Hasnan Bachtiar *
http://sastra-indonesia.com/
“Kritik sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita,
tetapi juga kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus
mentakrif kemanusiaan kita.” (Azhar Ibrahim Alwee)
SUATU artikulasi estetis yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah
kata-kata tanpa mutu, karena selalu memiliki kualitas-kualitas makna.
Makna hidup, makna dunia, dan makna-makna yang terlahir dari nurani
penciptanya. Namun yang jarang disadari
adalah, sebagai goresan pena penyair, bahwa syair-syair (termasuk kritik
sastra) merupakan ungkapan intelektual.
Bila demikian, kata kunci
intelektual akan membawa kita kepada dua hal: yang pertama adalah
bagaimana konstruksi sosial di balik teks, sedangkan yang kedua adalah
untuk tujuan apakah teks tersebut ditulis. Dalam konteks ini, Nurel
Javissyarqi yang memperkarakan sastrawan terkemuka Sutardji Calzoum
Bachri dan kritikus sastra Ignas Kleden, menarik untuk diapresiasi.
Bila dahulu kita mengenal istilah “Paus Sastra” yang ternisbat kepada
nama H.B. Jassin, dalam dunia sastra Indonesia kini, terbit “Presiden
Penyair” yang tertuju pada Sutardji. Penobatan Sutardji sebagai
presiden, mendapat dukungan intelektual secara mantap oleh Kleden.
Anugerah megah ini, tentu lebih prestisius dibanding dengan gelar-gelar
akademik semacam doktor kehormatan (honoris causa) dari
universitas. Sebagai gelar kultural yang dianggap mendapatkan konsensus
sekaligus legitimasi publik, maka tidak jarang masih menyisakan
pertanyaan, pengujian lebih lanjut dan tantangan dari pelbagai jalan.
Persoalan “otoritas” inilah yang menjadi masalah utama dalam perkara
yang diajukan oleh Nurel.
Paling tidak, soal otoritas yang digugat ini memiliki lima poin penting yang akan dibicarakan dalam tulisan ini. Pertama,
sandangan gelar “Presiden Penyair” bukan menunjukkan absolutisme, namun
sekedar pengakuan (psikologis) oleh beberapa pihak yang setuju untuk
mengangkat derajat Sutardji; Kedua, diamnya suara-suara kritis menunjukkan betapa kuatnya diskursus Sutardjian dan boleh jadi membentuk dogma tertentu; Ketiga,
pengakuan terhadap suatu hal yang dianggap tinggi dan penting tanpa
pengungkapan kritisisme menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah
kepenyairan dan sastra Indonesia kini; Keempat, pemberian gelar
tanpa koreksi ilmiah, namun lebih menitikberatkan pada soal kepantasan,
kerabat, pertemanan atau nepotisme, berarti merupakan korupsi sejak
dalam pikiran; Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular
yang dijadikan fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”,
mengingat kompleksitas kondisi sosial (kemanusiaan) yang dialami oleh
kebanyakan rakyat miskin negeri ini.
Pertama, “Presiden Sastra” yang kultural ini boleh digugat
oleh siapapun, bila memiliki alasan-alasan yang sekiranya rasional dan
masuk akal. Dengan demikian, berarti absolutisme tidak pernah ada.
Betapapun masyarakat sastra tidak pernah menyebut istilah absolut, namun
tidak adanya suara lain yang muncul untuk mencoba menguji kualitas
ilmiah sastra tersebut, berarti menunjukkan betapa anggapan absolut
telah mengendap di dalam alam bawah sadar dan menunjukkan betapa
kritisisme telah tumbang termakan oleh trend, tersilap oleh semarak
bungkus yang mewah dan melenakan. Adanya yang absolut bukan berarti
karena yang relatif telah diasumsikan terlebih dahulu, atau keduanya
saling mengisi. Dalam perbincangan filsafat kontemporer pun, persoalan
ini tidak terselesaikan. Bukan hal ini yang menjadi soal penting untuk
kita bahas, namun menganggap gelar kultural sebagai pengakuan yang taken for granted,
kiranya lebih baik untuk dipikirkan ulang. Semua sastrawan memiliki
sisi kemanusiaan yang wajar, setimbang, sederajat dan dengan demikian
tidak perlu secara natural menumbuhkembangkan benih-benih feodalitas
dalam khazanah ini.
Kedua, tanpa disadari “masyarakat bisu” telah hadir dalam
pergumulan dan pergolakan sastra tersebut. Ini menunjukkan bahwa betapa
kuat diskursus yang menguasai ruang publik. Jika demikian, dampak yang
paling mungkin adalah terseret kepada arus popularisme dan bahkan
popularisme narsistik, desublimasi represif dan dalam bahasa yang lebih
jernih sebenarnya hal-hal itu adalah dogmatisme. Diagnosa psikoanalisa
memberi kejelasan pada elemen-elemen alam bawah sadar bahwa sesungguhnya
dogmatisme terhadap diskursus tertentu, sebagian sebagai
ketidakberdayaan perlawanan, sementara sebagian yang lain adalah hukum
moral yang menjelma secara natural, per se, otonom dan sesungguhnya
itulah yang mengisi imajinasi, di samping sisi lain bahan-bahan imajiner
dari yang faktual. Manusia sastra merasa “biasa saja” terhadap dogma
Sutardjian atau melakukan pembelaan, keduanya sama-sama terpenjara oleh
kekuasaan psikologis yang menumpulkan dimensi kritisisme. Dengan
demikian, the silence community merupakan representasi yang
paling tepat untuk menyebut diskursus – yang mestinya diteliti ulang ini
– sebagai kekuasaan yang sangat besar, terlepas bahwa apakah hal itu
berkualitas, berfungsi, baik, bermutu dan memiliki fondasi epistemologis
yang kokoh.
Ketiga, pengakuan terhadap Sutardjian, namun alpa kritisisme
menunjukkan adanya kejanggalan dalam khazanah kepenyairan dan sastra
Indonesia kini. Artinya, ini persoalan politik. Di mana pun,
perbincangan mengenai politik selalu dua arah: pusat dan pinggiran.
Selalu ada yang dekat dengan kekuasaan, dan selalu ada yang dikuasai.
Konteks di mana kontestasi susastra terjadi kini, menampakkan kejelasan
bahwa berdirinya Sutardjian di hadapan publik berarti berdiri
berdasarkan aktivitas politik sastra. Bukan sastra sebagai kewajiban
moral, hukum alam dan hukum akal sehat untuk menjunjung humanisme
sosial, tetapi sastra sebagai perangkat, komoditas, alat jual beli dan
lain sebagainya. Meskipun Sutardji sendiri pernah mengungkapkan bahwa,
“Kata-kata bukanlah alat mengantarkan pengertian. Dia bukan seperti pipa
yang menyalurkan air. Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.”
Pernyataan ini sangat janggal ketika terjadi kemenangan politik dan
penaklukan sastra (dominasi), berarti kata-kata, puisi, prosa, kritik
sastra yang ditulisnya hanyalah alat politik, sementara di lain pihak
dinyatakan bahwa, “Kata adalah pengertian itu sendiri. Dia bebas.” Ini
membingungkan karena bebas dari apa? Adakah kata bebas dari permainan
relasi kuasa? Sementara bila pengertian kata yang bebas berarti
benar-benar bebas, akan memberi beban pembenaran bahwa dogma Sutardjian
tidak memberikan kepedulian terhadap naturalitas hukum alam dan
kemanusiaan. Menjadi pertanyaan di sini, hendak dibawa ke mana
kontradiksi argument Sutardjian ini?
Keempat, pemberian gelar tanpa koreksi ilmiah, jelas
merupakan nepotisme. Bila sudah demikian, tidak heran bila terjadi
korupsi intelektual, atau dengan kata lain, korupsi sejak pada
pertimbangan akal sehat. Penganut Sutardjian sebenarnya bukan tidak
memiliki kehendak kritis untuk menunjukkan di mana kekuarang maupun
kelebihan atas apa yang didukungnya. Semua manusia punya potensi bawaan
untuk membekali dirinya dengan ketajaman mata genealogis. Kiranya sulit
dibantah bila ada argumen bahwa nepotisme-lah penyebab alpa kritisisme
ini. Membawa persoalan ini lebih mendasar kepada relung kemanusiaan,
maka tengah terjadi “korupsi intelektual” yang tengah menjangkiti para
pengiman dogma Sutardjian. Lolosnya popularitas “resmi” Sutardjian
(Presiden Penyair) menunjukkan bahwa, betapa kecurangan demi kecurangan
ditampilkan, dilakukan terus-menerus, menjadi tradisi dan gaya sastra
yang seksi, namun tercela. Apakah tidak ada yang memahami bahwa korupsi
intelektual ini menghianati hukum akal sehat dan hukum hati nurani?
Ataukah barangkali bergelimang dosa yang bersenjatakan penipuan-penipuan
dan kelincahan metodis lebih memuaskan hati mereka?
Kelima, konstruksi dekonstruksionisme-popular yang dijadikan
fundamen suatu mazhab sastra, merupakan hal yang “aneh”, yang menginjak
martabat realitas. Pelbagai kredo kebebasan tanpa batas, nihilisme dan
kekosongan religious menjadi kunci-kunci hermeneutis yang menjadi simbol
Sutardjian. Hal ini tidak akan dianggap aneh, jika seorang penyair
tidak pula memiliki tanggungjawab intelektual. Dengan demikian, “bila
tidak memiliki tanggungjawab sosial.” Karena hakikat intelektual
bukanlah kera yang berpikir, namun kepedulian untuk mengangkat martabat
sesamanya (humanisasi) yang sedang berkesusahan oleh pelbagai persoalan
sosial. Menjadikan sastra berfundamen kebebasan tanpa batas (nihilisme)
yang menopang mazhab dekonstruksionisme adalah hidup yang melanggar
kodrat, yaitu kodratnya sebagai manusia yang eksistensial. Manusia yang
semestinya memanusiakan dirinya dan manusia di sekitarnya, berbuat baik,
membikin sastra berfungsi-sosial, artikulasi estetis untuk perjuangan
perlawanan terhadap rezim kekuasaan politik yang korup, untuk
dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang membelenggu, serta berjuang untuk
mengentaskan kemiskinan, sangat berbeda dengan sastra untuk sastra,
sastra untuk hura-hura, kenikmatan religious individual, egoisme dan
keengganan berlaku ma’ruf. Hukum alam yang benar, menata agar manusia
hidup rukun, berdampingan dan makan bersama-sama, serta hidup dengan
penuh cinta, memberikan petunjuk bahwa itulah hidup berdasarkan akal
sehat dan hati nurani. Tentu saja hal ini sama sekali berbeda bila
berhukum pada diri sendiri yang termangu dalam kekosongan yang hampa,
tanpa ujung pangkal realitas yang mengemuka, kecuali hanya mimpi di
dalam mimpi yang sedang dimimpikan.
Mempertimbangkan kelima persoalan di atas, maka tulisan-tulisan
kritis Nurel ketika menelaah Kleden merupakan hal yang patut untuk
dipikirkan secara serius. Tidak sembarang orang yang berani melawan
dehumanisasi sastra Sutardjian. Hanya mereka yang memiliki ketajaman
mata genealogis, kekuatan kritisisme, fundamen epistemologis yang kokoh
dan keberanian untuk menantang otoritas, ideologi dan dogma-lah yang
mampu melakukan humanisasi sastra, agar berfungsi sosial, agar berjalan
selaras kodrat hukum alam, hukum hati nurani dan hukum akal sehat.
Beberapa kali penulis secara khusus mencermati tulisan-tulisan Nurel
penuh dengan konsistensi dan kedisiplinan untuk menimbang dan member
catatan kritis atas dogmatisme sastra kontemporer dan adanya
gejala-gejala sindrom kultus teori. Lebih dari itu semua, selaras dengan
pendapat kritikus Azhar Ibrahim Alwee bahwa, “Kritik
sastra…mencerminkan bukan saja kematangan estetik kita, tetapi juga
kejelasan intelektual, kesungguhan moral yang sekaligus mentakrif
kemanusiaan kita”. Segala ikhtiar kritis Nurel janganlah pernah dianggap
sebagai aktivitas untuk memperkeruh persoalan dan berniat membuat
kegaduhan. Kritik sastranya adalah upaya untuk menetralkan segala
dominasi sastra dan kritik sastra, agar kebebasan dan kemanusiaan
berjalan beriringan, dengan penuh pertimbangan yang masuk akal. []
*) Peneliti Filsafat di Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar