Rabu, 09 November 2011

LAHIR KEMBALI SETELAH ‘MATI’ DI BALIK JERUJI

Leila S.Chudori
http://majalah.tempointeraktif.com/

INI adalah sebuah suara dari “sebelah sana”. Setelah 32 tahun “mereka”— karena Orde Baru memaksa kita untuk membelah manusia menjadi “kita” dan “mereka”—dibungkam suaranya dan “dibunuh” kehidupannya, mereka “lahir” kembali melalui sebuah suara: buku.

Merajut Harkat adalah cara Putu Oka Sunanta bertutur, sebelum dan sesudah ia keluar dari jeruji penjara. Dan Mawa, meski ini adalah sebuah karya fiksi, adalah sebuah alter-ego sang penulis. Karena itu, selain kisah dari balik jeruji dan penyiksaan yang tentu saja menarik karena dikisahkan oleh orang yang mengalaminya sendiri, novel ini memperlihatkan keunggulan penggambaran sebuah karakter yang kompleks dan rumit.

Bagaimana novel sepanjang 590 halaman menggali sosok seorang Mawa? Novel ini dibuka dengan adegan Mawa, sang tokoh utama, yang dikepung oleh rasa takut; suatu perasaan yang terus-menerus menyelimuti mereka yang merasa anggota PKI—dan anggota ormas-ormasnya—keluarga, teman, tetangga, kekasih, atau bahkan mereka yang cuma pernah bersimpati dan mampir sekali-dua kali di pertemuan-pertemuan itu.

Pada masa itu, seperti yang pernah diutarakan dalam karya Umar Kayam, Bawuk dan Musim Gugur di Connecticut, wilayah kelabu—the gray area—tak boleh eksis. Komunis atau bukan. Hitam atau putih. Ini memudahkan cara pencidukan. Lalu, siapakah Mawa? Dia mengaku terlibat dalam salah satu ormas (Lekra?), tetapi dia bukan PKI.

Seperti banyak korban lain, ia juga tak paham apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September itu. Ini ditunjukkan oleh Putu Oka dengan sikap kritis Mawa terhadap PKI: “Ketika selebaran pertama sampai di tangan Mawa, ia senang sekali membacanya. Isinya mengkritik pimpinan PKI yang sudah menyeleweng sehingga terjadi kesalahan prinsipiil.…”

Kritik Mawa lainnya adalah bahwa ia merasa betapa sibuknya para elite politik di atas memperebutkan posisi, sementara darah telah mengalir deras. “Rakyat telah dibantai di mana-mana, pimpinan malah bercongkrah memperebutkan takhta dan saling tuding dengan mengibaskan tanggung jawab dari bahunya sendiri. Aku heran dan simpatiku semakin susut,” ia berbisik kepada dirinya sendiri. (halaman 33)

Dengan demikian, PKI atau bukan, Lekra atau bukan, Mawa adalah sosok kelabu yang tidak dengan serta-merta bergumul dengan ideologi secara fanatik. Dia adalah seorang seniman yang selalu mempertanyakan sikap diri dan lingkungannya. Dia menolak untuk mengedarkan dan membuat sajak di buletin organisasinya. Dia tak ingin dipesan. “Aku tidak punya kesediaan bekerja seperti itu, apalagi menulis sajak. Aku kreator!” (halaman 38)

Bagian lain yang menegangkan adalah tema pengkhianatan yang senantiasa muncul dalam kisah-kisah dari balik tembok penjara. Siapa menunjuk siapa, siapa membisikkan siapa kemudian menjadi cara bertahan yang sungguh menyedihkan. Tetapi, apakah benar si A yang menunjuk si B? Siapakah yang bisa dikategorikan pengkhianat?

Novel ini, seperti juga novel Martin Aleida, menunjukkan betapa rumitnya untuk menyatakan definisi seorang pengkhianat. Para pengawal bisa saja tiba-tiba membawa tahanan ke rumah temannya dan dalam sekejap tahanan itu sudah diberi label pengkhianat. Dalam kasus Mawa, “tukang tik di kantor ormas”-nya dinyatakan sebagai “tukang tunjuk”.

Pertengkaran demi pertengkaran sesama tahanan yang terjadi beberapa kali—dan digambarkan dengan hidup—menunjukkan bahwa para anggota PKI atau simpatisannya itu juga tak bisa dikelompokkan sebagai satu kelompok yang homogen. Mereka juga terdiri dari satu garis spektrum luas yang memiliki pemikiran dan keinginan yang berbeda-beda.

Tokoh Budi adalah contoh anggota PKI yang setia kepada partai dan bercita-cita “melawan imperialis yang wakil-wakilnya ada di kamar pemeriksaan”, sementara Risno dianggap sebagai anggota partai yang cengeng karena dengan terbuka menyatakan kerinduannya kepada istrinya.

Tokoh Pak Listiono (Pak Uban) menyarankan Mawa untuk mencegah upaya bunuh diri salah seorang rekan pendiri gerakan PKI—sesudah dilarang—karena “mati dengan cara bunuh diri adalah mati yang tidak terhormat. Sedangkan di depan kita masih banyak jalan yang bisa ditempuh, yakni dengan melarikan diri, jika ditembak itu lebih patriotik daripada bunuh diri”.

Selain itu, penyiksaan fisik, di mata Pak Uban, “akan memberikan arti politis bagi partai dan kader-kader yang meneruskan perjuangan. Orang akan memuji pengorbanannya dan sejarah akan mencatatnya sebagai pahlawan gerakan komunis Indonesia”. Mendengar ungkapan “sesepuh”-nya itu, reaksi Mawa: merinding dan bertanya: “inikah seorang komunis yang sebenarnya?”

Maka, sangat jelas, Mawa adalah seorang pribadi yang jauh lebih merdeka dan kritis terhadap fanatisme ideologis yang tengah berkecamauk pada masa itu. Meski ia menentang kapitalisme dan imperialisme—sebagai orang yang memang dekat dengan kemiskinan—Mawa tak seiring dan sejalan dengan ekstremitas yang dianut Pak Uban, sebuah sikap yang kemudian mengorbankan kemanusiaan demi kepentingan sebuah partai.

Karena itu, tak mengherankan bahwa Mawa, seperti manusia biasa lainnya, juga memiliki rasa takut yang mendalam. Dia tak berpretensi menjadi perkasa saat dikejar-kejar dan dibuntuti sebelum masa penangkapannya. Adalah Nio, sang kekasih, yang justru mengirim rasa aman dan keberanian kepada Mawa.

Di dalam penjara yang gelap itu, dengan menggunakan teknik kilas balik, Putu Oka menampilkan lukisan sebuah pertemuan yang mengharukan antara sepasang kekasih itu. Nio menekankan bahwa sesungguhnya rasa takut diciptakan oleh diri sendiri.

“Bukankah kita sendiri yang membikin ketakutan itu? Saya takut akan gerakan rasialis. Saya takut kepada gambaran yang saya bikin sendiri, walau itu mungkin saja terjadi. Tetapi, sekarang saya tidak takut lagi. Kalaupun terjadi rasialisme dan itu menyerang saya, tidak ada jalan lain kecuali melawan. Melawan atau tidak melawan akibatnya sama.”

Bagian lain yang menyentuh adalah bagaimana sebuah keluarga bisa terbelah oleh ideologi yang berbeda. Seperti cerita pendek Bawuk karya umar Kayam, ketika Bawuk merasa ditempatkan di seberang versus kakak-kakaknya karena perkawinannya dengan Hasan yang PKI itu, Mawa juga merasa dirinya pada masa kecil terpaksa “pecah” dengan kakaknya akibat perbedaan sikap. Sang kakak menentang Pemuda Rakyat, yang seenaknya menanami tanah milik orang, sementara Mawa menolak untuk bergabung dengan kelompok mana pun.

“Apakah kakakku ikut juga mengayunkan kelewang memenggal saudara-saudaraku yang berseberangan itu?”(halaman 523) demikian pikir Mawa. Bagaimanapun, membaca kisah penderitaan sepanjang 590 halaman itu tentu saja membutuhkan kesabaran dan konsentrasi yang luar biasa penuh karena, seperti diutarakan Melani Budianta dalam kata pengantar, narasi novel ini tidak terjalin dalam satu kesatuan mood yang utuh.

“Terkadang narasi-narasi diolah dengan puitis dan reflektif, terkadang romantis sendu, sedangkan bagian-bagian lain yang terpanjang merupakan rentetan laporan monoton tentang suatu hidup yang keras, bau kencing dan berak yang menyengat, dan penuh sumpah-serapah.”

Seperti teknik penulisan novel-novel Inggris abad ke-19, novel Merajut Harkat penuh dengan repetisi adegan-adegan interogasi dan penyiksaan, yang memakan berpuluh-puluh halaman. Terkadang teknik semacam itu efektif, seperti juga pengulangan adegan penyiksaan para buruh oleh tuannya dalam novel-novel Charles Dickens, tetapi lebih sering menjadi monoton bagai dipaksa mengendarai kereta api tua yang berderak lamban.

Dari kebrutalan demi kebrutalan yang diolah, misalnya deskripsi penyimpanan tawanan perempuan dan istri anggota BC (Biro Chusus) yang diperkosa enam petugas, yang tentu saja menghunjam adalah gambaran bahwa mungkin hanya penulis yang pernah mengalami pengalaman hitam semacam ini yang mampu merepresentasikan sebuah kejujuran seperti itu, terlepas dari daya olah estetikanya yang menjadi periferal.

Putu mengakhiri novelnya dengan sebuah penyelesaian yang terbuka. Pada akhirnya, Mawa mampu mencapai suatu tahap pemikiran ketika kebebasan bukanlah kebebasan fisik semata.

“Jiwanya masuk ke dalam raga orang-orang di pasar. Ia melangkah sendiri ke tepi pasar, berjumpa tukang becak, dan jiwanya merasuk ke tubuh tukang becak. Ia sendiri sudah tidak bisa lagi mengenali dirinya. Tubuhnya berjalan dengan pasti dan bergegas, tapi rohnya sudah lepas melayang menyelinap di tubuh orang-orang yang dilihatnya. Ia lenyap tapi hidup.…

Ia memanjat langit, menunggang mega, diembus angin. “Aku membebaskan kemanusiaanku.” Putu membuat sebuah tekanan yang penting. Tokoh Mawa lahir kembali sebagai seorang manusia yang bebas jiwa dan raga, meski ada jeruji yang mencengkeramnya.

30 Agustus 1999

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati