Riduan Situmorang *
http://medanbisnisdaily.com, 28 Mei 2014
PADA berbagai kesempatan saya selalu menegaskan, sastra merupakan ruang publik sekaligus ruang khusus yang tidak bisa dimasuki intrik-intrik politik. sastra juga sebuah imaji yang sangat netral, tidak bergantung pada apa pun, apalagi kalau harus bergantung pada politik. Sastra, bahkan sejak dulu sudah didaulat sebagai sebuah ilmu yang sangat independen yang tidak boleh dicekoki dan dikaburkan, seperti halnya sejarah yang selama ini sering dikaburkan oleh penguasa. Sastra, sesuatu yang benar-benar mandiri.
Akan tetapi akhir-akhir ini, terutama menjelang Pilpres 2014, saya terkejut bukan kepalang. Mereka yang selama ini saya kenal sebagai politisi mendadak menjadi “penyair”. Bahkan puisi yang mereka hasilkan pun “hampir” lebih populer apabila dibandingkan dengan puisi bikinan sastrawan terkenal.
Sebagai bukti, puisi yang misalnya dimuat di berbagai harian hampir tidak pernah dibahas dan diperbincangkan secara luas. Akan tetapi, ketika mereka yang dulu saya kenal sebagai politisi membuat puisi, mendadak puisi mereka ramai diperbincangkan, dikupas, bahkan di-up load secara luas di sosial media.
Percayalah, sebagai orang yang juga telah berhasil menerbitkan beberapa puisi di sejumlah media cetak, saya tidak sedang merasa khawatir karena lahan kami telah dicaplok. Saya yakin pula, beberapa teman sastrawan malah merasa bangga karena mereka diperhatikan, setidaknya profesi mereka sebagai sastrawan ternyata juga diminati, bahkan digandrungi para politisi.
Akan tetapi, yang saya khawatirkan dan sesalkan – saya yakin, teman-teman sastrawan pun sangat menyesalkannya, bahkan mungkin mengutuknya – karena sastra itu telah dijajah secara kejam. Puisi yang dulunya berbicara tentang estetika, yang juga mencekal tetapi masih punya etika, sekarang malah digunakan menjadi senjata untuk saling mencekal.
Ibarat dalam perang, puisi diperalat menjadi senjata untuk melemahkan lawan, bahkan mendiskreditkan eksistensi lawan, dalam hal ini lawan politik. Puaisi bukan lagi berbicara tentang estetika dan etika, melainkan tentang perang dan kebencian untuk saling melemahkan. Akhirnya, puisi bukan lagi bentuk yang disusun dari kata-kata indah, melainkan dibangun dalam konstruksi bahasa sarkasme secara tersembunyi dengan satu tujuan: melemahkan dan mendiskreditkan lawan.
Apakah puisi memang menjadi senjata? Idealnya tidak! Puisi adalah bahasa khas karena disusun indah. Puisi berisi makna yang disuarakan lewat bahasa semiotik untuk mengantarkan substansi pesan secara semantis. Puisi juga sering menjadi suara-suara kalbu dalam arti yang kompleks. Jadi, kalau harus diadopsi dari Charles Sanders Peirce (dalam T L Short, 2007), puisi sebagai bahasa kalbu juga menjadi tanda yang kompleks yang dapat menjadi indeks, yakni tanda yang menunjuk pada referen tertentu. Apakah itu sebagai tanda untuk qualisign (tanda dugaan), sinsign (proses perwujudan), dan legisign (sudah terwujud secara definitif).
Benar, puisi memang bukan hanya populer di kancah politik Indonesia. Bahkan, sejak J.F.Kennedy resmi menjabat sebagai Presiden AS, pembacaan puisi dalam setiap pelantikan Presiden Amerika sepertinya menjadi hal wajib. J.F.Kennedy mengakui puisi merupakan sebuah kekuatan (power). Karena puisi merupakan kekuatan, tidak semestinya diperalat menjadi senjata untuk mengutuk lawan, kecuali mengkritik zaman dan memang harus benar-benar murni untuk mengkritik zaman.
Seperti kata Sutardzi Calzoum Bahri, bahasa (sebagai pengantar puisi) adalah hal yang bebas, bahkan saking bebasnya dia tidak terikat pada bentuk dan makna sekalipun. Jika dia sapu, dia bukan alat untuk membersihkan, melainkan sapu itu sendiri. Jika dia kursi, dia pun bukan tempat untuk duduk bersandar, melainkan kursi itu sendiri. Jika dia senjata, dia bukan senjata yang mempunyai peluru untuk merubuhkan lawan, melainkan murni sebagai senjata itu sendiri secara mandiri. Ringkasnya, puisi merupakan hal yang benar-benar mandiri, tidak bisa ditunggangi politik praktis, apalagi pragmatis.
Perang yang Aneh
Pada logika seperti ini, apalagi setelah menyaksikan perang puisi oleh para politisi-sastrawan, saya benar-benar sampai pada kesimpulan bahwa sastra, terutama puisi di negeri ini, sudah menjadi budak yang diperalat sebagai senjata. Perang bukan lagi hanya mnenggunakan senjata dan nuklir, melainkan sudah merangsek ke ranah-ranah sakral seperti menggunakan agama dan sastra.
Maka, ketika seseorang memerangi lewat puisi, orang lain yang merasa diperangi balik membalas lewat puisi pula. Maka, lahirlah puisi berbalas-balasan. Bahasa mandiri “aku rapopo” dibanting dengan puisi “Aku Raisopopo”. “Aku Raisopopo” pun ditangkis melalui “Aku Iso Opo”.
Maaf, siapalah saya ini yang harus mengkritik dan menelaah puisi para politisi-sastrawan tersebut. Saya tidak bisa menilai puisi tersebut sudah mempunyai intuisi dan rima. Saya, seperti tadi, tidak menghalangi para politisi itu menjadi sastrawan. Toh, sastrawan profesi yang bebas dan mandiri untuk siapa pun seperti hakikat sastra itu sendiri. Sastrawan itu gelar pengakuan, bukan semata pemberian.
Kalau seseorang lulus dari fakultas kedokteran, sudah barang tentu dia akan menjadi dokter terlepas dia mampu mengobati pasien atau tidak. Kalau seseorang lulus dari jurusan kependidikan, dia pun sudah barang tentu disebut menjadi guru terlepas dia mampu mengajar atau malah hanya mampu menghajar. Tetapi tidak untuk sastrawan, seseorang yang lulus dari fakultas sastra tidak serta merta mengantarnya pada sebutan sastrawan karena sastrawan merupakan jabatan bebas dari pemaksaan. Sastrawan juga gelar pengakuan secara mandiri, bukan melalui voting yang mempertuhankan data-data kuantitatif.
Kalau beranjak dari taksonomi Charles Sanders Peirce tadi, gejala perang puisi oleh para politisi-sastrawan itu sudah berada pada taraf meresahkan, yaitu legisign. Dia bukan lagi sebatas qualisign (praduga) ketika kita, misalnya, mendengar pintu ditutup dengan keras tanpa melihat siapa yang menutup. Dia pun bukan lagi sebatas sinsign (proses perwujudan), ketika kita melihat seseorang dengan wajah ketus dan kesal muncul dari balik pintu yang dibanting tadi. Akan tetapi, setelah kita masuk, ternyata sudah ada seorang wanita yang menangis tersedu-sedu karena sudah diselingkuhi oleh suaminya, yaitu lelaki yang membanting pintu tadi.
Karena itu, perang puisi ini bukan lagi sebatas sinsign dan qualisign, perang ini sudah terbukti secara definitif lantaran para politisi secara blak-blakan memperalat puisi yang mandiri sebagai senjata untuk melemahkan. Sungguh perang yang aneh, apakah akan ada bentuk perang yang lebih aneh lagi? Semoga tidak!
*) Staf pengajar bahasa Indonesia dan konselor pendidikan di Prosus Inten Medan
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar