Riki Dhamparan Putra
http://www.journalbali.com/
Banyak pengamat mengatakan bahwa sastra Indonesia kontemporer di Bali terus mengalami kemajuan semenjak tahun 1980-an. Hal itu tak terlepas dari kerja keras para pejuang sastra yang ada di Bali, baik sebagai individu, komunitas maupun sebagai institusi formal seperti lembaga pendidikan dan lembaga bahasa. Perlu juga kita sebut di sini peran surat kabar lokal yang masih menyediakan halaman sastra.
Hingga akhir tahun 1990-an, peran komunitas sebagai motivator perkembangan sastra kontemporer di Bali masih merupakan yang terutama. Bagi sesiapa yang pernah secara langsung mengalami pergesekan kreatif di daerah ini tentu tahu kalau hampir di semua kota kabupaten di propinsi Bali ada terdapat banyak komunitas komunitas sastra yang tidak pernah lelah menghidupkan iklim kreatif di daerahnya. Mereka ini biasanya militan, hidup secara swadaya dan saling berhubungan satu sama lain melalui sebuah pola sosial alamiah yang populer disebut gradag grudug.
Gradag grudug adalah sebuah istilah yang spontan. Setengah artinya berasal dari spirit budaya komunitas lokal tradisional seperti semangat menyama braya, semangat ngumpul ngumpul, keikhlasan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa dan karena itu setiap kerja kebudayaan juga mengandung nilai spritual di dalamnya. Sementara setengah arti gradag grudug yang lain merupakan perwujudan dari kesadaran atas zaman nan terus berkembang yang pada gilirannya mengisi semangat lokal tradisional itu dengan nilai nilai budaya yang lebih progresif, kompetitif dan egaliter. Berdasarkan pengertian ini tahulah kita, sekalipun gradag grudug tersebut sering diucapkan secara spontan dan terimplementasi sebagai tindakan spontan, ia tidaklah datang tiba tiba tanpa rencana seperti hantu. Sebaliknya, ia adalah sebuah strategi kebudayaan. Ada visi dan cita di dalamnya
Itulah sebabnya sastrawan pinisepuh semacam Frans Nadjira, Ketut Suwidja alm, Nyoman Tusthi Edi maupun Umbu Landu Paranggi dan lainnnya selalu menekankan pentingnya untuk terus menjaga semangat gradag grudug ini dalam kesinambungan dinamika sastra kontemporer di Bali. Tak sekedar bicara, mereka juga telah memberi teladan kepada generasi penerus bagaimana menerapkan pola gradag grudug itu dalam pergaulan sastra.
Dan sebagaimana yang telah kita lihat, selama lebih dari 30 tahun melalui gradag grudug ini, kehidupan sastra di Bali tumbuh dengan pesat sebagai bagian dari pembangunan SDM yang berkualitas dan telah mampu tampil di panggung kesusastraan nasional bahkan internasional. Melalui gradag grudug ini pula sastra memberikan harapan kepada kehidupan yang lebih reflektif di tengah menggilanya kehidupan bendawi di Bali.
Namun orang kebanyakan jarang menyadarinya. Hal itu terlihat dari masih lemahnya dukungan lembaga resmi pemerintahan maupun kebijakan kebijakan institusional lainnya dalam meningkatkan kemajuan sastra kontemporer di Bali. Dengan kata lain, para pengambil kebijakan kebudayaan resmi di Bali itu masih kurang pengetahuannya terhadap pentingnya meningkatkan kemajuan sastra sebagai arsenal penting dalam pembangunan SDM di Bali. Mereka masih berpikir sastra itu hanyalah kerumunan remaja yang suka nulis puisi dan cerpen saja, tidak layak jual dan karena itu mungkin mereka tidak menganggap penting.
Jangankan kepada kantong kantong budaya informal semacam komunitas sastra, terhadap institusi resmi semacam fakultas sastra saja, tidak jelas kebijakan pemerintah daerah itu. Beda jauh kalau dibanding perhatian kepada fakultas fakultas ilmu yang lain seperti kedokteran atau tekhnik.
Untunglah sastra tidak pernah terpengaruh oleh ada tidaknya perhatian itu. Sastra tetap jalan tanpa didukung oleh kebijakan kebijakan daerah yang resmi. Di mana mana tetap ada lomba baca puisi, lomba menulis puisi, diskusi puisi dan kegiatan kegiatan serupanya yang dilakukan secara spontan. Sastra sama sekali tidak terpengaruh oleh naiknya turunnya jumlah turis yang mengunjungi Bali. Dengan kata lain, perkembangan pariwisata Bali sama sekali tidak berperan terhadap perkembangan sastra Indonesia kontemporer di Bali. Gak ada artinya.
Ke Era Proposal
Memasuki tahun 2000, keadaan mulai berbeda. Aktifitas sastra kontemporer Bali mulai beradaptasi dengan pola nasional dan pola global sebagai hasil pergaulan para sastrawan tertentu dengan pola Jakarta dan pola global internasional yang berciri industri serta bersifat budaya massa. Acara acara sastra memang masih berlangsung, namun sudah tidak dalam semangat gradag grudug lagi. Melainkan sebagai bagian dari agenda nasional atau agenda yang diklaim sebagai internasional dan memiliki tujuan – tujuan industri di dalamnya. Dalam pola ini, komunitas komunitas lokal lebih banyak muncul dalam kapasitas sebagai pengikut atau penyelenggara, bukan perencana dari kegiatan itu.
Demikianlah misalnya festival sastra internasional Utan Kayu diselenggarakan di Bali dengan bantuan orang Utan Kayu di Bali, melibatkan para sastrawan yang ada di Bali, namun harus disesuaikan dengan minat penyelenggara pusat. Festival penulis internasional diselenggarakan di Ubud, meminta bantuan para sastrawan yang tinggal di Bali namun di bawah pengawasan orang Utan Kayu juga. Dalam proses proses awalnya malah hanya sekedar melibatkan peserta lokal untuk sekedar mendapatkan legitimasi lokal dari event itu. Misal lainnya, sastrawan Horison jalan jalan buat ketemu para penggemar, para sastrawan di Bali ikut di dalamnya. Namun siapa yang ikut tergantung siapa yang di telepon oleh orang dari Horison. Demikianlah sekedar contoh.
Sejalan dengan fenomena tersebut, keahlian baru pun harus dipelajari. Yakni membuat proposal yang adaptif dengan program program kubu nasional penyelenggara itu. Dan biasanya lebih baik berbahasa Inggris. Undangan undangan ditentukan berdasarkan rapat juri dan diseleksi dengan ketat. Tidak cukup lagi sekedar di halo halo di halaman ApreBud Bali Post. Semua jadi serba tekhnokrasi.
Dari gradag – grudug ke era proposal, demikianlah alur singkat perubahan penyelenggaraan kegiatan sastra di Bali kalau dicermati. Mungkin tak ada yang salah dengan fenomena ini Namun itu terjadi di tengah melemahnya daya kreatif komunitas komunitas lokal dalam menyelenggarakan acara sesuai dengan karakter yang sudah tercipta selama ini. Hingga tahun 2009 ini kita tidak mendengar lagi ada sebuah hajatan besar sastra di Bali yang benar benar menjadi agenda komunitas komunitas yang ada di Bali. Semua kegiatan tampaknya tergantung pada ada tidaknya kegiatan dari jaringan nasional atau global.
Blog
Fenomena terbaru adalah blog. Sepinya aktivitas sastra di dunia nyata dan terbatasnya ruang publikasi media massa mendapat solusinya pada dunia cyber. Meskipun tergolong ketinggalan dari kota kota lain seperti Yogyakarta dan Bandung, para sastrawan di Bali akhirnya memasuki juga wilayah cyber ini untuk merayakan era komunikatif di dalam sastra. Setidaknya semenjak dua tahun lewat, sejumlah sastrawan di Jembrana dan Denpasar telah memilih Cyber sebagai ruang publikasi mereka.
Lebih dari sekedar ruang publikasi, blog pun telah menjadi sarana berhubungan antar para sastrawan dan pencinta sastra. Melalui blog mereka bahkan juga membuat perkumpulan di dunia maya, merencanakan kegiatan kegiatan sastra dan terlebih penting menurut hemat saya adalah rasa percaya diri yang tumbuh kembali melalui ruang cyber ini. Sebab hanya di ruang cyber saja setiap orang dapat membagi karyanya kepada pembaca tanpa melalui seleksi redaktur dan tanpa harus menunggu sebuah penerbit menerbitkan karya mereka.
Blog adalah terobosan tekhnologi komunikasi paling penting dalam abad ini di bidang jurnalisme individu. Tak terkecuali di dunia sastra. Ia menghancurkan kuasa media cetak dan dominasi generasi tertentu di panggung sastra. Sebab melalui blog seorang dapat mengunggah apa saja yang mau ia katakan tanpa harus melalui izin redaktur sebuah media cetak. Namun kebebasan semacam itu sekaligus menjadi kelemahan dunia blog. Kecenderungannya adalah kita jadi manusia yang tidak selektif dan bisa jadi tidak tahu mana karya yang bermutu dan mana yang tidak. Sebab pada saat sebuah karya dipublikasi secara massal, tanggapan orang bisa berbeda beda sesuai dengan tingkat kemampuan mereka membaca persoalan yang disuguhkan dalam karya tersebut. Bayangkan jika yang menanggap karya kita adalah orang orang yang sebenarnya tidak memahami persoalan yang dituju karya itu. Tentu kita ikut menyangka karya tersebutlah yang bagus.
Jadi diperlukan suatu disiplin pribadi yang sangat ketat untuk dapat menjadikan kebebasan cyber melalui blog ini sebagai ruang yang positif bagi pendewasaan pemikiran dan kreatifitas. Tanpa itu blog akan menjadi sekedar halaman bermain saja dan kita tidak memperoleh manfaat berarti dengannya. Malah akan semakin memperburuk mental generasi kita.
Denpasar, Januari 2009
Dijumput dari: http://penyairbali.blogspot.com/2009/08/sastra-indonesia-terkini-di-bali.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar