Sabtu, 04 Februari 2012

Wingit dan Jarjit

Han Gagas *
http://sastra-indonesia.com/

Wingit menguliti bangkai anjing itu. Gerombolan belatung ia caruk dengan tangan dan mengumpulkannya di piring plastik. Sambil menunggu api kayu bakar stabil, ia mengambil kecap.

Perutnya telah keroncongan sejak kemarin. Tiga malam, empat siang, tak secuilpun makanan masuk perutnya. Kini menatap daging anjing yang terbakar dengan baunya yang gurih, nafsu makannya tak terbendung lagi. Segera ia semprotkan kecap itu ke belatung mentah sebagai lalapan.

Hidangan telah siap. Daging anjing yang empuk beserta belatung kecap yang menggugah selera, Uihh.

Belatung yang berwarna putih kekuning-kuningan itu terasa nyeplos. Ada cairan yang meletus dari dalam perut belatung yang rasanya sangat nendang di rongga mulut Wingit. Itulah seni rasanya, sungguh nikmat!

Daging anjing busuk adalah makanan yang paling istimewa buat Wingit, karena biasanya ia hanya makan ayam busuk. Sejak dulu Wingit memang suka makan bangkai. Ayam mati dari tetangga selalu ia terima dengan senang hati, apalagi yang sudah berbau busuk, uhhh, langsung membuat air liurnya menetes.

Perilakunya itu tak membuat para tetangganya merasa jijik atau marah. Itu lumrah, siapapun berhak atas apa yang dia makan. Justru dengan adanya Wingit, membuat para tetangga merasa dimudahkan karena anjing atau ayam yang mati tak perlu dikubur, dibuang ke kali, atau dibakar, cukup dikasihkan ke Wingit.
***

Beda dengan Wingit, Jarjit suka makan ayam mentah, maksudnya, ayam hidup. Jika hendak makan ayam yang hidup, ia hunjam leher ayam itu dengan pisau maka darah memuncrat mengenai wajah dan dadanya. Melihat segarnya darah, Jarjit senang bukan main. Bau anyir sangat ia suka karena jarang ada bau seperti itu. Ia telah bosan dengan bau sehari-hari seperti apak, wangi, busuk, amis, atau tawar alias tak berbau apapun. Bau anyir hanya bisa ia hirup ketika darah segar muncrat dari pembuluhnya.

Saat tubuh ayam berkelojotan, Jarjit segera mencabuti bulu ayam itu lalu setelah semuanya bersih, dengan pisaunya yang tajam ia gurat perut ayam itu dengan arah vertikal yang tegas. Setiap darah dari urat nadi memuncrat ke bajunya membuat Jarjit berteriak kegirangan.

Lalu dengan lahapnya ia makan satu per satu bagian tubuh ayam itu. Kaki ia patahkan dengan kedua tangannya, lalu segera ia lahap dengan rakus. Leher kepala ia tarik dengan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memegang kedua sayap maka ’bress’, leher telah copot dan ia santap juga.

Yang paling tidak ia suka segera dibuangnya yaitu kepala dan usus (karena ada tahi ayam). Yang lainnya, ia maniak, terutama bagian leher yang darahnya masih segar, merah kehitaman dan kental, dan hati jeroan yang berwarna kemerah-merahan.

Serupa dengan Wingit yang menyukai perut belatung yang nyeplos di mulut, darah dari urat nadi juga nyeplos di dalam rongga mulut Jarjit, rasanya sungguh mantab!

Walau selera kedua orang itu berbeda tapi mereka sahabat karib. Dua manusia yang berupaya terus memahami satu sama lain, dan tentu saja selalu membantu dan menemani di kala satunya susah.
***

Kini, Wingit sedang senang-senangnya, sedangkan Jarjit sedang sedih-sedihnya. Wingit sedang lahap-lahapnya, kekenyangan terus, tubuhnya jadi sangat gemuk. Sedangkan Jarjit sangat menderita, kurus, dan amat kuyu, tubuhnya amat lemas karena berhari-hari perutnya kelaparan.

Di rumah Wingit menggunung bangkai ayam. Di rumah Jarjit tak ada satupun ayam hidup. Di kandang tetangga pun tidak, kabarnya semua ayam mati terserang flu, Jarjit meraung karena kelaparan yang tak tertahankan.

Wingit di siang bolong tiba-tiba datang dengan wajah jatuh kasihan, ia menenteng lima ayam busuk di tangannya yang dikerubuti lalat-lalat. Lalu ia menawarkannya pada Jarjit.

”Aku tak suka ayam mati, aku suka ayam hidup, mestinya kau tahu!” ucap Jarjit ketus.

”Ayam ini walau mati tapi masih segar, coba cium baunya pasti tak terlalu busuk, tubuhnya masih sedikit hangat. Aku tahu seleramu. Di tubuh ayam ini, darah masih bisa menyembur.”

Jarjit hanya diam.

”Aku ingin menolongmu saja… Wajahmu sangat pucat,” tambah Wingit dengan suara yang lirih.

Karena sudah sangat lapar, Jarjit segera menerima lima ayam itu, lalu tanpa babibu langsung menghunjamkan pisaunya ke leher ayam, darah merembes ke punggung tangannya. Ia menjerit senang, lalu tanpa sungkan-sungkan segera dimakannya ayam itu dengan lahap. Sejumlah pembuluh atau urat nadi ayam ia betot dengan mulutnya sehingga darah membasahi celah bibir dan dagunya. Jarjit sangat menikmati hidangan itu.

Tapi tidak dengan Wingit, ia menatap dengan jijik, dan serasa mau muntah. Perutnya mual, dan karena tak kuat melihat Jarjit makan, ia pergi tanpa pamit.
***

Lima ekor ayam pemberian Wingit dihabiskan Jarjit dalam sehari. Karena jika lewat hari, ayam itu terlanjur lebih busuk dan darah tak berbau anyir lagi, jika demikian Jarjit tak doyan, perutnya akan mual dan muntah, jijik. Telah menghabiskan lima ekor ayam itu, Jarjit jadi kekenyangan.

Sehari-dua hari perut Jarjit masih terganjal, namun setelah hari ketiga ia mulai lapar lagi. Mulai menahan rasa ingin makan dengan sedikit gelisah. Namun setelah hari keempat, kepalanya mulai pusing, tubuhnya lemas, dan wajahnya pucat.

Jarjit mengunjungi sahabatnya Wingit, kalau-kalau ada ayam mati yang masih segar dan sedikit hangat tubuhnya.

Ia berjalan ke rumah Wingit, sekonyong hidungnya diserbu bau busuk yang sangat menyengat, ribuan lalat menggerayangi setiap sudut rumah Wingit. Jarjit menutup hidungnya rapat-rapat.

Jarjit masuk dan matanya linglung menatap onggokan bangkai ayam yang membukit disertai ribuan belatung putih yang menggeliat-geliat. Ia undur lagi, tak tahan memandang itu.

”Wingit, masihkah ada ayam untukku seperti kemarin,” teriak Jarjit dengan suara parau dari luar.

Wingit tergopoh-gopoh ke luar, dia ternyata baru mengumpulkan kayu untuk bahan bakar.

”Tampaknya sudah tiada lagi Jarjit. Semuanya sudah begitu busuk,” jawab Wingit.

Jarjit jadi loyo, perutnya makin keroncongan. Ia terduduk di bawah pohon beringin di halaman rumah Wingit, bersandar, tubuhnya mulai membiru.

Wingit mendatangi Jarjit lalu duduk di sampingnya.

”Entah sedang ada apa alam ini, Jarjit. Hujan di Bulan Juli. Ayam-ayam mati. Semua hewan ternak mati, anjing-anjing semuanya lenyap. Bahkan hewan alas seperti celeng, ular, ajak, monyet semua pergi. Padi puso. Yang bernama binatang hanya tersisa wereng dan ulat, lainnya lenyap tak berjejak. Apakah kau tak bisa mengubah seleramu, menyesuaikan dengan alam ini? Orang-orang bisa makan ketela dan sayuran, tanpa daging. Kau tentu bisa seperti mereka?“

Jarjit seolah menatap sesuatu tapi matanya seperti tak melihat sesuatu, suwung.

”Kita berbeda, Wingit.”
”Ya, aku tahu.”

”Betapa tak mungkin mengubah apa yang telah kita jalani puluhan tahun dengan seketika.”

Mereka lantas diam. Matahari sedang terbakar di barat sana. Menyapukan terik pada kulit, dan mengeluarkan hawa panas yang menyengat dari dalam bumi.

”Betapa baik orang-orang karena tak pernah marah pada selera kita.”

”Ya, Jarjit. Syukurlah orang-orang tak pernah menganggap selera kita sebagai persoalan.”

Wingit menatap tubuh tetangganya itu dengan mata tak biasa. Bibir Jarjit pucat, matanya kerontang. Bukan kelaparan biasa. Tubuh Jarjit makin biru.

”Maukah kau bercerita tentang jalan kematian Wingit? Semalam aku bermimpi belatung-belatungmu mengeroyokku, dan aku hanya diam saja, tubuhku tak bisa bergerak, serasa mati, lalu aku seperti melayang-layang di udara.”

”Jangan menyerah, Jarjit.”

”Kesinilah, mendekatlah padaku. Peluklah aku…”

Wingit mendekat lalu memeluk tubuh sahabatnya itu yang terasa beku. Dinginnya tubuh Jarjit mengingatkan Wingit pada tubuh bangkai ayam. Persis. Wingit memencet nadi Jarjit, sangat lemah, dan memfokuskan matanya pada tengkuk Jarjit.

Ada: ning nung nang… aura kematian yang membayang.

Kematian telah dekat, batin Wingit.

”Kurasa aku keracunan, Wingit. Aku digariskan makan binatang hidup, empat hari lalu aku menghabiskan lima ayam pemberianmu sekaligus. Aku tak kuasa menahan keinginan makanku. Kau jangan merasa bersalah, ini sudah jalanku, Wingit. Tolong temani aku, ceritakanlah padaku tentang tanda kematian itu.” Sudut mata Jarjit menggenang bulir air yang nyaris terjatuh.

”Apa yang kau katakan?!” sela Wingit.

”Aku tahu Wingit. Setidaknya aku juga ada sedikit kemampuan sepertimu, bukankah jalanku hampir menyeberang. Jangan kau membantahnya hanya untuk membuat hatiku senang, Wingit. Tuntunlah aku ke lorong terang itu. Terangkan jalanku dengan tanda kematian itu…”

”Teman, jangan kau risau, kematian bukan hal yang mengerikan.”

”Aku hendak berserah diri, Wingit.”

Jarjit membaringkan tubuhnya, menangkupkan kedua tangannya menjadi satu di atas bidang dadanya. Wingit memegang kedua bahu Jarjit dengan lembut.

”Terangkan padaku tentang tanda kematian itu, teman…”

Terdengar tembang macapat yang mengalun perlahan begitu sendu.

Kepala Wingit mendekat, mulutnya berbisik lirih ke kuping Jarjit.

”Belatung mendatangimu, itu artinya salah satu dari tiga tanda kematian telah berkunjung.”

Kepala Jarjit miring hendak meludah tapi hanya udara kering dan suara dengus yang keluar dari tenggorokannya.

Wingit melepas tangannya, berlari cepat ke rumah mengambil air dalam gentong.

”Kau harus minum dulu, teman,” kata Wingit sambil mengangkat kepala Jarjit.

Jarjit menengguk air itu. Dua teguk, 3, 4, 5, 6, 7.

Wingit mengguyurkan sisa air dalam gentong ke seluruh tubuh Jarjit.

”… biar kau segar, teman. Biarlah kematian menjemputmu dalam keadaan yang segar, tampak sehat, dan gembira menyongsongnya.”

Jarjit tersenyum beku. Bibirnya basah, rambutnya tampak berkilau dengan air yang menetes. Kulitnya yang membiru memang tampak lebih segar. Keningnya paling biru. Muka, dada, lengan, kaki, semuanya makin biru kecuali tengkuk itu yang mencorong sinar ungu.

”Terangkan padaku lagi tanda yang lain.”

Kepala Jarjit kembali miring, menatap arah barat yang sangat merah. Matanya menatap ke horison yang jauh, ada air yang menggeliat-geliat di sana, fatamorgana, ditingkahi kepak burung kuntul putih yang mengembang, berombongan membelah angkasa. Menyeberang, menusuk lintasan mendung terjauh, mungkin bermigrasi mencari ladang makan yang baru.

Burung-burung kuntul terjauh yang hidup semakin menjauh dari desa ranggas ini.

”Sudahkan kau didatangi oleh leluhur-leluhurmu, ayah-ibumu, dan kakek-kakekmu?” ucap Wingit.

Jarjit tersenyum kecut. Kelopak matanya kini menangkup, turun perlahan, dan rapat. Air menggelinding dari sudut matanya bercampur dengan air gentong tadi. Kupingnya mendengar bunyi rebab yang digesek demikian menyayat-yayat.

”Dan, sudahkah kau dikunjungi saudara sejatimu? Kakang kawah adi ari-ari, yang bermuka sama denganmu, saudara jiwa yang manunggal.”

Mata Jarjit terpejam. Jiwanya terasa terang dan ringan, melayang seperti kapas tersapu angin.

”Kau akan menaiki sebuah perahu yang membelah lautan cahaya mahacahaya diiringi oleh belatung-belatung di sekujur tubuhmu, leluhur-leluhurmu di depan-belakangmu, dan kau akan dipeluk oleh saudara sejatimu.”

Wingit tahu Jarjit mulai berbelok lalu menyeberang memasuki sisi yang lain: lapisan gelap yang panjang dan maha luas lalu disusul lorong cahaya.

Jarjit mulai memasuki lautan maha cahaya. Ribuan belatung putih bergelayut di sekujur tubuhnya namun di situ sudah tiada lagi bau busuk. Wangi swargaloka menguasai indera Jarjit. Wangi yang sama dengan segarnya anyir darah ayam yang amat ia sukai selama hidup di dunia.

Solo, 9 Nopember 2011

*) Han Gagas, Pengarang cerita pendek dan novel. Novel pertamanya Tembang Tolak Bala [LKiS, 2011]. Manuskrip novelnya yang kedua menjadi salah satu pemenang sayembara novel Dewan Kesenian Jawa Tengah [DKJT]. Cerpen-cerpennya yang dimuat sejumlah media massa seperti Kompas, Republika, Seputar Indonesia, Suara Karya, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solopos, Lampungpost, dll sebagian besar terangkum dalam kumpulan cerpen Ritual [Gembring, 2012]. Novelnya: Bengawan Solo, segera terbit. http://han-gagas.blogspot.com/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati