Amalia Sulfana *
http://sastra-indonesia.com/
Perjuangan yang luar biasa, engkau tinggalkan istri dan tiga malaikat kecilmu, untuk menggapai cita-cita adi luhur di Semarang, demi mencerdaskan anak bangsa yang telah diamanahkan kepadamu di sebuah lembaga pendidikan, sebutlah itu Universitas Muhammadiyah Ponorogo. Dengan berjuta rasa yang tiada mungkin terungkap dan tertulis kata, dini hari kau kayuh Honda Gren biru kesayanganmu dari Ponorogo ke Semarang,
menerjang dinginnya pagi, menyibak kabut demi kabut pada lorong jalanan itu, memilah-memilih antara terjalnya bebatuan serta lubang curam di sepanjang jalan raya Purwantoro-Wonogori. Kau sangat mencintai waktu. Ke Semarang, butuh waktu panjang antara 8-9 jam jika ditempuh dengan bus, namun kau lebih memilih 5 jam menantang krikil jalanan. Debu dan terik mentari, justru melecut gairah tersendiri bagimu. Karena Doktor harus terpegang kuat ditangan yang kokoh.
Masih terasa segar, sepercik memori membasahi benak ini. Pertengahan tahun 2008, istrimu melaksanakan kegiatan Prajabatan di Malang, sementara pena mengajakmu menari lembut di atas ombak kota Semarang. Sedang anak-anak harus menahan rindu di rumah bersama para abdi, tempat penitipan luar biasa. “Anakku, maafkan kami, jika hari-harimu tak seindah hari kemarin tanpa kami di sisimu”. Biasanya, kalau tak ada bapak, ibu sebagai pengganti, demikian pun sebaliknya. Tapi hari-hari ke depan jauh berbeda, kalian harus berjuang lewati masa tanpa kami. Jangan pudarkan warna senyuman yang menghiasi wajahmu, wahai malaikatku. Bapak dan ibu juga berusaha bersegenap daya berjuang pada lini masing-masing. Bagi kami, tawa-keceriaan kalianlah motivasi, tangis kalian sembilu yang memaksa deraian air mata keluar sedari kelopaknya. Percayalah, semua kan berakhir dengan keindahan anak-anakku.
Tanpa ibu sang pembawa kehangatan, meninggalkan mereka di waktu siang terasa lebih berat, dibanding dini hari. Tangisan dan rengekan selalu menggema di antara dinding rumah, saat mengantar bapaknya di medan juang. Bebulir air mata terpaksa keluar, meski sudah ditahan. Maaf dan bismillahi tawakkaltu ‘alallah, itulah kata yang terbaik. Kabar ini sampai ke Malang, tempatku melaksanakan tugas kewajiban. “Dik, meninggalkan anak-anak saat siang hari, jauh lebih berat daripada dikala dini hari. Ini aku lakukan karena hari ini aku agak kurang enak badan jika berangkat dini hari seperti yang sudah-sudah. Tapi, apa yang terjadi? Tangisan anak-anak membuatku sedih. Maafkan aku, karena keberangkatanku di siang hari ini membuat anak-anak tidak terkendali emosinya, aku tidak kuasa melihat kesedihan mereka, terutama melihat Cika (18 bulan). Aku harus pergi kuliah ke Semarang, berat…berat…berat dik” : SMS dari suamiku. Sontak hati seorang ibu mana yang mampu menahan kesedihan oleh kabar ini. Ku curahkan gejolak jiwa lewat tangisan dalam. “Anakku”, Pekikku di hati sambil mengepalkan kedua tangan. Perjuangan ini berat, tapi aku yakin semua akan membawa hasil bermanfaat pada saatnya. Bukankah ada musimnya, kekuncup bunga bermekaran jadi bunga-bunga indah yang aromanya menyerbakkan wangi kebahagiaan?
Perjalanan panjang itu memakan waktu 4 tahun 6 bulan. Kesabaran, ketabahan dan saling memberi motivasi ialah aktivitas kami dalam merangkai sebuah takdir kehidupan, walau pun keputusan ada di tangan Yang Maha Kuasa. Ujian demi ujian dilalui suamiku berpenuh semangat, dari ujian komprehensif, ujian proposal, seminar hasil penelitian, ujian kelayakan, ujian tertutup dan lainnya. Meski acap kali revisi membuat kakinya harus berlari kecil dan cepat antara Ponorogo-Semarang. “Allah Yang Maha segalanya, lindungi suamiku, beri ia kesehatan, mudahkan segala urusannya, berikan ilmu yang bermanfaat, dan kembalikan ia ke dalam keluarga ini dengan ilmunya, dan angkatlah derajatnya sesuai dengan apa yang telah Engkau janjikan.” Itulah, rangkaian munajat yang kupanjatkan sepanjang malam. Sempat terbesit dalam pikiranku, kasihan melihatnya pontang-panting, apalagi aku tak bisa berbuat lebih, raga ini hanya mendampingi sebatas membuatkan beberapa potong gorengan pisang raja dan teh poci kesukaannya. Terus semangat suamiku, pasti semua terlewati dengan mudah. Kamu pasti mampu menyempurnakan hasil karyamu, sesuai harapan maha guru!
Waktu berlalu cepat. Akhir dari serangkaian revisi menghembuskan angin segar, 27 Desember 2012 suamiku mendapat jadwal ujian promosi Doktor. Alhamdulillah, aku bersyukur pada Allah SWT yang telah membuka pintu kesempatan tersebut. Ternyata agak runyam mempersiapkan acara luar biasa itu, meski yang melaksanakan pihak kampus IAIN Wali Songo Semarang. Bagi kami, ini ukiran sejarah besar dalam kehidupan sebuah rumah tangga kecil. Hari kamis, puncak acara ujian promosi Doktor, tentu dihadiri para tokoh terhormat dari Universitas Muhammadiyah Ponorogo, yang memberi rekomendasi suamiku untuk menempuh pendidikan S3, teman-teman seangkatan, adik tingkatan, beberapa kawan S2 IAIN Wali Songo, dan anggota keluarga.
Masih terasa getar-getar bangga menyelimuti dada. Sebagai ungkapan syukur kami di acara Ujian Promosi Doktor, suami menyuruhku membuat kue untuk dibawa ke Semarang. Sami’na wa atho’na ya habibi. Ku buat beberapa kue dengan waktu singkat, karena aku harus pandai membagi waktu antara mengajar di SMA Negeri 1 Babadan dengan alokasi waktu 38 jam, mengurus kerjaan rumah, menemani anak-anak belajar dan lainnya. Terbayang di benakku, bahwa sepatutnyalah anak-anakku berpantas diri mengenakan baju baru pada ujian promosi suamiku. Karena itu, ada sebersit niat membelikan baju ke tiga malaikatku yang sholeh-sholehah, disela-sela membuat kue sejumlah 40 toples.
Hari selasa 25 Desember 2012 pukul 09.00, anak pertama kami Nada Muhda Imana, saya ajak ke Madiun untuk membeli sepatu berlebel fladeo yang biasa ia sukai di Matahari. Motor kami pesat melaju antara 80-90 km/jam. Ini aku lakukan karena beberapa faktor; kue yang kubuat masih kurang 10 toples, bapak juga nitip tebusan resep di apotek Madiun, dan pukul 12.00 ada undangan pernikahan di Tambak Kemangi.
Sampai di Toko Matahari, kami menuju tempat sepatu yang biasa disukai Nada. Putar kesana kemari, lihat ini itu, ketika aku suka, Nada tidak. Ku coba mencari model lain, Nada menjawabnya dengan gelengan kepala. Ku cari lagi, “Ini nduk, lucu dan cantik lo”, lagi-lagi gelengan kepala yang kudapat. Kecemasan menyelimuti diriku, apalagi waktu semakin mengejar. “Bu, pulang.” katanya. “Terus Mbak Nada ke Semarang nanti pakai apa?” tanyaku. “Tak tahu.” jawabnya sambil geleng kepala. Aduh, galau hatiku. Dengan rasa kecewa, kami turun, mengambil motor lalu menuju tujuan kedua, menebus obat.
“Bu, di acara bapak besok, Nada pakai sandal ibu saja, ibu pakai sepatu kan?” celetuknya waktu di Apotek. “Mbak Nada kalau pakai sandal ibu, nanti kelihatan tua lo, itu ‘kan sandal model ibu-ibu.” jawabku. “Tak apa bu, yang penting aku pakai sandal” jawabnya enteng. Aku terdiam sambil menyimpan sedikit geram, betapa kerasnya aku membagi waktu demi mendapati sepatu fladeo kesukannya, tapi sampai Toko Matahari, tak ada satu pun yang cocok, malah berpaling memilih sandal ibunya. Ya Allah, bagaimana anakku ini nanti, tak bisa kubayangkan komentar orang-orang terdekatku, dan teman-teman suami. Nada juga masih tenggelam dalam diam tak banyak tanya atau berkata. Setelah mendapat obat, aku pulang dengan kecepatan sama, karena waktu menunjukkan 11.20 WIB. Sepanjang perjalanan Madiun-Ponorogo, pikiranku terus berputar, ke mana Nada akan kuajak lagi membeli kebutuhan barunya?
Sesampainya di rumah, jarum jam menunjukkan pukul 11.55 WIB. Aku ganti baju, kuajak kedua anakku yang lain, Kavindra dan Cika menghadiri resepsi pernikahan saudara suami. Kali ini aku tak bersama suami, karena ia sudah di Semarang sejak hari Minggu malam untuk gladi bersih, dan persiapan ujian promosi. Usai resepsi, kubelikan sandal untuk Cika di Luwes sambil melihat sandal atau sepatu model ABG. Aku tersenyum melihat koleksi di Luwes, ada beberapa pasang yang menurutku cocok untuk Nada. Oke, nanti sore entah jam berapa, aku ajak Nada ke sini, suara hatiku. Dan saatnya pulang ke rumah, melanjutkan membuat kue.
Sesampai di rumah, aku panggang kue dan memasukkan yang sudah siap ke masing-masing toples agar tertata rapi. Waktu begitu cepat berlalu, tak terasa pukul 17.45 WIB, namun kue belum juga selesai, kira-kira kurang 4 loyang belum terpanggang. Dilanjutkan nanti malam saja, janjiku di hati. Ku suruh Nada ambil air wudhu untuk sholat maghrib sendiri, karena posisiku sedang haidh, setelah itu aku ajak ke Luwes melihat sepatu atau sandal yang pas untuknya. Sampai di Toko Luwes kutanya Nada, “Mana nduk yang kamu suka?” “Tak ada, ayo pulang saja bu” lagi-lagi itu tawaran yang diberikannya. “Mbak Nada, tolong kasihani ibu, ibu sudah pusing membagi waktu, sampai di sini kamu mengajak pulang, maumu bagaimana, besok pakai apa?”, “Pakai sandal ibu saja tidak apa-apa, terus bajunya aku pakai baju pemberian bulek Ninok kemarin, masih bagus kok bu, jadi ibu tidak usah membelikan aku sandal dan baju, toh di rumah sudah ada.” “Sudah, begini, toko sepatu mana yang mbak suka, ayo ibu antar!” Nada hanya menggelengkan kepala, merajuk ingin pulang saja, dan bersikukuh tetap ingin memakai sandalku. “Ke toko Batta ya, atau toko mana?” rayuku. “Terserah bu, bu” jawab Nada.
“Allah, tolong bukakan pikiran anakku akan kemauan dan maksud hatiku, tidak lain ini aku lakukan untuk Nada, agar ia pantas dilihat orang di acara nanti, juga untuk menghormati suamiku. Salahkah usahaku ini ya Allah, sementara kerjaan di rumah belum selesai. Allah, aku tidak tahu apa maksud Nada selalu menolak yang aku tawarkan, Allah,” gumamku lirih. Aku keluar dari Luwes dengan kehancuran hati, kemudian aku gas motor menuju Toko Batta. Di sana lagi-lagi tak ada satupun yang cocok, Nada hanya mengajak pulang. Aku belum puas, kumasuki setiap toko sepatu yang ada di Ponorogo dan hasilnya nihil. Akhirnya, pulang dengan kekecewan, kami saling diam sampai di rumah. Aku heran, ada apa dengan Nada, ada sesuatu yang sangat mengganjal hati kecilku.
Di rumah, tangan ini kembali bermain loyang dan panasnya oven dalam memanggang kue sampai tengah malam, tepat pukul 24.00 WIB. Selesai sudah, Subhanallah, betapa padatnya acaraku seharian, dengan sedikit sisa tenaga di jiwa dan raga, kucoba rebahkan badan sambil meluapkan lautan emosi lewat tangis tanpa sepengetahuan anak-anakku. Masih terngiang di pikiran, tak bisa nalarku mengurai alasan, mengapa Nada tidak mau aku belikan sepatu atau sandal dan baju baru, padahal ini akan dipakai di acara resmi bapaknya. Ah, tak terasa lelehan air mata menghantarku nyenyak dalam tidur, walau menyisakan sejuta pertanyaan, yang tak mungkin terjawab oleh dinginnya malam.
Pagi, rabu 26 Desember 2012, masih ada waktu hingga pukul 20.00 WIB. Pukul 24.00 WIB, kami harus berangkat ke Semarang. Pukul 09.00 WIB, aku ajak kembali anakku ke jantung kota. Dalam perjalanan, aku ingat ada sebuah Toko Red Bone tempat mangkal ABG menghabiskan waktu untuk mencukupi kebutuhannya. Ya, di toko itulah aku ajak Nada. “Bu, inikan tokonya anak-anak muda, dan kakak temanku suka belanja di sini” sambut Nada, ketika kuparkir motor di depan toko. Wah ada secercah harapan menyemangati langkahku. “Iya nduk, benar katamu, maaf ibu lupa kalau di sini ada toko ABG, ayo kita masuk.” ajakku. Nada pun antusias memasuki toko. Pandangannya tertuju ke sepasang sepatu sandal berwarna putih, dipegang lalu diamati dan dicoba. “Cantik sekali sepatu itu mbak, lucu.” kataku. “Lucu bu?”, “Iya, ambil saja nduk, kamu pantas memakainya,” komentarku. Memang benar sepatu sandal itu sesuai, kala dipakai anakku. Bukan aji mumpung aku berkomentar demikian. Nada mengambil sepatu sandal itu, harga terpatok Rp. 35.000,- sangat murah, jika dibanding dengan sepasang fladeo.
Transaksi selesai kutawarkan pada Nada untuk membeli baju. Terus terang, baju yang di rumah tak layak pakai versiku. Nada menolak dengan alasan di rumah ada baju bekas pemberian buleknya yang masih bagus. Ada segenggam kesedihan, kala mendengar pernyataan itu. Dengan agak memohon, tetap kutawarkan pergi ke Pos Mode. Nada menolak. “Sudah Nada, kita lihat-lihat saja ya, tidak beli kok, mau to nemani ibu?” tanyaku. “Terserah ibu saja.” Kami lanjutkan perburuan fashion ke Toko Pos Mode. Nada mulai melihat-lihat baju, aku pun sibuk melihat baju yang pas untuknya. Jatuhlah pilihan Nada ke baju warna hijau. “Ini bagus ya bu?” tanya Nada. “Iya, ambillah, ndak apa-apa, cantik untukmu mbak!” jawabku. “Sudah, sekarang Mbak Nada tinggal pilih rok untuk bawahan baju itu, ayo sana cari!” pintaku. “Ibu, untuk yang satu ini Nada tidak nurut sama ibu, bukankah di rumah masih ada rok bagus, kenapa harus beli lagi? Nada tidak mau, pokoknya tidak mau” gerutunya. “Nduk, lihat itu rok jeans bagus sekali, dan cocok untuk bawahan bajumu!” rayuku. Nada tidak merespon sedikitpun pernyataanku, lagi-lagi ia geleng kepala. Dia tetap ngotot tidak mau beli rok, jilbab pun tidak mau, karena di rumah sudah ada.
Kalau menuruti kemauanku, semua yang dikenakan anak-anak dalam acara Promosi Doktor bapaknya harus baru, karena ini momen penting yang dihadiri banyak orang. Apa kata orang-orang nanti, melihat anak-anakku berpakaian biasa tidak baru? Seperti tak mampu membelikan saja. Tapi akhirnya, aku menuruti Nada, meski hatiku tidak puas dan tak sependapat dengannya. Kami pun pulang. Tiba di rumah, bergegas melanjutkan kegiatan, mempersiapkan apa saja yang perlu dibawa nanti malam.
Senja menampakkan semburat jingga di kaki langit. Ku rasakan aroma malam menyapaku, mengantarku bertemu pijar elok sang rembulan. Waktu berjalan tiada henti. Detik-detik keberangkatan ke Semarang kian dekat. Sebelum kaki ini benar-benar meninggalkan sementara hunian kami, aku sempatkan membuka Facebook untuk berpamitan, mohon doa dari teman-teman dan saudara untuk kelancaran acara Promosi Doktor suamiku. Tak disangka, mata ini terperanjat oleh status anakku yang berbunyi, “Kesederhanaan adalah segalanya, aku mencintai kesederhanaan, biarlah aku tetap dalam kesederhanaan. Bukan berarti kesederhanaan itu hina, dan memang tidak harus dihina”. Butir demi butir air mata yang jatuh semakin deras membasahi pipiku, aku tertegun lalu berkata; Ya Allah, inikah maksud dibalik sikap anakku yang selalu menolak ketika kucoba membelikan beberapa kebutuhannya yang agak mahal? Sungguh kata-kata bersahaja, mampu meraup kesan anehku padanya. Terima kasih anakku, melalui sikap tegasmu membuat ibu sadar, bahwa menyambut sesuatu yang menyenangkan, tak harus dengan barang-barang baru dan mahal. Terjawab sudah kegalauan yang menyita hatiku. Nada pun tampil bersegala yang diingini, walau ada rasa kurang klop, aku melihatnya. Tapi itu bukan jadi soal baginya, toh dia tampak enjoy sekali mengikuti prosesi acara bapaknya.
***
Allah, Engkaulah yang mengatur semua ini, Engkau jadikan ia malaikat pengingatku, ketika aku terlalu menggebu menginginkan sesuatu yang bersifat duniawi. Ku rasa benar, tampil bagus bukan berarti harus mahal, dan sederhana bukan berarti jelek. Alhamdulillah, telah Kau ciptakan Nada untukku. Jadikan ia anak sholehah yang senantiasa taati aturan main-Mu, selalu mendoakan kedua orangtuanya. Jagalah ia, lindungilah dan berilah umur panjang yang bermanfaat. Mudahkan segala urusannya, serta berilah jalan demi menggapai cita-citanya.
***
Terimakasih kuucapkan kepada Ustadz dan Ustadzah di Lembaga Pendidikan SDIT Qurrota A’yun, tempat Nada dan adik-adiknya menimba ilmu, yang telah mendidik anak-anak kami pendidikan karakter bersegala keikhlasan, ketelatenan serta penuh tanggung jawab, hingga mereka memiliki kepribadian tangguh. Apa yang dilakukan ustadz dan ustadzah, semoga Allah menilainya sebagai amal ibadah, dan mendapat balasan yang lebih baik. Amin.
*) Amalia Sulfana, S.Ag, lahir di Ponorogo, 17 Mei 1974, adalah Wali dari Ananda Nada Muhda Imana (siswi kelas 6-Umar) dan M. Kavindra (siswa kelas 2-Umar). Alamat sekarang di Jl. Perikanan 66 Pondok Babadan Ponorogo. Penulis adalah istri dari Dr. Nurul Iman, M.Ag.
Dijumput dari: http://sastra-indonesia.com/2013/06/ibu-mengertilah-aku/
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar