Redhitya Wempi Ansori
http://naskahesai.blogspot.com
Kepada ramuna guruku
Kepada kampungku sekayu
Dengan harapan dia tidak akan
Berganti nama di masa mendatang
Itulah cuplikan yang dituliskan Nh. Dini untuk mengawali cerita-cerita dalam novel yang berjudul sekayu, novel yang ditulis dengan latar desa tempat tinggal masa kecilnya yang penuh dengan kenangan dan lika-liku hidup. Kenangan ketika ayahnya masih hidup dan dan menemani hari-harinya menjalani berbagai aktivitas pada masa kecilnya hingga ia jadikan pundi-pundi inspirasi dalam karya-karyanya termasuk dalam sekayu . dalam kehadirannya suatu karya sastra tidak akan pernah lepas dari suatu proses kreatif yang selalu mendampingi terciptanya suatu karya sastra. Proses kreatif yang dialami Nh. Dini dalam menciptakan karya-karyanya termasuk novel sekayu adalah pengalaman dan kisah-kisah hidupnya pada masa kecil hingga ia remaja bahkan dewasa. Jika kita membaca karya Nh. Dini kita seperti diajak berputar-putar pada sebuah kisah masa lalu yang dialami penulis. Setiap kejadian yang digambarkan penulis melalui untaian kata demi kata hingga membentuk kalimat yang mampu ditangkap, sehingga membentuk imajinasi membaca yang seolah tampak nyata. Setiap peristiwa dari masa ke masa ia tuliskan dengan tidak melewatkan selembar kisah pun yang ia alami untuk dijadikannya suatu kisah yang menjadi sumber inspirasinya. Sebuah kisah kecil yang tertuang dalam novel sekayu mengungkapkan beberapa ciri khas budaya yang tidak dimiliki daerah lain dalam lingkup kecil bahkan dalam lingkup besar tidak dimiliki Negara lain. Kisah-kisah yang mengungkapkan betapa besarnya budaya dan ciri khas budaya yang terdapat dalam suatu desa kecil di daerah Sekayu, yang berada di Semarang Jawa Tengah yang mempunyai banyak kearifan lokal. Melalui karya sastra Nh. Dini ingin menjadi sebuah catatan kecil menganai desa sekayu pada masa itu, dengan goresan pena-pena yang membalut kisah-kisah sederhana penulis ingin menjadikan karyanya secara tidak langsung menjadi sebuah catatan sejarah yang diilhami dari cerita yang dituliskan dalam suatu karya. Meskipun A. Teew dalam bukunya pernah menyebutkan bahwa sastra bukan merupakan catatan sejarah, dengan berbagai pertimbangan bahwa karya sastra kebanyakan merupakan karya fiksi dan rekaan dari penciptanya untuk menimbulkan suatu kepuasaan dalam batin penulis atau sastrawan. Hal ini berbanding terbalik dengan konsep sejarah yang merupakan hasil yang tidak dibuat-buat dan benar-benar terjadi di masa lalu. Memang dalam karya sastra tidak dapat mewakili konteks sejarah yang sesungguhnya, tapi setidaknya dalam karya sastra dapat mengungkapkan suatu kejadian pada masa yang melingkupi inspirasi pengarang ketika menulis suatu karya. Termasuk dalam konteks melihat suatu kearifan lokal yang berada dalam suatu daerah pada masa lalu yang diungkapkan melalui suatu karya sastra. Seiring berjalannya waktu terkadang nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat di suatu daerah itu tidak bisa bertahan hingga hanya menyisakan puing-puing kecil dari kearifal lokal itu sendiri, bahkan terkadang kearifan itu ikut hanyut dalam arus modernisasi dan globalisasi, sehingga tidak tersisa sama sekali bahkan tidak ada bangkainya. Dalam hal ini diperlukan suatu catatan kecil yang dapat mengangkat kembali suatu kearifan lokal yang terdapat dalam suatu daerah dalam konteks ini catatan tersebut adalah karya sastra. Nh. Dini sebagai sastrawan telah melakukan hal tersebut, meskipun tampaknya dia tidak menyadarinya yang dilakukan pada masa itu adalah berkarya dengan tujuan menghasilkan suatu karya yang dapat memuaskan batinnya sebagai seorang sastrawan. Kearifan lokal yang digambarkan dalam suatu pengkaryaan sastra yang merupakan esensi dari suatu catatan yang secara tidak langsung turut serta melestarikan suatu budaya dan kearifan lokal yang terjadi pada suatu masa.
Sosok Nh. Dini
Penulis Indonesia yang bernama lengkap Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin, atau lebih dikenal dengan nama pena Nh. Dini lahir di Sekayu, Semarang, Jawa Tengah 29 Februari 1936. Nh. Dini dilahirkan dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ia anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa kecilnya yang penuh larangan ini tertuang dalam kumpulan ceritanya yang berjudul “Sekayu”. NH Dini mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat, Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Nh. Dini lebih dikenal sebagai seorang sastrawan yang kebanyakan dari kisah yang ditulisnya mengisahkan tokoh wanita yang memberontak karena hendak memperjuangkan harga dirinya sebagai manusia dari kecaman laki-laki. Novel pertama Ibu dari Marie Claire Lintang dan Pierre Louris Padang ini berjudul Dua Dunia (1956) yang dengan ringannya ia menyatakan bahwa tulisan-tulisannya lebih banyak mengandung kenyataan hidup daripada hanya khayalan. Disusul dengan karya Nh. Dini selanjutnya yaitu La Barka (1973) dan Pada Sebuah Kapal (1985) yang tidak dipungkiri telah memberinya sebuah pengakuan sebagai seorang sastrawan.
N.H. Dini menikah dengan seorang diplomat Perancis bernama Yves Coffin. Dini berpisah dengan suaminya itu pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta. Pada saat bersuamikan Yves, Dini benar-benar memanfaatkan keadaannya sebagai seorang istri diplomat yang berkesempatan menetap di berbagai Negara. Dia menulis cerita-cerita yang bersetting di berbagai Negara berdasarkan pengalamannya. Pada periode ini hadirlah novel-novel N.H. Dini yang berjudul Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Keberangkatan (1977), dan Namaku Hiroko (1977). Selain novel-novel yang bersettingkan di berbagai Negara tersebut, Nh. Dini juga menulis novel yang berlatar di tempat kelahirannya di Semarang seperti Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1979), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979). Selain novel-novel tersebut, Nh. Dini pun menulis Sekayu (1981), Amir Hamzah Pangeran dari Seberang (1981), Kuncup Berseri (1982), Tuileries (1982), Segi dan Garis (1983), Orang-orang Tran (1985), Pertemuan Dua Hati (1986), Jalan Bandungan (1989), Liar (1989; perubahan judul kumpulan cerita pendek Dua Dunia), Istri Konsul (1989), Tirai Menurun (1995), Panggilan Dharma Seorang Bhikku Riwayat Hidup Saddhamma Kovida Vicitta Bhanaka Girirakkhitto Mahathera (1996), dan Kemayoran (2000).
Karena karya-karyanya itu, ia diakui sebagai salah seorang penulis pertama yang mengetengahkan pengalaman wanita Indonesia secara terbuka dan blak-blakan ke dalam tulisan. Selain itu, tidak heran jika penghargaan-penghargaan telah berhasil diperolehnya, yaitu : Penghargaan sastra terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), SEA Write Award bidang sastra dari Pemerintah Thailand. Walaupun banyak kenangannya berpusat pada kehidupannya di Semarang dan kemudian di Paris, Ia kini tinggal di Yogyakarta.
Perannya di dunia sastra tidak diragukan karena dia adalah perempuan pertama yang dengan blak-blakan menceritakan pengalaman hidupnya melalui cerita-ceritanya. Selain Nh. Dini pada periode ini tercatat oleh Rosidi beberapa perempuan pengarang wanita lain, yaitu Surtiningsing, Nj. Dyiantinah B Supeno, dan Hartini. Mereka adalah para penulis cerpen yang dimuat di sejumlah majalah.
Hingga kini, Nh. Dini telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa “aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi. Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu, karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra. Cerita kenangan “Sekayu” sebagai karya sastra yang diinspirasikan dari kehidupan dan pengalaman-pengalaman Nh. Dini secara tidak langsung menuntun pembacanya untuk dapat mengenali kehidupan Nh. Dini semasa remaja yang patut diteladani.
Kearifan Lokal dalam Novel “sekayu”
Novel “sekayu” karya salah satu novelis perempuan Indonesia yang bernama Nh. Dini disadari atau tidak oleh penikmat karya sastra dalam hal ini adalah penggemar karya-karya masterpiece Nh. Dini banyak terdapat unsur-unsur kearifan lokal. Kearifan lokal dalam “sekayu” tidak bisa dilewatkan begitu saja karena unsur ini penting sebagai sebuah catatan identitas suatu bangsa Indonesia dalam konteks ini adalah kearifan lokal dari budaya jawa. Kebanyakan dari penikmat karya sastra Nh. Dini ketika membaca akan terlalu terbuai dengan kisah-kisah yang dikemas secara sederhana dan indah dengan dihiasi peristiwa dan kejadian yang tampak nyata, sehingga menghidupkan imajinasi pembaca. Hal lain yang menjadi fokus pembaca karya-karya Nh. Dini adalah mereka hanya terfokus dengan tokoh-tokoh yang berada dalam novel tersebut seperti telah diketahui bahwa Nh. Dini merupakan tokoh feminis. Karya-karya Nh. Dini selalu identik dengan penyetaraan gender antara kaum laki-laki dan perempuan dan juga tentang bagaimana kehidupan perempuan itu tidak hanya dianggap sebagai orang yang hanya di dapur saja, tapi lebih dari itu perempuan mampu melaukan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki ini tergambar dari salah satu kutipan yang ada dalam novel sekayu berikut ini “aku tidak akan melupakan perbantahaanku dengan nugroho, sampai-sampi dia hampir memukulku seandainya Utono tidak segera muncul untuk melerai kami” kejadian dalam kutipan tersebut terjadi karena tokoh ‘aku’ ingin dianggap sebagai seseorang yang telah dewasa, sebagai wanita yang mulai beranjak dewasa yang sudah tidak seperti anak kecil lagi sehingga dia tidak mau diatur lagi dalam arti tidak banyak larangan dan tokoh ‘Nugroho’ yang merupakan kakak dari tokoh ‘aku’ ingin selalu bersikap melindungi adik perempuannya, karena adiknya merupakan sosok perempuan yang dianggapnya lemah dan memerlukan sosok laki-laki untuk melindunginya. dari hal tersebut dapat dilihat bahwa sosok Nh. Dini merupakan sosok feminisme dalam karya-karyanya. Hal itulah yang terkadang banyak menjadi fokus atau tinjauan telaah untuk menjadi pijakan dalam mengkritisi karya-karya Nh. Dini. Bertolak dari keadaan tersebut memerlukan adanya nuansa baru dalam menelaah karya Nh. Dini yang berjdul sekayu yang dapat ditinaju dari perspektif lain seperti yang telah dipaparkan di atas mengenai kearifan lokal dalam novel tersebut. Seiring perkembangan zaman di sadari atau tidak oleh bangsa Indonesia sendiri, bahwa bangsa Indonesia kehilangan unsur-unsur kearifan lokal yang menjadi identitas bangsa Indonesia, karena tergerus arus globalisasi dan modernisasi yang melahap habis kearifan lokal yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai warisan nenek moyang yang seharusnya dilestarikan sebagai sebuah dasar pijakan untuk mengatur interaksi kehidupan di dalam masyarakat. para pemuda Indonesia yang merupakan generasi penerus bangsa tidak mengenali budaya dari bangsanya sendiri, tapi malah mengetahui dan paham dengan budaya bangsa lain. Hal ini ironis bagi bangsa Indonesia sendiri, dalam konteks pembangunan diberbagai sektor justru bangsa ini terpuruk, karena adanya krisis budaya. Dari sekian pemuda-pemudi di zaman ini jika di survey hanya beberapa saja yang sadar dan menyenangi budaya Indonesia, begitu juga mengenai hubungan yang mengatur pergaulan pemuda pada era ini,kecenderungan mereka bercermin dari budaya bangsa lain sebagai titik tolak gaya hidup yang mengatur suatu tingkah laku mereka. Ini merupakan gambaran nyata hilangnya kearifan lokal yang ada dalam suatu budaya bangsa. Dalam hal ini diperlukan adanya suatu elemen yang merevitalisasi kearifan lokal dari suatu daerah tersebut, sehingga tidak tergerus arus globalisasi yang kian tidak terbendung lajunya. Karya sastra merupakan salah satu elemen penting yang secara tidak disadari sekian banyak orang untuk dijadikan sebagai pijakan untuk membangun kembali kearifan lokal masa lalu yang dulunya menjadi suatu pola yang mengatur secara harmonis hubungan manusia dengan manusia di dalam masyarakat dan juga mengatur hubungan manusia dengan alamnya yang sudah banyak tidak di sadari oleh manusia pada zaman ini. Karya Nh. Dini yang berjudul sekayu ini banyak sekali menggambarkan kearifan lokal pada zaman itu yang sangat penting diketahui oleh orang-orang pada zaman ini umumnya dan remaja pada era ini khususnya. Fungsi karya sastra dalam kegiatan ini dapat diberdayakan secara maksimal tidak hanya sebagai suatu unsur seni dan keindahan saja (dulce) dalam karya sastra itu tapi juga ada manfaat(utile) yang memberikan sumbangsih terhadapat pelestarian budaya bangsa dalam konteks ini adalah kearifan lokal dan nilai-nilai luhur budaya jawa yang terdapat dalam novel sekayu. Diantara terdapat dalam kutipan sebagai berikut “pada waktu ibu memaksaku menahan nafas untuk minum jamu penyembuh penyakit gatal atau jamu perangsang nafsu makan” dari kutipan tersebut jelas terlihat bahwa pengobatan tradisional asli Indonesia masih dipakai meskipun tidak dipungkiri pada zaman itu sudah ada dokter dan peralatan medis sudah lumayan canggih tapi masyarakat pada zaman itu masih setia akan ramuan tradisonal warisan leluhur seperti jamu. Ini merupakan kearifan lokal warisan luluhur menganai pengobatan yang harusnya dilestarikan karena secara kualitas efeknya juga tidak kalah dengan pengobatan-pengobatan modern karena memang menggunakan bahan-bahan alami bukan dari proses kimia yang mempunyai kecenderungan efek yang berbahaya bagi tubuh manusia. Hal tersebut kontradiktif dengan yang ada pada zaman sekarang, kebanyakan orang-orang di zaman ini lebih percaya dengan pengobatan medis yang menggunakan teknologi dalam proses pengobatannya akibatnya adalah pengobatan tradisional sekian lama semakin sedikit dan bahkan bisa punah jika tidak di lestarikan. Tradisi minum jamu ini pada zaman dahulu bukan hanya untuk pengobatan saja melainkan juga sebagai minuman tradisonal yang yang menyehatkan ini dibuktikan dalam kutipan novel berikut “kadang-kadang meskipun tidak sakit, ibu mewajibkan kami meminum beberapa teguk jamu yang dijajakan oleh mbok jamu. Akar-akar dan daun-daun itu amat baik buat pertumbuhan badan, buat peredaran darah, demikian kata ibu”. Dari kutipan tersebut memberikan gambaran bahwa minum jamu merupakan suatu tradisi yang menyehatkan selain terbuat dari bahan alami yang menyehatkan badan jamu juga memberikan efek pengobatan seperti fungsi awalnya. Jamu juga dikonsumsi ketika santai meskipun rasanya tidak seenak minuman-minuaman kemasan yang ada pada zaman ini yang tentunya orang-orang akan memilih minuman dengan rasa yang enak tapi tidak disadari kebanyakan minuman kemasan terbuat dari bahan-bahan yang tidak sehat tidak baik untuk tubuh.
Tidak hanya mengenai pengobatan tradisonal dalam hal ini jamu kearifan lokal yang ada dalam sekayu,tetapi juga cara berpakaian yang menunjukan suatu kesantunan dan terdapat nilai kesopanan yang merepresentasikan kearifan lokal dalam konteks busana hal ini terdapat dalam kutipan sebagai berikut “penjualnya perempuan tua-muda, selalu berpakaian rapi dan menyenangkan dipandang. Sanggulnya selalu dengan sunggaran yang mengembang lebar di atas kuping, amat pantas dengan bentuk kepala. Kebayanya terbuat dari bahan berbunga-bunga, terang dan bersorak di tengah-tengah lapangan rumput itu, seperti menyimpan sinar tersendiri”. tata cara berpakaian yang pada zaman ini sudah mulai hilang adalah kesopan santunan dan etika dalam berbusana, banyak pemuda pada zaman sekarang khususnya wanita tidak memperhatikan tata cara dan etika berpaiakan yang baik. Kecenderungan mereka terhadap budaya bangsa lain membuat pola pikir mereka berubah dalam hal berpakaian. Mereka lebih memandang budaya bangsa lain lebih unggul dan memandang budaya bangsa sendiri itu terlalu kolot dan tidak modern. Masalah ini yang menjadikan kini kebaya dan pakaian tradisonal lainnya hanya dipakai pada acara tertentu saja dan yang memakai kebanyakan adalah orang-orang yang sudah berumur jarang dari perempuan yang masih muda. Akibatnya kearifan lokal mengenai tata cara berbusana jawa kian lama kian habis, bukan tidak mungkin kebaya hanya akan ada di mesium karena sudah jarang digunakan. Dalam interkasi sosial di suatu masyarakat tidak jarang terjadi konflik-konflik sosial yang sifatnya ringan dan wajar dan hal itu tidak berlangsung lama. Masyarakat jawa khususnya jika ada suatu hal yang tidak disukai terhadap suatu hal orang jawa akan memilih diam karena orang jawa terkenal dengan sifat yang menghindari konflik, mereka lebih menghindari situasi-situasi yang dapat menimbulkan ketegangan sosial dengan cara memendam sesuatu hal tersebut, seperti dalam kutipan dalam novel sebagai berikut “sejak itu aku tidak pernah berkunjung ke rumah pak Yanto lagi. Kukatakan kepadanya bahwa aku sudah mengerti soal-soal hitungan dan pada kesempatan penen buah manga yang lebat, ibu tidak lupa mengirim selusin buah manga golek kepadanya. Kami tidak saling bermarahan, oh, tidak. Dia kadang-kadang juga muncul, berkunjung ke rumah kami, karena ada keperluan dengan Teguh”. Dari kutipan tersebut dijelaskan bahwa, orang jawa meskipun ada suatu konflik sosial antar individu di dalam masyarakat. mereka cenderung menutupinya dengan cara saling memperbaiki hubungan karena sifat orang jawa yang telah dipaparkan diatas, orang jawa akan lebih senang dengan keadaan cinta damai. Mereka lebih baik menghindari adanya konflik dan memilih diam dalam suatu kondisi yang membuatnya tidak nyaman. Ketika ada masalah pun seperti yang terjadi dalam kutipan novel tersebut. Mereka tetap baik dengan orang yang bersangkutan dengan cara memberikan manga ketika sedang panen mangga.
Nevel ini secara garis besar menarik karena terdapat unsur-unsur kearifan lokal yang dapat diangkat menjadi sebuah pembelajaran dan juga dapat dijadikan sebagai catatan sejarah kearifan lokal yang semakin lama semakin habis tergerus oleh budaya modernisasi dan globalisasi. Dalam konteksnya yang sederhana novel ini mampu membius pembaca dengan cara khas penulis menyajikan bentuk-bentuk bahasa novel yang sederhana yang mudah dipahami. Membaca novel ini juga seperti membaca sebuah peristiwa pada zaman yang di alami penulis, karena novel ini ditulis berdasarkan pengalaman nyata penulis pada masa kecilnya.
Daftar Rujukan
Suwignyo, H. 2010. Kritik Sastra Indonesia Modern: Pengantar Pemahaman Teori Dan Penerapannya. Malang: penerbit A3 (asih, asah, asuh)
Sumardjo. S. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia: Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit Qalam
Dijumput dari: http://naskahesai.blogspot.com/2013/05/sekayu-karya-nh-dini-sebagai-catatan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar