Hadi Napster
http://sastra-indonesia.com/
Dalam wacana sastra, ketika seseorang mendengar kata “cerita pendek” atau yang lebih populer disebut “cerpen”, asosiasi pemikiran tentu akan langsung memuara pada jenis cerita (fiksi) yang sifatnya pendek. Sesuai dengan namanya, “cerpen” memang merupakan bentuk fiksi yang berdurasi singkat, padat, intensif, dan sugestif. Proses kreatif pelahirannya pun mempersyaratkan unsur-unsur tertentu atau terbatas, yang dipilah dan dipilih secara selektif serta efektif.
Secara pengertian, cerita pendek telah banyak sekali dikaji, dibahas, serta dikemukakan oleh para sastrawan dan pakar sastra ternama. Seperti Sumardjo dalam bukunya Catatan Kecil Tentang Menulis Cerpen yang menuliskan; cerita pendek adalah fiksi pendek yang selesai dibaca dalam “sekali duduk”. Cerita pendek hanya memiliki satu arti, satu krisis, dan satu efek untuk pembacanya. Untuk ukuran Indonesia cerpen terdiri dari 4 sampai dengan 15 halaman folio ketik. (1917: 184).
Senada dengan pendapat di atas, dalam Kamus Istilah Sastra (1990: 15-16), Sudjiman menuliskan pengertian; cerita pendek (short story) adalah kisahan pendek (kurang dari 10.000 kata) yang dimaksudkan memberikan kesan tunggal yang dominan. Cerita pendek memusatkan diri pada satu tokoh dalam satu situasi pada satu ketika. Meskipun persyaratan itu tidak terpenuhi, cerita pendek tetap memperlihatkan kepaduan sebagai patokan. Cerita pendek yang efektif terdiri dari tokoh atau sekelompok tokoh yang ditampilkan pada satu latar atau latar belakang dan lewat lakuan lahir atau batin terlibat dalam satu situasi.
Sementara Sumardjo dan Saini membuat definisi sekaligus serupa persyaratan sebagai berikut; cerita pendek adalah cerita yang membatasi diri dalam membahas salah satu unsur fiksi dalam aspeknya yang terkecil. Kependekan sebuah cerita pendek bukan karena bentuknya yang jauh lebih pendek dari novel, melainkan karena aspek masalahnya yang sangat dibatasi. Dengan pembatasan ini, sebuah masalah akan tergambarkan jauh lebih jelas dan jauh lebih mengesankan bagi pembaca. Kesan yang ditinggalkan oleh sebuah cerita pendek harus tajam dan dalam sehingga sekali membacanya kita tidak akan mudah lupa. (1984: 69).
Cerita pendek di Indonesia mulai menampakkan diri dan mengalami pertumbuhan pada sekitar pertengahan tahun 1930-an sampai dengan awal tahun 1940-an. Pada masa itu cerita pendek yang hanya difungsikan sebagai “teman duduk” atau “kawan bergelut” banyak dipengaruhi oleh keberadaan “dongeng” dalam lingkungan mayarakat lama. Isi ceritanya pun hanya berkisar tentang peristiwa-peristiwa kecil atau seloroh dalam kehidupan sehari-hari (cerita rakyat). Dalam dekade awal pertumbuhannya, cerita pendek melahirkan beberapa nama pengarang seperti Muhammad Kasim, Suman HS., Armijn Pane, dan Idrus. Yang mana dari keempat nama ini, Muhammad Kasim dan Suman HS. lalu dianggap sebagai bapak cerpenis pertama Indonesia.
Dalam perkembangannya, kekhasan sajian cerita pendek Muhammad Kasim dan Suman HS. yang selalu berakar pada khazanah sastra tradisional Indonesia, nampaknya tidak lagi dianut oleh pengarang-pengarang selanjutnya. Secara berangsur-angsur, penulisan cerita pendek telah melepaskan diri dari pengaruh “cerita rakyat” dan mulai menerapkan konsep “Barat”. Tetapi langkah ini justru membawa kebaharuan dalam laju perjalanan cerita pendek. Dampak terbesar tentu saja adalah munculnya cerita pendek menjadi salah satu genre sastra yang mulai diperhitungkan. Jika sebelumnya cerita pendek hanya dianggap sebagai “sampingan” untuk “teman duduk” dan “kawan bergelut” saja, maka pada sekitar tahun 1945 sampai dengan tahun 1955, pengarang-pengarang seperti Pramoedya Ananta Toer, Achdiat K. Mihardja, Mochtar Lubis, Trisno Sumardjo, dan Asrul Sani, justru mulai dikenal luas karena tulisan-tulisan mereka yang berupa cerita pendek.
Puncak suburnya pertumbuhan cerita pendek adalah sekitar tahun 1950-an, di mana begitu banyak pengarang (cerpenis) bermunculan, dan buku-buku cerita pendek pun banyak diterbitkan. Pada masa itu kita mengenal beberapa nama penulis cerita pendek seperti Nugroho Notosusasto, Subagio Sastrowardoyo, Riyono Praktikto, Ajip Rosidi, Nh. Dini, Trisnoyuono, Bur Rasuanto, Alex Leo, AA. Navis, Motinggu Busye, Djamil Suherman, dan SM. Ardan. Begitu pula pada sekitar tahun 1960-an–tepatnya antara tahun 1964 sampai dengan tahun 1970–keberadaan cerita pendek semakin tumbuh dan berkembang, terlebih karena ditunjang oleh majalah sastra Horison sebagai media publikasi. Pengarang-pengarang ternama lainnya pun bermunculan, seperti Wildan Yatim, Umar Kayam, Budi Darma, dan Wilson Nadeak.
Dari beberapa pengertian serta pembahasan sederhana dalam rentang waktu periodisasi di atas, oleh berbagai sumber lalu disebutkan bahwa cerita pendek yang ada dalam kurun waktu 1930-an hingga 1960-an merupakan cerita pendek dengan konsep konvensional–cerita pendek yang struktur ceritanya sesuai dengan konvensi yang ada. Hal tersebut dapat dilihat dari struktur pembangun seperti tema, cerita, karakter tokoh, plot, setting, suspense, dan surprise, yang selalu tertib serta tertata dengan rapi.
Demikian pula dengan beberapa ciri khusus yang dianggap sebagai bagian tetap dari sebuah cerita pendek secara umum dalam konsep konvensional. Di antaranya adalah:
Memiliki ciri utama singkat, padat, padu, intensif, dan efektif.
Tidak lepas dari unsur pokok seperti tokoh (pelaku) utama, latar, plot, adegan, dan gerak.
Bergantung pada satu situasi, satu emosi, impresi tunggal, serta kebulatan efek.
Menggunakan bahasa yang tajam, menarik, sugestif, dan dipilih secara selektif.
Mengandung interpretasi konsepsi pengarang terhadap kehidupan, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Jalan cerita harus menggugah dan menarik perasaan serta pikiran pembaca.
Alur cerita dikuasai oleh satu insiden sebagai topik utama, serta memiliki efek atau meninggalkan kesan tertentu dalam pikiran pembaca.
Berisi detail-detail yang dipilih dengan sengaja oleh pengarang, dan dapat menimbulkan pertanyaan-pertanyaan dalam pikiran pembaca.
Secara fisik; jumlah kata yang terdapat dalam cerita pendek biasanya di bawah 10.000 kata, tidak boleh lebih dari 10.000 kata (kira-kira 33 halaman kuarto spasi rangkap). (Tarigan, 1984: 177-178).
Lalu bagaimana dengan Cerita Pendek Indonesia Kontemporer? Secara bentuk fisik, cerita pendek jenis kontemporer ini tidaklah berbeda dari cerita pendek pada umumnya. Tetapi dalam masalah isi cerita, dengan menilik adanya kata kontemporer (contemporery) yang dalam The Contemporery English-Indonesian Dictionary berarti; 1) sewaktu, sezaman, semasa; 2) masa kini, kontemporer; 3) modern; (Peter Salim, 1991: 398), maka bisa dipastikan akan ada perbedaan yang signifikan dengan cerpen pada umumnya.
Cerita pendek kontemporer mulai berkembang pada sekitar tahun 1970-an, bersamaan dengan menggemanya gaung Sastra Indonesia Kontemporer. Di mana pada masa itu kreatifitas tanpa batas yang mengiringi langkah berbagai genre sastra, turut juga diusung oleh para cerpenis dengan melakukan beragam inovasi melalui kreatifitas penciptaan cerita pendek. Sehingga dengan sendirinya, tradisi konvensional yang telah menjadi konsep dalam cerita pendek sebelumnya, telah ditinggalkan dan tidak lagi menjadi ciri atau ketetapan.
Definisi sederhana cerita pendek kontemporer–yang juga disebut sebagai cerita pendek masa kini, modern, mutakhir, dan inkonvensional–adalah; cerita pendek yang struktur ceritanya menyimpang atau bahkan bertentangan dengan konvensi yang ada. (Sarwadi, dalam Jabrohim, (Ed), 1994: 166). Sementara untuk cerita pendek Indonesia kontemporer, Rosidi dalam Laut Biru Langit Biru: Bunga Rampai Sastra Indonesia Mutakhir menulis; cerita pendek Indonesia kontemporer adalah cerita-cerita pendek yang mengabaikan alur cerita, logika, bahkan tema dan menghanyutkan diri kepada gaya yang menyebabkan pembaca terpukau untuk membacanya sampai habis–tak peduli apakah kisahnya sendiri masuk akal atau tidak. Batas antara kenyataan dan impian tidak jelas lagi, dan cerita menjadi rentetan imaji yang tempel-menempel–bukan sambung-menyambung–maka kelihatannya semacam mozaik. (1977: 10).
Kesan individualisme, pesimisme, skeptisme, hingga anarkisme, adalah hal-hal yang lumrah dan bahkan identik dengan cerita pendek Indonesia kontemporer. Karena memang perjalanannya berada dalam tataran inovasi dan kreatifitas tanpa batas, baik dari segi tema, pemilihan tokoh, alur cerita, gaya pengucapan, maupun unsur lainnya. Jadi tidak mengherankan jika cerita pendek Indonesia kontemporer kerap menyajikan kisah kehidupan yang pseudo-real, hyper-real, atau asurd. Dengan kata lain, cerita pendek jenis ini adalah hasil proses kreatif seorang pengarang yang bebas-lepas, tanpa ada lagi batasan nilai-nilai tradisi-konvensi. Sebagai contoh karya yang sering disebut sebagai pelopor cerita pendek Indonesia kontemporer adalah cerita-cerita pendek karangan Putu Wijaya dan Umar Kayam.
Jika sebelumnya telah dituliskan ciri khusus cerita pendek secara umum dengan konsep konvensional, maka berikut kita akan menyimak beberapa ciri khusus cerita pendek Indonesia kontemporer yang disimpulkan dari berbagai sumber. Adapun ciri dimaksud antara lain:
Bentuk penyajiannya kadang tidak lazim dan berbeda dari cerita pendek pada umumnya. Dalam hal ini jauh dari tataran konvensional, sehingga disebut juga cerita pendek inkonvensional.
Memiliki ciri anti logika, dalam arti kadang menyalahi dasar logika manusia pada umumnya. Apa yang menjadi isi cerita jauh dari kenyataan hidup yang sebenarnya.
Sering mengabaikan plot dan alur cerita. Maksudnya sama sekali tidak terikat pada pola urutan konvensional; pembukaan – klimaks – antiklimaks – penutup. Melainkan lebih bebas, bisa berbentuk zigzag, saling silang, dan sebagainya.
Bersifat serba aneh atau absurd–identik dengan absurdisme. Karena krakteristik seperti alur dan peristiwa kadang tidak jelas, tidak menentu, bahkan tidak rasional.
Anti tokoh, atau tidak mengindahkan masalah jelas atau tidaknya tokoh-tokoh di dalamnya. Tokoh yang ada dalam cerita pun lahir dari imajiner (pengimajian), khayalan, dan sebagainya.
Khusus dalam tema realitas kehidupan, selalu bersifat kompleks dan terasing. Melukiskan detail, insiden dan situasi secara multi (tidak fokus pada satu emosi dan impresi), serta menimbulkan efek dan kesan yang majemuk.
Demikian esai selayang pandang tentang cerita pendek Indonesia kontemporer sebagai bahan diskusi bagi semua. Sangat diharapkan agar apa yang tertulis dalam esai sederhana ini dapat membawa sedikit manfaat serta memberi inspirasi untuk terus berkarya, berinteraksi dan berbagi. Kepada seluruh yang membaca–khususnya para penulis, pembaca, dan pemerhati cerita pendek–jika kiranya mendapati hal-hal yang tidak sejalan, atau barangkali memiliki pandangan, anggapan, pun tanggapan terkait esai ini, silakan memberikan masukannya.
Yogyakarta, Oktober 2011
Salam Bahasa, Sastra dan Budaya!
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar