Selasa, 30 Oktober 2012

La Galigo dan Kanon Sastra Dunia: Penciptaan dan “Penemuan” Manusia

Nirwan Ahmad Arsuka
Kompas, Maret 2002

Canons, which negate the distinction between knowledge and opinion, which are instruments of survival built to be time-proof, not reason-proof, are of course deconstructable; if people think there should not be such things, they may very well find the means to destroy them. (Sir Frank Kermode)

Kanon, kita tahu, adalah kumpulan naskah yang dikukuhkan sebagai “ukuran”, norma, pegangan yang berwibawa, sukma bagi kehidupan komunitas yang memegangnya. Kanon adalah standar yang menjadi sumber ilham bagi kehidupan penciptaan generasi berikutnya. Menurut Harold Bloom, pemikir dan kritikus sastra yang sangat berpengaruh dari Universitas Yale, sebuah teks menjadi kanon sastra karena kemampuannya membuat kita merasa asing di tengah lingkungan sendiri (feel strange at home). Atau sebaliknya, membuat kita merasa betah dan akrab di tengah dunia yang asing (at home out of doors, foreign, abroad).

Dirumuskan secara sederhana, kemampuan kanon untuk membuat kita merasa asing di tengah lingkungan sendiri, menunjuk pada kekuatannya untuk memprovokasi, untuk menggoncang, hal-hal yang sudah kita terima mapan. Ia memberi kita alternatif-alternatif dan meyingkapkan hal-hal yang selama ini terselubung. Kemampuan ini membuat kita jadi lebih kaya secara intelektual dan lebih peka secara emosional. Adapun kemampuan kanon membuat kita merasa betah dan akrab sekalipun berada di wilayah asing, menunjuk pada kekuatannya untuk menggaris bawahi persamaan universal kemanusiaan, kemampuannya menemukan hal-hal yang kekal dan tak berubah yang ada di tengah arus sejarah dan kehidupan manusia.

La Galigo, atau Sureq Galigo, epik mitologis orang-orang Bugis yang juga ditemui pecahan-pecahannya di luar wilayah Bugis itu, sampai derajat tertentu memperlihatkan kedua kemampuan kanonik di atas. Kemampuan itu sudah terlihat sejak dari bahagian awal kisah panjang berusia ratusan tahun tentang pembentukan dunia dan penataan ide serta kesadaran manusia Bugis. Kemampuan itu berkelindan dengan pemaparannya atas sepak terjang manusia, karakternya yang kompleks dan menyimpan dalam dirinya banyak kekuatan dan kecenderungan yang saling bertentangan.

Dalam kanon sastra Barat, pemaparan dan penemuan atas “yang manusiawi” ini (The Invention Of The Human), menurut Harold Bloom, terjadi dengan bagus dalam karya-karya pentas William Shakespeare. Shakespeare-lah yang pertama kali dengan kuat membentangkan manusia, membentangkan dunia interior dan psike dan personalitasnya. Kajian-kajian psikologi Sigmund Freud yang sangat mempengaruhi peradaban modern itu, hanya mempertegas penemuan Shakespeare atas “yang manusiawi”.
***

Mereka yang pernah membaca cukup dalam naskah Sureq Galigo, akan tahu bahwa epik raksasa ini bergerak ketika Patotoqe (Sang Penentu Nasib) memperoleh laporan bahwa Dunia Tengah ternyata kosong melompong. Patotoqe lalu bertindak menjalankan perannya yang sejati, dengan terlebih dahulu mengumpulkan segenap dewa di Puncak Langit dan Dunia Bawah Tanah. Peran terpenting dari Patotoqe sang Dewa Tertinggi, bukanlah sekedar sebagai Sang Penentu Nasib. Ia harus menyebarkan kehidupan di dunia, menjaga dan merayakannya, sehingga dunia yang tadinya kosong, menjadi meriah dan bercahaya. Jika tak ada kehidupan di dunia, maka takkan ada manusia di sana, dan tanpa manusia maka takkan ada Dewa Maha Tinggi yang menentukan nasib (yang ada hanya sekedar penghuni langit). Konsep inti di sini adalah hadirnya kehidupan, terbitnya kemanusiaan. Adapun penyembahan manusia kepada Dewata yang Maha Tinggi, hanyalah akibat samping dari penciptaan kehidupan dan kemanusiaan.

Jika kita cermati naskah episode pertama Sureq Galigo, kita akan selalu menemukan bahwa penciptaan kehidupan selalu disebut pertama kali. Sementara penyembahan manusia kepada Tuhan selalu disebut belakangan, hadir sebagai pernyataan terima kasih manusia kepada Penciptanya. Peran Patotoqe yang disebut tadi, dapat dibaca pada dialog pertama yang terjadi dalam Sureq Galigo. Ini tertera pada naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa. Perempuan bangsawan yang hidup di abad 19 ini, juga menulis syair Sureq Baweng yang naskah lontarnya tersimpan di Perpustakaan Nasional, mengadaptasi Hikayat Bayan Budiman yang berasal dari bahasa Melayu, dan menulis sejumlah naskah tentang sejarah, kebudayaan dan upacara-upacara Bugis.

Berikut ini adalah penggalan dari dialog pertama dalam pembukaan Sureq Galigo, (halaman 58, baris 35 – 4, Jilid 1), susunan Arung Pancana Toa, Jilid I:

Maddaung wali Rukkelleng Mpoba,
“…Temmaga Puang muloq seua rijajiammu,
tabareq-bareq ri atawareng,
ajaq naonro lobbang linoe
makkatajangeng ri atawareng.
Teddewata iq, Puang, rekkua masuaq tau
ri awa langiq, le ri meneqna Peretiwie
Mattampa puang le ri Batara.”
Bersimpuh Rukkelleng Mpoba, “…

Alangkah baik Tuanku menurunkan seorang keturunan
Untuk menjelma di muka Bumi,
Agar dunia tak lagi kosong melompong’
Dan terang benderang paras dunia,
Engkau bukanlah Dewata selama tak satu manusiapun
Di kolong langit, di permukaan Peretiwi
Menegaskan Sri Paduka sebagai Batara.”

Kalimat-kalimat yang mirip dengan isi yang sama seperti di atas, dapat pula dilihat pada halaman 60 (baris 32-5), halaman 92 (baris 24-32), halaman 112 (baris 31-34), dan beberapa halaman lain di buku yang sama. Pada halaman 60, baris 32-34, dari buku yang transkripsi dan terjemahannya dikerjakan oleh Muhammad Salim dan Facruddin Ambo Enre ini, tertera:

Kua adanna Patotoqe
ri makkunrai ripawekkeqna,
“Temmaga wae Datu Palingeq anri
tauloq rijajiatta,
tabareq-bareq tuneq ri Kawaq…”

Berujarlah Sang Penentu Nasib
kepada permaisuri belaiannya,
“Selayaknyalah wahai adinda Datu Palingeq
kita turunkan ananda kita,
kita jadikan tunas di Bumi….”

Musyawarah para dewa akhirnya menyetujui keputusan Sang Penentu Nasib memilih Batara Guru untuk dijelmakan sebagai tunas manusia di Bumi, generasi pertama manusia di dunia. Selain digelari sebagai Manurungge (Yang Dirturunkan), Batara Guru disebut pula sebagai Mula Tau (Pemula Manusia). Periode awal Sureq Galigo selalu juga disebut sebagai periode Mula Tau, periode kejadian manusia pertama yang diturunkan dari langit lewat pelangi, dan ditetaskan lewat sebatang bambu betung.

Menjadi manusia, menjadi penghuni Dunia Tengah, adalah momen yang paling menyakitkan dalam riwayat hidup Batara Guru. Itu berarti bahwa ia kehilangan seluruh hak-hak istimewanya sebagai seorang dewa, sebagai putera sulung dan pangeran mahkota dari Sang Penentu Nasib yang menguasai seluruh alam. Batara Guru sang Manusia Pertama, telah menjadi Sang Lain (the other) yang berada di luar lingkaran dewa-dewa. Sebagaimana dikatakan oleh Patotoqe kepada Batara Guru yang bersimpuh menyembah dengan hati yang hancur dan mata basah, “To Linoe no le Kudewata”. Engkau adalah manusia, dan Aku adalah dewa (hal. 118, baris 31). Menjadi manusia, memang berarti menjadi lebih rendah derajatnya; dewa-dewa bahkan tak dapat bergaul lama dengan manusia karena dewa-dewa tak akan tahan dengan bau manusia.

Namun demikian, ketahanan Batara Guru menjalani nasibnya sebagai manusia, sebagai manusia pertama di bumi yang kosong, akhirnya memberi ia berkah yang sedemikian indah – begitu indah sehingga ia melupakan hasratnya untuk kembali ke langit, dan itu berarti melupakan ingatannya sebagai dewa. Ternyata menjadi manusia yang mampu melewati berbagai cobaan adalah berkah yang paling besar di seluruh alam, berkah yang yang lebih menarik, lebih bermakna daripada menjadi dewa. Ini analog dengan salah satu “pesan hidup” Sawerigading bahwa berlayar mengelilingi dunia, lebih menarik dari duduk diam bertahta sebagai raja yang dipertuan.

Pada halaman 166 dan 168, baris 10-12, dapat kita baca:

Ala maeloq mawela Batara Guru
Siraga-raga massapo siseng.
Tennasengeq ni lolangengge ri Boting Langiq.

Tak ingin lagi beringsut Batara Guru
Bermesra kasih bersepupu sekali.
Tak dihiraukannya lagi Negeri di Puncak Langit

Batara Guru akhirnya bahagia di Dunia Tengah, dan mulai melupakan asalnya, melupakan ayahandanya, setelah perkawinannya dengan We Nyiliq Timoq, puteri sulung penguasa Dunia Bawah. Perkawinan ini mengukuhkan sesuatu yang selalu muncul dalam Sureq Galigo: persatuan Dunia Atas dan Dunia Bawah, yang kemudian melahirkan penghuni dan penguasa Dunia Tengah. Di akhir kisah panjang ini, Batara Guru memang kelak naik kembali ke langit, menggantikan kedudukan Patotoqe sebagai penguasa tertinggi. Tapi ini terjadi setelah empat generasi keturunan Batara Guru sudah menjelajah ke seluruh penjuru dunia, Bumi menjadi semarak oleh kehidupan manusia dan keturunan para dewa sudah berpindah naik ke Kayangan atau turun ke Dunia Bawah Tanah.

Episode akhir Sureq Galigo yang kembali diisi oleh perkawinan Dunia Atas dan Dunia Bawah untuk melahirkan penghuni Dunia Tengah, dipuncaki oleh reuni keluarga besar anak cucu Batara Guru. Mereka yang terserak sampai ke Cina, yang menetap di Langit dan Dunia Bawah Tanah, semuanya datang berkumpul. Sawerigading, karena telah beranak cucu di Cina, tak lagi terkena kutuk jika kembali ke tanah asalnya. Ia akhirnya memang mudik ke tanah kelahirannya dan mengundang adik kembarnya, I We Teriabeng, turun dari langit. Kehadiran I We Tenriabeng membuat lengkap reuni keluarga besar Manusia Pertama di Dunia.

Reuni yang amat meriah itu, menurut saya, secara tidak langsung merayakan selesainya misi besar keluarga Batara Guru untuk menyebar beranak cucu, mengisi dunia dengan kehidupan. Dengan selesainya misi penyebaran kehidupan, kisahpun menjadi lengkap, sempurna dan harus ditamatkan. Dunia Tengah akhirnya gonjang-ganjing. Kejadian ini diikuti oleh tindakan Patotoqe untuk menutup pintu langit, dan putuslah hubungan langit dan dunia. Dunia tengah dan manusianya, harus bergerak sendiri, mejadi mandiri dalam menentukan jalan hidupnya. Hanya sesekali saja To Manurung turun dari langit, tapi mereka hanya boleh memerintah lewat sebentuk kontrak sosial politik dengan manusia yang diperintahnya.

Dalam sinopsis yang berjumlah seribu halaman susunan R. A. Kern, kenaikan Batara Guru menjadi penguasa Langit, muncul sebagai latar yang sayup bagi episode penutup La Galigo. Dari kenaikan yang berkaitan dengan kemeriahan reuni keluarga besar itu, serta “tenggelamnya” Sawerigading untuk menjadi penguasa Dunia Bawah, cerita berpindah ke adegan yang menurut saya merupakan adegan paling menyentuh dalam keseluruhan cerita. Adegan ini adalah adegan pamungkas, dan berlangsung tiga bulan setelah pintu-pintu Kayangan dipalang dan pintu-pintu Dunia Bawah Tanah dirantai. Mutiatoja, puteri bungsu Sawerigading dengan I We Cudai, dicengkeram keinginan yang sangat besar untuk Turun Ke Dunia Bawah Tanah. Sementara Salinrunglangi, putra bungsu I We Tenriabeng dan Remmang Ri Langi, dibakar rindu untuk naik ke Kayangan. Dihadang oleh kenyataan bahwa pintu Kayangan dan Pintu Dunia Bawah Tanah tak lagi terbuka buat manusia, kedua suami isteri ini, beserta anak mereka yang masih bayi, hanya bisa saling menghibur, menerima takdir dan berkah mereka sebagai penghuni Dunia Tengah, penerus generasi manusia.
***

Kendati bercerita tentang pembentukan dunia, dengan sepak terjang para dewa dan pelbagai kedahsyatannya, Sureq Galigo pada dasarnya adalah karnaval sejak terjang manusia. Epik mitologis yang dimeriahkan oleh puluhan episode dan ratusan protagonis ini, tak lain dan tak bukan merupakan cerita besar tentang manusia sebagaimana adanya. Ia tidak menutup-nutupi kenyataan bahwa ada sesuatu yang “gelap, gila dan tak terduga” dalam diri manusia, sekalipun ia adalah turunan dewa berdarah putih. Dalam tokoh-tokoh La Galigo, tak ada yang benar-benar sempurna dan tanpa cacat dengan perilaku yang benar-benar serupa dewa agung. Para dewa bahkan bisa memperlihatkan sepak terjang yang konyol dan sangat manusiawi.

Patotoqe bukanlah penguasa yang benar-benar tegas dan tak pilih kasih. Sejumlah pelanggaran dari keturunannya tidak diganjar dengan hukuman yang setimpal, atau yang sekeras hukuman yang diberikan ke orang lain. Perempuan-perempuan mulia di epik besar ini, selain bisa memendam cemburu dan parasangka yang merusak, juga bisa merajuk dengan cara yang kekanak-kanakan. Mereka juga memiliki watak tega yang mencemaskan. Sawerigading sendiri yang dipuja-puja itu, pada saat-saat tertentu bisa menjadi cengeng dan nepotis, dan tak jarang ditegur keras oleh penasehat-penasehatnya. Barangkali representasi paling menonjol dari watak “konyol dan gelap” manusia terlihat pada putra sulung Sawerigading Sendiri, I La Galigo To Botoq, tokoh yang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817) dikira sebagai pengarang dari epik besar ini. I La Galigo adalah sang penjudi agung, si penaik darah, pembawa keributan di setiap jengkal daratan dan lautan yang dilaluinya.

Yudhistira, putra sulung keluarga Pandu dalam epik Mahabharata, juga seorang penjudi. Untuk judi, ia mempertaruhkan kerajaannya, diri dan adik-adiknya. Ia bahkan mempertaruhkan Drupadi, isterinya, puteri terhormat Kerajaan Pancala. Judilah yang membuat keluarga Pandu ini menjalani hidup hina di hutan selama 13 tahun, dan kemudian menuntut haknya atas kerajaan yang kelak meledak dalam perang besar di Kurusetra. Namun demikian, judi, dalam kasus Yudhistira, adalah akibat dari kepolosan, bukan kegemaran yang mendarah daging. Judi memang memberi aib pada Yudhistira, tapi itu tidak lantas menghilangkan sosoknya sebagai manusia sempurna pilihan dewa dan pujaan rakyat.

Inilah yang membedakan Yudhistira dengan I La Galigo. Jika judi dalam riwayat Yudhistira merupakan rahmat terselubung untuk mempertegas kemuliaannya, judi dalam riwayat I La Galigo hadir sebagai kegemaran yang mempertegas ketidaksempurnaannya. Dan jika Yudhistira terpaut ke dalam kelompok Pandawa Lima yang menjadi kesayangan publik dan para dewa, I La Galigo dengan rombongan riang gembira ke 70 pangeran yang selalu mengiringinya, tampak lebih dekat ke Duryudhana yang culas, yang mengepalai gerombolan tengik Kurawa yang berjumlah 100 orang.

Tumbuh sebagai anak yang dilimpahi kasih sayang berlebihan, I La Galigo jadi terbiasa menyalahgunakan posisinya sebagai pangeran putera mahkota, sebagai keturunan langsung Batara Guru Sang Manusia Pertama dan Patotoqe Yang Maha Kuasa. Jika ia kalah di gelanggang adu ayam, ia mengingkari kekalahannya lalu meraih senjata dan mebunuhi ayam yang menang aduan. I La Galigo adalah si congkak pongah yang menamakan dirinya Raja yang tiada taranya baik di Kayangan maupun di Dunia Bawah Tanah. Tanpa pandang bulu ia merayu dan “memojokkan” perempuan manapun yang ia suka, baik yang masih lajang maupun yang sudah bersuami. Ketika I La Galigo “terhasut” jatuh cinta pada We Tenrigangka yang sudah bersuami, ia merekayasa berita bohong bahwa mertua We Tenrigangka sakit. Suami We Tenrigangka pun berangkat menjenguk orang tuanya, dan I La Galigo menyelinap bagai pencuri masuk ke bilik We Tenrigangka, merampas hati perempuan itu dengan memakai kesaktian pemberian Sawerigading. Begitu suami We Tenrigangka pulang, I La Galigo kabur secara pengecut dengan meyamar dalam pakaian perempuan. Pendek kata, selain mencuri dan berdusta, I La Galigo banyak melakukan tindakan yang merupakan campuran antara keburukan dan kenakak-kanakan. Bahkan anak dan isterinya, La Mappanganro dan Karaeng Tompoq misalnya, mencari perkara kepadanya karena sepak terjangnya yang ngawur.

Tiadanya tokoh yang benar-benar sempurna, dibarengi dengan tidak adanya tokoh yang benar-benar jahat yang bisa menjadi perlambang kekal kekuatan gelap dalam kosmologi Manichean. I La Galigo, si congkak curang itu, juga akhirnya menjadi tokoh yang manusiawi. Sebagaimana ia dulu mengecam perilaku buruk ibunya, I We Cudai, yang membuang dirinya selagi ia masih bayi, I La Galigo pun kelak mengecam perbuatan “curang” adiknya I We Tenridio yang kabur ke langit meninggalkan suami dunianya. Di salah satu bagian, disebutkan bagaimana I La Galigo tengah menggoda ayahnya yang sudah tua namun tengah mabuk kasmaran yang membuat Sang Opu Samuda itu seakan-akan kembali menjadi remaja. Sejumlah peristiwa lain yang menggambarkan betapa manusiawinya I La Galigo, dan semua tokoh penting epik raksasa ini, buat saya menunjukkan bahwa pada dasarnya Sureq Galigo memang merupakan karnaval maha meriah tentang manusia, tentang ketidak-sempurnaan sekaligus kedahsyatannya.
***

Membaca naskah-naskah Sureq Galigo, kita akan menemu sejenis “penjarakan” di depan keriangan dan kebrutalan, tapi dengan sebentuk simpati yang terkendali. Penemuan ini datang bersama penemuan bahwa kekuatan Sureq Galigo terletak bukan melulu pada kisahnya atas penciptaan dunia dan pengisian manusia ke dalamnya, tapi terutama pada penggambarannya yang begitu istimewa atas manusia. Penggambaran itu membuat kita merasa akrab dengan dunia para makhluk supra-natural yang dipenuhi dengan keajaiban-keajaiban yang tak ditemui di dunia nyata. Kita tak merasa asing dengan dunia para dewa dan manusia keturunannya. Kita masuk ke dalam dunia supernatural, ke dalam masa silam yang lebih dekat ke pra-sejarah, tapi sekaligus kita merasa berada di masa kini akibat pemaparan tingkah laku karakter-karakter utama yang sama saja dengan manusia yang kita kenal saat ini.

Para pengarang Sureq Galigo memang menghayutkan diri menghayal seliar mungkin tentang alam dan kegaibannya, tapi mengamati sepak terjang manusia secermat mungkin, tanpa membiarkan diri terperosok ke dalam penilaian moral. Mereka membentangkan ketidak-sempurnaan manusia dengan impassive, dengan ketenangan lembam yang tak dapat diganggu sekalipun dewa-dewa marah dan dunia terbalik pecah.

Salah satu ciri kanon klasik memang terletak pada pemaparan tingkah laku dewa-dewa yang sangat manusiawi. Ciri ini bisa kita lihat pada mitologi Yunani yang bersambung dengan tragedi-tragedinya. Secara khusus, sepak terjang I La Galigo sendiri, mengingatkan saya pada satu karakter penting dalam salah satu kanon paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Karakter tersebut adalah Yahweh sang Maha Kuasa, dan kanon tersebut adalah Perjanjian Lama. Yahweh dalam Perjanjian Lama, seperti dipapar oleh Harold Bloom, juga sangat manusiawi: Ia makan dan minum, tak jarang naik pitam dan menebar murka, bergembira dengan tingkahnya yang nakal, pecemburu dan pendendam, memaklumkan dirinya maha adil sementara tindakannya berkata lain.

Dalam penggambaran perilaku Patotoqe dengan keturunannya yang demikian manusiawi itu, kita menemukan hubungan yang menarik antara sastra dan kehidupan. Hubungan pertama adalah hubungan di mana sastra meniru kehidupan. Hubungan ini terpapar dalam penggambaran tokoh-tokoh epik Sureq Galigo yang meniru sepak terjang manusia. Hubungan kedua adalah hubungan di mana kehidupan justeru meniru sastra. Peniruan ini terbentang lewat upaya-upaya manusia Bugis menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra Sureq Galigo.

Sureq Galigo juga menyelundupkan kekuatan “subversif” yang luar biasa. Di satu sisi, Sureq Galigo tampak menopang secara mutlak “aristokrasi genetik” dan “hak-hak istimewa” Batara Guru dan segenap keturunan langsungnya. Karena mereka adalah pewaris darah putih Sang Penentu Nasib, mereka punya hak-hak yang luar biasa tinggi, melampaui apa yang dimiliki oleh manusia-manusia di luar lingkaran genetik itu. Mereka punya hak asasi untuk dengan sendirinya memerintah dan menguasai dunia. Di sisi lain, Sureq Galigo justeru menggugat “aristokrasi” atau “previlege” itu dengan memperlihatkan betapa manusiawi mereka ini semua, betapa tidak istimewa mereka-mereka ini, sama saja dengan manusia-manusia yang lain. Mereka yang berdarah putih murni ini, juga bisa sangat konyol dan merusak, dan karena itu, hak-hak istimewa mereka untuk otomatis memerintah dan berkuasa menjadi sangat perlu dipertanyakan.

Kesadaran akan absurdnya “hak-hak istimewa genetis” ini, bagi saya, membuat Sureq Galigo memancing para pembacanya yang kritis untuk memikirkan sistem baru pengelolaan masyarakat. Di titik ini, Sureq Galigo tak lagi menjadi sastra yang meniru kehidupan, tapi menjadi sastra yang “menciptakan” kehidupan: sastra yang merangsang pemikiran untuk membangun kehidupan masyarakat baru yang lebih setara, dengan sejenis pembebasan dari ilusi atas “aristokrasi genetik”. Sureq Galigo meminta pembacanya untuk membangun sistem-sistem kehidupan yang dapat mengantisipasi kecenderungan buruk manusia sekaligus memekarkan segala hal yang baik yang terkadung dalam diri manusia juga. Barangkali ini yang, langsung atau tidak, mengilhami para leluhur Bugis “pasca-La galigo” membangun kebudayaan dengan semangat yang lebih egaliter dan independen, dengan sistem etik dan moral yang “keras dan tegas”, di mana “adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu”. Ini pula yang agaknya ikut membuat tradisi demokrasi di Sulawesi-Selatan relatif lebih orisinal dan berakar kokoh, dibanding dengan sebagian besar kawasan lain di Indonesia, bahkan mungkin di Asia. Yang jelas, ada memang yang terasa “modern dan dekat dengan ide-ide Aufklaerung Eropa” dalam Sureq Galigo: sesuatu yang membuat epik besar ini, dalam beberapa hal, mendahului jamannya.

Memang, sekalipun Sureq Galigo sudah memaparkan kecenderungan dan watak manusia apa adanya, namun pemaparan itu tampaknya masih lebih banyak bersifat antropologis. Ia sepertinya belum banyak menjelajah jauh ke wilayah psikologis, menerobos sampai ke kerak-kerak dunia bawah sadar. Setidaknya, Sureq Galigo belum secara kuat mengilhami lahir dan meluasnya karya sastra dan pemikiran di tanahairnya yang secara kuat membentangkan kodrat manusia sampai ke ujung-ujungnya, menjelajahi kodrat-kodrat tersebut tanpa melanggar batas-batasnya, yang kelak membawa modus kesadaran yang baru. Dalam hal ini, Shakespeare, yang ditulis kira-kira 300 tahun setelah Sureq Galigo mulai diaksarakan, memang telah bergerak selangkah ke depan, setidaknya demikian jika kita mengikuti kajian Harold Bloom.

Bagi Harold Bloom, Shakespeare adalah pusat dari kanon sastra Barat. Karakter ciptaannya seperti Sir John Falstaff membentangkan kemampuan manusia untuk mentertawai dirinya sendiri, sementara Cleopatra menunjukkan betapa rumit eros itu, dan betapa mustahil menceraikan jatuh cinta sebagai adegan pentas dengan jatuh cinta sebagai kejadian nyata. Hamlet yang meragukan keyakinannya atas bahasa dan atas diri manusia sendiri, telah mengajari pembaca Shakespeare untuk bersikap skeptik terhadap hubungan-hubungan dengan orang lain. Hamlet menunjukkan bagaimana manusia perlu meragukan kefasihan dirinya dan manusia lain dalam hal kasih sayang. Dalam keterasingan radikal Pangeran Hamlet, dalam keinginan jahat Iago, dalam konfrontasi Raja Lear dengan keruntuhannya, dalam pemahaman Machbeth bahwa hidup adalah cerita yang tak bermakna apa-apa, terkandunglah, dalam kalimat Bloom, benih-benih dari nihilisme abad 19, eksistensialisme muram Dostoevsky dan kebangkutan spiritual Baudelaire.

Salah satu pencapaian terpenting sastra dunia di paruh kedua abad 20 adalah leburnya fakta dan fiksi, bertautnya waktu mitologis dan waktu historis; berkelindannya hal-hal yang tampak biasa dengan yang fantastik, yang mengaburkan batas antara yang sakral dan yang profan, yang menggiriskan dan absurd, yang tragis dan komik. Pendek kata, oplosan yang dinamis dari berbagai hal yang tampak bertentangan, yang mengguncang peta sastra dunia dan membentangkan genre sastra realisme magis. Yang menarik adalah bahwa karakter realisme magis hadir berlimpah-limpah dalam Sureq Galigo, dan itu berarti mendahului ratusan tahun pencapaian novel realisme magis yang paling berpengaruh dalam sejarah sastra: Cien A?os de Soledad Gabriel Garcia Marquez.

Shakespeare, Dante, Cervantes, Borges atau Marquez, telah membentangkan cakrawala baru, yang membuka penjelajahan sekaligus tantangan baru bagi pujangga-pujangga raksasa yang datang belakangan. Sureq Galigo yang juga telah menghamparkan horison baru, mestinya mengundang juga tantangan pengembaraan dan penciptaan literer generasi-generasi baru. Kajian antropologis, filologis dan semiotik yang sudah ada dan berkaitan dengan epik ini, sangatlah penting, kendati mungkin tak dengan sendirinya memadai.
***

Kanon, yang menampik pembedaan antara pengetahuan dan pendapat, yang merupakan piranti untuk bertahan hidup, dan disusun untuk menjadi kebal-waktu (time-proof), bukannya kebal-nalar (reason proof), tentu saja dapat didekonstruksi; jika manusia mengira bahwa hal tersebut keliru, maka mereka dengan sangat baik menemukan cara untuk menghancurkan kanon-kanon tersebut. Kalimat yang berasal dari Sir Frank Kermode, dikutip Harold Bloom dalam The Western Canon, berlaku untuk semua kanon, baik yang dianggap sakral maupun yang dianggap sekuler. Kalimat itu tentu juga berlaku untuk Sureq Galigo.

Sebagai sebuah teks besar, Sureq Galigo memang perlu diperlakukan sebagai naskah yang bisa dibongkar, bukannya teks yang tak boleh dimain-mainkan. Jika Sureq Galigo terus diperlakukan sebagai naskah angker, maka penghancuran dan kematian naskah tersebut akan tak terelakkan lagi. Pembongkaran atas Sureq Galigo menuntut perluasan akses sebesar-besarnya dan kebebasan penuh untuk memain-mainkannya secara kreatif. Tanpa keleluasaan dan kebebasan ini, Sureq Galigo akan benar-benar menjadi seperti sebuah peradaban yang kehilangan penduduk, seperti sebuah kitab agung yang kehilangan ummat.

Sebuah kajian menarik dari Sirtjo Koolhof, peneliti Sureq Galigo yang bermukim di Belanda, menunjukkan adanya sejenis kecerdasan linguistik yang memungkinkan tebentuknya komposisi Sureq Galigo yang panjangnya melebihi epik Mahabharata ini. Pemakaian bahasa literer yang khusus, metrum, penggunaan sejumlah rumus komposisi, sistem formulaik dan paralelisme, disebut-sebut sebagai unsur-unsur yang ada dalam kecerdasan linguistik itu.

Penguasaan kosa kata Bugis arkaik dengan segmen-segmen pentasilabik serta unsur-unsur lain yang yang menyusun kecerdasan linguistik tadi, memang sangat berguna. Pengetahuan itu menjadi kunci memasuki kosmos Sureq Galigo, menjelajahi pengetahuan, kebudayaan dan aspirasi-aspirasi tertinggi dari manusia-manusia yang terkait dengan epik besar itu. Paling tidak, untuk mengerti bagaimana naskah besar ini disusun dan ditransmisikan dari generasi ke generasi dalam wilayah linguistik yang sama. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak memadai untuk melahirkan lagi kosmos itu, baik bagian-bagiannya apalagi keseluruhannya, untuk pembaca dunia di abad 21 ini. Diperlukan kecerdasan linguisik baru, kefasihan penggunaan media artistik baru yang bisa dipahami oleh publik yang ditujunya. Kecerdasan linguistik baru inilah yang bisa meneruskan secara kreatif apa yang kekal dan universal dalam epik besar tersebut. Wujudnya yang paling sederhana adalah penulisan ulang dalam bentuk novel, seperti yang misalnya dilakukan oleh Khrisna Dharma atas wiracarita besar India: Ramayana dan Mahabharata. Atau penulisan edisi populer untuk anak-anak, seperti yang terjadi pada Popol Vuh, epik mitologis suku bangsa Maya, Amerika Selatan.

“Kesakralan” Sureq Galigo yang membuatnya tak dapat diakses oleh sembarang orang, tampaknya memang harus disembelih dan dikorbankan. “Kesakralan” itu perlu dibunuh agar, seperti We Oddang Riuq yang meninggal tujuh hari setelah dilahirkan dan menjelma Sangiyang Serri, dari tubuhnya tumbuh padi yang menguning dalam lima nuansa warna, yang akan menghidupi manusia beribu tahun. Atau dengan metafor yang lebih kuat, “kesakralan” Sureq Galigo adalah “kekeramatan” pohon raksasa Welenrennge yang mengakar sampai ke pusar Bumi dan berpucuk sampai ke langit, yang mesti ditebang dan dijadikan perahu, agar Sawerigading dan keturunannya dapat berlayar menjelajahi dunia.
***

Nirwan Ahmad Arsuka
Dimuat di Bentara-KOMPAS, Maret 2002

Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Abu Hamid, Nurhayati Rahman, Halilitar Latief dan Sirtjo Koolhof untuk masukan-masukannya. Namun demikian, tanggung jawab atas isi sepenuhnya ada di tangan penulis.

Makalah untuk Festival dan Seminar Internasional La Galigo, dilaksanakan oleh Divisi Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian – Universitas Hasanuddin, bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Barru dan KITLV – Leiden, Belanda. Desa Pancana, Kabupaten Barru, 15-18 Maret 2002.

Rujukan:
Bloom, Harold. 1994. The Western Canon: The Books and School of the Ages. New York:Riverhead Books
Bloom, Harold. 1998. Shakespeare: The Invention of The Human. New York:Riverhead Books
Fachruddin, AE. 1999. Ritumpanna Welenrengge: Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik La Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kern, R.A., 1989. I La Galigo: Cerita Bugis Kuno. Terjemahan: La Side dan Sagimun M.D. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Seri terjemahan KITLV-LIPI
Koolhof, Sirtjo. 1999. Diversity in Unity: The Language of Tradition in the La Galigo. Draft paper untuk Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara “Tradisi Tulis Nusantara Menjelang Melenium III”. Jakarta, 12-13 Oktober 1999
Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading lao ri Tana Cina (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina): Analisis Filologi dan Semiotik La Galigo. Thesis PhD Univesitas Indonesia, Jakarta.
Toa, Arung Pancana. I La Galigo (Menurut Naskah NBG 188). Jilid I. Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, et. al. Jakarta: Djambatan.
Toa, Arung Pancana. I La Galigo (Menurut Naskah NBG 188). Jilid II. Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, et. al. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Dijumput dari: http://www.freedom-institute.org/id/index.php?page=artikel&id=500

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati