Selasa, 06 Maret 2012

Rosihan Anwar

Djadjat Sudradjat
Lampung Post, 17 April 2011

WARTAWAN ada karena ia terus menulis! Dan, Rosihan Anwar membuktikannya dengan konsisten. Penanya tetap tajam sepanjang zaman. Hanya maut yang bisa menghentikan ketajaman pena itu. Dedikasinya pada dunia jurnalistik adalah pesan kepada wartawan yang lebih muda, “Jangan mengaku wartawan kalau ‘penanya tumpul’ karena lebih sibuk mengurus dunia lain.”

Rosihan gugur pada usia 89 tahun dalam pergulatannya melawan penyakit jantung yang ia derita. Pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, ini menghembuskan napas terakhir pada Jumat (14-4), pukul 08.15, di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Jakarta.

Ia menyusul istri tercinta, Siti Zuraida, yang berpulang Maret tahun lalu. Penulis in memoriam ratusan tokoh itu kini tiba gilirannya ditulis sebagai obituari oleh orang lain. Ia meninggalkan tiga orang anak, enam cucu, dan dua cicit.

Wartawan senior Jakob Oetama menjuluki Rosihan sebagai “Ayatullah” wartawan Indonesia. Ia lebih dari seorang guru. Sejarawan Taufik Abdullah memberi predikat “wartawan enam zaman”. Ia mulai menjadi wartawan sejak zaman Jepang (1942—1945), zaman Revolusi Kemerdekaan (1945—1950), masa Demokrasi Liberal (1950—1959), Demokrasi Terpimpin (1959—1965), Orde Baru (1966—1998), masa Reformasi (1999—sekarang).

Agaknya, hanya Rosihan Anwar yang layak menyandang predikat itu. Ia menulis di zaman yang berganti-ganti selama tujuh dasawarsa. Meskipun pendidikannya tak sampai jenjang perguruan tinggi, ia wartawan yang punya reputasi tinggi. Ia sosok multibakat, meliput perang, menulis sejarah, sastra, kritik film, kolom bebas, dan biografi. Rosihan wartawan dan juga sejarawan “nonformal”. Ia adalah penulis buku Sejarah Kecil Indonesia (2003).

Amsal Mohammad Haykal, wartawan kenamaan Mesir, benar adanya. Presiden bisa silih berganti. Para politisi datang dan pergi. Para menteri, gubernur, dan bupati juga berganti-ganti. “Tapi, wartawan bertahan. Ia seperti prajurit sejati, tidak pernah mati. Ia hanya surut mengikuti waktu (old soldiers never die, they fade way).”

Waktu untuk Rosihan memang habis. Tapi, saya percaya jejaknya akan terus menjadi inspirasi. Ia memberi teladan tetap menulis di zaman apa pun. Tetap kritis pada siapa pun. Rosihan melawan olok-olok “berusia tua adalah siksaan”. Ia membuktikan berusia tua adalah berkah. Ia memulai karier jurnalistiknya pada usia muda, 21 tahun di harian Asia Raya, redaktur harian Merdeka. Ia mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi majalah Siasat dan harian Pedoman, juga masih amat muda (26 tahun).

Suara kritisnya pada pemerintah membuat Pedoman tak langgeng. Pemerintahan Hindia Belanda (yang ingin kembali), Orde Lama, dan Orde Baru, sama-sama gerah pada koran ini. Pedoman diberedel. Tetapi, justru ketika ia tak lagi punya media cetak, Rosihan kian berkibar menulis di banyak media, di dalam maupun di luar negeri. Untuk media luar negeri, antara lain ia kerap menulis di The Age (Australia), The Straits Times (Singapura), Hindustan Times (India), dan Asiaweek (Hong Kong), Het Vriye Volk (Belanda). Ratusan artikel dan tak kurang 20 buku telah ditulisnya.

Saya jarang bertemu sosok gaek yang bicaranya lantang, sorot matanya tajam, dan “hobi” berkacak pinggang itu. Kadang agak angkuh. Saya beberapa kali bicara padanya tetapi selintas-selintas. Pertemuan saya terakhir dengan Rosihan pada Maret 2001. Ketika melayat almarhum begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Saya tahu Rosihan dan Sumitro (sesama sosialis yang berselisih paham). Hubungannya dingin. Saling memendam prasangka. Tulisan in memoriam Rosihan tentang Sumitro pun sumbang.

“…di akhir hidupnya Sumitro tidak lagi secemerlang seperti di masa mudanya… Karena ingin selalu menjadi jagoan nomor satu, Sumitro sampai tidak bisa lagi bergaul harmonis dengan sebagian sahabat lamanya dari PSI dulu. Karena ingin tampil perkasa, sering dia kehilangan kearifan (wisdom).“ (Kompas, 9 Maret 2001).” Sudah barang tentu tulisan seperti ini membuat keluarga Sumitro merasa tidak senang.

“Kalau menulis obituari berisi pujian dan sanjungan semata dan mengabaikan aspek-aspek lain seperti kekurangan dan kelemahan orang yang wafat, pada hemat saya obituari itu kurang kredibel. Sesungguhnya, saya selalu berhadapan dengan dilema rumit, apakah menuliskan hal yang bagus-bagus saja ataukah tidak pula melupakan hal yang tidak enak?” kata penulis buku Menulis di Atas Air ini.

***

WARTAWAN ada karena ia menulis! Dan, Rosihan membuktikan ia menjadi wartawan terdepan. Bahkan, dalam keadaan sakit, menjelang ulang tahunnya ke-89, 10 Mei nanti, ia tengah menyiapkan sebuah buku berjudul Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraidah Sanawi. Ini buku tentang istrinya. “Kompas-Gramedia siap menerbitkannya,” kata pendiri Kompas Jakob Oetama. Jakob adalah sekretaris jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saat Rosihan menjadi ketua umumnya. Rosihan adalah salah seorang pendiri organisasi kewartawanan ini.

Tetapi, saya lebih menikmati tulisan-tulisan Rosihan dalam serial in memoriam-nya tentang aneka berbagai tokoh yang dimuat di banyak media. Tulisan-tulisan itu tak hanya memperlihatkan hubungan Rosihan yang luas dengan para tokoh itu—bahkan beberapa di antaranya sangat dekat—tapi kerap sarat dengan muatan sejarah yang tak terekam oleh pena-pena sejarawan.

Peristiwa besar dengan peristiwa kecil ia ramu menjadi padu. Bukankah wartawan memang dididik untuk memahami hal-hal besar tetapi juga cinta pada detail?

Misalnya, kenapa Bung Karno memilih perempuan-perempuan yang tidak berpendidikan tinggi sebagai istri? Karena sebagai tokoh yang supersibuk dengan aneka aktivitas politik, ia perlu pelayanan perempuan “istimewa”. “Si Bung” butuh wanita yang kalem, santun, hangat, romantik, dan total melayani. Kata Bung Karno, politisi dan intelektual hidup dalam ketegangan. Ia menghindari tipe perempuan seperti ini. Bung Karno pernah mengatakan soal ini pada cendekiawan Soedjatmoko. “Koko, kalau kamu menikah ambillah orang yang kurang intelektual.” (Ada-ada saja, Bung Karno!)

Rosihan mengungkapkan itu ketika menulis in memoriam Hartini Soekarno, istri keempat Putra Sang Fajar, setelah Oetari, Inggit Goenarsih, dan Fatmawati. Setelah empat perempuan itu, masih ada Naoko Memoto (Ratna Sari Dewi), Haryati, dan Yurike Sanger yang mengisi hati Bung Karno. Mereka memang bukan perempuan “sekolahan”, tapi punya andil besar dalam mendampingi “Sang Flamboyan” sebagai pemimpin kelas dunia. (Kata Bung Karno!)

Hingga 2002 Rosihan sedikitnya menulis 77 in memoriam. Ia terhimpun dalam buku In Memoriam, Mengenang yang Wafat (Kompas, 2002). Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir menempati urutan pertama, kedua, dan ketiga. Meskipun kita telah membaca tiga tokoh besar itu, kita mendapatkan sisi lain yang tak tertulis dalam “sejarah besar”. Rosihan mengenang, suatu saat Bung Karno memanggil Rosihan untuk memberikan pendidikan seks. “Kalau pria mau kuat, dia mesti makan banyak taoge. Jangan minum bir,” kata Bung Karno pada Rosihan.

Juga menarik kesaksian Rosihan ketika menulis in memoriam Fatmawati Soekarno. Ia menjadi saksi pertemuan tiga janda, istri “Tiga Serangkai” itu (Fatmawati, Rahmi Hatta, dan Poppy Sjahrir) di Tanah Suci pada Mei 1980. Secara tak sengaja mereka bertemu di Tanah Suci untuk menjalankan ibadah umrah. Bertempat di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi, para istri orang besar itu seperti reuni. Wajah mereka berbinar-binar, mengenang masa silam ketika “Tiga Bung” itu masih “seiring-sejalan”. Rosihan ada di tengah-tengah mereka.

Berucaplah Fatmawati yang malam itu mengenakan busana warna merah. “Aku first lady, Rahmi second lady, Poppy third lady. Semua kita datang ke sini untuk berumrah,” kata Fatmawati dengan tawanya yang renyah. Tapi, dua hari kemudian ia mendengar warta duka berpulangnya mantan ibu negara itu di Malaysia. Rupanya, candanya di Tanah Suci, adalah “kenangan” terakhirnya.

Ada beberapa tokoh yang menjadi bagian amat dekat dengan Rosihan, antara lain cendekiawan Soedjatmoko dan sang adik, Yosar Anwar, mantan aktivis mahasiswa pada 1966. Koko, panggilan akrab Soedjatmoko, wafat di depan mata Rosihan ketika sama-sama mengikuti seminar sejarah di Yogyakarta. Serangan jantung mengakhiri hidup Koko. Rosihan larut dalam tangis tak terperikan.

Saat memberikan sambutan mewakili keluarga ketika Yosar hendak dimakamkan, dari tepi liang lahat Rosihan berucap, “Saya melihat adik saya ini lahir dan kini saya pula melihatkan dikuburkan.” Dan, kini giliran penulis warta duka itu yang menjadi berita duka. Saya akan mengenangnya sebagai “pejalan” yang tangguh; pelita yang tak pernah padam; inspirasi yang tak pernah mati. Saya percaya, dengan kehendak-Nya, Rosihan akan bahagia dan tetap “menulis” dalam kehidupannya yang baru di alam lain.

Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/refleksi-rosihan-anwar.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati