Djadjat Sudradjat
Lampung Post, 17 April 2011
WARTAWAN ada karena ia terus menulis! Dan, Rosihan Anwar membuktikannya dengan konsisten. Penanya tetap tajam sepanjang zaman. Hanya maut yang bisa menghentikan ketajaman pena itu. Dedikasinya pada dunia jurnalistik adalah pesan kepada wartawan yang lebih muda, “Jangan mengaku wartawan kalau ‘penanya tumpul’ karena lebih sibuk mengurus dunia lain.”
Rosihan gugur pada usia 89 tahun dalam pergulatannya melawan penyakit jantung yang ia derita. Pria kelahiran Solok, Sumatera Barat, 10 Mei 1922, ini menghembuskan napas terakhir pada Jumat (14-4), pukul 08.15, di Rumah Sakit Metropolitan Medical Center, Jakarta.
Ia menyusul istri tercinta, Siti Zuraida, yang berpulang Maret tahun lalu. Penulis in memoriam ratusan tokoh itu kini tiba gilirannya ditulis sebagai obituari oleh orang lain. Ia meninggalkan tiga orang anak, enam cucu, dan dua cicit.
Wartawan senior Jakob Oetama menjuluki Rosihan sebagai “Ayatullah” wartawan Indonesia. Ia lebih dari seorang guru. Sejarawan Taufik Abdullah memberi predikat “wartawan enam zaman”. Ia mulai menjadi wartawan sejak zaman Jepang (1942—1945), zaman Revolusi Kemerdekaan (1945—1950), masa Demokrasi Liberal (1950—1959), Demokrasi Terpimpin (1959—1965), Orde Baru (1966—1998), masa Reformasi (1999—sekarang).
Agaknya, hanya Rosihan Anwar yang layak menyandang predikat itu. Ia menulis di zaman yang berganti-ganti selama tujuh dasawarsa. Meskipun pendidikannya tak sampai jenjang perguruan tinggi, ia wartawan yang punya reputasi tinggi. Ia sosok multibakat, meliput perang, menulis sejarah, sastra, kritik film, kolom bebas, dan biografi. Rosihan wartawan dan juga sejarawan “nonformal”. Ia adalah penulis buku Sejarah Kecil Indonesia (2003).
Amsal Mohammad Haykal, wartawan kenamaan Mesir, benar adanya. Presiden bisa silih berganti. Para politisi datang dan pergi. Para menteri, gubernur, dan bupati juga berganti-ganti. “Tapi, wartawan bertahan. Ia seperti prajurit sejati, tidak pernah mati. Ia hanya surut mengikuti waktu (old soldiers never die, they fade way).”
Waktu untuk Rosihan memang habis. Tapi, saya percaya jejaknya akan terus menjadi inspirasi. Ia memberi teladan tetap menulis di zaman apa pun. Tetap kritis pada siapa pun. Rosihan melawan olok-olok “berusia tua adalah siksaan”. Ia membuktikan berusia tua adalah berkah. Ia memulai karier jurnalistiknya pada usia muda, 21 tahun di harian Asia Raya, redaktur harian Merdeka. Ia mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi majalah Siasat dan harian Pedoman, juga masih amat muda (26 tahun).
Suara kritisnya pada pemerintah membuat Pedoman tak langgeng. Pemerintahan Hindia Belanda (yang ingin kembali), Orde Lama, dan Orde Baru, sama-sama gerah pada koran ini. Pedoman diberedel. Tetapi, justru ketika ia tak lagi punya media cetak, Rosihan kian berkibar menulis di banyak media, di dalam maupun di luar negeri. Untuk media luar negeri, antara lain ia kerap menulis di The Age (Australia), The Straits Times (Singapura), Hindustan Times (India), dan Asiaweek (Hong Kong), Het Vriye Volk (Belanda). Ratusan artikel dan tak kurang 20 buku telah ditulisnya.
Saya jarang bertemu sosok gaek yang bicaranya lantang, sorot matanya tajam, dan “hobi” berkacak pinggang itu. Kadang agak angkuh. Saya beberapa kali bicara padanya tetapi selintas-selintas. Pertemuan saya terakhir dengan Rosihan pada Maret 2001. Ketika melayat almarhum begawan ekonomi Sumitro Djojohadikusumo di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan. Saya tahu Rosihan dan Sumitro (sesama sosialis yang berselisih paham). Hubungannya dingin. Saling memendam prasangka. Tulisan in memoriam Rosihan tentang Sumitro pun sumbang.
“…di akhir hidupnya Sumitro tidak lagi secemerlang seperti di masa mudanya… Karena ingin selalu menjadi jagoan nomor satu, Sumitro sampai tidak bisa lagi bergaul harmonis dengan sebagian sahabat lamanya dari PSI dulu. Karena ingin tampil perkasa, sering dia kehilangan kearifan (wisdom).“ (Kompas, 9 Maret 2001).” Sudah barang tentu tulisan seperti ini membuat keluarga Sumitro merasa tidak senang.
“Kalau menulis obituari berisi pujian dan sanjungan semata dan mengabaikan aspek-aspek lain seperti kekurangan dan kelemahan orang yang wafat, pada hemat saya obituari itu kurang kredibel. Sesungguhnya, saya selalu berhadapan dengan dilema rumit, apakah menuliskan hal yang bagus-bagus saja ataukah tidak pula melupakan hal yang tidak enak?” kata penulis buku Menulis di Atas Air ini.
***
WARTAWAN ada karena ia menulis! Dan, Rosihan membuktikan ia menjadi wartawan terdepan. Bahkan, dalam keadaan sakit, menjelang ulang tahunnya ke-89, 10 Mei nanti, ia tengah menyiapkan sebuah buku berjudul Belahan Jiwa: Memoar Kasih Sayang Percintaan Rosihan Anwar dan Zuraidah Sanawi. Ini buku tentang istrinya. “Kompas-Gramedia siap menerbitkannya,” kata pendiri Kompas Jakob Oetama. Jakob adalah sekretaris jenderal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saat Rosihan menjadi ketua umumnya. Rosihan adalah salah seorang pendiri organisasi kewartawanan ini.
Tetapi, saya lebih menikmati tulisan-tulisan Rosihan dalam serial in memoriam-nya tentang aneka berbagai tokoh yang dimuat di banyak media. Tulisan-tulisan itu tak hanya memperlihatkan hubungan Rosihan yang luas dengan para tokoh itu—bahkan beberapa di antaranya sangat dekat—tapi kerap sarat dengan muatan sejarah yang tak terekam oleh pena-pena sejarawan.
Peristiwa besar dengan peristiwa kecil ia ramu menjadi padu. Bukankah wartawan memang dididik untuk memahami hal-hal besar tetapi juga cinta pada detail?
Misalnya, kenapa Bung Karno memilih perempuan-perempuan yang tidak berpendidikan tinggi sebagai istri? Karena sebagai tokoh yang supersibuk dengan aneka aktivitas politik, ia perlu pelayanan perempuan “istimewa”. “Si Bung” butuh wanita yang kalem, santun, hangat, romantik, dan total melayani. Kata Bung Karno, politisi dan intelektual hidup dalam ketegangan. Ia menghindari tipe perempuan seperti ini. Bung Karno pernah mengatakan soal ini pada cendekiawan Soedjatmoko. “Koko, kalau kamu menikah ambillah orang yang kurang intelektual.” (Ada-ada saja, Bung Karno!)
Rosihan mengungkapkan itu ketika menulis in memoriam Hartini Soekarno, istri keempat Putra Sang Fajar, setelah Oetari, Inggit Goenarsih, dan Fatmawati. Setelah empat perempuan itu, masih ada Naoko Memoto (Ratna Sari Dewi), Haryati, dan Yurike Sanger yang mengisi hati Bung Karno. Mereka memang bukan perempuan “sekolahan”, tapi punya andil besar dalam mendampingi “Sang Flamboyan” sebagai pemimpin kelas dunia. (Kata Bung Karno!)
Hingga 2002 Rosihan sedikitnya menulis 77 in memoriam. Ia terhimpun dalam buku In Memoriam, Mengenang yang Wafat (Kompas, 2002). Bung Karno, Bung Hatta, dan Bung Sjahrir menempati urutan pertama, kedua, dan ketiga. Meskipun kita telah membaca tiga tokoh besar itu, kita mendapatkan sisi lain yang tak tertulis dalam “sejarah besar”. Rosihan mengenang, suatu saat Bung Karno memanggil Rosihan untuk memberikan pendidikan seks. “Kalau pria mau kuat, dia mesti makan banyak taoge. Jangan minum bir,” kata Bung Karno pada Rosihan.
Juga menarik kesaksian Rosihan ketika menulis in memoriam Fatmawati Soekarno. Ia menjadi saksi pertemuan tiga janda, istri “Tiga Serangkai” itu (Fatmawati, Rahmi Hatta, dan Poppy Sjahrir) di Tanah Suci pada Mei 1980. Secara tak sengaja mereka bertemu di Tanah Suci untuk menjalankan ibadah umrah. Bertempat di Kedutaan Besar Indonesia di Arab Saudi, para istri orang besar itu seperti reuni. Wajah mereka berbinar-binar, mengenang masa silam ketika “Tiga Bung” itu masih “seiring-sejalan”. Rosihan ada di tengah-tengah mereka.
Berucaplah Fatmawati yang malam itu mengenakan busana warna merah. “Aku first lady, Rahmi second lady, Poppy third lady. Semua kita datang ke sini untuk berumrah,” kata Fatmawati dengan tawanya yang renyah. Tapi, dua hari kemudian ia mendengar warta duka berpulangnya mantan ibu negara itu di Malaysia. Rupanya, candanya di Tanah Suci, adalah “kenangan” terakhirnya.
Ada beberapa tokoh yang menjadi bagian amat dekat dengan Rosihan, antara lain cendekiawan Soedjatmoko dan sang adik, Yosar Anwar, mantan aktivis mahasiswa pada 1966. Koko, panggilan akrab Soedjatmoko, wafat di depan mata Rosihan ketika sama-sama mengikuti seminar sejarah di Yogyakarta. Serangan jantung mengakhiri hidup Koko. Rosihan larut dalam tangis tak terperikan.
Saat memberikan sambutan mewakili keluarga ketika Yosar hendak dimakamkan, dari tepi liang lahat Rosihan berucap, “Saya melihat adik saya ini lahir dan kini saya pula melihatkan dikuburkan.” Dan, kini giliran penulis warta duka itu yang menjadi berita duka. Saya akan mengenangnya sebagai “pejalan” yang tangguh; pelita yang tak pernah padam; inspirasi yang tak pernah mati. Saya percaya, dengan kehendak-Nya, Rosihan akan bahagia dan tetap “menulis” dalam kehidupannya yang baru di alam lain.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/refleksi-rosihan-anwar.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Selasa, 06 Maret 2012
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar