyakarta.


Perannya di dunia sastra tidak diragukan karena dia adalah perempuan pertama yang dengan blak-blakan menceritakan pengalaman hidupnya melalui cerita-ceritanya. Selain Nh. Dini pada periode ini tercatat oleh Rosidi beberapa perempuan pengarang wanita lain, yaitu Surtiningsing, Nj. Dyiantinah B Supeno, dan Hartini. Mereka adalah para penulis cerpen yang dimuat di sejumlah majalah.


Hingga kini, Nh. Dini telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra. Cerita kenangan “Sekayu” sebagai karya sastra yang diinspirasikan dari kehidupan dan pengalaman-pengalaman Nh. Dini secara tidak langsung menuntun pembacanya untuk dapat mengenali kehidupan Nh. Dini semasa remaja yang patut diteladani.  


Kearifan Lokal dalam Novel “sekayu”
            

Novel “sekayu” karya salah satu novelis perempuan Indonesia yang bernama Nh. Dini disadari atau tidak oleh penikmat karya sastra dalam hal ini adalah penggemar karya-karya masterpiece Nh. Dini banyak terdapat unsur-unsur kearifan lokal. Kearifan lokal dalam “sekayu” tidak bisa dilewatkan begitu saja karena unsur ini penting sebagai sebuah catatan identitas suatu bangsa Indonesia dalam konteks ini adalah kearifan lokal dari budaya jawa. Kebanyakan dari penikmat karya sastra Nh. Dini ketika membaca akan terlalu terbuai dengan kisah-kisah yang dikemas secara sederhana dan indah dengan dihiasi peristiwa dan kejadian yang tampak nyata, sehingga menghidupkan imajinasi pembaca. Hal lain yang menjadi fokus pembaca karya-karya Nh. Dini adalah mereka hanya terfokus dengan tokoh-tokoh yang berada dalam novel tersebut seperti telah diketahui bahwa Nh. Dini merupakan tokoh feminis. Karya-karya Nh. Dini selalu identik dengan penyetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan dan juga tentang bagaimana kehidupan perempuan itu tidak hanya dianggap sebagai orang yang hanya di dapur saja, tapi lebih dari itu perempuan mampu melaukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki ini tergambar dari salah satu kutipan yang ada dalam novel sekayu berikut ini “aku tidak akan melupakan perbantahaanku dengan nugroho, sampai-sampi dia hampir memukulku seandainya Utono tidak segera muncul untuk melerai kami”  kejadian dalam kutipan tersebut terjadi karena tokoh ‘aku’ ingin dianggap sebagai seseorang yang telah dewasa, sebagai wanita yang mulai beranjak dewasa yang sudah tidak seperti anak kecil lagi sehingga dia tidak mau diatur lagi dalam arti tidak banyak larangan dan tokoh ‘Nugroho’ yang merupakan kakak dari tokoh ‘aku’ ingin selalu bersikap melindungi adik perempuannya, karena adiknya merupakan sosok perempuan yang dianggapnya lemah dan memerlukan sosok laki-laki untuk melindunginya. dari hal tersebut dapat dilihat bahwa sosok Nh. Dini merupakan sosok feminisme dalam karya-karyanya. Hal itulah yang terkadang banyak menjadi fokus atau tinjauan telaah untuk menjadi pijakan dalam mengkritisi karya-karya Nh. Dini. Bertolak dari keadaan tersebut memerlukan adanya nuansa baru dalam menelaah karya Nh. Dini yang berjdul sekayu yang dapat ditinaju dari perspektif lain seperti yang telah dipaparkan di atas mengenai kearifan lokal dalam novel tersebut. Seiring perkembangan zaman di sadari atau tidak oleh bangsa Indonesia sendiri, bahwa bangsa Indonesia kehilangan unsur-unsur kearifan lokal yang menjadi identitas bangsa Indonesia, karena tergerus arus globalisasi dan modernisasi yang melahap habis kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai warisan nenek moyang yang seharusnya dilestarikan sebagai sebuah dasar pijakan untuk mengatur interaksi kehidupan di dalam masyarakat. para pemuda Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa tidak mengenali budaya dari bangsanya sendiri, tapi malah mengetahui dan paham dengan budaya bangsa lain. Hal ini ironis bagi bangsa Indonesia sendiri, dalam konteks pembangunan diberbagai sektor justru bangsa ini terpuruk, karena adanya krisis budaya. Dari sekian pemuda-pemudi di zaman ini jika di survey hanya beberapa saja yang sadar dan menyenangi budaya Indonesia, begitu juga mengenai hubungan yang mengatur pergaulan pemuda pada era ini,kecenderungan mereka bercermin dari budaya bangsa lain sebagai titik tolak gaya hidup yang mengatur suatu tingkah laku mereka. Ini merupakan gambaran nyata hilangnya kearifan lokal yang ada dalam suatu budaya bangsa. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu elemen yang merevitalisasi kearifan lokal dari suatu daerah tersebut, sehingga tidak tergerus arus globalisasi yang kian tidak terbendung lajunya. Karya sastra merupakan salah satu elemen penting yang secara tidak disadari sekian banyak orang untuk dijadikan sebagai pijakan untuk membangun kembali kearifan lokal masa lalu yang dulunya menjadi suatu pola yang mengatur secara harmonis hubungan manusia dengan manusia di dalam masyarakat dan juga mengatur hubungan manusia dengan alamnya yang sudah banyak tidak di sadari oleh manusia pada zaman ini. Karya Nh. Dini yang berjudul sekayu  ini banyak sekali menggambarkan kearifan lokal pada zaman itu yang sangat penting diketahui oleh orang-orang pada zaman ini umumnya dan remaja pada era ini khususnya. Fungsi karya sastra dalam kegiatan ini dapat diberdayakan secara maksimal tidak hanya sebagai suatu unsur seni dan keindahan saja (dulce) dalam karya sastra itu tapi juga ada manfaat(utile) yang memberikan sumbangsih terhadapat pelestarian budaya bangsa dalam konteks ini adalah kearifan lokal dan nilai-nilai luhur budaya jawa yang terdapat dalam novel sekayu. Diantara terdapat dalam kutipan sebagai berikut “pada waktu ibu memaksaku menahan nafas untuk minum jamu penyembuh penyakit gatal atau jamu perangsang nafsu makan” dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa pengobatan tradisional asli Indonesia masih dipakai meskipun tidak dipungkiri pada zaman itu sudah ada dokter dan peralatan medis sudah lumayan canggih tapi masyarakat pada zaman itu masih setia akan ramuan tradisonal warisan leluhur seperti jamu. Ini merupakan kearifan lokal warisan luluhur menganai pengobatan yang harusnya dilestarikan karena secara kualitas efeknya juga tidak kalah dengan pengobatan-pengobatan modern karena memang menggunakan bahan-bahan alami bukan dari proses kimia yang mempunyai kecenderungan efek yang berbahaya bagi tubuh manusia. Hal tersebut kontradiktif dengan yang ada pada zaman sekarang, kebanyakan orang-orang di zaman ini lebih percaya dengan pengobatan medis yang menggunakan teknologi dalam proses pengobatannya akibatnya adalah pengobatan tradisional sekian lama semakin sedikit dan bahkan bisa punah jika tidak di lestarikan. Tradisi minum jamu ini pada zaman dahulu bukan hanya untuk pengobatan saja melainkan juga sebagai minuman tradisonal yang yang menyehatkan ini dibuktikan dalam kutipan novel berikut “kadang-kadang meskipun tidak sakit, ibu mewajibkan kami meminum beberapa teguk jamu yang dijajakan oleh mbok jamu. Akar-akar dan daun-daun itu amat baik buat pertumbuhan badan, buat peredaran darah, demikian kata ibu”. Dari kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa minum jamu merupakan suatu tradisi yang menyehatkan selain terbuat dari bahan alami yang menyehatkan badan jamu juga memberikan efek pengobatan seperti fungsi awalnya. Jamu juga dikonsumsi ketika santai meskipun rasanya tidak seenak minuman-minuaman kemasan yang ada pada zaman ini yang tentunya orang-orang akan memilih minuman dengan rasa yang enak tapi tidak disadari kebanyakan minuman kemasan terbuat dari bahan-bahan yang tidak sehat tidak baik untuk tubuh.

Tidak hanya mengenai pengobatan tradisonal dalam hal ini jamu kearifan lokal yang ada dalam sekayu,tetapi juga cara berpakaian yang menunjukan suatu kesantunan dan terdapat nilai kesopanan yang merepresentasikan kearifan lokal dalam konteks busana hal ini terdapat dalam kutipan sebagai berikut “penjualnya perempuan tua-muda, selalu berpakaian rapi dan menyenangkan dipandang. Sanggulnya selalu dengan sunggaran yang mengembang lebar di atas kuping, amat pantas dengan bentuk kepala. Kebayanya terbuat dari bahan berbunga-bunga, terang dan bersorak di tengah-tengah lapangan rumput itu, seperti menyimpan sinar tersendiri”. tata cara berpakaian yang pada zaman ini sudah mulai hilang adalah kesopan santunan dan etika dalam berbusana, banyak pemuda pada zaman sekarang khususnya wanita tidak memperhatikan tata cara dan etika berpaiakan yang baik. Kecenderungan mereka terhadap budaya bangsa lain membuat pola pikir mereka berubah dalam hal berpakaian. Mereka lebih memandang budaya bangsa lain lebih unggul dan memandang budaya bangsa sendiri itu terlalu kolot dan tidak modern. Masalah ini yang menjadikan kini kebaya dan pakaian tradisonal lainnya hanya dipakai pada acara tertentu saja dan yang memakai kebanyakan adalah orang-orang yang sudah berumur jarang dari perempuan yang masih muda. Akibatnya kearifan lokal mengenai tata cara berbusana jawa kian lama kian habis, bukan tidak mungkin kebaya hanya akan ada di mesium karena sudah jarang digunakan. Dalam interkasi sosial di suatu masyarakat tidak jarang terjadi konflik-konflik sosial yang sifatnya ringan dan wajar dan hal itu tidak berlangsung lama. Masyarakat jawa khususnya jika ada suatu hal yang tidak disukai terhadap suatu hal orang jawa akan memilih diam karena orang jawa terkenal dengan sifat yang menghindari konflik, mereka lebih menghindari situasi-situasi yang dapat menimbulkan ketegangan sosial dengan cara memendam sesuatu hal tersebut, seperti dalam kutipan dalam novel sebagai berikut “sejak itu aku tidak pernah berkunjung ke rumah pak Yanto lagi. Kukatakan kepadanya bahwa aku sudah mengerti soal-soal hitungan dan pada kesempatan penen buah manga yang lebat, ibu tidak lupa mengirim selusin buah manga golek kepadanya. Kami tidak saling bermarahan, oh, tidak. Dia kadang-kadang juga muncul, berkunjung ke rumah kami, karena ada keperluan dengan Teguh”. Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa, orang jawa meskipun ada suatu konflik sosial antar individu di dalam masyarakat. mereka cenderung menutupinya dengan cara saling memperbaiki hubungan karena sifat orang jawa yang telah dipaparkan diatas, orang jawa akan lebih senang dengan keadaan cinta damai. Mereka lebih baik menghindari adanya konflik dan memilih diam dalam suatu kondisi yang membuatnya tidak nyaman. Ketika ada masalah pun seperti yang terjadi dalam kutipan novel tersebut. Mereka tetap baik dengan orang yang bersangkutan dengan cara memberikan manga ketika sedang panen mangga.


Nevel ini secara garis besar menarik karena terdapat unsur-unsur kearifan lokal yang dapat diangkat menjadi sebuah pembelajaran dan juga dapat dijadikan sebagai catatan sejarah kearifan lokal yang semakin lama semakin habis tergerus oleh budaya modernisasi dan globalisasi. Dalam konteksnya yang sederhana novel ini mampu membius pembaca dengan cara khas penulis menyajikan bentuk-bentuk bahasa novel yang sederhana yang mudah dipahami. Membaca novel ini juga seperti membaca sebuah peristiwa pada zaman yang di alami penulis, karena novel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis pada masa kecilnya.


Daftar Rujukan
Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori  Dan Penerapannya. Malang: penerbit A3 (asih, asah, asuh)
Sumardjo. S. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Qalam 


Dijumput dari:  http://naskahesai.blogspot.com/2013/05/sekayu-karya-nh-dini-sebagai-catatan.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati