Rabu, 09 November 2011

Membaca Katarsis karya “HADI NAPSTER”

Epilog “KATARSIS” Karya Hadi Napster
Imron Tohari
http://sastra-indonesia.com/

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)

Penciptaan karya sastra puisi,sajak,syair, merupakan hasil dari suatu proses pengamatan dan atau bahkan pengalaman pribadi penulisnya yang selanjutnya memantik simpul-simpul kejiwaan/ pyscologis dan atau menyentuh sisi kerohanian pengkarya cipta (Baca:Penyair) yang disampaikan dalam bentuk lisan dan atau tulis, dengan suatu tujuan memberi kebaharuan piker pada dirinya pribadi selaku pemilik fisik karya, serta pada penghayat/penikmat baca selaku pemilik hak atas makna yang ditangkap dari symbol-symbol bahasa yang tersirat pun tersurat pada tubuh karya secara utuh dalam menyikapi serta memandang hakikat kehidupan di masa depan.

Penulis puisi/sajak (untuk selanjutnya akan saya sebut penyair), ketika menulis sebuah karya atas dasar pengalaman pribadi dan atau pengamatan terhadap kondisi sekelilingnya yang didasari dengan penghayatan yang benar-benar keluar dari bilik hati terdalam, akan melahirkan suatu karya puisi yang bernas (baca: berjiwa) dan mampu menghisap pembaca atau penghayat untuk masuk kedalam ruh makna puisi yang dibacanya, yang selanjutnya akan menarik piker kekinian penghayat dalam memaknai hakikat kehidupan yang memancarkan sinergis positip.

Memang kita tidak pernah tahu apakah puisi yang diciptakan penulisnya hanya merupakan olahan imaji serta hanya berlandaskan teknik kemampuan menyusun bahasa indah sahaja, atau apakah puisi tersebut dicipta berdasarkan perpaduan imaji piker pencipta karya yang dilandasi juga nilai-nilai hirarki kejujuran rasa piker pun ketulusan hati dalam melahir karya tersebut. Tapi biasanya karya puisi yang hanya ditulis berdasarkan imaji dan mengandalkan teknik keindahan bahasa saja, akan kering makna. Dalam pengertian tidak akan meninggalkan kesan yang mendalam pada penikmat baca.

Dan membaca beberapa puisi Hadi Napster yang tergabung dalam kumpulan buku puisi bertajuk “KATARSIS”, saya selaku penghayat langsung dihadapkan pada dunia renung spiritual transcendental, baik secara horizontal (manusia dengan manusia, manusia dengan alam berserta segala elemen penyertanya), maupun secara vertical (hubungan manusia dengan Tuhannya beserta segala misteri yangmenyelingkupinya). Bahkan pada beberapa puisinya, imaji rasa saya berseakan disedot pada suatu pusaran duka yang teramat sangat atas sesuatu hal ketidaksempurnaan kehidupan yang tengah dialaminya, namun pada kondisi tertentu, tiba-tiba imaji rasa saya berseakan ditarik keluar untuk selanjutnya diajak masuk kedalam dunia renung yang maha dalam akan hakikat kehidupan yang sebenarnya. Dan hal tersebut saya rasakan pada puisinya yang berjudul “Hikayat Malam”, “ Puja”, “Singgasana Remang”, dan “Katarsis”.

Saya tukilkan dua puisi termaksud yang saya katakan di atas :

di atas kertas buram
kucipta dosa menyairmu diam-diam
tiada sendiri pernah dambakan malam padam
selayun bulan bahkan masih cumbui berang dendam
ke mana hilangmu karam?

ah, teruk nian mata kan pejam
sebab pilunya serupa jeram
mengubur hamba ke genggam sekam

namun tetap jiwa semayam
padaNya jua segala paham

(Petikan bait 1,3,4 puisi “Hikayat Malam”)

Pagi masih buta
Sajakku telah bergelut dendang surga
Mencari mantra di antara sembab luka
Tak ada !

Lalu beringsut ke candu zina
Ratapi dusta dan nikmat dunia
Oh, betapa teruk dahaga

Pagi masih buta
Kekasihku mengirim sepatah kata
Rindu membuncah dara
Cinta nyala !

(Puisi lengkap “P U J A”)

Bukan itu saja, bahkan pada beberapa puisinya yang bertemakan tanah air, saya merasakan detak duka (baca:keprihatinan) Hadi Napster pada kondisi kekinian negeri tercinta di mana dia berpijak, dan agar olah rasa pikernya bisa diserap penikmat baca dengan mudah, Hadi Napster menuangkannya dengan bahasa lugas nan membumi namun tetap menjaga estetika bahasa, seperti pada puisinya yang berjudu BALADA WNI, IKHTISAR SUJUD HAMBA, KASIDAH POJOK NURANI.

Dalam meneriakkan kegalauan rasa akan kondisi Negeri tercinta ini, Hadi Napster tidak lantas mengumbar emosi yang meledak-ledak dalam penyampaian kata, seperti yang sering kita temui pada karya-karya puisi dengan tema sejenis yang dituang semodel puisi pamphlet, Namun justru Hadi Napster di sini seakan ingin menunjukan kalau model tuang puisi pamphlet dengan tema tanah air bisa juga disampaikan dengan lembut dan indah dalam balutan rima, yang justru daya hisapan imaji rasa ke penghayat kian bunyi.

BALADA WNI

koarku dari kampung
seantero negeri kian linglung
tabur harap, hampar doa, kepada mendung
gaung proklamasi ranggas diterpa magrur beliung

janin-janin mati bingung !
sebab ibu mulai bosan mengandung

apa kabar, Pancasila?
katanya kau tak sedang baik-baik saja
terpingit tirau reot jambar bangsaku nan kaya
tangis pecah buncah, rakyat gelisah orion entah ke mana

jawab tuan ; besok saja !
malam ini jadwal nonton chaiyya-chaiyya

para suami lesu murung
mengeja kasih Tuhan yang agung
sang istri pasrah membuang diri ke semenanjung
di pengap panti asuhan, anaknya asyik belajar berhitung

sampan karam, patah pula dayung
padahal kami warga tanah pertiwi adiluhung

maladaptasi racuni nusantara
lelah mahasiswa teriak membabi buta
guru-guru honor tercekam wabah insomnia
pupus keadilan terlindas titah parlemen sarat amnesia

jutaan luka duka, tetap satu cinta
benyanyi kita bersama : “hiduplah Indonesia raya…”

Bandung, 14 Mei 2011

IKHTISAR SUJUD HAMBA

Perseteruan pagi
Mimpi-mimpi ambruk menyerta gravitasi
Kian senjang jejal doa dan wangi bangkai
Lantas aleksia rasuki otak-otak eselon negeri
Pertanda adiwangsa mati suri?
O, makhluk bumi
Maulaya, hamba, ahlulkubur, dengki!
Mengapa kalian tidur di ibtida darma duniawi?

Telah habis seloka pujangga
Afwah moyang terkapar ratapi gugurnya kembang akasia
Pancaroba menggila, jangkiti nadi mayapada
Remukkan setiap sembada
Menista akmalNya laksana aedes menguras darah manusia
Sementara roh semakin jauh dari nafas raga
Bergelantung di selayun ladang janji sarat dusta
Harapkan bangsa masih menyimpan sedikit skenario melodrama

Puisi-puisi terlalap api
Sibuk berdiksi tentang cinta, pun ajnas merah birahi
Mujtamak diabai, ikram ahadiatNya terludahi
Sebab kebanyakan akademisi asyik bermain filosofi
Lalu bagaimana akhwan kami?
Adakah mereka sadar pada ketamakan yang terjejali?
Atau kelak tercipta lagi dagelan baru di sini?
Ah, andaikata taibah ahsan sedikit saja menghampiri
Tentulah nurani tak akan terkubur oleh ambisi

Pertikaian senja
Malam-malam lupa rahim ibu seketika
Nisan ayah melarung duka saksikan tawa warnai zina
Pun bilamana jiwa ronta, apalah daya?
Zakiah surga tinggal cerita
Seminau kitab terpanggang bara di alam baka
Sakral apa masih pantas dipuja?

Yogyakarta, 26 Maret 2011

KASIDAH POJOK NURANI

pergilah kepada bara
taburkan abu nyanyi sunyi
bila mendung rintih kekasih
sedikit rindu barangkali

datanglah kepada malam
jadikan gelap rindang terang
jika mimpi pecah pepatah
tangisan negeri bisa jadi

pergilah kepada luka
jadikan darah rampai rangkai
ketika adil berpihak letak
kenanglah ibu sesekali

datanglah kepada nisan
lantunkan doa degup letup
kala cinta mewujud sujud
di hatiNya kita sembunyi

Jakarta, 21 Februari 2011

Mencermati isi dan judul buku “Katarsis”, yang berdasarkan KBBI bermakna setara dengan penyucian diri yang membawa pembaruan rohani dan pelepasan dari ketegangan; cara pengobatan orang yang berpenyakit saraf dengan membiarkannya menuangkan segala isi hatinya dengan bebas; kelegaan emosional setelah mengalami ketegangan dan atau pertikaian batin akibat suatu lakuan dramatis, tampak sekali pada karya-karyanya yang terangkum pada buku kumpulan puisi bertajuk “KATARSIS”, Hadi Napster melalui bahasa-bahasa kias ingin menyampaikan pada penikmat baca bahwasannya dalam setiap kehidupan, baik itu kehidupan yang berkaitan dengan hubungan antar kekasih, kehidupan bernegara, dan atau bahkan kehidupan pribadi individu yang tentunya tidak luput dari segala coba duka nestapa, namun tidaklah patut untuk kita terus meratapi ketidak sempurnaan kehidupan ini, karena justru dari adanya ketidak sempurnaan itu banyak hal yang bisa kita perbuat menjadi baik bagi diri secara pribadi maupun bagi sesama secara keseluruhan dari hakikat hidup yang sebenar-benarnya, seperti yang dia tulis pada bait awal puisinya yang judulnya sekaligus dijadikan tajuk kumpulan antologi puisi tunggalnya ini, seperti yang saya petikkan di bawah ini :

ketika padaku fukara bertanya
di mana nila sejuk telaga?
lelehkan sejenak lara

(Bait pertama dari puisi berjudul “KATARSIS”)

Dan sontak bait pertama puisi ini mengingatkan saya pada makna yang terkandung dalam salah satu puisi penyair sufi Jalaluddin Rumi yang bertajuk “HIKMAH KETIDAKSEMPURNAAN ; Jalaluddin Rumi : Ajaran Dan Pengalaman Sufi, Reynold A. Nicholson, Penerbit Pustaka Firdaus,1993”

Ketidaksempurnaan dan kerusakan, yang terlihat di mana pun,
semuanya adalah cerminan keindahan.
Pengatur tulang, di manakah dia dapat mencoba ketrampilannya
kalau bukan pada persendian yang patah? Penjahit di mana?
Tentunya bukan pada busana siap yang indah potongannya.
Bila tiada tembaga kasar ditempat peleburan,
bagaimana ahli kimia dapat mempertunjukan keahliannya? (Jalaluddin Rumi)

Dan bukan tidak ada alasan bila saya sertakan diawal tulisan ini satu bait karya penyair sufi Jalaluddin Rumi, tersebab Semakin saya masuk ke dalam alam kontemplatif karya puisi Hadi Napster yang tergabung dalam “ Katarsis, saya selaku penikmat baca tanpa sadar dihisap dalam dunia renung yang begitu hening, dan dalam keheningan imaji rasa saya tersebut, saya berseakan bersentuhan dengan denyut kegelisahan penyair akan sesuatu hal yang dirasa menjadi beban berat untuk ianya (baca: aku lirik) dalam menangung ketidak sempurnaan yang ada pada diri aku lirik tersebut, dan tiba-tiba pada keadaan lain kesadaran aku lirik seakan membetot imaji rasa saya selaku penikmat baca masuk kedalam suatu pusaran yang begitu cepat dan membentuk suatu lorong yang kian mengerucut ke dalam dunia renung akan hakikat kebesaran Tuhan dan kita sebagai umatNya sudah semestinya tabah serta tawakal menjalani lelaku hidup seperti yang telah digariskan.

Dalam keadaan yang serba gelisah akan apa yang tengah dihadapinya sebagai cobaan Allah SWT, Hadi Napster yang tiga tahun lalu telah divonis dokter mengidap penyakit kangker otak (saya mewartakan penyakit yang diindap penulis ini bukan bermaksud untuk mengharubirukan keadaan yang bersangkutan, namun semata saya menuliskan hal tersebut di sini, dengan suatu harapan bisa dipetik nilai-nilai semangat penulis yang tidak menyerah oleh keadaan atas kesehatannya selama ini untuk berkarya cipta, sekaligus untuk pencarian jalan kebenaran menuju kedekatan cinta pada Allah SWT).

Sebagaimana yang dikatakan oleh Teeuw : “Sastra adalah jalan keempat untuk mencari kebenaran, setelah agama, filsafat, dan ilmu pengetahuan.” , melalui gurat karyanya ini Hadi Napster ingin berbagi untuk jiwanya yang letih dan juga bagi pembaca yang mungkin menghadapi cobaan yang sama seperti halnya dirinya, agar tetap tabah serta tawakal, tetap yakin bahwa ketidak sempurnaan yang ada pada diri tidak menutup jalan menuju kebaikan bagi sesama dan juga kebaikan hakiki di jalan Tuhan.

Salam lifespirit!
Imron Tohari _ lifespirit, 17 Juni 2011
Dijumput dari: http://sajakbebas.blogspot.com/2011/08/epilog-katarsis-karya-hadi-napster.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati