Minggu, 26 Februari 2012

Membincang Puisi Protes

Jusuf AN
http://sastra-indonesia.com/

Dua hal yang penting untuk dikaitkan ketika kita membincang puisi, yakni penyair dan lingkungan yang melingkupinya. Sebuah puisi tentu saja tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal si penyair. Selain kondisi sosial budaya saat menciptakannya, perasaan dan ideologi penyair juga mempengaruhi sebuah puisi yang lahir. Puisi merupakan alat yang digunakan penyair untuk menyuarakan apa yang dilihat dan dirasakannya. Ketika bencana merajalela di mana-mana maka puisi berusaha merekamnya. Ketika kezaliman penguasa membabi buta, maka puisi lahir untuk menggugatnya. Ketika kebebasan berpendapat dibungkam penyair tetap dapat berteriak lewat puisi-puisinya.

Tak pelak, puisi menjadi satu hal yang paling ditakuti oleh para diktator. Bagi pihak penguasa otoriter, puisi bisa menjelma nuklir yang mengancam runtuhnya singgasana emasnya. Penyair dianggap sebagai biang kotoran dan penyakit, serta pemberontak yang keras kepala yang menjadi sasaran untuk disingkirkan. Hal semacam ini bukan lagi rahasia kini. Tentu saja kita akan selalu ingat dengan kekejaman era Orde Baru (Orba) di mana penyair-penyair diancam, dipenjara tanpa pengadilan, diculik, dan hingga kini masih ada yang hilang tak diketemukan.

Tapi kini, zaman pembocoran fakta lewat fiksi sudah berakhir, kata Joni Ariadinata dalam sebuah esainya. Nyaris tak ada lagi yang misteri dari fakta-fakta yang disembunyikan, baik oleh tekanan politis negara maupun tekanan etika. Setiap orang kini adalah sumber berita, berhak mengumbar berita. Tak ada lagi yang rahasia dan patut dirahasiakan. Setiap orang boleh mengatakan apa saja dan membuka peristiwa apa saja.

Begitulah, setelah Orba lengser dan protes dapat dilakukan oleh siapa pun tanpa rasa takut sedikitpun, puisi protes seakan kehilangan gema. Puisi protes tak lagi dianggap sebagai momok menakutkan, tak lagi diperhatikan. Bahkan, menurut Putu Wijaya, dalam Zig-Zag (1996) sekarang raja sudah terbiasa mendengar segala yang jelek-jelek tentang dirinya dengan hati tentram. Karena terbukti itu tidak ada pengaruhnya melainkan justru jadi tambahan punten, karena menunjukkan kemuliaan hati dan tegaknya demokrasi.

Alhasil puisi kritik, protes, perlawanan, atau istilah lain serupa itu tak lagi diperhatikan bukan hanya oleh pembaca, penguasa, melainkan gairah para penyair untuk menulis puisi protes juga mulai melemah. Ini kenapa? Apakah puisi-puisi protes tak lagi dibutuhkan sebuah bangsa yang telah membuka kran “kebebasan berpuisi”? Apakah kezaliman di sekeliling kita telah benar-benar musnah? Ataukah karena penyair mengikuti selera pembaca, yang kini jarang ada yang peduli pada puisi macam itu?

Memang, sebenarnya puisi protes tidak sepenuhnya mati, hanya kehilangan gairah, kehilangan pembaca. Masih ada penyair yang konsisten menulis puisi protes tentang kerusakan alam, politik busuk, dan keterpurukan soal sosial budaya lainnya. Bagaimana pun puisi protes tetap dibutuhkan. Di tengah hiruk-pikuk kritik dan pemberitaan yang deras mengalir dari berbagai media kita tetap membutuhkan suara hati penyair dengan kata-kata yang penuh perenungan. Kita butuh kata-kata segar, pelecut semangat, pengobar keberanian, dan cermin untuk menatap diri kita sendiri.

Puisi protes tentu saja masih terus lahir di tiap sudut bumi ini, demi merekam dan menyikapi peristiwa-peristiwa di sekelilingnya. Konflik yang terjadi antara bangsa Arab-Israel membuat para penyair Palestina terkondisi untuk melahirkan puisi-puisi perlawanan. Mulai dari yang tertua Jabra Ibrahim Jabra (1920-1994), Ghassan Kanafani (1936-1972), hingga Abu Salma, Sami Al-Sharif, Ibrahim Souss, dan Tamim Al-Barghouti dan masih banyak lagi sederet penyair lainnya. Penyair-pernyair tersebut melahirkan puisi bukan lantaran suaranya dikekang, pendapatnya dibungkam, melainkan karena darah kepenyairannya telah kental, sehingga batinnya bergejolak untuk menulis tragedi di sekitarnya. Selain itu, puisi-puisi perlawanan terkadang juga menjadi slogan, khususnya yang lahir di daerah konflik, dapat membangkitkan semangat perjuangan dan keberanian untuk melawan kezaliman.

Marilah, sejenak kita renungkan puisi Abu Salma, penyair berdarah Palestina berjudul ”Kami Akan Kembali” yang saya petik dari artikel A.Rahim Qahhar, sastrawan Sumatra Utara:

Demi cintaku Palestina, bagaimana aku dapat tidur/ Sedangkan spektrum penyiksaan ada di mataku/ Aku menyucikan dunia dengan namamu/ Dan jika kamu tidak suka biarkan aku keluar/ Aku telah dipelihara perasaan penuh rahasia/ Pada hari-hari yang meluncur berbicara tentang/ Persekongkolan dengan musuh dan teman-teman/. Demi cintaku Palestina!/ Bagaimana aku hidup/ Anda jauh dari dataran dan lautan/ Di kaki gunung yang dicelup dengan darah/ Yang memanggil-manggil diriku/ Dan di cakrawala yang muncul mencelup/ Menangis di pantai memanggil diriku/ Dan aku menangis di telinga waktu/ Aliran pelarian yang memanggil diriku/ Mereka menjadi asing di negeri sendiri.

Sungguh, kita yang hidup di Indonesia, tidak hanya akan diajak merenung oleh pencinta negeri Palestina itu, tetapi kita dapat menikmati diksi demi diksi yang Abu Salma rangkai sedemikian rupa sehingga membuat emosi kita terbawa. Inilah salah satu hal yang mungkin patut kita perhatikan: Puisi adalah puisi yang menyimpan tanda, metafora, dan diksi yang tertata. Inilah yang membedakan puisi dengan berita atau artikel. Kalau puisi protes diramu sedemikian rupa sehingga tidak hanya mengkritik (apalagi menghujat) dengan bahasa skripsi, maka saya kira puisi protes akan tetap mendapat tempat, mendapat apresiasi layak dari publik.

Protes Diri Sendiri

Sebenarnya puisi protes atau kritik bisa diartikan lebih luas lagi, yakni protes dan kritik itu tak melulu ditujukan untuk sesuatu yang berada di luar diri si penyair. Di satu sisi kita patut protes manakala melihat kemungkaran, kebiadaban, ketidakadilan di sekeliling kita, tetapi di sisi lain kita juga mesti protes terhadap diri kita sendiri yang terkadang khilaf atau bahkan telah melakukan dosa dan kesalahan besar. Dan ketika si penyair mengkritik kinerja pemerintah yang amburadul, korup, atau boros, atau mengkritik kebiadaban di sekelilingnya, maka sudah sepantasnya penyair tersebut mengoreksi dirinya sendiri, apakah dirinya telah bersikap baik, jujur, dan hemat dan bijaksana selama ini.

Kita tahu, Nabi menyuruh kita untuk sibuk mencari kesalahan diri sendiri sehingga tidak punya waktu lagi dan hingga tidak punya waktu lagi untuk mencari kesalahan orang lain. Sabda Nabi selalu ada benarnya, sebab ketika seseorang telah memperbaiki dirinya, maka ia akan menjadi teladan bagi orang lain. Ketika kita (selalu berusaha) menjadi pribadi yang baik, maka, tanpa menulis puisi, kita sebenarnya telah berupaya untuk membangun negeri ini ke arah yang lebih baik. Lebih-lebih kalau kita menyempatkan waktu menulis puisi. Bagaimana?

12 April 2010
Dijumput dari: http://jusufan.blogspot.com/2010/04/membincang-puisi-protes.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati