Roland Barthes *
Diterjemahkan: Nur Utami Sari’at Kurniati
http://mahayana-mahadewa.com/
Dalam tulisan Sarrasine Balzac, yang bertutur tentang seorang castrato yang diibaratkan sebagai wanita, tertulis: “Dia seorang wanita, dengan ketakutan, gagasan-gagasan yang tak masuk akal, kekhawatiran yang hanya berdasar insting, keberanian yang tanpa memperhitungkan konsekuensi, ketertarikan berlebihan akan hal-hal kecil, dan sensibilitas yang tinggi.” Siapa yang mengatakan itu?
Apakah tokoh hero dalam cerita di belakang bayang castrato yang tersembunyi di balik seorang wanita? Apakah Balzac sebagai individu, dengan pengalaman pribadi dan filosofi seorang Wanita? Apakah Balzac sebagai pengarang yang meletakkan ide “sastra” pada femininitas? Apakah kearifan universal? Psikologi romantis? Kita tak pernah tahu, karena suatu alasan yang tepat bahwa menulis adalah proses destruksi segala sesuatu dari segala penjuru. Menulis adalah sesuatu yang netral, terdiri dari beragam ikhwal dan bias, di mana semua identitas hilang dan berganti dengan identitas baru.
Begitulah kenyataannya. Segera setelah sesuatu ditulis, pengarang tak lagi berhubungan secara langsung pada realitas. Namun fenomena ini makin meluas; dalam masyarakat etnografis, tanggung jawab dari sebuah pemaparan bukan pada seseorang, tetapi pada seorang mediator, shaman atau penghubung yang memiliki penguasaan mengagumkan atas kode narasi. Pengarang adalah sosok modern, produk masyarakat kita, yang muncul dari Zaman Pertengahan dengan empirisme Inggris, rasionalisme Prancis dan keyakinan personal dari gerakan Reformasi, yang memunculkan prestise individual dari seseorang. Dengan demikian, sangatlah logis bahwa dalam dunia sastra seharusnya positivisme, epitome dan kulminasi ideologi kapitalis seperti ini melekat pada diri seorang pengarang. Ia masih berkuasa dalam sejarah sastra, biografi, interviu, majalah, sebagaimana tingginya minat sastrawan menyatukan diri dengan karyanya melalui catatan harian dan memoar. Wajah sastra ditemukan dalam budaya sederhana berpusat secara tirani pada pengarang, pada dirinya, hidupnya, seleranya, nafsunya, sementara kritik sastra masih bertahan pada pernyataan bahwa karya Baudelaire adalah kegagalannya sebagai manusia, karya Van Gogh adalah kegilaannya, dan karya Tchaikovsky adalah cerminan sifat buruknya. Penjelasan dari sebuah karya selalu dicari dari orang yang menghasilkannya, dan ini adalah hal terakhir yang dilakukan seseorang, yaitu sang pengarang yang ada dalam diri kita, melalui alegori transparan dari sebuah fiksi.
Meski aliran Pengarang tetap kuat (kritik baru yang banyak dilakukan tidak lebih daripada mengkonsolidasikan itu) tidak perlu menyebutkan bahwa sebagian penulis telah lama berusaha melonggarkan keterikatan dengan teks. Di Prancis, Mallarme adalah penulis pertama yang melihat pentingnya mengganti bahasa sebuah teks dengan bahasa kaum yang dianggap sebagai pemiliknya. Baginya, dan bagi kita, bahasalah yang penting, bukan pengarang. Menulis adalah usaha mencapai tahap di mana bahasa menjalankan fungsinya, bukan 'saya' (sama sekali tidak mengebiri objektivitas novelis realis). Mallarme meminimalkan peran pengarang dalam hal kepenulisannya (dan mengembalikan tempat pembaca). Valery, sesuai psikologi Ego, sangat melemahkan teori Mallarme, tetapi seleranya atas sesuatu yang klasik membuatnya menjadi retoris. Ia tak pernah berhenti mempertanyakan sang Pengarang dan interioritas penulis tampaknya hanya tahayul. Proust, lepas dari karakter psikologis dari apa yang disebutnya analisis, terkait dengan kekaburan yang ekstrim dalam hubungan antara penulis dan tokohnya; dengan membuat narator bukan sebagai yang terlihat dan terasa atau bahkan sebagai pihak yang menulis, tetapi dia yang akan menulis (lelaki muda dalam novel ini – tidak jelas berapa usianya dan siapa dia – ingin menulis, tetapi tak bisa; novel ini berakhir justru ketika penulisan akhirnya menjadi mungkin). Proust memberikan warna epik pada penulisan modern. Dengan pembalikan yang radikal, alih-alih menempatkan hidupnya ke dalam novel, sebagaimana lazim dilakukan, ia membuat hidupnya sebuah model untuk bukunya; sehingga jelas kepada kita bahwa Charlus tidak meniru Montesquiou, tetapi Montesquiou-lah yang diturunkan dari Charlus, dalam realitas sejarahnya yang anekdotis. Surealisme, tak bisa memberikan tempat tertinggi pada bahasa (bahasa menjadi sistem dan tujuan, secara romantik, sebuah subversi langsung dari kode-kode ilusi: sebuah kode yang tak dapat dirusak, hanya 'dihentikan'). Bahasa berkontribusi pada penciptaan image Pengarang dengan terus menerus menyuguhkan kekecewaan atas harapan (yang diusung oleh para surealis sebagai 'jolt'), dengan menulis secepat mungkin apa yang tidak disadari (penulisan otomatis), dengan menerima prinsip dan pengalaman beberapa orang yang menulis secara bersama. Lepas dari sastra, linguistik telah membuat destruksi Pengarang dengan analisis bahwa pelafalan tak akan berarti tanpa adanya kebutuhan penutur akan hal itu. Secara linguistik, pengarang tak pernah lebih dari sekadar penulisan, seperti halnya kata saya tak lebih dari sekadar pelafalan kata tersebut: bahasa mengenal 'subjek', bukan 'individu', dan subjek ini, di luar palafalannya, membuat bahasa menjadi 'padu’.
Penafian Pengarang (Brecht menyebutnya dengan istilah 'jarak' yang unik, Pengarang mengecil seperti miniatur di panggung sastra) tak hanya sebuah fakta sejarah atau sebuah proses menulis; tetapi mentransformasikan teks modern (atau – dalam kata lain – teks dibuat dan dibaca sedemikian rupa pada setiap level tanpa memandang kehadiran pengarang). Kesementaraannya berbeda. Pengarang selalu dianggap cermin bukunya: buku dan pengarang secara otomatis berdiri di satu garis yang terbagi antara sebelum dan sesudah proses menulis. Pengarang merawat bukunya, artinya ia ada sebelum bukunya. Ia berpikir, menderita, hidup demi buku tersebut, dalam hubungan yang sama dengan hubungan antara ayah dan anak. Sebaliknya, penulis modern lahir dengan teks yang ditulisnya, bukan subjek dengan buku sebagai predikat. Pada kenyataannya penulisan bukan lagi pencatatan, notasi, representasi, 'penampilan' (seperti yang dikatakan klasik); namun mengacu pada filosofi Oxford, menyatakan performatif sebagai bentuk kata kerja yang langka (secara khusus dilakukan oleh orang pertama dalam kala kini) yang merupakan tindakan mengujarkan sesuatu, misalnya I declare of kings atau I sing of very ancient poets. Penulis modern tidak percaya bahwa tangannya terlalu lamban untuk pikiran atau hasrat menulis yang dimilikinya yang membuatnya harus menahan diri. Sebaliknya, tangan itu mengungkapkan gaya penulisan (bukan hanya ekspresi), yang berasal dari bahasa.
Kita tahu kini bahwa sebuah teks bukan hanya rangkaian kata-kata dengan satu makna yang “sakral” (“pesan” dari sang Maha Pengarang), tetapi sebuah ruang multi-dimensi yang memungkinkan beragam bentuk, tak satu pun yang asli, yang berbaur dan berbenturan. Teks adalah sebuah kutipan yang diambil dari budaya yang tak terhitung jumlahnya. Sama halnya dengan Bouvard dan Pecuchet, para peniru abadi, yang sublim, namun lucu dan kekonyolannya menunjukkan kebenaran sebuah penulisan. Penulis dapat meniru sebuah gesture. Satu-satunya kekuatannya adalah mencampur gaya penulisan yang saling melengkapi dengan tak pernah bertumpu hanya pada salah satu di antaranya. Jika ingin mengekspresikan dirinya, seharusnya ia tahu bahwa setidaknya jiwa dari ‘sesuatu’ yang ingin ia ‘terjemahkan’ adalah sebuah kamus, kata-katanya bisa diterangkan melalui kata-kata lain, dan hal inilah yang terjadi pada Thomas de Quincey muda. Ia sangat mahir berbahasa Yunani untuk menerjemahkan ide dan image modern ke dalam bahasa yang sudah mati. Sebagaimana diutarakan oleh Baudelaire (dalam Paradis Artificiels), “Ia menulis sebuah kamus yang lebih lengkap dibanding yang dihasilkan dari sastra murni”. Penulis tak lagi berkarya dengan hasrat, humor, perasaan, kesan, namun lebih tergantung pada kamus ini, yang menjadi sumber baginya menulis tanpa henti. Hidup tak lebih dari tiruan sebuah buku.
Jika Pengarang sudah tak berperan, pengungkapan makna sebuah teks menjadi tak lagi berguna. Untuk menciptakan sebuah teks, Pengarang membuat batas pada teks itu dan melengkapinya dengan sebuah penanda akhir. Konsepsi semacam ini sangat sesuai dengan kritik, membuatnya menguak sang Pengarang (masyarakat, sejarah, jiwa, kebebasan) di balik sebuah karya. Jika demikian, teks akan mudah dijelaskan dan ini adalah kemenangan kritik sastra. Kekuasaan Pengarang dan kritik sastra sama besarnya, demikian juga saat ini ketika peran keduanya dipertanyakan. Dalam keberagaman penulisan, segala sesuatu harus dilihat dari banyak sisi, dengan struktur yang jelas. Ruang menulis harus diperluas. Menulis terus mengasah kemampuan mengungkapkan pesan. Sastra (atau proses menulis) tidak mengungkap sebuah “rahasia” makna sebuah teks (dan dunia sebagai sebuah teks), namun membebaskan aktivitas anti-teologi. Ini adalah sebuah aktivitas yang sangat revolusioner karena menolak makna, yang artinya menolak Tuhan dan segala hukumnya.
Mari kita kembali ke kalimat Balzac. Jawabannya adalah pembaca. Penelitian terkini (J.P. Vernant) menunjukkan ketaksaan dari sebuah tragedi Yunani bahwa teks dirangkai dari kata-kata dengan makna ganda yang setiap tokohnya mengerti satu satu sama lain (kesalahpahaman adalah sesuatu yang “tragis”). Namun ada seseorang yang mengerti makna setiap kata dan mendengar tokoh yang berbicara di depannya – seseorang ini adalah pembaca (atau pendengar). Hal ini membuka keberadaan total sebuah penulisan: sebuah teks melibatkan proses penulisan yang beragam, bersumber dari banyak budaya dan memperlihatkan hubungan dari sebuah dialog dan parodi. Ada satu tempat di mana keberagaman ini berfokus dan tempat itu adalah pembaca, bukan pengarang. Pembaca adalah ruang yang membuat sebuah tulisan menjadi utuh. Kepaduan sebuah teks bukan terletak pada asal, namun pada tujuannya. Namun tujuan ini tak bisa lagi bersifat personal. Pembaca tak punya sejarah, biografi dan sisi psikologis. Ia hanya seseorang yang menyatukan jejak yang ia temukan dalam sebuah teks. Inilah mengapa kritik terhadap tulisan baru atas nama hipokrit kemanusiaan menjadi hak pembaca. Kritik klasik tak pernah memperhatikan pembaca; karenanya penulis adalah satu-satunya orang dalam dunia sastra. Kini kita mulai membiarkan diri kita tak lagi dibodohi oleh debat kusir yang sombong dari masyarakat mengenai sesuatu yang dikesampingkan, diabaikan, dibutakan, atau dimusnahkan. Kita harus memberi ruang pada tulisan dan membuang mitos bahwa lahirnya pembaca harus dibayar dengan matinya sang pengarang.
(Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nur Utami Sari’at Kurniati, Pengajar Fakultas Sastra Universitas Pakuan, Bogor)
* Roland Barthes, “The Death of the Author,” Image-Music-Text. London: Routledge, 1977.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar