Kamis, 19 Juli 2012

MATINYA SANG PENGARANG

Roland Barthes * 
Diterjemahkan: Nur Utami Sari’at Kurniati
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam tulisan Sarrasine Balzac, yang bertutur tentang seorang castrato yang diibaratkan sebagai wanita, tertulis: “Dia seorang wanita, dengan ketakutan, gagasan-gagasan yang tak masuk akal, kekhawatiran yang hanya berdasar insting, keberanian yang tanpa memperhitungkan konsekuensi, ketertarikan berlebihan akan hal-hal kecil, dan sensibilitas yang tinggi.” Siapa yang mengatakan itu?
Apakah tokoh hero dalam cerita di belakang bayang castrato yang tersembunyi di balik seorang wanita? Apakah Balzac sebagai individu, dengan pengalaman pribadi dan filosofi seorang Wanita? Apakah Balzac sebagai pengarang yang meletakkan ide “sastra” pada femininitas? Apakah kearifan universal? Psikologi romantis? Kita tak pernah tahu, karena suatu alasan yang tepat bahwa menulis adalah proses destruksi segala sesuatu dari segala penjuru. Menulis adalah sesuatu yang netral, terdiri dari beragam ikhwal dan bias, di mana semua identitas hilang dan berganti dengan identitas baru.

Begitulah kenyataannya. Segera setelah sesuatu ditulis, pengarang tak lagi berhubungan secara langsung pada realitas. Namun fenomena ini makin meluas; dalam masyarakat etnografis, tanggung jawab dari sebuah pemaparan bukan pada seseorang, tetapi pada seorang mediator, shaman atau penghubung yang memiliki penguasaan mengagumkan atas kode narasi. Pengarang adalah sosok modern, produk masyarakat kita, yang muncul dari Zaman Pertengahan dengan empirisme Inggris, rasionalisme Prancis dan keyakinan personal dari gerakan Reformasi, yang memunculkan prestise individual dari seseorang. Dengan demikian, sangatlah logis bahwa dalam dunia sastra seharusnya positivisme, epitome dan kulminasi ideologi kapitalis seperti ini melekat pada diri seorang pengarang. Ia masih berkuasa dalam sejarah sastra, biografi, interviu, majalah, sebagaimana tingginya minat sastrawan menyatukan diri dengan karyanya melalui catatan harian dan memoar. Wajah sastra ditemukan dalam budaya sederhana berpusat secara tirani pada pengarang, pada dirinya, hidupnya, seleranya, nafsunya, sementara kritik sastra masih bertahan pada pernyataan bahwa karya Baudelaire adalah kegagalannya sebagai manusia, karya Van Gogh adalah kegilaannya, dan karya Tchaikovsky adalah cerminan sifat buruknya. Penjelasan dari sebuah karya selalu dicari dari orang yang menghasilkannya, dan ini adalah hal terakhir yang dilakukan seseorang, yaitu sang pengarang yang ada dalam diri kita, melalui alegori transparan dari sebuah fiksi.

Meski aliran Pengarang tetap kuat (kritik baru yang banyak dilakukan tidak lebih daripada mengkonsolidasikan itu) tidak perlu menyebutkan bahwa sebagian penulis telah lama berusaha melonggarkan keterikatan dengan teks. Di Prancis, Mallarme adalah penulis pertama yang melihat pentingnya mengganti bahasa sebuah teks dengan bahasa kaum yang dianggap sebagai pemiliknya. Baginya, dan bagi kita, bahasalah yang penting, bukan pengarang. Menulis adalah usaha mencapai tahap di mana bahasa menjalankan fungsinya, bukan 'saya' (sama sekali tidak mengebiri objektivitas novelis realis). Mallarme meminimalkan peran pengarang dalam hal kepenulisannya (dan mengembalikan tempat pembaca). Valery, sesuai psikologi Ego, sangat melemahkan teori Mallarme, tetapi seleranya atas sesuatu yang klasik membuatnya menjadi retoris. Ia tak pernah berhenti mempertanyakan sang Pengarang dan interioritas penulis tampaknya hanya tahayul. Proust, lepas dari karakter psikologis dari apa yang disebutnya analisis, terkait dengan kekaburan yang ekstrim dalam hubungan antara penulis dan tokohnya; dengan membuat narator bukan sebagai yang terlihat dan terasa atau bahkan sebagai pihak yang menulis, tetapi dia yang akan menulis (lelaki muda dalam novel ini – tidak jelas berapa usianya dan siapa dia – ingin menulis, tetapi tak bisa; novel ini berakhir justru ketika penulisan akhirnya menjadi mungkin). Proust memberikan warna epik pada penulisan modern. Dengan pembalikan yang radikal, alih-alih menempatkan hidupnya ke dalam novel, sebagaimana lazim dilakukan, ia membuat hidupnya sebuah model untuk bukunya; sehingga jelas kepada kita bahwa Charlus tidak meniru Montesquiou, tetapi Montesquiou-lah yang diturunkan dari Charlus, dalam realitas sejarahnya yang anekdotis. Surealisme, tak bisa memberikan tempat tertinggi pada bahasa (bahasa menjadi sistem dan tujuan, secara romantik, sebuah subversi langsung dari kode-kode ilusi: sebuah kode yang tak dapat dirusak, hanya 'dihentikan'). Bahasa berkontribusi pada penciptaan image Pengarang dengan terus menerus menyuguhkan kekecewaan atas harapan (yang diusung oleh para surealis sebagai 'jolt'), dengan menulis secepat mungkin apa yang tidak disadari (penulisan otomatis), dengan menerima prinsip dan pengalaman beberapa orang yang menulis secara bersama. Lepas dari sastra, linguistik telah membuat destruksi Pengarang dengan analisis bahwa pelafalan tak akan berarti tanpa adanya kebutuhan penutur akan hal itu. Secara linguistik, pengarang tak pernah lebih dari sekadar penulisan, seperti halnya kata saya tak lebih dari sekadar pelafalan kata tersebut: bahasa mengenal 'subjek', bukan 'individu', dan subjek ini, di luar palafalannya, membuat bahasa menjadi 'padu’.

Penafian Pengarang (Brecht menyebutnya dengan istilah 'jarak' yang unik, Pengarang mengecil seperti miniatur di panggung sastra) tak hanya sebuah fakta sejarah atau sebuah proses menulis; tetapi mentransformasikan teks modern (atau – dalam kata lain – teks dibuat dan dibaca sedemikian rupa pada setiap level tanpa memandang kehadiran pengarang). Kesementaraannya berbeda. Pengarang selalu dianggap cermin bukunya: buku dan pengarang secara otomatis berdiri di satu garis yang terbagi antara sebelum dan sesudah proses menulis. Pengarang merawat bukunya, artinya ia ada sebelum bukunya. Ia berpikir, menderita, hidup demi buku tersebut, dalam hubungan yang sama dengan hubungan antara ayah dan anak. Sebaliknya, penulis modern lahir dengan teks yang ditulisnya, bukan subjek dengan buku sebagai predikat. Pada kenyataannya penulisan bukan lagi pencatatan, notasi, representasi, 'penampilan' (seperti yang dikatakan klasik); namun mengacu pada filosofi Oxford, menyatakan performatif sebagai bentuk kata kerja yang langka (secara khusus dilakukan oleh orang pertama dalam kala kini) yang merupakan tindakan mengujarkan sesuatu, misalnya I declare of kings atau I sing of very ancient poets. Penulis modern tidak percaya bahwa tangannya terlalu lamban untuk pikiran atau hasrat menulis yang dimilikinya yang membuatnya harus menahan diri. Sebaliknya, tangan itu mengungkapkan gaya penulisan (bukan hanya ekspresi), yang berasal dari bahasa.

Kita tahu kini bahwa sebuah teks bukan hanya rangkaian kata-kata dengan satu makna yang “sakral” (“pesan” dari sang Maha Pengarang), tetapi sebuah ruang multi-dimensi yang memungkinkan beragam bentuk, tak satu pun yang asli, yang berbaur dan berbenturan. Teks adalah sebuah kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya. Sama halnya dengan Bouvard dan Pecuchet, para peniru abadi, yang sublim, namun lucu dan kekonyolannya menunjukkan kebenaran sebuah penulisan. Penulis dapat meniru sebuah gesture. Satu-satunya kekuatannya adalah mencampur gaya penulisan yang saling melengkapi dengan tak pernah bertumpu hanya pada salah satu di antaranya. Jika ingin mengekspresikan dirinya, seharusnya ia tahu bahwa setidaknya jiwa dari ‘sesuatu’ yang ingin ia ‘terjemahkan’ adalah sebuah kamus, kata-katanya bisa diterangkan melalui kata-kata lain, dan hal inilah yang terjadi pada Thomas de Quincey muda. Ia sangat mahir berbahasa Yunani untuk menerjemahkan ide dan image modern ke dalam bahasa yang sudah mati. Sebagaimana diutarakan oleh Baudelaire (dalam Paradis Artificiels), “Ia menulis sebuah kamus yang lebih lengkap dibanding yang dihasilkan dari sastra murni”. Penulis tak lagi berkarya dengan hasrat, humor, perasaan, kesan, namun lebih tergantung pada kamus ini, yang menjadi sumber baginya menulis tanpa henti. Hidup tak lebih dari tiruan sebuah buku.

Jika Pengarang sudah tak berperan, pengungkapan makna sebuah teks menjadi tak lagi berguna. Untuk menciptakan sebuah teks, Pengarang membuat batas pada teks itu dan melengkapinya dengan sebuah penanda akhir. Konsepsi semacam ini sangat sesuai dengan kritik, membuatnya menguak sang Pengarang (masyarakat, sejarah, jiwa, kebebasan) di balik sebuah karya. Jika demikian, teks akan mudah dijelaskan dan ini adalah kemenangan kritik sastra. Kekuasaan Pengarang dan kritik sastra sama besarnya, demikian juga saat ini ketika peran keduanya dipertanyakan. Dalam keberagaman penulisan, segala sesuatu harus dilihat dari banyak sisi, dengan struktur yang jelas. Ruang menulis harus diperluas. Menulis terus mengasah kemampuan mengungkapkan pesan. Sastra (atau proses menulis) tidak mengungkap sebuah “rahasia” makna sebuah teks (dan dunia sebagai sebuah teks), namun membebaskan aktivitas anti-teologi. Ini adalah sebuah aktivitas yang sangat revolusioner karena menolak makna, yang artinya menolak Tuhan dan segala hukumnya.

Mari kita kembali ke kalimat Balzac. Jawabannya adalah pembaca. Penelitian terkini (J.P. Vernant) menunjukkan ketaksaan dari sebuah tragedi Yunani bahwa teks dirangkai dari kata-kata dengan makna ganda yang setiap tokohnya mengerti satu satu sama lain (kesalahpahaman adalah sesuatu yang “tragis”). Namun ada seseorang yang mengerti makna setiap kata dan mendengar tokoh yang berbicara di depannya – seseorang ini adalah pembaca (atau pendengar). Hal ini membuka keberadaan total sebuah penulisan: sebuah teks melibatkan proses penulisan yang beragam, bersumber dari banyak budaya dan memperlihatkan hubungan dari sebuah dialog dan parodi. Ada satu tempat di mana keberagaman ini berfokus dan tempat itu adalah pembaca, bukan pengarang. Pembaca adalah ruang yang membuat sebuah tulisan menjadi utuh. Kepaduan sebuah teks bukan terletak pada asal, namun pada tujuannya. Namun tujuan ini tak bisa lagi bersifat personal. Pembaca tak punya sejarah, biografi dan sisi psikologis. Ia hanya seseorang yang menyatukan jejak yang ia temukan dalam sebuah teks. Inilah mengapa kritik terhadap tulisan baru atas nama hipokrit kemanusiaan menjadi hak pembaca. Kritik klasik tak pernah memperhatikan pembaca; karenanya penulis adalah satu-satunya orang dalam dunia sastra. Kini kita mulai membiarkan diri kita tak lagi dibodohi oleh debat kusir yang sombong dari masyarakat mengenai sesuatu yang dikesampingkan, diabaikan, dibutakan, atau dimusnahkan. Kita harus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harus dibayar dengan matinya sang pengarang. 


(Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nur Utami Sari’at Kurniati, Pengajar Fakultas Sastra Universitas Pakuan, Bogor)
* Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text. London: Routledge, 1977.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati