Kamis, 09 Februari 2012

MEMAKNAI PUISI, SEBERAPA SUSAHKAH?

Wardjito Soeharso
http://duniadibalikjendela.blogspot.com/

(1)

Saya termasuk orang yang memaknai puisi dengan sederhana. Bagi saya, puisi adalah rangkaian kata-kata yang indah. Keindahan itu dapat diperoleh dengan berbagai cara: mengatur rima, irama; pemilihan kata (diksi); sampai gaya penulisan (tipografi). Prinsipnya, di mana kata-kata disusun sedemikian rupa, lalu dari susunan itu diperoleh suatu keindahan (estetika), maka susunan kata-kata itu layaklah disebut sebagai puisi.

Dengan pemahaman seperti ini, saya bisa menjumpai banyak puisi di banyak tempat. Di pinggir-pinggir jalan, di geber-geber warung makan (daftar menu makanan jadi layak disebut puisi: nasi goreng, bakmi goreng; teh, kopi, susu), di tembok-tembok gedung dan bangunan (grafitti dengan kata-kata puitis: remaja dimanja, muda sukaria, dewasa foya-foya, tua kayaraya, mati masuk surga), sampai di toilet-toilet umum (corat-coret iseng: aku, budak nafsu tak tahu malu).

Ya, puisi adalah kata-kata yang indah. Jadi salah satu kekuatan puisi terletak pada keindahan kata-katanya. Dengan kata lain, esensi puisi terletak pada estetika yang ditampilkan pada kata-kata.

(2)

Bagi saya puisi adalah ekspresi, ungkapan, pesan. Dalam komunikasi, pesan selalu terdiri dari 2 hal: ide (gagasan) dan emosi (perasaan). Karena puisi adalah ungkapan pesan, maka dia mestinya juga terdiri dari 2 hal itu. Ada ide (gagasan) dan emosi (perasaan) yang disampaikan lewat susunan kata-katanya. Menurut saya, di sinilah letak makna dari puisi. Ide (gagasan) apa yang dibungkus dengan emosi (perasaan) yang bagaimana, menjadi isi dari suatu puisi.

Jadi, kalau kita ingin memaknai puisi, selayaknya kita mencoba menangkap ide (gagasan) dan emosi (perasaan) yang tersurat maupun tersirat dalam puisi itu. Hanya saja, untuk menangkap ide (gagasan) dalam puisi ternyata tidaklah mudah. Sebagai produk berpikir, ide juga hanya bisa ditangkap dengan kemampuan berpikir. Di sini berlaku hukum berpikir: ide cemerlang dihasilkan dari otak yang terang, dan ditangkap oleh otak yang lapang. Sedang emosi (perasaan) atau suasana hati dapat ditangkap melalui pilihan kata atau diksi.

(3)

Lalu saya sampai pada satu simpul: puisi adalah rangkaian kata-kata yang indah dan bermakna. Saya sengaja menempatkan keindahan (estetika) di depan, baru makna (isi) mengikuti. Karena pada dasarnya, estetika itulah yang membangun kata-kata menjadi puisi. Sedang makna, kehadirannya menjadi nomor dua, dia boleh ada dan boleh tidak ada. Artinya, kalau puisi itu menyampaikan makna, tentu menjadi puisi yang baik, tetapi kalau pun tidak menyampaikan makna apa-apa, sekedar memberikan (bermain) keindahan kata-kata, juga tidak apa-apa, sah-sah saja.

Tapi, ketika keindahan dan makna itu melebur dalam sebuah kesatuan yang utuh, di situlah letak kekuatan suatu puisi. Puisi dikatakan kuat bila dia memiliki keindahan sekaligus kedalaman makna. Hanya saja, karena keindahan itu begitu melekat, kadangkala keindahan itu membungkus dan mengaburkan makna. Inilah yang disebut obskuritas (obscurity) atau kekaburan makna dalam puisi.

(4)

Obskuritas membuat puisi menjadi unik, istimewa. Makna yang kabur ini yang membuat penikmat bisa saja memaknai berbeda ketika membaca puisi yang sama. Pemaknaan yang berbeda sebagai akibat cara pandang dan cara pikir yang berbeda setiap orang.

Justru obskuritas inilah yang membuat puisi semakin hidup. Ruh atau jiwa puisi pada dasarnya berada di tangan pembacanya. Sebagai penikmat, yang memiliki cara pandang dan cara pikir sendiri, pembaca memiliki kebebasan mutlak untuk memaknai puisi yang dibacanya. Jadi, semakin banyak puisi dibaca, semakin banyak dia dimaknai, semakin hidup dia di tengah publik.

Ada independensi dalam puisi. Puisi sebagai ekspresi, ungkapan, pesan, dia disampaikan secara independen oleh penulisnya. Ketika dia lepas dari penulisnya, dia menjadi sebuah entitas independen, yang bebas lepas untuk dimaknai siapa saja. Begitu pula, penikmat atau pembacanya, dia juga independen, bebas mutlak menikmati dengan memaknai sesuai selera sendiri.

Apa artinya ini? Dunia puisi adalah dunia sangat subyektif. Penulis puisi sangat subyektif ketika menulis puisi. Penikmat puisi juga sangat subyektif ketika menikmati puisi. Jadi tidak selayaknya mereka saling menghakimi.

(5)

Ketika Mas Ganz (Ganjar Sudibyo) menghubungi saya, meminta kesediaan saya untuk menjadi salah seorang pembedah buku Antologi Puisi 10 Penyair Nusantara: Sepuluh Kelok Di Mouseland, dalam pikiran saya sudah terbayang, kira-kira ya pemahaman seperti itulah yang akan saya sampaikan dalam diskusi. Selintas saya sudah membaca, menikmati, memahami, dan mencoba memaknai puisi-puisi karya 10 penyair. Dan sudah pasti, dengan cara pandang dan cara pikir saya sendiri, saya menikmati keindahan, saya menangkap makna, dan saya menangkap emosi dan suasana hati, dari setiap puisi yang saya baca dan nikmati. Dan sudah pasti pula, kenikmatan yang saya peroleh, keindahan yang saya rasakan, kedalaman makna yang saya temukan, berbeda dengan yang anda semua rasakan dan temukan.

Karena begitu banyak puisi yang ada dalam antologi, saya tidak akan mengomentari satu per satu, tetapi ingin berbagi pengalaman tentang kesan yang saya peroleh setelah membaca semua puisi.

Bagi saya, semua puisi yang ada di antologi ini memiliki unsur keindahan yang kuat. Para penyairnya sudah sangat sadar ketika mengeksploitasi keindahan itu lewat diksi.

benar memang ketika bapak berujar
………………………………..
tak tergantung secompang apa layar terkembang
(Aras Sandi: Cadik Kehidupan)
kau baginya hawa, yang suatu hari akan menemaninya menguaskan surga sehabis bertahun-tahun menelan buah pir yang mahir berpura-pura.
(AF Kurniawan: Yang Berhasrat Meminangmu, Kekasihku)

Dalam hal menangkap makna, banyak puisi yang dapat saya tangkap ide (gagasan) maupun emosi (perasaan, suasana hati)-nya. Antara keindahan (dalam diksi) dan makna yang disampaikan, menyatu utuh dalam bangunan puisi. Sudah barang tentu, saya sangat menikmati puisi-puisi semacam ini.

Arghanita: Kamboja Putih, Aku Sebatang Ranting Kering.
Arthur Panther Olii: Seraut Wajah Yang Tertitip di Bebulir Hujan Senja, Senja di Tepi Sungai Bone.
Dalasari Pera: Hidup, Kisah Kursi dan Meja.
Husni Hamisi: Puisi Patah.
Lina Kelana: Mak
Oekusi Arifin Siswanto: Rindu Bahasa, Rindu Cinta, Darahmu atau Darahku.

Tapi ketika saya mencoba menangkap makna beberapa puisi, ternyata saya menemukan kesulitan. Puisi-puisi tersebut boleh dikata memiliki obskuritas (kekaburan) yang pekat. Tidak mudah untuk menangkap apa sesungguhnya ide yang akan disampaikan oleh penyairnya.

Salah satu contoh puisi yang sangat kabur atau samar untuk ditangkap maknanya adalah puisi AF Kurniawan: Januari, Hujan, dan Dongeng Yang Membentuknya. Terus terang saya tidak mampu menangkap makna puisi ini. Puisi ini bernilai estetika tinggi, saya bisa merasakan emosi (perasaan) yang muncul ketika menikmatinya, tetapi otak saya tidak mampu menangkap idenya. Semua ini memberikan pemahaman pada saya tentang satu hal: Oh, saya hanya mampu merasakan keindahan dalam rangkaian kata-katanya, saya hanya mampu merasakan emosi, suasana hati yang terpancar dari rangkaian kata-katanya, tetapi saya tidak mampu menangkap ide (gagasan) dari rangkaian kata-katanya. Ya sudah, berarti hanya sampai di situlah saya bisa menikmati puisi ini.

Puisi-puisi yang memiliki kekaburan makna cukup pekat ini, bisa ditemui pada puisi Lina Kelana: Lagu Hujan, Reski Kuantan: Jika Tidak Pulang Hari Ini. (Sekedar memberi contoh lain, sementara masih banyak puisi dengan tingkat obskuritas dari cukup sampai sangat pekat).

Bahwa saya tidak mampu menguak tabir kekaburan makna sebuah puisi, sekali lagi, berkait erat dengan independensi puisi. Penyair sebagai subyek independen, bebas mengekspresikan ide, gagasan, emosi, suasana hati, dengan pilihan kata dan gayanya sendiri. Sedang puisi yang sudah terlepas dari tangan penyairnya, sebagai ekspresi yang sengaja didesain kabur, tentu memiliki peluang tak terbatas pula untuk dimaknai. Begitu pula, saya sebagai pembaca atau penikmat, sebagai subyek yang bebas, yang juga memiliki ide, gagasan, emosi, suasana hati, boleh pula sekehendak hati menginterpretasikan makna di balik kekaburan sebuah puisi.
Jadi ada atau tidak makna yang saya dapat dari proses menikmati puisi, itu adalah bagian dari totalitas kemampuan saya menikmati suatu puisi. Dan bagi saya, semua itu juga merupakan suatu proses pembelajaran dalam menyentuh keindahan dan mengikat makna dari membaca dan menikmati puisi.

Oleh karena itu, saya tidak akan pernah merasa malu untuk mengakui bahwa banyak puisi yang gagal saya mengerti, gagal saya pahami. Seperti beberapa puisi dalam antologi Sepuluh Kelok Di Mouseland ini, saya gagal menangkap isi. Toh, saya tidak kecewa, karena walau tak menangkap isi, saya tetap bisa menikmati keindahan diksi.

Semarang, 28 Juni 2011
Dijumput dari: http://duniadibalikjendela.blogspot.com/2011/07/esai-i-launching-antologi-puisi-sepuluh.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati