Okta Adetya *
http://preteers.wordpress.com
Kritik sastra dewasa ini menemui titik fleksibilitas, artinya kegiatan kritik sastra mampu mempu mengekor perubahan dalam masyarakat. Lampau, kritik sastra identik dengan terbitnya sebuah buku kritik. Kemudian seiring mencuatnya geliat media massa, muncul kritik sastra dalam koran Minggu, majalah, atau media lain. Era digital tak pelak meniupkan ruh baru, terkait perkembangan pesat internet yang memunculan kritik sastra cyber.
Meski demikian, nyatanya kritikus sastra kehilangan taring, sehingga dirasa masih sangat tidak memuaskan. Hal ini terjadi, kemungkinan besar ada korelasinya dengan ruang media. Sebuah buku berkaitan dnegan kritik sastra pasti akan mampu mengulas lebih banyak dan lebih mendalam mengenai karya sastra yang dikritik, dibandingkan beberapa kolom dalam media massa. Ketajaman dan kedalaman kritikus pun seakan terlibas oleh ruang. Sehingga kritik yang mereka lontarkan, tak lebih dari sekadar penceritaan kembali sebuah karya sastra.
Dalam perkembangan sastra, kritik sastra menjadi aspek yang cukup menentukan dan penting. Kritik sastra itu ibarat jembatan antara pembaca dan penulis. Artinya, sebuah kritik akan menentukan, apakah sebuah karya sastra akan diminati atau tidak, apakah sebuah karya sastra akan menjadi monumen di eranya atau tidak. Untuk itulah, keberadaan kritik sastra mampu menenggelamkan pengarang atau bahkan melambungkan nama pengarang tersebut.
Dunia sastra Indonesia pernah memiliki kritikus sastra yang handal. Beliau adalah HB Jassin. Pengamat sastra berpendapat, bahwa kritik yang beliau lemparkan cerdas dan berkualitas, mampu melihat karya sastra secara menyeluruh tidak hanya permukaan saja. Akan tetapi, hal menyedihkan terjadi, kala HB Jassin memproklamirkan diri untuk pensiun dari dunia kritik. Sesudah masa itu, kegiatan kritik sastra di Indonesia mengalami stagnansi bahkan berada pada kondisi yang kritis.
Sebenarnya tidak hanya HB Jassin saja yang memandekkan kegiatan berkritik. Pada masa itu, para pegiat sastra di lingkungan Fakultas Sastra Universitas Indonesia) yang termasuk kritikus gaek, juga mulai mempensiunkan diri dalam berkecimpung di dunia kritik, sebut saja Boen Sri Oemarjati, MS Hutagalung, Lukman Ali, dan Saleh Saad. Sayangnya, mereka tidak melakukan regenerasi kritikus, sehingga keberadan kritikus yang mumpuni pada masa sesudah itu semacam mengalami pemutusan rantai generasi.
Menurut kritikus sastra Amerika Serikat MH Abrams, “kritik” adalah istilah yang dipakai untuk studi yang berkaitan dengan pendefinisian, pengelompokan, penganalisisan, penginterpretasian dan pengevaluasian karya sastra. Dalam dunia sastra terdapat dua jenis besar “kritik sastra”, yaitu kritik teoritis dan kritik praktis. Kritik teoritis berfungsi untuk menetapkan, dengan dasar prinsip-prinsip umum, seperangkat istilah, perbedaan dan kategori untuk diterapkan pada identifikasi dan analisis sastra, termasuk juga menetapkan kriteria (standar, atau norma-norma) untuk mengevaluasi karya sastra atau sastrawan. Sementara kritik praktis, atau kritik terapan, merupakan pembicaraan atas karya sastra, atau sastrawan, tertentu di mana prinsip-prinsip teori yang mendasari analisis, interpretasi dan evaluasi karya tersebut biasanya dibiarkan tidak nampak menyolok, tersirat saja, kecuali kalau memang diperlukan. Dan mereka yang melakukan “kritik” sastra menurut kedua pengertian di atas disebut sebagai “kritikus” sastra.
Kritikus dan karya sastra merupakan satu kesatuan yang tak dapat dipisahkan. Untuk mampu mengkritik dengan baik, maka kritikus harus memiliki kemampuan dan kompetensi yang cukup baik dalam dunia sastra. Kritikus perlu memiliki pengetahuan yang komprehensif atas jenis sastra. Selain ini sikap profesional dan kritis, menjadi hal vital yang harus dimiliki oleh seorang kritikus sastra Indonesia. Minimal, seorang kritikus memiliki kepintaran yang sejajar dengan orang yang karyanya dia kritik. Pengarang berbincang melalui karya berdasarkan imajinasinya, sedangkan kritikus membincang karya melalui keluasan ilmu pengetahuan dan teori yang dimilikinya. Maka, seharusnya kedua pihak ini mampu membangun sinergisme. Seorang kritikus juga harus tahu betul medium yang dimasuki. Ini penting dilakukan, karena setiap generasi memiliki karakteristiknya masing-masing. Ketika kritikus sastra sudah paham akan karakteristik pada masing-masing generasi ini, maka sedikit banyak itu akan berpengaruh terhadap kualitas kritik yang mereka hasilkan.
B Teew, salah satu kritikus berkebangsaan Belanda, menyampaikan dalam esainya yang berjudul Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi menyebutkan rendahnya kualitas kritik puisi modern Indonesia oleh sekelompok dosen, yang dinilainya tidak memuaskan. Puisi yang dimaksud adalah sajak “Salju” karya Subagio Sastrowardoyo dan sajak ‘Coctail Party’ karya Toeti Heraty. Teew berpendapat, bagaimana mungkin sekelompok dosen yang sudah berkubang dan berkecimpung di dunia teori dan akademisi, hanya mampu menghasilkan kritik yang sedemikian.
Lantas, kita juga sering mendengar suara-suara yang melantangkan bahwa sastra modern Indonesia berada dalam kondisi kritis. Salah satu penyebab utama kekritisan ini adalah adanya stagnansi dan tema yang monoton. Adapun upaya penyembuhan yang bisa dilakukan, adalah dengan berkiblat pada perkembangan sastra Eropa atau Amerika. The west is the best, sebagaimana yang dikatakan Jim Marison dari The Doors. Akan tetapi, beberapa kritikus menganggap bahwasannya pendapat tersebut terasa dilebih-lebihkan, mengingat produktivitas pengarang Indonesia yang cukup tinggi. Sastra Indonesia sudah diwarnai berbagai macam aliran, yang kemudian melahirkan penulis-penulis besar semacam Chairil Anwar, Renda, sampai Pramodya Ananta Toer. Berkaitan dnegan tema sosiologis yang banyak diangkat, hal tersebut tidak dapat dijadikan patokan bahwa perkembangan sastra di Indonesia stagnan. Sebenarnya, sastra sudah berkembang cukup baik, justru perkembangan kritikusnya yang sekarang sedang mengalami fase kritis.
Dalam beberapa dekade balakangan atau masa-masa kritik sastra media mulai berkembang, ada upaya menjustifikasi, bahwa mereka yang menulis tentang sastra dapat disebut kritikus. Tak peduli apa esensi dari tulisan yang dia buat. Orang-orang yang selama ini mengaku sebagai kritikus sastra pun cenderung kehilangan taring. Mereka tak cukup keberanian untuk mengulas karya-karya besar, tulisan yang mereka hasilkan pun cunderung memiliki pangsa tersendiri, yaitu para penikmat sastra pemula. Hal ini semakin diperparah dengan sistem akademis kita yang hanya menyodorkan seperangkat teori. Lebih parah lagi, teori-teori tersebut terkadang keluar dari realita teks itu sendiri. Tentu menjadi tamparan yang cukup keras dan pedas, ketika kita mengkorelasikan dengan apa yang sudah disampaikan oleh B Teew di muka.
Membincang para pegiat sastra yang menasbihkan diri mereka kritikus sastra, kualitas kritikus sastra di Indonesia cukup memprihatinkan. Setidaknya hal itulah yang disampaikan Saut Situmorang dalam tulisanya yang berjudul Dicari: Kritik(us) Sastra Indonesia. Dia memaparkan bahwa banyak kritikus yang tidak bisa menulis, akan tetapi selalu berkomentar miring dan tajam, menghakimi, mencaci maki, bahkan menjadikan pengarang obyek bulan-bulanan. Seakan-akan mereka adalah jagoan, raja yang memiliki kapasitas dan samudera pengetahuan yang luas, sehingga sering membuat kesimpulan-kesimpulan yang kadang terkesan absurd dan arogan. Sorang kritikus, kendati memberikan penilaian yang individualistik tetap harus obyektif dalam menilai.
Saut Situmorang banyak menguliti para kritkus, seperti Korrie Rayun Lampan yang terkesan latah dan dangkal dalam penyusunan buku Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia. Korrie dinilai tidak memberikan argumen yang bisa dipertanggungjawabkan. Kritikus lain yang memperoleh komentar pedas dari Saut adalah Nirwan Dewanto yang dinilainya terlalu mentah dalam mengkritik. Dia juga memberikan satu kritikan yang cukup pedas terhadap kritikus sekaligus dosen asal Jakarta, yaitu Maman S Mahayana, yang dinilainya terlalu agresif dalam menyerang pengarang. Dia bahkan menudiang para kritikus sebagai seorang narsistik yang tidak lebih hebat dari pengarang itu sendiri.
Seberapa jauh mereka berkompeten untuk menguliti sebuah karya. Jangan-jangan, segala bentuk polah tingkah mereka hanya semacam legitimasi menyerang pengarang melalui kekuasaan media. Para kritikus akan lebih baik lagi, kalau meningkatkan kapasitas, sehingga kualitas tulisan yang mereka buat dpercaya oleh masyarakat. Karena rendahnya kualitas, akan memicu ketidakpercayaan, sebagaimana para penonton sepakbola yang seakan-akan ingin mencekik komentator abal-abal, namun berbicara seolah dia mampu mengandangkan bola ke gawang seratus kali dalam satu pertandingan. Eksistensi kritikus ditentukan bukan dari berapa banyak hasil kritikan yang mampu dia lahirkan, melainkan seberapa berat bobot kritikan yang dia lahirkan tersebut. Karya sastra bisa terus lahir tanpa kritikus, namun kritikus yang menulis namun dianggap angin lalu, tentu itu sangat menyedihkan.
Sebagaimana kritik terhadap cyber sastra yang mencetak buku berjudul Graffiti Gratitude dirasa sangat mengada-ada. Buku ini lahir pada awal Mei 2011 dari rahim Yayasan Multimedia Sastra (YMS). Awal terbitnya buku ini, membangunkan para kritikus, yang kemudian secara membabi buta menyerang. Tuduhan bahwa sastra cyber tidak dapat dikategorikan sebagai ‘sastra’, pembukuan terhadap cyber sastra adalah pengkhianatan dan dosa atas hakekat bentuk itu sendiri, sampai upaya mempertanyakan mutu dan kualitas dari puisi-puisi tersebut. Upaya ini dikenal dengan pengadilan sastra, yang kala itu menjadi topik serangan favorit bagi kritikus-kritikus sastra di Indonesia.
Terlepas dari segala bentuk persoalan dan sengkarut keberadaan kritikus sastra di Indonesia, negeri ini pernah memiliki kritikus-kritikus sastra yang berkualitas. Merea diantaranya Jacob Sumardjo, Gunawan Mohamad, Emha Ainun Najib, Dami Ndandu Toba, serta tak lupa, Bapak sastra Indonesia, HB Jassin.
June 16, 2013
*) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar