Leila S.Chudori
http://majalah.tempointeraktif.com/
INI adalah sebuah suara dari “sebelah sana”. Setelah 32 tahun “mereka”— karena Orde Baru memaksa kita untuk membelah manusia menjadi “kita” dan “mereka”—dibungkam suaranya dan “dibunuh” kehidupannya, mereka “lahir” kembali melalui sebuah suara: buku.
Merajut Harkat adalah cara Putu Oka Sunanta bertutur, sebelum dan sesudah ia keluar dari jeruji penjara. Dan Mawa, meski ini adalah sebuah karya fiksi, adalah sebuah alter-ego sang penulis. Karena itu, selain kisah dari balik jeruji dan penyiksaan yang tentu saja menarik karena dikisahkan oleh orang yang mengalaminya sendiri, novel ini memperlihatkan keunggulan penggambaran sebuah karakter yang kompleks dan rumit.
Bagaimana novel sepanjang 590 halaman menggali sosok seorang Mawa? Novel ini dibuka dengan adegan Mawa, sang tokoh utama, yang dikepung oleh rasa takut; suatu perasaan yang terus-menerus menyelimuti mereka yang merasa anggota PKI—dan anggota ormas-ormasnya—keluarga, teman, tetangga, kekasih, atau bahkan mereka yang cuma pernah bersimpati dan mampir sekali-dua kali di pertemuan-pertemuan itu.
Pada masa itu, seperti yang pernah diutarakan dalam karya Umar Kayam, Bawuk dan Musim Gugur di Connecticut, wilayah kelabu—the gray area—tak boleh eksis. Komunis atau bukan. Hitam atau putih. Ini memudahkan cara pencidukan. Lalu, siapakah Mawa? Dia mengaku terlibat dalam salah satu ormas (Lekra?), tetapi dia bukan PKI.
Seperti banyak korban lain, ia juga tak paham apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September itu. Ini ditunjukkan oleh Putu Oka dengan sikap kritis Mawa terhadap PKI: “Ketika selebaran pertama sampai di tangan Mawa, ia senang sekali membacanya. Isinya mengkritik pimpinan PKI yang sudah menyeleweng sehingga terjadi kesalahan prinsipiil.…”
Kritik Mawa lainnya adalah bahwa ia merasa betapa sibuknya para elite politik di atas memperebutkan posisi, sementara darah telah mengalir deras. “Rakyat telah dibantai di mana-mana, pimpinan malah bercongkrah memperebutkan takhta dan saling tuding dengan mengibaskan tanggung jawab dari bahunya sendiri. Aku heran dan simpatiku semakin susut,” ia berbisik kepada dirinya sendiri. (halaman 33)
Dengan demikian, PKI atau bukan, Lekra atau bukan, Mawa adalah sosok kelabu yang tidak dengan serta-merta bergumul dengan ideologi secara fanatik. Dia adalah seorang seniman yang selalu mempertanyakan sikap diri dan lingkungannya. Dia menolak untuk mengedarkan dan membuat sajak di buletin organisasinya. Dia tak ingin dipesan. “Aku tidak punya kesediaan bekerja seperti itu, apalagi menulis sajak. Aku kreator!” (halaman 38)
Bagian lain yang menegangkan adalah tema pengkhianatan yang senantiasa muncul dalam kisah-kisah dari balik tembok penjara. Siapa menunjuk siapa, siapa membisikkan siapa kemudian menjadi cara bertahan yang sungguh menyedihkan. Tetapi, apakah benar si A yang menunjuk si B? Siapakah yang bisa dikategorikan pengkhianat?
Novel ini, seperti juga novel Martin Aleida, menunjukkan betapa rumitnya untuk menyatakan definisi seorang pengkhianat. Para pengawal bisa saja tiba-tiba membawa tahanan ke rumah temannya dan dalam sekejap tahanan itu sudah diberi label pengkhianat. Dalam kasus Mawa, “tukang tik di kantor ormas”-nya dinyatakan sebagai “tukang tunjuk”.
Pertengkaran demi pertengkaran sesama tahanan yang terjadi beberapa kali—dan digambarkan dengan hidup—menunjukkan bahwa para anggota PKI atau simpatisannya itu juga tak bisa dikelompokkan sebagai satu kelompok yang homogen. Mereka juga terdiri dari satu garis spektrum luas yang memiliki pemikiran dan keinginan yang berbeda-beda.
Tokoh Budi adalah contoh anggota PKI yang setia kepada partai dan bercita-cita “melawan imperialis yang wakil-wakilnya ada di kamar pemeriksaan”, sementara Risno dianggap sebagai anggota partai yang cengeng karena dengan terbuka menyatakan kerinduannya kepada istrinya.
Tokoh Pak Listiono (Pak Uban) menyarankan Mawa untuk mencegah upaya bunuh diri salah seorang rekan pendiri gerakan PKI—sesudah dilarang—karena “mati dengan cara bunuh diri adalah mati yang tidak terhormat. Sedangkan di depan kita masih banyak jalan yang bisa ditempuh, yakni dengan melarikan diri, jika ditembak itu lebih patriotik daripada bunuh diri”.
Selain itu, penyiksaan fisik, di mata Pak Uban, “akan memberikan arti politis bagi partai dan kader-kader yang meneruskan perjuangan. Orang akan memuji pengorbanannya dan sejarah akan mencatatnya sebagai pahlawan gerakan komunis Indonesia”. Mendengar ungkapan “sesepuh”-nya itu, reaksi Mawa: merinding dan bertanya: “inikah seorang komunis yang sebenarnya?”
Maka, sangat jelas, Mawa adalah seorang pribadi yang jauh lebih merdeka dan kritis terhadap fanatisme ideologis yang tengah berkecamauk pada masa itu. Meski ia menentang kapitalisme dan imperialisme—sebagai orang yang memang dekat dengan kemiskinan—Mawa tak seiring dan sejalan dengan ekstremitas yang dianut Pak Uban, sebuah sikap yang kemudian mengorbankan kemanusiaan demi kepentingan sebuah partai.
Karena itu, tak mengherankan bahwa Mawa, seperti manusia biasa lainnya, juga memiliki rasa takut yang mendalam. Dia tak berpretensi menjadi perkasa saat dikejar-kejar dan dibuntuti sebelum masa penangkapannya. Adalah Nio, sang kekasih, yang justru mengirim rasa aman dan keberanian kepada Mawa.
Di dalam penjara yang gelap itu, dengan menggunakan teknik kilas balik, Putu Oka menampilkan lukisan sebuah pertemuan yang mengharukan antara sepasang kekasih itu. Nio menekankan bahwa sesungguhnya rasa takut diciptakan oleh diri sendiri.
“Bukankah kita sendiri yang membikin ketakutan itu? Saya takut akan gerakan rasialis. Saya takut kepada gambaran yang saya bikin sendiri, walau itu mungkin saja terjadi. Tetapi, sekarang saya tidak takut lagi. Kalaupun terjadi rasialisme dan itu menyerang saya, tidak ada jalan lain kecuali melawan. Melawan atau tidak melawan akibatnya sama.”
Bagian lain yang menyentuh adalah bagaimana sebuah keluarga bisa terbelah oleh ideologi yang berbeda. Seperti cerita pendek Bawuk karya umar Kayam, ketika Bawuk merasa ditempatkan di seberang versus kakak-kakaknya karena perkawinannya dengan Hasan yang PKI itu, Mawa juga merasa dirinya pada masa kecil terpaksa “pecah” dengan kakaknya akibat perbedaan sikap. Sang kakak menentang Pemuda Rakyat, yang seenaknya menanami tanah milik orang, sementara Mawa menolak untuk bergabung dengan kelompok mana pun.
“Apakah kakakku ikut juga mengayunkan kelewang memenggal saudara-saudaraku yang berseberangan itu?”(halaman 523) demikian pikir Mawa. Bagaimanapun, membaca kisah penderitaan sepanjang 590 halaman itu tentu saja membutuhkan kesabaran dan konsentrasi yang luar biasa penuh karena, seperti diutarakan Melani Budianta dalam kata pengantar, narasi novel ini tidak terjalin dalam satu kesatuan mood yang utuh.
“Terkadang narasi-narasi diolah dengan puitis dan reflektif, terkadang romantis sendu, sedangkan bagian-bagian lain yang terpanjang merupakan rentetan laporan monoton tentang suatu hidup yang keras, bau kencing dan berak yang menyengat, dan penuh sumpah-serapah.”
Seperti teknik penulisan novel-novel Inggris abad ke-19, novel Merajut Harkat penuh dengan repetisi adegan-adegan interogasi dan penyiksaan, yang memakan berpuluh-puluh halaman. Terkadang teknik semacam itu efektif, seperti juga pengulangan adegan penyiksaan para buruh oleh tuannya dalam novel-novel Charles Dickens, tetapi lebih sering menjadi monoton bagai dipaksa mengendarai kereta api tua yang berderak lamban.
Dari kebrutalan demi kebrutalan yang diolah, misalnya deskripsi penyimpanan tawanan perempuan dan istri anggota BC (Biro Chusus) yang diperkosa enam petugas, yang tentu saja menghunjam adalah gambaran bahwa mungkin hanya penulis yang pernah mengalami pengalaman hitam semacam ini yang mampu merepresentasikan sebuah kejujuran seperti itu, terlepas dari daya olah estetikanya yang menjadi periferal.
Putu mengakhiri novelnya dengan sebuah penyelesaian yang terbuka. Pada akhirnya, Mawa mampu mencapai suatu tahap pemikiran ketika kebebasan bukanlah kebebasan fisik semata.
“Jiwanya masuk ke dalam raga orang-orang di pasar. Ia melangkah sendiri ke tepi pasar, berjumpa tukang becak, dan jiwanya merasuk ke tubuh tukang becak. Ia sendiri sudah tidak bisa lagi mengenali dirinya. Tubuhnya berjalan dengan pasti dan bergegas, tapi rohnya sudah lepas melayang menyelinap di tubuh orang-orang yang dilihatnya. Ia lenyap tapi hidup.…
Ia memanjat langit, menunggang mega, diembus angin. “Aku membebaskan kemanusiaanku.” Putu membuat sebuah tekanan yang penting. Tokoh Mawa lahir kembali sebagai seorang manusia yang bebas jiwa dan raga, meski ada jeruji yang mencengkeramnya.
30 Agustus 1999
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar