Senin, 03 Oktober 2011

Demitologisasi Sastra Mantra Sutardji

Hasnan Bachtiar
http://kataitukata.wordpress.com/

Dewasa ini telah mengemuka suatu mitos sastra (Barthes). Para kritikus, seolah bahu-membahu dalam konsensus imajiner, mengimani suatu mazhab yang mutakhir. Sastrawan “mantra” menjadi imam bagi mayoritas umat: Sutardji Calzoum Bachri (SCB).

Bukan hal yang mengherankan, penisbatan ini tertuju kepada penyair masyhur itu. Pujangga yang hebat, memiliki puisi-puisi yang sangat baik dan sungguh sulit mencari cela pada anak-anak rohani yang telah tercipta dengan kualitas berkelas, kecuali oleh ketajaman kritikus tulen yang bernyali. Dengan menaruh segala rasa hormat, bahwa tulisan-tulisannya yang hadir dalam kesusastraan Indonesia, barangkali setara dengan pelbagai khazanah tafsir kitab suci yang diagungkan.

Kehebatan SCB terdengar menyeruak di tengah pujangga, kritikus, akademisi, hingga penikmat sastra. Bahkan sangat familier, sehingga begitu dekat dengan pembacanya.

Di tengah gegap gempita bersinarnya sosok SCB, tidak jarang beberapa kalangan merelakan jiwanya, untuk menganut segala alur pikir dan gaya sastra yang digemarinya. Ada beberapa yang berlebihan. Tanpa sengaja, SCB menempati posisi yang tinggi dalam wacana sastra, bukan sekedar presiden penyair, tapi sebagai nabi baru sastra.

Jelas tidak salah mengangkatnya menjadi nabi. Nabi tempat berkeluh kesah, pengayom dan tauladan bagi umat sastra, serta merangkul seluruh golongan. Yang paling kentara di permukaan dan nampak mengandung unsur kenabian adalah “mantra”.

Mantra adalah kata yang hanya kata. Mampu mempesona para pembaca, meski tanpa harus memiliki makna. Tatkala kata terlantun, banyak orang merasakan bahwa hal itulah tempat untuk berserah diri, bernuansa sakral nan agung. Dalam bahasa psikologi, boleh juga disebut sebagai tempat bersandar di tengah ketidakmampuan, untuk menghindari istilah neurosis.

Kendati demikian, perlu juga dikoreksi di sini bahwa, di antara umat ada yang memberi jabatan lebih tinggi dari sekedar nabi. Mungkin terlalu tinggi. Karena itu, pengkultusan menjadi hal yang tak terhindarkan. Nasi sudah menjadi bubur, inilah bid’ah yang menggejala dan beberapa menampakkan diri dalam kehidupan susastra.

Mantra terlantun, kebebasan terhempaskan. Kemerdekaan sebagai manusia liar mendapat jaminan yang aman. Inilah puisi, kenikmatan, estetika dan kematian manusia. Segala kuasa adalah kata. Benarkah demikian? Inilah yang akan diuji.
***

Bukan tanpa alasan, wacana ini. Dalam filsafat kontemporer, keterkaitan psikoanalisis, semiologi dan hermeneutika, Michel Foucault menyebutkan adanya “kata yang bukan bahasa”. (Michel Foucault, “Nietzsche, Freud, Marx,” Nietzsche, Cahiers du Royaumont. Paris: Les Editions du Minuit, 1964: 183-4).

Menurut filsuf Prancis ini, psikoanalisis Freud menyadarkan kita akan ketidaksadaran. Psikoanalisis bekerja untuk menafsirkan tanda (pula kata), karena itu mutlak pembaca adalah hermeneut. Di samping itu, karena yang ditafsir adalah tanda, semiologi menjadi penting turut serta menyelami kedalaman kerumitan pembacaan alam bawah sadar ini. Betapapun hermeneut mencoba mengerti akan tanda-tanda, – baik itu yang bisa ditafsir, atau bahasa yang tidak mengatakan maksud yang sesungguhnya, ada pula tanda yang bukan bahasa – setiap penafsir terikat akan logosnya tersendiri (wawancara Michel Foucault dengan Alain Badiou, “Philosophie et psychologie,” Dossiers pédagogiques de la radio-télévision scolaire, 27 Februari 1965: 65-71).

Menunjuk kepada mantra, kata yang bukan bahasa ini, mutlak diciptakan dengan ketidaksadaran. Bagi penulisnya, tentu terstruktur logos – di alam ketidaksadaran – sebagai suatu konstruksi kemanusiaan. Namun bagi pembaca-pelantun, menjadi pengandaian sebagai kata ajaib, yang barangkali memang bebas akan beban-beban komunikatif. Dalam kondisi ekstase, sangat sulit untuk memutuskan bahwa pembaca terikat dengan logosnya. Sebaliknya, saat kondisi ketubuhan-kesadaran terjaga, logos menjadi struktur alamiah yang senantiasa digunakan, – sekali lagi – dalam ketidaksadaran. Orang bisa mengatakan bahwa, “ini benar-benar mantra” atau “tiada makna bagi mantra” atau “terserah kehendak pembaca bagi makna mantra”.

Pertama, secara terang, mantra yang ditulis seolah benar “mantra” terikat hukum pengetahuannya tersendiri (logos). Pengakuan dan pembenaran keajaiban mantra oleh pelantun atau pembaca juga terikat logos. Kedua, mantra adalah mantra seperti kata yang hanya kata dan bukan bahasa, terikat atas struktur logosnya. Ketiga, juga demikian dengan kebebasan berkehendak untuk memberi makna pada mantra, tentu saja harus dimaklumi ketergantungannya terhadap logos, disadari atau tidak.

Logos yang dimaksud di sini, tentu saja melampaui strukturalisme semiologis. Barangkali gejala ideologisasi terhadap alur pikir tertentu, diwakili oleh gagasan Derrida tentang logosentrisme (Jacques Derrida, De la gramatologie. Paris: Editions de Minuit, 1967). Logos bukanlah pengetahuan semesta yang obyektif, karena berlaku sebagai kehendak kuasa. Penulis jelas menunjuk pada logosentrisme aliran mantra SCB.

Seorang SCB dalam “Sajak dan Pertanggungjawaban Penyair” (Republika, 9 September 2007) menuturkan bahwa, “Peran penyair menjadi unik, karena – sebagaimana Tuhan tidak bisa dimintakan pertanggunganjawaban atas ciptaannya, atas mimpinya, atas imajinasinya – secara ekstrem boleh dikatakan penyair tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban atas ciptaannya, atas puisinya.”

Dari sini, SCB secara pribadi hendak memberi makna pada mantra sebagai kata yang hanya sebagai kata, bukan bahasa, karena tercipta bak sabda. Dengan demikian, jelas dalam maksud tersebut bahwa, atas kata yang bukan bahasa, atau mantra, hendak memberi kemerdekaan penuh kepada pembaca untuk melampaui struktur semiologi.

Ignas Kleden dalam esainya, “Puisi dan Dekonstruksi: Perihal Sutardji Calzoum Bachri” (4 Agustus 2007) mengukuhkan pendapat ini, “Upaya dan perjuangan Sutardji Calzoum Bachri menerobos makna kata, menerobos jenis kata, menerobos bentuk kata, dan menerobos tata bahasa dapat dipandang sebagai percobaan melakukan dekonstruksi bahasa Indonesia secara besar-besaran dan memberi kemungkinan bagi konstruksi-konstruksi baru yang lebih otentik melalui puisi… Dalam sebuah esainya Sutardji menulis ‘puisi adalah alibi kata-kata.’ Dengan ungkapan itu dimaksudkan bahwa kata-kata dalam puisi diberi kesempatan menghindar dari tanggung jawab terhadap makna, yang dalam pemakaian bahasa sehari-hari dilekatkan pada sebuah kata sebagai tanggungan kata tersebut.”

Tidak ada masalah sebenarnya. Baik soal kematian manusia (pengarang, pembaca) tatkala mencandra teks-teks sastra (mantra), maupun pembebasan maknanya, – lebih jauh lagi – juga termasuk pembebasan logosnya (struktur epistemologis). Namun, benarkah “kata” benar-benar berkuasa? Ataukah manusia yang hidup (beserta logos), seolah mematikan “kemanusiaan” dan menggantinya sekedar kata? Atau mereka mempertahankan wacana “kata” sejatinya (otonom) dengan kehendaknya secara membabi buta (logosentrisme)?

Lebih mendalam tentang hal ini, yang memungkinkan dipersoalkan adalah soal wacana yang seolah tanpa tanding, sedang menguasai belantika sastra Indonesia. Inilah yang akan ditantang dan diuji secara filosofis.
***

Logos-logos yang menjelma mantra, lambat laun hidup dan seperti makhluk bernyawa, menundukkan dan membunuh manusia-manusia. Nurel Javissyarqi dalam esainya “Membaca Kedangkalan Logika Dr. Ignas Kleden?” benar-benar menyadari pentingnya manusia kuat dan pemberani untuk menantang mantra yang “mewabah” dan “menjangkiti” yang dianut selayaknya agama. Ia mengungkapkan, “Dikala memandang pertumbuhan mitos sastra dewasa ini di Indonesia ialah bentuk ucap pengulangan seragam, tanpa sistem mengkritisi demi kematangan penggalian alam tradisi… Ini jauh panggang dari arang, membaca kilau hasil tanpa menyelidiki proses kreatifnya…” (Bagian XIII, 2011).*

Secara lebih jauh, Javissyarqi mengungkap kuasa wacana mantra dengan pisau bedah yang paling vulgar, yaitu “mitos” Barthesian. Mitos di sini berarti kreativitas imaji yang menari bersama harapan (Roland Barthes, Mithologies. Paris: Seuil, 1957). Istilah yang sangat ilmiah dan paling cocok untuk memahami rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme terhadap pemikiran sastra SCB. SCB berwacana (penanda 1) dan mengkonsep mantra (petanda 1/penanda 2), lalu pembaca memaknai (termasuk tafsir bahwa tiada makna untuk kata) mantra (petanda 2) dan begitu seterusnya. Dalam struktur penanda-petanda-tanda, SCB adalah tanda, atau mantra adalah tanda.

Begitulah, semua orang menikmati mitos SCB mantra. Dengan mitos yang didengungkan setiap saat, nasib baik selalu menghampiri SCB-mantra. Selain berkuasa dalam singgasana wacana, didukung pula oleh segala puji dan decak kagum yang lena. Dalam ritus-ritus pengetahuan, sekaligus mitos bukan sekedar mitos, tetapi menjadi mitologi, berbau mitis, sakralitas dan pengkultusan. Dalam bahasa yang sebelumnya disebutkan, menjadi bid’ah atau ketumpulan kritisisme.

Banyak kerugian tatkala konservatisme atau wacana dogmatik menjangkiti penulis dan pembaca sastra. Perilaku resentimen barangkali dapat disaksikan sebagai akibat-akibat keimanan yang membabi-buta. Tidak jarang pula, sakralisasi teks yang berlebihan membuat orang mabuk kepayang, kehilangan orientasi hidup yang utama sebagai manusia. Tampil para pejuang mantra yang mengukuhkan rezimisasi-ideologisasi-logosentrisme. Ujung perkaranya, stagnasi yang sempurna.

Inilah kiranya mulai mengapresiasi para kritikus sastra yang murni. Nietzsche memberi kritik bagi mereka para kritikus yang tidak bersungguh, mestinya mereka benar-benar menjadi kritikus sejati dan jauh dari selubung atau topeng kepalsuan. Tidak harus menjadi tuhan, bahkan membunuh manusia-kemanusiaan untuk bersastra. Tidak sepatutnya me-nabi-kan yang tidak layak menjadi nabi, meski hanya menyebutnya sebagai presiden.

Mengapa demikian, Nietzsche membuat lelucon bahwa, “The Gods are dead but they have died from laughing, on hearing one God claim to be the only one, ‘Is not precisely this godliness, that there are gods but no God?’” (Z III ‘Of the Apostates”, p. 201. Nietzsche and philosophy, Gilles Deleuze, Columbia University Press, 2002: 4). Segala kuasa-wacana yang menuhankan diri dengan pelbagai pembenaran telah mati, karena ada kebenaran-kebenaran sejati di pinggiran tengah berteriak menantangnya. Demikianlah demitologisasi terhadap topeng kesejatian SCB-mantra. Kehendak kritik yang murni telah terlempar sebagai anak panah yang menembus jantung. Membunuh dengan tega.

Penting sekali kiranya kita merenungkan nasehat dari Karl Mannheim. Ia berkesimpulan bahwa, “In unmasking ideologies, we seek to bring to light an unconscious process, not in order to annihilate the moral existence of persons making certain statements, but in order to destroy the social efficacy of certain ideas by unmasking the function they serve.” (Karl Mannheim, “Historicism,” Essays on the Sociology of Knowledge, Essays on the Sociology of Knowledge. London: Routledge & K. Paul, 1952: 141).

Catatan:
*kutipan tersebut dari esai (rencana kerja) Nurel Javissyarqi, yang kehendaknya terbit di akhir tahun 2012 mendatang.
Dijumput dari: http://kataitukata.wordpress.com/2011/09/30/demitologisasi-sastra-mantra-sutardji/

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati