Seno Gumira Ajidarma**
Pikiran Rakyat, 3 Maret 2007
SAYA dilahirkan di Amerika Serikat, dan untuk sementara ini berarti sejak mulai belajar bicara saya menggunakan bahasa Inggris, baik dengan orang tua saya maupun teman-teman sepermainan saya. Usia lima tahun, melewati Inggris, Prancis, dan Italia mereka membawa saya kembali ke Indonesia, untuk kemudian tinggal di Yogyakarta, dan sejak saat itu sedikit demi sedikit terhapuslah perbincangan bahasa Inggris dari mulut saya, untuk berganti dengan bahasa Jawa. Demikianlah mula-mula saya berbahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan teman-teman sepermainan, dan setelah itu berbahasa Jawa pula dengan orang tua saya.
Untuk diketahui, bahasa Jawa adalah bahasa yang bertingkat-tingkat sesuai dengan kedudukan orang yang mengajak atau kita ajak bicara. Dengan kata lain bahasa masyarakat feodal. Kosakata yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang lebih tua lain dengan yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang seusia misalnya, tetapi kelompok umur ini hanya menentukan sejauh kita wajib menghormatinya atau tidak, karena kepada orang yang meski lebih tua tetapi kelas sosialnya terandaikan di bawah kita, mengajaknya berbicara dengan bahasa untuk orang lebih terhormat akan membuatnya salah tingkah. Akibatnya, saya sering menjumpai, jika ada majikan kebetulan menikahi pembantu rumah tangganya, maka mantan pembantu rumah tangga ini akan tetap berbahasa seperti kepada majikan terhadap anak maupun cucunya sendiri.
Namun kerumitan “politik bahasa” dalam bahasa Jawa sebenarnya jauh lebih pelik, karena di antara peringkat kelas sosial maupun usia masih terdapat “peringkat antara” yang menambah kerumitan. Tidak cukup “lebih rendah”, “sederajat”, dan “lebih terhormat”, terdapat pula “peringkat antara” seperti “lebih rendah tapi sebaiknya dihormati”, “seusia tetapi tidak sederajat”, atau juga “lebih tua tetapi tidak perlu ditinggikan”, dan lain sebagainya.
Belum lagi jika kita mesti “membahasakan orang lain” dalam berbagai peringkat ini. Secara umum bahasa Jawa terbagi kepada dua peringkat, yakni krama (halus) dan ngoko (kasar); bahasa krama masih dibagi lagi antara krama dan krama inggil (halus dan tinggi). Artinya kalau saya berbahasa krama kepada seseorang yang tidak saya kenal, maka kepada kakek saya dari pihak bapak mau tidak mau saya harus berbahasa krama inggil, jika tidak itu berarti saya menganggap kakek saya lebih rendah dari seorang asing.
Meskipun kepada kedua orang tua saya terizinkan berbahasa Jawa ngoko dalam kedudukan setara, di luar rumah saya tidak mungkin berbahasa ngoko kepada orang tua teman-teman saya. Demikianlah sistem nilai dalam bahasa Jawa ini terkukuhkan ketika saya memasuki sekolah dasar pada usia enam tahun, setelah sebelumnya setahun digaulkan di taman kanak-kanak. Dalam dua tahun pertama, seluruh mata pelajaran disampaikan dalam bahasa Jawa dan baru pada tahun ketiga, artinya menginjak usia delapan tahun, bahasa pengantarnya sekarang berbahasa Indonesia. Harus saya katakan betapa saya merasa mendapat pembebasan dalam bahasa Indonesia, karena dalam bahasa Indonesia tidak terdapat peringkat seperti dalam bahasa Jawa. Rupa-rupanya, kedudukan sosial saya sebagai “anak kecil” dalam sistem sosial Jawa telah membuat saya susah payah berbahasa kepada berbagai macam pihak, kecuali terhadap teman-teman sepermainan tentunya.
Maka inilah komposisi pengetahuan bahasa saya sampai usia delapan. Saya berbicara dengan teman-teman menggunakan bahasa Jawa, berbicara dengan guru dan membaca dalam bahasa Indonesia, tetapi meskipun berkomunikasi di rumah menggunakan bahasa Jawa, saya selalu mendengarkan orang tua saya berbicara dengan bahasa Belanda. Sejak kecil orang tua saya masing-masing dalam keluarganya memang berbahasa Belanda, dan memang itulah yang saya dengar dalam berbagai kunjungan keluarga yang saya alami. Hanya karena Jepang menduduki Indonesia dalam Perang Dunia II dan melarang siapa pun berbahasa Belanda, mereka mau tidak mau berbahasa Indonesia –yang kelak bagi saya selalu terdengar agak aneh. Telah saya sebutkan bahwa terhadap kakek dari pihak bapak saya berbahasa krama inggil. Memang akar budaya keluarga ayah saya adalah Jawa, dan dalam rangka mengakui ke-jawa-annya, kakek saya yang mendapat gelar doktor dalam bidang kedokteran di Belanda telah menulis buku-buku tentang falsafah wayang kulit Jawa dalam bahasa Indonesia. Ini menjelaskan bagaimana bahasa menjadi bagian dari kehidupan sosial dalam keluarga saya.
Sementara itu, akar budaya keluarga ibu saya adalah Sunda. Kakek dari pihak ibu adalah juga seorang dokter, bahkan satu kelas dengan kakek dari pihak ayah, meski tidak meneruskan sampai tingkat doktor. Dari keluarga besar pihak ibu saya, selain selalu mendengarkan orang berbahasa Belanda, saya juga selalu mendengar berbagai celetukan bahasa Sunda. Dengan begitu boleh dikatakan saya berbahasa Jawa dan Indonesia, tetapi mengerti percakapan dalam bahasa Belanda dan Sunda. Bahasa Indonesia kemudian sangat saya akrabi, karena buku-buku bacaan yang nyaris semuanya berbahasa Indonesia. Meski begitu, justru pada umur delapan ini pula kami mendapat pelajaran untuk membaca dan menulis dalam huruf Jawa. Memang, pelajaran ini tidak sulit, tetapi karena huruf Jawa sudah sangat terdesak oleh huruf Latin, saya sekarang ini hanya mengetahui bu-nyinya saja, yang kelak masih akan berguna untuk kepentingan lain.
Masih di sekolah dasar, mungkin umur sepuluh, kami diperkenalkan dengan huruf Arab, sehingga kami diharapkan bisa membaca ayat Alquran, tetapi tidak berarti kami mendapat pelajaran bahasa Arab. Dalam latihan menulis dengan huruf Arab, kami tetap menggunakan bahasa Indonesia. Dengan begitu, dalam hal saya, pengetahuan saya dengan huruf Arab sampai hari ini hanyalah pengetahuan seorang anak sekolah dasar.
Perkembangan selanjutnya adalah pelajaran bahasa Inggris yang saya dapatkan di sekolah menengah pertama. Bahasa yang satu ini, boleh dibilang terpelihara dengan banyak cara: oleh lagu-lagu pop, film, dan bacaan-bahkan sampai sekarang. Saya tak bisa katakan saya fasih berbicara bahasa Inggris, tetapi buku-buku yang disebut sebagai berat, rasanya bisa saya pahami dan dengan ala kadarnya saya bisa berdiskusi di berbagai forum internasional dalam bahasa ini. Tentu saja di sekolah menengah atas kami juga mendapat pelajaran bahasa Jerman, tetapi seperti juga terjadi dengan sebagian besar murid lain, jejaknya sudah tidak berbekas lagi. Sekarang, saya berbahasa Indonesia kepada anak saya, tetapi kepada ibunya saya berbahasa Jawa. Jadi anak mendengar orang tuanya berbahasa Jawa, tetapi berkomunikasi dengan orang tuanya itu dengan bahasa Indonesia.
Demikianlah secara ringkas riwayat kebahasaan saya.
***
Dalam sebuah diskusi di University of Washington di Seattle, Amerika Serikat pada 1999, untuk pertama kalinya saya mendapat pertanyaan, “Dalam bahasa apakah Anda berpikir?” Seingat saya, saya menjawab pertanyaan itu dengan “Bahasa Jawa”. Namun sebetulnya saya masih bertanya-tanya, apakah kita berpikir dengan suatu bahasa? Ternyata masalah semacam itu nyaris tidak pernah saya pikirkan. Berbahasakah kita ketika berpikir? Ketika pikiran itu diutarakan, memang kita menyampaikannya melalui bahasa, tetapi ketika masih berkelebat dan bergulat di dalam kepala, dengan sangat cepat ataupun melintas sepintas dari saat ke saat, apakah berlangsung dalam susunan kebahasaan tertentu? Dalam berbahasa, pikiran sudah berlangsung runtut; dalam pikiran yang belum runtut, apakah sudah terdapat suatu bahasa?
Ketika saya menjawab bahwa saya berpikir dengan bahasa Jawa, barangkali saya pikir bahasa Jawa adalah semacam “bahasa ibu” bagi saya, tempat ketika saya berbahasa Indonesia pun niscaya dengan aksen Jawa; tetapi saya kira ini tidak bisa berlangsung dengan “segala pikiran”. Dengan bahasa Jawa misalnya, saya memang bisa berpikir, tetapi tidak “memikirkan pikiran-pikiran”. Jika saya berpikir, “Saya mau pergi ke mana?” memang sangat mungkin saya pikirkan dalam bahasa Jawa; tetapi jika saya memikirkan sebuah topik untuk seminar misalnya, tidak mungkin saya pikirkan dalam bahasa Jawa, melainkan pasti dalam bahasa Indonesia. Dengan kata lain, bahasa pun terbagi-bagi wilayah intelektualnya, berdasarkan pengalaman budaya pemilik bahasa-bahasa itu. Saya tidak mengatakan bahasa Jawa dengan begitu tidak mungkin menjadi bahasa intelektual, sama sekali tidak, hanya saja dalam hal saya bahasa Jawa tidak pernah saya pergunakan demi kebutuhan intelektual saya.
Dengan demikian, dengan bahasa apa saya berpikir? Tentu saja tergantung kepada apa yang saya pikirkan. Pengalaman tersimpan bersama bahasanya. Artinya bahasa yang tersimpan dalam perbendaharaan budaya seseorang selalu berkait dengan pengalaman tertentu. Maka apabila kepala saya terantuk dan saya berkata, “Aduh!”, tentunya adalah kesamaan pengalaman yang mengingatkan dan memanggil kata itu keluar, dan begitu pula jika terdapat rangsangan berpikir yang sangat abstrak, maka hanyalah pengalaman berbahasa Indonesia yang berurusan dengan rangsangan yang sama. Ketika kemudian saya lebih banyak membaca dalam bahasa Inggris daripada dalam bahasa Indonesia, agaknya saya masih tetap berpikir dalam perkara yang saya baca itu dalam bahasa Indonesia, meski ketika mengajarkannya kembali di depan kelas, saya pertahankan tetap dalam bahasa Inggris.
Saya tidak terlalu yakin, apakah saya telah merumuskan pengalaman saya dalam berbahasa ini dengan cukup, karena saya merasa bahwa memeriksa bahasa dalam pikiran tidaklah terlalu mudah. Mungkinkah karena saya berada di dalam bahasa dan bukan di luar bahasa? Seperti bermimpi misalnya, saya mungkin masih ingat mimpi-mimpi itu sebagai narasi, tetapi dalam bahasa apakah saya telah memahaminya, agak tidak terlalu jelas. Namun berikut ini saya sampaikan saja sebuah pengalaman dalam penulisan berbahasa Indonesia, yang telah memanfaatkan perbendaharaan bahasa Jawa karena tuntutan keadaan.
Dua buku saya, kumpulan cerita pendek Saksi Mata dan novel Jazz, Parfum, dan Insiden bermain dengan materi situasi sosial politik di Timor Timur dan terbit semasa Orde Baru. Karena situasinya yang khusus, saya tidak bisa menyebut Timor Timur sama sekali, bahkan apa pun yang bisa mengingatkannya sehingga saya terpaksa memanfaatkan apa yang disebut basa walikan (bahasa terbalik). Bahasa tersebut bukanlah bahasa tersendiri, melainkan bahasa Jawa yang berfungsi sebagai kata sandi, konon digunakan oleh komunitas underworld, yakni kaum kriminal, pencuri, perampok, begal, dan lain sebagainya, untuk menutupi kegiatan mereka, sehingga juga disebut basa maling (bahasa pencuri). Bahasa yang saya kenal dari pergaulan sebagai remaja di Yogyakarta itu memanfaatkan bunyi dari 20 huruf dalam tulisan Jawa yang terbagi menjadi empat baris. Baris pertama berpadanan dengan baris ketiga dan baris kedua dengan baris keempat. Apa yang seharusnya diucapkan dengan baris pertama diucapkan dengan baris ketiga dan sebaliknya, begitu pula dengan baris kedua dan keempat.
Dengan bahasa sandi tersebut, Gidoy Giduy berarti Timor Timur dan Ningi berarti Dili. Salah seorang kritisi yang membahas novel saya berhasil menguraikan bahasa sandi tersebut dalam sebuah resensi, dan tentu saja beliau pernah tinggal di Yogyakarta. Memang sebuah karya tulis tidak hanya berisi “rahasia” yang disandikan, melainkan ada tuntutan “kualitas sastra” di sana, tetapi telah saya sebutkan terdapatnya situasi khusus dalam iklim ketertekanan semasa Orde Baru, yang menyudutkan saya untuk menggunakan bahasa sandi Jawa tersebut, di samping juga bahasa Inggris, dalam penulisan berbahasa Indonesia. Sudut itu sebuah ruang yang sangat pribadi dari masa lalu saya sebetulnya, tetapi yang telah berperan untuk kepentingan yang lebih umum karena tekanan keadaan. Saya kira, hanya karena saya seorang pengarang yang hidup lebih dengan satu bahasa, yang telah membuat saya dapat melakukannya.
Baru belakangan saya sadari, betapa sudah terlalu lama saya menyia-nyiakan kemampuan saya berbahasa Jawa dalam hidup saya, baik untuk membaca, apalagi untuk menulis. Jika selama ini saya merasa beruntung bisa menggali perbendaharaan pengetahuan melalui buku-buku berbahasa Inggris, hal yang sama mestinya saya alami dengan naskah-naskah berbahasa Jawa. Sekali pernah saya melakukannya dan saat itulah kesadaran saya terbuka, betapa tidak termanfaatkannya pengetahuan bahasa Jawa saya selama ini. Jadi, di satu pihak saya mungkin merasa beruntung, tetapi pada saat yang sama tampaknya saya juga orang yang rugi, karena telah menganggap bahasa Jawa dalam diri saya sebagai taken for granted, tidak usah saya pedulikan lagi karena sudah ada di sana dari sononya. Memang sangat berbeda dengan sikap saya terhadap bahasa Indonesia, yang selama ini menjadi wahana representasi diri saya, maupun bahasa Inggris, yang melaluinya saya selalu berusaha meluaskan wawasan saya. Begitulah.
***
_________________
* Tulisan ini merupakan catatan untuk diskusi “L’auteur depayse: Ecrivains de double appartenance culturelle” yang diselenggarakan Association franco-indonesienne Pasar Malam Palais du Luxembourg di Paris, 28 Oktober 2006.
** Seno Gumira Ajidarma, cerpenis.
Dijumput dari: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/03/saya-dan-bahasa.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Kamis, 06 Oktober 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar