Sabtu, 07 Juni 2014

Ketika Sastra Menjadi Senjata

Riduan Situmorang *
http://medanbisnisdaily.com, 28 Mei 2014

PADA berbagai kesempatan saya selalu menegaskan, sastra merupakan ruang publik sekaligus ruang khusus yang tidak bisa dimasuki intrik-intrik politik. sastra juga sebuah imaji yang sangat netral, tidak bergantung pada apa pun, apalagi kalau harus bergantung pada politik. Sastra, bahkan sejak dulu sudah didaulat sebagai sebuah ilmu yang sangat independen yang tidak boleh dicekoki dan dikaburkan, seperti halnya sejarah yang selama ini sering dikaburkan oleh penguasa. Sastra, sesuatu yang benar-benar mandiri.


Akan tetapi akhir-akhir ini, terutama menjelang Pilpres 2014, saya terkejut bukan kepalang. Mereka yang selama ini saya kenal sebagai politisi mendadak menjadi “penyair”. Bahkan puisi yang mereka hasilkan pun “hampir” lebih populer apabila dibandingkan dengan puisi bikinan sastrawan terkenal.

Sebagai bukti, puisi yang misalnya dimuat di berbagai harian hampir tidak pernah dibahas dan diperbincangkan secara luas. Akan tetapi, ketika mereka yang dulu saya kenal sebagai politisi membuat puisi, mendadak puisi mereka ramai diperbincangkan, dikupas, bahkan di-up load secara luas di sosial media.

Percayalah, sebagai orang yang juga telah berhasil menerbitkan beberapa puisi di sejumlah media cetak, saya tidak sedang merasa khawatir karena lahan kami telah dicaplok. Saya yakin pula, beberapa teman sastrawan malah merasa bangga karena mereka diperhatikan, setidaknya profesi mereka sebagai sastrawan ternyata juga diminati, bahkan digandrungi para politisi.

Akan tetapi, yang saya khawatirkan dan sesalkan – saya yakin, teman-teman sastrawan pun sangat menyesalkannya, bahkan mungkin mengutuknya – karena sastra itu telah dijajah secara kejam. Puisi yang dulunya berbicara tentang estetika, yang juga mencekal tetapi masih punya etika, sekarang malah digunakan menjadi senjata untuk saling mencekal.

Ibarat dalam perang, puisi diperalat menjadi senjata untuk melemahkan lawan, bahkan mendiskreditkan eksistensi lawan, dalam hal ini lawan politik. Puaisi bukan lagi berbicara tentang estetika dan etika, melainkan tentang perang dan kebencian untuk saling melemahkan. Akhirnya, puisi bukan lagi bentuk yang disusun dari kata-kata indah, melainkan dibangun dalam konstruksi bahasa sarkasme secara tersembunyi dengan satu tujuan: melemahkan dan mendiskreditkan lawan.

Apakah puisi memang menjadi senjata? Idealnya tidak! Puisi adalah bahasa khas karena disusun indah. Puisi berisi makna yang disuarakan lewat bahasa semiotik untuk mengantarkan substansi pesan secara semantis. Puisi juga sering menjadi suara-suara kalbu dalam arti yang kompleks. Jadi, kalau harus diadopsi dari Charles Sanders Peirce (dalam T L Short, 2007), puisi sebagai bahasa kalbu juga menjadi tanda yang kompleks yang dapat menjadi indeks, yakni tanda yang menunjuk pada referen tertentu. Apakah itu sebagai tanda untuk qualisign (tanda dugaan), sinsign (proses perwujudan), dan legisign (sudah terwujud secara definitif).

Benar, puisi memang bukan hanya populer di kancah politik Indonesia. Bahkan, sejak J.F.Kennedy resmi menjabat sebagai Presiden AS, pembacaan puisi dalam setiap pelantikan Presiden Amerika sepertinya menjadi hal wajib. J.F.Kennedy mengakui puisi merupakan sebuah kekuatan (power). Karena puisi merupakan kekuatan, tidak semestinya diperalat menjadi senjata untuk mengutuk lawan, kecuali mengkritik zaman dan memang harus benar-benar murni untuk mengkritik zaman.

Seperti kata Sutardzi Calzoum Bahri, bahasa (sebagai pengantar puisi) adalah hal yang bebas, bahkan saking bebasnya dia tidak terikat pada bentuk dan makna sekalipun. Jika dia sapu, dia bukan alat untuk membersihkan, melainkan sapu itu sendiri. Jika dia kursi, dia pun bukan tempat untuk duduk bersandar, melainkan kursi itu sendiri. Jika dia senjata, dia bukan senjata yang mempunyai peluru untuk merubuhkan lawan, melainkan murni sebagai senjata itu sendiri secara mandiri. Ringkasnya, puisi merupakan hal yang benar-benar mandiri, tidak bisa ditunggangi politik praktis, apalagi pragmatis.

Perang yang Aneh

Pada logika seperti ini, apalagi setelah menyaksikan perang puisi oleh para politisi-sastrawan, saya benar-benar sampai pada kesimpulan bahwa sastra, terutama puisi di negeri ini, sudah menjadi budak yang diperalat sebagai senjata. Perang bukan lagi hanya mnenggunakan senjata dan nuklir, melainkan sudah merangsek ke ranah-ranah sakral seperti menggunakan agama dan sastra.

Maka, ketika seseorang memerangi lewat puisi, orang lain yang merasa diperangi balik membalas lewat puisi pula. Maka, lahirlah puisi berbalas-balasan. Bahasa mandiri “aku rapopo” dibanting dengan puisi “Aku Raisopopo”. “Aku Raisopopo” pun ditangkis melalui “Aku Iso Opo”.

Maaf, siapalah saya ini yang harus mengkritik dan menelaah puisi para politisi-sastrawan tersebut. Saya tidak bisa menilai puisi tersebut sudah mempunyai intuisi dan rima. Saya, seperti tadi, tidak menghalangi para politisi itu menjadi sastrawan. Toh, sastrawan profesi yang bebas dan mandiri untuk siapa pun seperti hakikat sastra itu sendiri. Sastrawan itu gelar pengakuan, bukan semata pemberian.

Kalau seseorang lulus dari fakultas kedokteran, sudah barang tentu dia akan menjadi dokter terlepas dia mampu mengobati pasien atau tidak. Kalau seseorang lulus dari jurusan kependidikan, dia pun sudah barang tentu disebut menjadi guru terlepas dia mampu mengajar atau malah hanya mampu menghajar. Tetapi tidak untuk sastrawan, seseorang yang lulus dari fakultas sastra tidak serta merta mengantarnya pada sebutan sastrawan karena sastrawan merupakan jabatan bebas dari pemaksaan. Sastrawan juga gelar pengakuan secara mandiri, bukan melalui voting yang mempertuhankan data-data kuantitatif.

Kalau beranjak dari taksonomi Charles Sanders Peirce tadi, gejala perang puisi oleh para politisi-sastrawan itu sudah berada pada taraf meresahkan, yaitu legisign. Dia bukan lagi sebatas qualisign (praduga) ketika kita, misalnya, mendengar pintu ditutup dengan keras tanpa melihat siapa yang menutup. Dia pun bukan lagi sebatas sinsign (proses perwujudan), ketika kita melihat seseorang dengan wajah ketus dan kesal muncul dari balik pintu yang dibanting tadi. Akan tetapi, setelah kita masuk, ternyata sudah ada seorang wanita yang menangis tersedu-sedu karena sudah diselingkuhi oleh suaminya, yaitu lelaki yang membanting pintu tadi.

Karena itu, perang puisi ini bukan lagi sebatas sinsign dan qualisign, perang ini sudah terbukti secara definitif lantaran para politisi secara blak-blakan memperalat puisi yang mandiri sebagai senjata untuk melemahkan. Sungguh perang yang aneh, apakah akan ada bentuk perang yang lebih aneh lagi? Semoga tidak!

*) Staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati