Kamis, 15 September 2011

POTRET GANDA NAYLA—DJENAR MAESA AYU

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Djenar Maesa Ayu lewat dua antologi cerpennya, Mereka Bilang, Saya Monyet! (2003) dan Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu) (2004), tak pelak lagi, telah berhasil menjejerkan namanya dalam deretan penting sastrawati Indonesia. Ia juga mengambil posisi khas yang domainnya tak banyak dimasuki sastrawan Indonesia lainnya. Kini, ia meluncurkan novel pertamanya, Nayla (Gramedia Pustaka Utama, 2005, 178 halaman).

Dalam Nayla, Djenar bagai berada dalam ruang yang membuatnya bebas bergerak. Ia leluasa mengumbar kemampuan teknik berceritanya. Ia bebas memanfaatkan tokoh-tokohnya untuk kepentingan dan tujuan apapun, termasuk untuk menumpahkan pesan ideologisnya tentang jender. Bahkan, posisi kepengarangannya sendiri merasa perlu dilegitimasi lewat tokoh rekaannya. Nayla ibarat sebuah pentas teater yang sutradaranya bisa seenaknya keluar-masuk dalam setiap babak atau adegan yang sedang berlangsung.

Begitulah, ketika pengarang merasa perlu menyampaikan pesan ideologis, Nayla yang sekolahnya pun tak jelas, tiba-tiba tampil dengan kecerdasan seorang feminis. Djenar memanfaatkan tokoh ini untuk mengungkapkan gugatannya tentang seks (hlm. 77—80) dan pelecehan seksual (hlm. 84—6). Dalam peristiwa yang lain, khasnya dalam cerpen karya Nayla Kinar “Laki-Laki Binatang!” (hlm. 38—42) yang berkisah tentang kepedihan tokoh Djenar dalam berhadapan dengan ibunya, Nayla—yang fiktif—memanfaatkan tokoh Djenar –yang faktual dalam novel Nayla dan fiktif dalam cerpen “Laki-Laki Binatang”—menjadi corong untuk memprotes tindak kekerasan dalam rumah tangga dan terjadinya pelecehan seksual. Dalam hal ini, pengarang dan tokoh rekaannya tak hanya bisa bertukar peran, tetapi juga bisa saling memanfaatkan untuk menyampaikan pesan ideologisnya. Dengan begitu, batas tegas antara teks dan pengarang, dihancurkan semata-mata demi kepentingan ideologi yang hendak disampaikan.

Boleh jadi, Djenar menyadari betul pentingnya sebuah pesan. Tetapi, ia juga tak ingin terjerumus pada pamflet propaganda. Maka harus ada siasat lain untuk membungkus pesan itu. Jadilah, tak terhindarkan, penghadiran hubungan antara pengarang dan teks, tak selesai sebatas teks. Ia mesti kontekstual, sekaligus intertekstual. Kematian pengarang, seperti disarankan Roland Barthes (“The Death of the Author”) tak berlaku lagi. Pengarang harus dihidupkan lagi. Di situlah beberapa kutipan cerpen “Menyusu Ayah” (hlm. 90—1) menjadi signifikan sebagai siasat mengecoh dan menyembunyikan Djenar, Si Pengarang, dalam menyampaikan fatwanya. Tokoh Nayla dan Djenar hadir secara fungsional.
***

Kisahnya sendiri sederhana. Berawal dari perceraian ayah—ibu. Nayla, ikut ibu. Didikannya yang telengas dan ajarannya untuk menguasai laki-laki, menceburkan Nayla pada serangkaian pengalaman traumatis. Ia kabur dan memilih ayah yang sudah kawin lagi. Hanya sesaat. Ayah meninggal, dan ibu tiri menjebloskannya ke panti rehabilitasi. Setelah tiga bulan, Nayla kabur. Menggelandang dalam kehidupan liar. Terdampar dalam ingar-bingar diskotek. Bercinta dengan sesama jenis –Juli, sambil sekali-kali menjajakan tubuh. Ia gagal mencari kebahagiaan, tetapi menemukan kehidupan lain di tengah para seniman.
***

Sesungguhnya, kisah Nayla ini tidaklah linear. Berkelak-kelok, melompat ke depan atau ke belakang, bahkan berdiri dulu di pinggir sambil berkisah tentang yang lain yang seolah-olah tak ada hubungannya. Jadilah, bangunan rangkai peristiwa hadir menyerupai serpihan fragmen-fragmen. Berserakan. Pembaca digiring pada kotak-kotak, mirip teka-teki silang. Atau ibarat puzzle dengan potongan-potongan gambar yang belum tersusun. Di sini, pembaca bebas menempatkan setiap potongan gambar menurut persepsinya. Meski begitu, mudah saja kita menelusurinya dan kemudian membingkainya kembali menjadi sebuah struktur, mengingat fokus keseluruhan cerita bertumpu pada diri tokoh Nayla.

Djenar begitu bebas melakukan eksplorasi naratif, meski terkesan tak berpretensi hendak bereksperimen. Di sana berbagai bentuk penceritaan hadir gonta-ganti. Kadang seperti satu peristiwa yang berdiri sendiri, padahal sesungguhnya saling mencantel yang bersumber dan bermuara pada satu tokoh: Nayla. Sebuah siasat dalam membangun struktur cerita yang kini bertebaran dalam novel-novel Indonesia. Lihat saja, Tabularasa (Ratih Kumala), Dadaisme (Dewi Sartika), Geni Jora (Abidah el Khalieqy), Cermin Merah (N. Riantiarno) atau Lelaki Harimau (Eka Kurniawan). Mereka juga memakai pola macam ini.

Teknik apa pun tentu saja boleh digunakan, sejauh ia fungsional dan mengundang tegangan. Tanpa itu, ia akan jatuh pada kesan rumit yang artifisial. Di samping itu, ia juga menuntut kecermatan dan usaha membersihkan pengulangan yang tak perlu. Nayla secara keseluruhan telah menunjukkan kesungguhan itu. Meski begitu, tak berarti semuanya baik-baik saja. Selalu ada risiko di belakang setiap pilihan, dan itu yang juga terjadi pada Nayla.

Keasyikan bermain dengan teknik, cenderung melalaikan hal lain. Djenar terkesan lupa pada karakterisasi, pada proses saat peristiwa masa lalu menjadi sumber malapetaka. Saya tak menemukan ruh dan semangat Nayla dalam “Menyusu Ayah” atau Nai Nai dalam “Payudara Nai Nai”. Nayla dalam Nayla adalah sosok perempuan yang punya masa lalu kelam, penurut karena dikuasai ketakutan, dan tiba-tiba menjelma sosok seorang “Djenar” yang cerdas, nekad, dan feminis. Sebagai usaha menerjemahkan gagasan Helena Cixous –jika ia terpengaruh oleh pemikirannya—yang menawarkan cara yang berbeda bagi penulis perempuan, tentu saja tak dilarang. Tetapi, ia menyimpan kejanggalan ketika problem ideologis dihadirkan dengan latar belakang psikologis, dan lalai pada proses perjalanannya. Bukankah penghancuran stigma tentang seks dan virginitas, sebenarnya –mula-mula— bersumber pada prinsip kenikmatan orang per orang yang lalu berkembang jadi psikologi sosial, mitos, dan wacana laki-laki yang semuanya berpangkal pada phallus sebagai simbol superioritas?

Dibandingkan cerpen-cerpennya yang lebih fokus pada satu titik persoalan, Nayla lebih problematik lantaran Djenar bermain dengan begitu banyak sayap. Di satu pihak, ia bisa terbang mondar-mandir sesuka hati, menclok dari problem yang satu ke problem lain. Di pihak lain, ia kadang lupa kembali ke sarang. Akibatnya, problem yang dihadapi Nayla, kurang dieksplorasi dan dieksploitasi secara maksimal. Padahal, Djenar punya kesempatan yang luas untuk melakukan itu. Bagaimanapun, novel bukanlah cerpen yang dipanjangkan. Kemampuan teknik narasi yang ditunjukkan Djenar secara piawai, mestinya dimanfaatkan untuk menukik lebih tajam pada proses dan berbagai persoalan yang menggelindingkan tokoh Nayla dalam peri kehidupan liar dan menyimpang.

Sesungguhnya, Nayla potensial menjadi monumen jika saja problem dunia-dalam tak ditinggalkan. Lihat saja, peristiwa-peristiwa yang dihadirkan di sana hampir semuanya menyimpan problem dunia-dalam. Tarik-menarik pengaruh ibu yang mengajari kekerasan (seksual), Om Indra yang juga mengajari sesuatu yang aneh, ayah yang tiba-tiba mati, ibu tiri yang munafik, Juli yang lesbian, dan tokoh-tokoh lain yang datang dengan berbagai problemnya sendiri. Di belakang itu, niscaya ada sejarahnya yang khas. Jadi, segala perilaku seksual yang menyimpang atau yang berlebihan, punya akar psikologis. Ia bisa lahir sebagai akibat yang datang dari masalah dalam atau luar rumah atau dari mana saja.

Sebagai novel pertama, Nayla telah menunjukkan penguasaan teknik narasi yang piawai. Di sana, kita juga melihat kualitas gagasannya yang liar, meski kali ini Djenar tampak lebih matang dan hati-hati. Bahwa kesan ketergesaan masih tampak di sana-sini, tentu saja itu tak mengurangi keasyikan kita menelusuri kisah Nayla, sambil coba mengisi teka-teki silangnya. Di balik itu, kita seperti disodori problem besar tentang seks dan penyimpangan seksual yang tanpa sadar nyaris setiap saat kita jumpai dalam kehidupan keseharian masyarakat. Djenar sekadar menyapa kita tentang itu.

(Maman S. Mahayana, Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok).

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati