Nirwan Ahmad Arsuka
Kompas, Maret 2002
Canons, which negate the distinction between knowledge and opinion, which are instruments of survival built to be time-proof, not reason-proof, are of course deconstructable; if people think there should not be such things, they may very well find the means to destroy them. (Sir Frank Kermode)
Kanon, kita tahu, adalah kumpulan naskah yang dikukuhkan sebagai “ukuran”, norma, pegangan yang berwibawa, sukma bagi kehidupan komunitas yang memegangnya. Kanon adalah standar yang menjadi sumber ilham bagi kehidupan penciptaan generasi berikutnya. Menurut Harold Bloom, pemikir dan kritikus sastra yang sangat berpengaruh dari Universitas Yale, sebuah teks menjadi kanon sastra karena kemampuannya membuat kita merasa asing di tengah lingkungan sendiri (feel strange at home). Atau sebaliknya, membuat kita merasa betah dan akrab di tengah dunia yang asing (at home out of doors, foreign, abroad).
Dirumuskan secara sederhana, kemampuan kanon untuk membuat kita merasa asing di tengah lingkungan sendiri, menunjuk pada kekuatannya untuk memprovokasi, untuk menggoncang, hal-hal yang sudah kita terima mapan. Ia memberi kita alternatif-alternatif dan meyingkapkan hal-hal yang selama ini terselubung. Kemampuan ini membuat kita jadi lebih kaya secara intelektual dan lebih peka secara emosional. Adapun kemampuan kanon membuat kita merasa betah dan akrab sekalipun berada di wilayah asing, menunjuk pada kekuatannya untuk menggaris bawahi persamaan universal kemanusiaan, kemampuannya menemukan hal-hal yang kekal dan tak berubah yang ada di tengah arus sejarah dan kehidupan manusia.
La Galigo, atau Sureq Galigo, epik mitologis orang-orang Bugis yang juga ditemui pecahan-pecahannya di luar wilayah Bugis itu, sampai derajat tertentu memperlihatkan kedua kemampuan kanonik di atas. Kemampuan itu sudah terlihat sejak dari bahagian awal kisah panjang berusia ratusan tahun tentang pembentukan dunia dan penataan ide serta kesadaran manusia Bugis. Kemampuan itu berkelindan dengan pemaparannya atas sepak terjang manusia, karakternya yang kompleks dan menyimpan dalam dirinya banyak kekuatan dan kecenderungan yang saling bertentangan.
Dalam kanon sastra Barat, pemaparan dan penemuan atas “yang manusiawi” ini (The Invention Of The Human), menurut Harold Bloom, terjadi dengan bagus dalam karya-karya pentas William Shakespeare. Shakespeare-lah yang pertama kali dengan kuat membentangkan manusia, membentangkan dunia interior dan psike dan personalitasnya. Kajian-kajian psikologi Sigmund Freud yang sangat mempengaruhi peradaban modern itu, hanya mempertegas penemuan Shakespeare atas “yang manusiawi”.
***
Mereka yang pernah membaca cukup dalam naskah Sureq Galigo, akan tahu bahwa epik raksasa ini bergerak ketika Patotoqe (Sang Penentu Nasib) memperoleh laporan bahwa Dunia Tengah ternyata kosong melompong. Patotoqe lalu bertindak menjalankan perannya yang sejati, dengan terlebih dahulu mengumpulkan segenap dewa di Puncak Langit dan Dunia Bawah Tanah. Peran terpenting dari Patotoqe sang Dewa Tertinggi, bukanlah sekedar sebagai Sang Penentu Nasib. Ia harus menyebarkan kehidupan di dunia, menjaga dan merayakannya, sehingga dunia yang tadinya kosong, menjadi meriah dan bercahaya. Jika tak ada kehidupan di dunia, maka takkan ada manusia di sana, dan tanpa manusia maka takkan ada Dewa Maha Tinggi yang menentukan nasib (yang ada hanya sekedar penghuni langit). Konsep inti di sini adalah hadirnya kehidupan, terbitnya kemanusiaan. Adapun penyembahan manusia kepada Dewata yang Maha Tinggi, hanyalah akibat samping dari penciptaan kehidupan dan kemanusiaan.
Jika kita cermati naskah episode pertama Sureq Galigo, kita akan selalu menemukan bahwa penciptaan kehidupan selalu disebut pertama kali. Sementara penyembahan manusia kepada Tuhan selalu disebut belakangan, hadir sebagai pernyataan terima kasih manusia kepada Penciptanya. Peran Patotoqe yang disebut tadi, dapat dibaca pada dialog pertama yang terjadi dalam Sureq Galigo. Ini tertera pada naskah NBG 188 yang disusun oleh Arung Pancana Toa. Perempuan bangsawan yang hidup di abad 19 ini, juga menulis syair Sureq Baweng yang naskah lontarnya tersimpan di Perpustakaan Nasional, mengadaptasi Hikayat Bayan Budiman yang berasal dari bahasa Melayu, dan menulis sejumlah naskah tentang sejarah, kebudayaan dan upacara-upacara Bugis.
Berikut ini adalah penggalan dari dialog pertama dalam pembukaan Sureq Galigo, (halaman 58, baris 35 – 4, Jilid 1), susunan Arung Pancana Toa, Jilid I:
Maddaung wali Rukkelleng Mpoba,
“…Temmaga Puang muloq seua rijajiammu,
tabareq-bareq ri atawareng,
ajaq naonro lobbang linoe
makkatajangeng ri atawareng.
Teddewata iq, Puang, rekkua masuaq tau
ri awa langiq, le ri meneqna Peretiwie
Mattampa puang le ri Batara.”
Bersimpuh Rukkelleng Mpoba, “…
Alangkah baik Tuanku menurunkan seorang keturunan
Untuk menjelma di muka Bumi,
Agar dunia tak lagi kosong melompong’
Dan terang benderang paras dunia,
Engkau bukanlah Dewata selama tak satu manusiapun
Di kolong langit, di permukaan Peretiwi
Menegaskan Sri Paduka sebagai Batara.”
Kalimat-kalimat yang mirip dengan isi yang sama seperti di atas, dapat pula dilihat pada halaman 60 (baris 32-5), halaman 92 (baris 24-32), halaman 112 (baris 31-34), dan beberapa halaman lain di buku yang sama. Pada halaman 60, baris 32-34, dari buku yang transkripsi dan terjemahannya dikerjakan oleh Muhammad Salim dan Facruddin Ambo Enre ini, tertera:
Kua adanna Patotoqe
ri makkunrai ripawekkeqna,
“Temmaga wae Datu Palingeq anri
tauloq rijajiatta,
tabareq-bareq tuneq ri Kawaq…”
Berujarlah Sang Penentu Nasib
kepada permaisuri belaiannya,
“Selayaknyalah wahai adinda Datu Palingeq
kita turunkan ananda kita,
kita jadikan tunas di Bumi….”
Musyawarah para dewa akhirnya menyetujui keputusan Sang Penentu Nasib memilih Batara Guru untuk dijelmakan sebagai tunas manusia di Bumi, generasi pertama manusia di dunia. Selain digelari sebagai Manurungge (Yang Dirturunkan), Batara Guru disebut pula sebagai Mula Tau (Pemula Manusia). Periode awal Sureq Galigo selalu juga disebut sebagai periode Mula Tau, periode kejadian manusia pertama yang diturunkan dari langit lewat pelangi, dan ditetaskan lewat sebatang bambu betung.
Menjadi manusia, menjadi penghuni Dunia Tengah, adalah momen yang paling menyakitkan dalam riwayat hidup Batara Guru. Itu berarti bahwa ia kehilangan seluruh hak-hak istimewanya sebagai seorang dewa, sebagai putera sulung dan pangeran mahkota dari Sang Penentu Nasib yang menguasai seluruh alam. Batara Guru sang Manusia Pertama, telah menjadi Sang Lain (the other) yang berada di luar lingkaran dewa-dewa. Sebagaimana dikatakan oleh Patotoqe kepada Batara Guru yang bersimpuh menyembah dengan hati yang hancur dan mata basah, “To Linoe no le Kudewata”. Engkau adalah manusia, dan Aku adalah dewa (hal. 118, baris 31). Menjadi manusia, memang berarti menjadi lebih rendah derajatnya; dewa-dewa bahkan tak dapat bergaul lama dengan manusia karena dewa-dewa tak akan tahan dengan bau manusia.
Namun demikian, ketahanan Batara Guru menjalani nasibnya sebagai manusia, sebagai manusia pertama di bumi yang kosong, akhirnya memberi ia berkah yang sedemikian indah – begitu indah sehingga ia melupakan hasratnya untuk kembali ke langit, dan itu berarti melupakan ingatannya sebagai dewa. Ternyata menjadi manusia yang mampu melewati berbagai cobaan adalah berkah yang paling besar di seluruh alam, berkah yang yang lebih menarik, lebih bermakna daripada menjadi dewa. Ini analog dengan salah satu “pesan hidup” Sawerigading bahwa berlayar mengelilingi dunia, lebih menarik dari duduk diam bertahta sebagai raja yang dipertuan.
Pada halaman 166 dan 168, baris 10-12, dapat kita baca:
Ala maeloq mawela Batara Guru
Siraga-raga massapo siseng.
Tennasengeq ni lolangengge ri Boting Langiq.
Tak ingin lagi beringsut Batara Guru
Bermesra kasih bersepupu sekali.
Tak dihiraukannya lagi Negeri di Puncak Langit
Batara Guru akhirnya bahagia di Dunia Tengah, dan mulai melupakan asalnya, melupakan ayahandanya, setelah perkawinannya dengan We Nyiliq Timoq, puteri sulung penguasa Dunia Bawah. Perkawinan ini mengukuhkan sesuatu yang selalu muncul dalam Sureq Galigo: persatuan Dunia Atas dan Dunia Bawah, yang kemudian melahirkan penghuni dan penguasa Dunia Tengah. Di akhir kisah panjang ini, Batara Guru memang kelak naik kembali ke langit, menggantikan kedudukan Patotoqe sebagai penguasa tertinggi. Tapi ini terjadi setelah empat generasi keturunan Batara Guru sudah menjelajah ke seluruh penjuru dunia, Bumi menjadi semarak oleh kehidupan manusia dan keturunan para dewa sudah berpindah naik ke Kayangan atau turun ke Dunia Bawah Tanah.
Episode akhir Sureq Galigo yang kembali diisi oleh perkawinan Dunia Atas dan Dunia Bawah untuk melahirkan penghuni Dunia Tengah, dipuncaki oleh reuni keluarga besar anak cucu Batara Guru. Mereka yang terserak sampai ke Cina, yang menetap di Langit dan Dunia Bawah Tanah, semuanya datang berkumpul. Sawerigading, karena telah beranak cucu di Cina, tak lagi terkena kutuk jika kembali ke tanah asalnya. Ia akhirnya memang mudik ke tanah kelahirannya dan mengundang adik kembarnya, I We Teriabeng, turun dari langit. Kehadiran I We Tenriabeng membuat lengkap reuni keluarga besar Manusia Pertama di Dunia.
Reuni yang amat meriah itu, menurut saya, secara tidak langsung merayakan selesainya misi besar keluarga Batara Guru untuk menyebar beranak cucu, mengisi dunia dengan kehidupan. Dengan selesainya misi penyebaran kehidupan, kisahpun menjadi lengkap, sempurna dan harus ditamatkan. Dunia Tengah akhirnya gonjang-ganjing. Kejadian ini diikuti oleh tindakan Patotoqe untuk menutup pintu langit, dan putuslah hubungan langit dan dunia. Dunia tengah dan manusianya, harus bergerak sendiri, mejadi mandiri dalam menentukan jalan hidupnya. Hanya sesekali saja To Manurung turun dari langit, tapi mereka hanya boleh memerintah lewat sebentuk kontrak sosial politik dengan manusia yang diperintahnya.
Dalam sinopsis yang berjumlah seribu halaman susunan R. A. Kern, kenaikan Batara Guru menjadi penguasa Langit, muncul sebagai latar yang sayup bagi episode penutup La Galigo. Dari kenaikan yang berkaitan dengan kemeriahan reuni keluarga besar itu, serta “tenggelamnya” Sawerigading untuk menjadi penguasa Dunia Bawah, cerita berpindah ke adegan yang menurut saya merupakan adegan paling menyentuh dalam keseluruhan cerita. Adegan ini adalah adegan pamungkas, dan berlangsung tiga bulan setelah pintu-pintu Kayangan dipalang dan pintu-pintu Dunia Bawah Tanah dirantai. Mutiatoja, puteri bungsu Sawerigading dengan I We Cudai, dicengkeram keinginan yang sangat besar untuk Turun Ke Dunia Bawah Tanah. Sementara Salinrunglangi, putra bungsu I We Tenriabeng dan Remmang Ri Langi, dibakar rindu untuk naik ke Kayangan. Dihadang oleh kenyataan bahwa pintu Kayangan dan Pintu Dunia Bawah Tanah tak lagi terbuka buat manusia, kedua suami isteri ini, beserta anak mereka yang masih bayi, hanya bisa saling menghibur, menerima takdir dan berkah mereka sebagai penghuni Dunia Tengah, penerus generasi manusia.
***
Kendati bercerita tentang pembentukan dunia, dengan sepak terjang para dewa dan pelbagai kedahsyatannya, Sureq Galigo pada dasarnya adalah karnaval sejak terjang manusia. Epik mitologis yang dimeriahkan oleh puluhan episode dan ratusan protagonis ini, tak lain dan tak bukan merupakan cerita besar tentang manusia sebagaimana adanya. Ia tidak menutup-nutupi kenyataan bahwa ada sesuatu yang “gelap, gila dan tak terduga” dalam diri manusia, sekalipun ia adalah turunan dewa berdarah putih. Dalam tokoh-tokoh La Galigo, tak ada yang benar-benar sempurna dan tanpa cacat dengan perilaku yang benar-benar serupa dewa agung. Para dewa bahkan bisa memperlihatkan sepak terjang yang konyol dan sangat manusiawi.
Patotoqe bukanlah penguasa yang benar-benar tegas dan tak pilih kasih. Sejumlah pelanggaran dari keturunannya tidak diganjar dengan hukuman yang setimpal, atau yang sekeras hukuman yang diberikan ke orang lain. Perempuan-perempuan mulia di epik besar ini, selain bisa memendam cemburu dan parasangka yang merusak, juga bisa merajuk dengan cara yang kekanak-kanakan. Mereka juga memiliki watak tega yang mencemaskan. Sawerigading sendiri yang dipuja-puja itu, pada saat-saat tertentu bisa menjadi cengeng dan nepotis, dan tak jarang ditegur keras oleh penasehat-penasehatnya. Barangkali representasi paling menonjol dari watak “konyol dan gelap” manusia terlihat pada putra sulung Sawerigading Sendiri, I La Galigo To Botoq, tokoh yang oleh Sir Thomas Stamford Raffles dalam The History of Java (1817) dikira sebagai pengarang dari epik besar ini. I La Galigo adalah sang penjudi agung, si penaik darah, pembawa keributan di setiap jengkal daratan dan lautan yang dilaluinya.
Yudhistira, putra sulung keluarga Pandu dalam epik Mahabharata, juga seorang penjudi. Untuk judi, ia mempertaruhkan kerajaannya, diri dan adik-adiknya. Ia bahkan mempertaruhkan Drupadi, isterinya, puteri terhormat Kerajaan Pancala. Judilah yang membuat keluarga Pandu ini menjalani hidup hina di hutan selama 13 tahun, dan kemudian menuntut haknya atas kerajaan yang kelak meledak dalam perang besar di Kurusetra. Namun demikian, judi, dalam kasus Yudhistira, adalah akibat dari kepolosan, bukan kegemaran yang mendarah daging. Judi memang memberi aib pada Yudhistira, tapi itu tidak lantas menghilangkan sosoknya sebagai manusia sempurna pilihan dewa dan pujaan rakyat.
Inilah yang membedakan Yudhistira dengan I La Galigo. Jika judi dalam riwayat Yudhistira merupakan rahmat terselubung untuk mempertegas kemuliaannya, judi dalam riwayat I La Galigo hadir sebagai kegemaran yang mempertegas ketidaksempurnaannya. Dan jika Yudhistira terpaut ke dalam kelompok Pandawa Lima yang menjadi kesayangan publik dan para dewa, I La Galigo dengan rombongan riang gembira ke 70 pangeran yang selalu mengiringinya, tampak lebih dekat ke Duryudhana yang culas, yang mengepalai gerombolan tengik Kurawa yang berjumlah 100 orang.
Tumbuh sebagai anak yang dilimpahi kasih sayang berlebihan, I La Galigo jadi terbiasa menyalahgunakan posisinya sebagai pangeran putera mahkota, sebagai keturunan langsung Batara Guru Sang Manusia Pertama dan Patotoqe Yang Maha Kuasa. Jika ia kalah di gelanggang adu ayam, ia mengingkari kekalahannya lalu meraih senjata dan mebunuhi ayam yang menang aduan. I La Galigo adalah si congkak pongah yang menamakan dirinya Raja yang tiada taranya baik di Kayangan maupun di Dunia Bawah Tanah. Tanpa pandang bulu ia merayu dan “memojokkan” perempuan manapun yang ia suka, baik yang masih lajang maupun yang sudah bersuami. Ketika I La Galigo “terhasut” jatuh cinta pada We Tenrigangka yang sudah bersuami, ia merekayasa berita bohong bahwa mertua We Tenrigangka sakit. Suami We Tenrigangka pun berangkat menjenguk orang tuanya, dan I La Galigo menyelinap bagai pencuri masuk ke bilik We Tenrigangka, merampas hati perempuan itu dengan memakai kesaktian pemberian Sawerigading. Begitu suami We Tenrigangka pulang, I La Galigo kabur secara pengecut dengan meyamar dalam pakaian perempuan. Pendek kata, selain mencuri dan berdusta, I La Galigo banyak melakukan tindakan yang merupakan campuran antara keburukan dan kenakak-kanakan. Bahkan anak dan isterinya, La Mappanganro dan Karaeng Tompoq misalnya, mencari perkara kepadanya karena sepak terjangnya yang ngawur.
Tiadanya tokoh yang benar-benar sempurna, dibarengi dengan tidak adanya tokoh yang benar-benar jahat yang bisa menjadi perlambang kekal kekuatan gelap dalam kosmologi Manichean. I La Galigo, si congkak curang itu, juga akhirnya menjadi tokoh yang manusiawi. Sebagaimana ia dulu mengecam perilaku buruk ibunya, I We Cudai, yang membuang dirinya selagi ia masih bayi, I La Galigo pun kelak mengecam perbuatan “curang” adiknya I We Tenridio yang kabur ke langit meninggalkan suami dunianya. Di salah satu bagian, disebutkan bagaimana I La Galigo tengah menggoda ayahnya yang sudah tua namun tengah mabuk kasmaran yang membuat Sang Opu Samuda itu seakan-akan kembali menjadi remaja. Sejumlah peristiwa lain yang menggambarkan betapa manusiawinya I La Galigo, dan semua tokoh penting epik raksasa ini, buat saya menunjukkan bahwa pada dasarnya Sureq Galigo memang merupakan karnaval maha meriah tentang manusia, tentang ketidak-sempurnaan sekaligus kedahsyatannya.
***
Membaca naskah-naskah Sureq Galigo, kita akan menemu sejenis “penjarakan” di depan keriangan dan kebrutalan, tapi dengan sebentuk simpati yang terkendali. Penemuan ini datang bersama penemuan bahwa kekuatan Sureq Galigo terletak bukan melulu pada kisahnya atas penciptaan dunia dan pengisian manusia ke dalamnya, tapi terutama pada penggambarannya yang begitu istimewa atas manusia. Penggambaran itu membuat kita merasa akrab dengan dunia para makhluk supra-natural yang dipenuhi dengan keajaiban-keajaiban yang tak ditemui di dunia nyata. Kita tak merasa asing dengan dunia para dewa dan manusia keturunannya. Kita masuk ke dalam dunia supernatural, ke dalam masa silam yang lebih dekat ke pra-sejarah, tapi sekaligus kita merasa berada di masa kini akibat pemaparan tingkah laku karakter-karakter utama yang sama saja dengan manusia yang kita kenal saat ini.
Para pengarang Sureq Galigo memang menghayutkan diri menghayal seliar mungkin tentang alam dan kegaibannya, tapi mengamati sepak terjang manusia secermat mungkin, tanpa membiarkan diri terperosok ke dalam penilaian moral. Mereka membentangkan ketidak-sempurnaan manusia dengan impassive, dengan ketenangan lembam yang tak dapat diganggu sekalipun dewa-dewa marah dan dunia terbalik pecah.
Salah satu ciri kanon klasik memang terletak pada pemaparan tingkah laku dewa-dewa yang sangat manusiawi. Ciri ini bisa kita lihat pada mitologi Yunani yang bersambung dengan tragedi-tragedinya. Secara khusus, sepak terjang I La Galigo sendiri, mengingatkan saya pada satu karakter penting dalam salah satu kanon paling berpengaruh dalam sejarah manusia. Karakter tersebut adalah Yahweh sang Maha Kuasa, dan kanon tersebut adalah Perjanjian Lama. Yahweh dalam Perjanjian Lama, seperti dipapar oleh Harold Bloom, juga sangat manusiawi: Ia makan dan minum, tak jarang naik pitam dan menebar murka, bergembira dengan tingkahnya yang nakal, pecemburu dan pendendam, memaklumkan dirinya maha adil sementara tindakannya berkata lain.
Dalam penggambaran perilaku Patotoqe dengan keturunannya yang demikian manusiawi itu, kita menemukan hubungan yang menarik antara sastra dan kehidupan. Hubungan pertama adalah hubungan di mana sastra meniru kehidupan. Hubungan ini terpapar dalam penggambaran tokoh-tokoh epik Sureq Galigo yang meniru sepak terjang manusia. Hubungan kedua adalah hubungan di mana kehidupan justeru meniru sastra. Peniruan ini terbentang lewat upaya-upaya manusia Bugis menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sastra Sureq Galigo.
Sureq Galigo juga menyelundupkan kekuatan “subversif” yang luar biasa. Di satu sisi, Sureq Galigo tampak menopang secara mutlak “aristokrasi genetik” dan “hak-hak istimewa” Batara Guru dan segenap keturunan langsungnya. Karena mereka adalah pewaris darah putih Sang Penentu Nasib, mereka punya hak-hak yang luar biasa tinggi, melampaui apa yang dimiliki oleh manusia-manusia di luar lingkaran genetik itu. Mereka punya hak asasi untuk dengan sendirinya memerintah dan menguasai dunia. Di sisi lain, Sureq Galigo justeru menggugat “aristokrasi” atau “previlege” itu dengan memperlihatkan betapa manusiawi mereka ini semua, betapa tidak istimewa mereka-mereka ini, sama saja dengan manusia-manusia yang lain. Mereka yang berdarah putih murni ini, juga bisa sangat konyol dan merusak, dan karena itu, hak-hak istimewa mereka untuk otomatis memerintah dan berkuasa menjadi sangat perlu dipertanyakan.
Kesadaran akan absurdnya “hak-hak istimewa genetis” ini, bagi saya, membuat Sureq Galigo memancing para pembacanya yang kritis untuk memikirkan sistem baru pengelolaan masyarakat. Di titik ini, Sureq Galigo tak lagi menjadi sastra yang meniru kehidupan, tapi menjadi sastra yang “menciptakan” kehidupan: sastra yang merangsang pemikiran untuk membangun kehidupan masyarakat baru yang lebih setara, dengan sejenis pembebasan dari ilusi atas “aristokrasi genetik”. Sureq Galigo meminta pembacanya untuk membangun sistem-sistem kehidupan yang dapat mengantisipasi kecenderungan buruk manusia sekaligus memekarkan segala hal yang baik yang terkadung dalam diri manusia juga. Barangkali ini yang, langsung atau tidak, mengilhami para leluhur Bugis “pasca-La galigo” membangun kebudayaan dengan semangat yang lebih egaliter dan independen, dengan sistem etik dan moral yang “keras dan tegas”, di mana “adat tak mengenal anak, tak mengenal cucu”. Ini pula yang agaknya ikut membuat tradisi demokrasi di Sulawesi-Selatan relatif lebih orisinal dan berakar kokoh, dibanding dengan sebagian besar kawasan lain di Indonesia, bahkan mungkin di Asia. Yang jelas, ada memang yang terasa “modern dan dekat dengan ide-ide Aufklaerung Eropa” dalam Sureq Galigo: sesuatu yang membuat epik besar ini, dalam beberapa hal, mendahului jamannya.
Memang, sekalipun Sureq Galigo sudah memaparkan kecenderungan dan watak manusia apa adanya, namun pemaparan itu tampaknya masih lebih banyak bersifat antropologis. Ia sepertinya belum banyak menjelajah jauh ke wilayah psikologis, menerobos sampai ke kerak-kerak dunia bawah sadar. Setidaknya, Sureq Galigo belum secara kuat mengilhami lahir dan meluasnya karya sastra dan pemikiran di tanahairnya yang secara kuat membentangkan kodrat manusia sampai ke ujung-ujungnya, menjelajahi kodrat-kodrat tersebut tanpa melanggar batas-batasnya, yang kelak membawa modus kesadaran yang baru. Dalam hal ini, Shakespeare, yang ditulis kira-kira 300 tahun setelah Sureq Galigo mulai diaksarakan, memang telah bergerak selangkah ke depan, setidaknya demikian jika kita mengikuti kajian Harold Bloom.
Bagi Harold Bloom, Shakespeare adalah pusat dari kanon sastra Barat. Karakter ciptaannya seperti Sir John Falstaff membentangkan kemampuan manusia untuk mentertawai dirinya sendiri, sementara Cleopatra menunjukkan betapa rumit eros itu, dan betapa mustahil menceraikan jatuh cinta sebagai adegan pentas dengan jatuh cinta sebagai kejadian nyata. Hamlet yang meragukan keyakinannya atas bahasa dan atas diri manusia sendiri, telah mengajari pembaca Shakespeare untuk bersikap skeptik terhadap hubungan-hubungan dengan orang lain. Hamlet menunjukkan bagaimana manusia perlu meragukan kefasihan dirinya dan manusia lain dalam hal kasih sayang. Dalam keterasingan radikal Pangeran Hamlet, dalam keinginan jahat Iago, dalam konfrontasi Raja Lear dengan keruntuhannya, dalam pemahaman Machbeth bahwa hidup adalah cerita yang tak bermakna apa-apa, terkandunglah, dalam kalimat Bloom, benih-benih dari nihilisme abad 19, eksistensialisme muram Dostoevsky dan kebangkutan spiritual Baudelaire.
Salah satu pencapaian terpenting sastra dunia di paruh kedua abad 20 adalah leburnya fakta dan fiksi, bertautnya waktu mitologis dan waktu historis; berkelindannya hal-hal yang tampak biasa dengan yang fantastik, yang mengaburkan batas antara yang sakral dan yang profan, yang menggiriskan dan absurd, yang tragis dan komik. Pendek kata, oplosan yang dinamis dari berbagai hal yang tampak bertentangan, yang mengguncang peta sastra dunia dan membentangkan genre sastra realisme magis. Yang menarik adalah bahwa karakter realisme magis hadir berlimpah-limpah dalam Sureq Galigo, dan itu berarti mendahului ratusan tahun pencapaian novel realisme magis yang paling berpengaruh dalam sejarah sastra: Cien A?os de Soledad Gabriel Garcia Marquez.
Shakespeare, Dante, Cervantes, Borges atau Marquez, telah membentangkan cakrawala baru, yang membuka penjelajahan sekaligus tantangan baru bagi pujangga-pujangga raksasa yang datang belakangan. Sureq Galigo yang juga telah menghamparkan horison baru, mestinya mengundang juga tantangan pengembaraan dan penciptaan literer generasi-generasi baru. Kajian antropologis, filologis dan semiotik yang sudah ada dan berkaitan dengan epik ini, sangatlah penting, kendati mungkin tak dengan sendirinya memadai.
***
Kanon, yang menampik pembedaan antara pengetahuan dan pendapat, yang merupakan piranti untuk bertahan hidup, dan disusun untuk menjadi kebal-waktu (time-proof), bukannya kebal-nalar (reason proof), tentu saja dapat didekonstruksi; jika manusia mengira bahwa hal tersebut keliru, maka mereka dengan sangat baik menemukan cara untuk menghancurkan kanon-kanon tersebut. Kalimat yang berasal dari Sir Frank Kermode, dikutip Harold Bloom dalam The Western Canon, berlaku untuk semua kanon, baik yang dianggap sakral maupun yang dianggap sekuler. Kalimat itu tentu juga berlaku untuk Sureq Galigo.
Sebagai sebuah teks besar, Sureq Galigo memang perlu diperlakukan sebagai naskah yang bisa dibongkar, bukannya teks yang tak boleh dimain-mainkan. Jika Sureq Galigo terus diperlakukan sebagai naskah angker, maka penghancuran dan kematian naskah tersebut akan tak terelakkan lagi. Pembongkaran atas Sureq Galigo menuntut perluasan akses sebesar-besarnya dan kebebasan penuh untuk memain-mainkannya secara kreatif. Tanpa keleluasaan dan kebebasan ini, Sureq Galigo akan benar-benar menjadi seperti sebuah peradaban yang kehilangan penduduk, seperti sebuah kitab agung yang kehilangan ummat.
Sebuah kajian menarik dari Sirtjo Koolhof, peneliti Sureq Galigo yang bermukim di Belanda, menunjukkan adanya sejenis kecerdasan linguistik yang memungkinkan tebentuknya komposisi Sureq Galigo yang panjangnya melebihi epik Mahabharata ini. Pemakaian bahasa literer yang khusus, metrum, penggunaan sejumlah rumus komposisi, sistem formulaik dan paralelisme, disebut-sebut sebagai unsur-unsur yang ada dalam kecerdasan linguistik itu.
Penguasaan kosa kata Bugis arkaik dengan segmen-segmen pentasilabik serta unsur-unsur lain yang yang menyusun kecerdasan linguistik tadi, memang sangat berguna. Pengetahuan itu menjadi kunci memasuki kosmos Sureq Galigo, menjelajahi pengetahuan, kebudayaan dan aspirasi-aspirasi tertinggi dari manusia-manusia yang terkait dengan epik besar itu. Paling tidak, untuk mengerti bagaimana naskah besar ini disusun dan ditransmisikan dari generasi ke generasi dalam wilayah linguistik yang sama. Namun demikian, hal-hal tersebut tidak memadai untuk melahirkan lagi kosmos itu, baik bagian-bagiannya apalagi keseluruhannya, untuk pembaca dunia di abad 21 ini. Diperlukan kecerdasan linguisik baru, kefasihan penggunaan media artistik baru yang bisa dipahami oleh publik yang ditujunya. Kecerdasan linguistik baru inilah yang bisa meneruskan secara kreatif apa yang kekal dan universal dalam epik besar tersebut. Wujudnya yang paling sederhana adalah penulisan ulang dalam bentuk novel, seperti yang misalnya dilakukan oleh Khrisna Dharma atas wiracarita besar India: Ramayana dan Mahabharata. Atau penulisan edisi populer untuk anak-anak, seperti yang terjadi pada Popol Vuh, epik mitologis suku bangsa Maya, Amerika Selatan.
“Kesakralan” Sureq Galigo yang membuatnya tak dapat diakses oleh sembarang orang, tampaknya memang harus disembelih dan dikorbankan. “Kesakralan” itu perlu dibunuh agar, seperti We Oddang Riuq yang meninggal tujuh hari setelah dilahirkan dan menjelma Sangiyang Serri, dari tubuhnya tumbuh padi yang menguning dalam lima nuansa warna, yang akan menghidupi manusia beribu tahun. Atau dengan metafor yang lebih kuat, “kesakralan” Sureq Galigo adalah “kekeramatan” pohon raksasa Welenrennge yang mengakar sampai ke pusar Bumi dan berpucuk sampai ke langit, yang mesti ditebang dan dijadikan perahu, agar Sawerigading dan keturunannya dapat berlayar menjelajahi dunia.
***
Nirwan Ahmad Arsuka
Dimuat di Bentara-KOMPAS, Maret 2002
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Abu Hamid, Nurhayati Rahman, Halilitar Latief dan Sirtjo Koolhof untuk masukan-masukannya. Namun demikian, tanggung jawab atas isi sepenuhnya ada di tangan penulis.
Makalah untuk Festival dan Seminar Internasional La Galigo, dilaksanakan oleh Divisi Ilmu-ilmu Sosial dan Humaniora, Pusat Kegiatan Penelitian – Universitas Hasanuddin, bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, Pemerintah Kabupaten Barru dan KITLV – Leiden, Belanda. Desa Pancana, Kabupaten Barru, 15-18 Maret 2002.
Rujukan:
Bloom, Harold. 1994. The Western Canon: The Books and School of the Ages. New York:Riverhead Books
Bloom, Harold. 1998. Shakespeare: The Invention of The Human. New York:Riverhead Books
Fachruddin, AE. 1999. Ritumpanna Welenrengge: Sebuah Episode Sastra Bugis Klasik La Galigo. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kern, R.A., 1989. I La Galigo: Cerita Bugis Kuno. Terjemahan: La Side dan Sagimun M.D. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Seri terjemahan KITLV-LIPI
Koolhof, Sirtjo. 1999. Diversity in Unity: The Language of Tradition in the La Galigo. Draft paper untuk Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara “Tradisi Tulis Nusantara Menjelang Melenium III”. Jakarta, 12-13 Oktober 1999
Rahman, Nurhayati. 1998. Sompeqna Sawerigading lao ri Tana Cina (Episode Pelayaran Sawerigading ke Tanah Cina): Analisis Filologi dan Semiotik La Galigo. Thesis PhD Univesitas Indonesia, Jakarta.
Toa, Arung Pancana. I La Galigo (Menurut Naskah NBG 188). Jilid I. Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, et. al. Jakarta: Djambatan.
Toa, Arung Pancana. I La Galigo (Menurut Naskah NBG 188). Jilid II. Transkripsi dan Terjemahan: Muhammad Salim, et. al. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.
Dijumput dari: http://www.freedom-institute.org/id/index.php?page=artikel&id=500
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar