Kamis, 06 Oktober 2011

Saya dan Bahasa*

Seno Gumira Ajidarma**
Pikiran Rakyat, 3 Maret 2007

SAYA dilahirkan di Amerika Serikat, dan untuk sementara ini berarti sejak mulai belajar bicara saya menggunakan bahasa Inggris, baik dengan orang tua saya maupun teman-teman sepermainan saya. Usia lima tahun, melewati Inggris, Prancis, dan Italia mereka membawa saya kembali ke Indonesia, untuk kemudian tinggal di Yogyakarta, dan sejak saat itu sedikit demi sedikit terhapuslah perbincangan bahasa Inggris dari mulut saya, untuk berganti dengan bahasa Jawa. Demikianlah mula-mula saya berbahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan teman-teman sepermainan, dan setelah itu berbahasa Jawa pula dengan orang tua saya.

Untuk diketahui, bahasa Jawa adalah bahasa yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kedudukan orang yang mengajak atau kita ajak bicara. Dengan kata lain bahasa masyarakat feodal. Kosakata yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua lain dengan yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang seusia misalnya, tetapi kelompok umur ini hanya menentukan sejauh kita wajib menghormatinya atau tidak, karena kepada orang yang meski lebih tua tetapi kelas sosialnya terandaikan di bawah kita, mengajaknya berbicara dengan bahasa untuk orang lebih terhormat akan membuatnya salah tingkah. Akibatnya, saya sering menjumpai, jika ada majikan kebetulan menikahi pembantu rumah tangganya, maka mantan pembantu rumah tangga ini akan tetap berbahasa seperti kepada majikan terhadap anak maupun cucunya sendiri.

Namun kerumitan “politik bahasa” dalam bahasa Jawa sebenarnya jauh lebih pelik, karena di antara peringkat kelas sosial maupun usia masih terdapat “peringkat antara” yang menambah kerumitan. Tidak cukup “lebih rendah”, “sederajat”, dan “lebih terhormat”, terdapat pula “peringkat antara” seperti “lebih rendah tapi sebaiknya dihormati”, “seusia tetapi tidak sederajat”, atau juga “lebih tua tetapi tidak perlu ditinggikan”, dan lain sebagainya.

Belum lagi jika kita mesti “membahasakan orang lain” dalam berbagai peringkat ini. Secara umum bahasa Jawa terbagi kepada dua peringkat, yakni krama (halus) dan ngoko (kasar); bahasa krama masih dibagi lagi antara krama dan krama inggil (halus dan tinggi). Artinya kalau saya berbahasa krama kepada seseorang yang tidak saya kenal, maka kepada kakek saya dari pihak bapak mau tidak mau saya harus berbahasa krama inggil, jika tidak itu berarti saya menganggap kakek saya lebih rendah dari seorang asing.

Meskipun kepada kedua orang tua saya terizinkan berbahasa Jawa ngoko dalam kedudukan setara, di luar rumah saya tidak mungkin berbahasa ngoko kepada orang tua teman-teman saya. Demikianlah sistem nilai dalam bahasa Jawa ini terkukuhkan ketika saya memasuki sekolah dasar pada usia enam tahun, setelah sebelumnya setahun digaulkan di taman kanak-kanak. Dalam dua tahun pertama, seluruh mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Jawa dan baru pada tahun ketiga, artinya menginjak usia delapan tahun, bahasa pengantarnya sekarang berbahasa Indonesia. Harus saya katakan betapa saya merasa mendapat pembebasan dalam bahasa Indonesia, karena dalam bahasa Indonesia tidak terdapat peringkat seperti dalam bahasa Jawa. Rupa-rupanya, kedudukan sosial saya sebagai “anak kecil” dalam sistem sosial Jawa telah membuat saya susah payah berbahasa kepada berbagai macam pihak, kecuali terhadap teman-teman sepermainan tentunya.

Maka inilah komposisi pengetahuan bahasa saya sampai usia delapan. Saya berbicara dengan teman-teman menggunakan bahasa Jawa, berbicara dengan guru dan membaca dalam bahasa Indonesia, tetapi meskipun berkomunikasi di rumah menggunakan bahasa Jawa, saya selalu mendengarkan orang tua saya berbicara dengan bahasa Belanda. Sejak kecil orang tua saya masing-masing dalam keluarganya memang berbahasa Belanda, dan memang itulah yang saya dengar dalam berbagai kunjungan keluarga yang saya alami. Hanya karena Jepang menduduki Indonesia dalam Perang Dunia II dan melarang siapa pun berbahasa Belanda, mereka mau tidak mau berbahasa Indonesia –yang kelak bagi saya selalu terdengar agak aneh. Telah saya sebutkan bahwa terhadap kakek dari pihak bapak saya berbahasa krama inggil. Memang akar budaya keluarga ayah saya adalah Jawa, dan dalam rangka mengakui ke-jawa-annya, kakek saya yang mendapat gelar doktor dalam bidang kedokteran di Belanda telah menulis buku-buku tentang falsafah wayang kulit Jawa dalam bahasa Indonesia. Ini menjelaskan bagaimana bahasa menjadi bagian dari kehidupan sosial dalam keluarga saya.

Sementara itu, akar budaya keluarga ibu saya adalah Sunda. Kakek dari pihak ibu adalah juga seorang dokter, bahkan satu kelas dengan kakek dari pihak ayah, meski tidak meneruskan sampai tingkat doktor. Dari keluarga besar pihak ibu saya, selain selalu mendengarkan orang berbahasa Belanda, saya juga selalu mendengar berbagai celetukan bahasa Sunda. Dengan begitu boleh dikatakan saya berbahasa Jawa dan Indonesia, tetapi mengerti percakapan dalam bahasa Belanda dan Sunda. Bahasa Indonesia kemudian sangat saya akrabi, karena buku-buku bacaan yang nyaris semuanya berbahasa Indonesia. Meski begitu, justru pada umur delapan ini pula kami mendapat pelajaran untuk membaca dan menulis dalam huruf Jawa. Memang, pelajaran ini tidak sulit, tetapi karena huruf Jawa sudah sangat terdesak oleh huruf Latin, saya sekarang ini hanya mengetahui bu-nyinya saja, yang kelak masih akan berguna untuk kepentingan lain.

Masih di sekolah dasar, mungkin umur sepuluh, kami diperkenalkan dengan huruf Arab, sehingga kami diharapkan bisa membaca ayat Alquran, tetapi tidak berarti kami mendapat pelajaran bahasa Arab. Dalam latihan menulis dengan huruf Arab, kami tetap menggunakan bahasa Indonesia. Dengan begitu, dalam hal saya, pengetahuan saya dengan huruf Arab sampai hari ini hanyalah pengetahuan seorang anak sekolah dasar.

Perkembangan selanjutnya adalah pelajaran bahasa Inggris yang saya dapatkan di sekolah menengah pertama. Bahasa yang satu ini, boleh dibilang terpelihara dengan banyak cara: oleh lagu-lagu pop, film, dan bacaan-bahkan sampai sekarang. Saya tak bisa katakan saya fasih berbicara bahasa Inggris, tetapi buku-buku yang disebut sebagai berat, rasanya bisa saya pahami dan dengan ala kadarnya saya bisa berdiskusi di berbagai forum internasional dalam bahasa ini. Tentu saja di sekolah menengah atas kami juga mendapat pelajaran bahasa Jerman, tetapi seperti juga terjadi dengan sebagian besar murid lain, jejaknya sudah tidak berbekas lagi. Sekarang, saya berbahasa Indonesia kepada anak saya, tetapi kepada ibunya saya berbahasa Jawa. Jadi anak mendengar orang tuanya berbahasa Jawa, tetapi berkomunikasi dengan orang tuanya itu dengan bahasa Indonesia.

Demikianlah secara ringkas riwayat kebahasaan saya.
***

Dalam sebuah diskusi di University of Washington di Seattle, Amerika Serikat pada 1999, untuk pertama kalinya saya mendapat pertanyaan, “Dalam bahasa apakah Anda berpikir?” Seingat saya, saya menjawab pertanyaan itu dengan “Bahasa Jawa”. Namun sebetulnya saya masih bertanya-tanya, apakah kita berpikir dengan suatu bahasa? Ternyata masalah semacam itu nyaris tidak pernah saya pikirkan. Berbahasakah kita ketika berpikir? Ketika pikiran itu diutarakan, memang kita menyampaikannya melalui bahasa, tetapi ketika masih berkelebat dan bergulat di dalam kepala, dengan sangat cepat ataupun melintas sepintas dari saat ke saat, apakah berlangsung dalam susunan kebahasaan tertentu? Dalam berbahasa, pikiran sudah berlangsung runtut; dalam pikiran yang belum runtut, apakah sudah terdapat suatu bahasa?

Ketika saya menjawab bahwa saya berpikir dengan bahasa Jawa, barangkali saya pikir bahasa Jawa adalah semacam “bahasa ibu” bagi saya, tempat ketika saya berbahasa Indonesia pun niscaya dengan aksen Jawa; tetapi saya kira ini tidak bisa berlangsung dengan “segala pikiran”. Dengan bahasa Jawa misalnya, saya memang bisa berpikir, tetapi tidak “memikirkan pikiran-pikiran”. Jika saya berpikir, “Saya mau pergi ke mana?” memang sangat mungkin saya pikirkan dalam bahasa Jawa; tetapi jika saya memikirkan sebuah topik untuk seminar misalnya, tidak mungkin saya pikirkan dalam bahasa Jawa, melainkan pasti dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, bahasa pun terbagi-bagi wilayah intelektualnya, berdasarkan pengalaman budaya pemilik bahasa-bahasa itu. Saya tidak mengatakan bahasa Jawa dengan begitu tidak mungkin menjadi bahasa intelektual, sama sekali tidak, hanya saja dalam hal saya bahasa Jawa tidak pernah saya pergunakan demi kebutuhan intelektual saya.

Dengan demikian, dengan bahasa apa saya berpikir? Tentu saja tergantung kepada apa yang saya pikirkan. Pengalaman tersimpan bersama bahasanya. Artinya bahasa yang tersimpan dalam perbendaharaan budaya seseorang selalu berkait dengan pengalaman tertentu. Maka apabila kepala saya terantuk dan saya berkata, “Aduh!”, tentunya adalah kesamaan pengalaman yang mengingatkan dan memanggil kata itu keluar, dan begitu pula jika terdapat rangsangan berpikir yang sangat abstrak, maka hanyalah pengalaman berbahasa Indonesia yang berurusan dengan rangsangan yang sama. Ketika kemudian saya lebih banyak membaca dalam bahasa Inggris daripada dalam bahasa Indonesia, agaknya saya masih tetap berpikir dalam perkara yang saya baca itu dalam bahasa Indonesia, meski ketika mengajarkannya kembali di depan kelas, saya pertahankan tetap dalam bahasa Inggris.

Saya tidak terlalu yakin, apakah saya telah merumuskan pengalaman saya dalam berbahasa ini dengan cukup, karena saya merasa bahwa memeriksa bahasa dalam pikiran tidaklah terlalu mudah. Mungkinkah karena saya berada di dalam bahasa dan bukan di luar bahasa? Seperti bermimpi misalnya, saya mungkin masih ingat mimpi-mimpi itu sebagai narasi, tetapi dalam bahasa apakah saya telah memahaminya, agak tidak terlalu jelas. Namun berikut ini saya sampaikan saja sebuah pengalaman dalam penulisan berbahasa Indonesia, yang telah memanfaatkan perbendaharaan bahasa Jawa karena tuntutan keadaan.

Dua buku saya, kumpulan cerita pendek Saksi Mata dan novel Jazz, Parfum, dan Insiden bermain dengan materi situasi sosial politik di Timor Timur dan terbit semasa Orde Baru. Karena situasinya yang khusus, saya tidak bisa menyebut Timor Timur sama sekali, bahkan apa pun yang bisa mengingatkannya sehingga saya terpaksa memanfaatkan apa yang disebut basa walikan (bahasa terbalik). Bahasa tersebut bukanlah bahasa tersendiri, melainkan bahasa Jawa yang berfungsi sebagai kata sandi, konon digunakan oleh komunitas underworld, yakni kaum kriminal, pencuri, perampok, begal, dan lain sebagainya, untuk menutupi kegiatan mereka, sehingga juga disebut basa maling (bahasa pencuri). Bahasa yang saya kenal dari pergaulan sebagai remaja di Yogyakarta itu memanfaatkan bunyi dari 20 huruf dalam tulisan Jawa yang terbagi menjadi empat baris. Baris pertama berpadanan dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Apa yang seharusnya diucapkan dengan baris pertama diucapkan dengan baris ketiga dan sebaliknya, begitu pula dengan baris kedua dan keempat.

Dengan bahasa sandi tersebut, Gidoy Giduy berarti Timor Timur dan Ningi berarti Dili. Salah seorang kritisi yang membahas novel saya berhasil menguraikan bahasa sandi tersebut dalam sebuah resensi, dan tentu saja beliau pernah tinggal di Yogyakarta. Memang sebuah karya tulis tidak hanya berisi “rahasia” yang disandikan, melainkan ada tuntutan “kualitas sastra” di sana, tetapi telah saya sebutkan terdapatnya situasi khusus dalam iklim ketertekanan semasa Orde Baru, yang menyudutkan saya untuk menggunakan bahasa sandi Jawa tersebut, di samping juga bahasa Inggris, dalam penulisan berbahasa Indonesia. Sudut itu sebuah ruang yang sangat pribadi dari masa lalu saya sebetulnya, tetapi yang telah berperan untuk kepentingan yang lebih umum karena tekanan keadaan. Saya kira, hanya karena saya seorang pengarang yang hidup lebih dengan satu bahasa, yang telah membuat saya dapat melakukannya.

Baru belakangan saya sadari, betapa sudah terlalu lama saya menyia-nyiakan kemampuan saya berbahasa Jawa dalam hidup saya, baik untuk membaca, apalagi untuk menulis. Jika selama ini saya merasa beruntung bisa menggali perbendaharaan pengetahuan melalui buku-buku berbahasa Inggris, hal yang sama mestinya saya alami dengan naskah-naskah berbahasa Jawa. Sekali pernah saya melakukannya dan saat itulah kesadaran saya terbuka, betapa tidak termanfaatkannya pengetahuan bahasa Jawa saya selama ini. Jadi, di satu pihak saya mungkin merasa beruntung, tetapi pada saat yang sama tampaknya saya juga orang yang rugi, karena telah menganggap bahasa Jawa dalam diri saya sebagai taken for granted, tidak usah saya pedulikan lagi karena sudah ada di sana dari sononya. Memang sangat berbeda dengan sikap saya terhadap bahasa Indonesia, yang selama ini menjadi wahana representasi diri saya, maupun bahasa Inggris, yang melaluinya saya selalu berusaha meluaskan wawasan saya. Begitulah.
***
_________________
* Tulisan ini merupakan catatan untuk diskusi “L’auteur depayse: Ecrivains de double appartenance culturelle” yang diselenggarakan Association franco-indonesienne Pasar Malam Palais du Luxembourg di Paris, 28 Oktober 2006.
** Seno Gumira Ajidarma, cerpenis.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/03/saya-dan-bahasa.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati