Seno Joko Suyono
http://majalah.tempointeraktif.com/
AMPLOP itu lusuh. Sudah sejak 1968 dia terjepit di dalam sebuah map karton kuning. Amplop itu dialamatkan kepada majalah Sastra, Jalan Kramat Sentiong 43, Jakarta. Nama pengirimnya hampir tak terbaca—karena tertutup sebuah klip map. Bila kita mencabut klip itu, terbacalah nama pengirimnya dengan alamat 2-nd Floor Maritime Building Collyer Quay, Singapore.
Sepintas ini bukan amplop istimewa dan nama yang tercantum bukanlah nama yang istimewa. Rak tempat amplop itu adalah rak yang memuat ratusan dokumentasi H.B. Jassin, tempat dia menyimpan surat para sastrawan, coret-coretan surat cinta pribadi, notes-notes kecil, serangkaian kuitansi, bahkan kertas undangan perkawinan sejak 1940-an.
Amplop lusuh itu berusia 32 tahun. Dan nama pengirimnya, Soedihartono, disamarkan. Tetapi ini nama penting, karena itulah nama asli Ki Pandjikusmin, penulis cerpen Langit Makin Mendung. Peneliti Ulrich Kratz di dalam buku daftar nama sastrawan Indonesia juga mencantumkan nama itu sebagai nama asli Ki Pandjikusmin. Inilah penulis cerpen—yang sebenarnya dari segi artistik sangat tidak menarik—yang pada 1968 mengundang reaksi umat Islam dan menyeret H.B. Jassin ke muka pengadilan. Cerpen ini pula yang mengakibatkan pecahnya sebuah polemik sastra berkepanjangan hingga dua tahun lamanya yang meributkan soal fantasi, kebebasan mencipta, dan agama .
Jassin bersikukuh tak mengungkap nama pengarang ataupun identitas lainnya. Dia maju ke meja pengadilan sebagai penanggung jawab, dan hingga akhir hayatnya 40 hari silam, nama Ki Pandjikusmin tetap misterius. Kekukuhan H.B. Jassin untuk tak membeberkan identitas Ki Pandjikusmin bahkan kepada istrinya adalah konsistensi. Tetapi karena unsur misterius itu pula muncul berbagai dugaan yang ganjil, bahkan lucu, tentang identitas penulis ini. Siapakah Ki Pandjikusmin?
Marilah kita melakukan kilas balik. Cerpen Langit Makin Mendung dipublikasikan di majalah Sastra bulan Agustus 1968. Tidak lama setelah cerpen itu dipublikasikan, pihak Kejaksaan Tinggi Sumatra melarangnya karena dianggap menghina kesucian agama Islam. Ratusan eksemplar majalah Sastra disita pihak berwajib dari agen-agen dan toko-toko buku di Kota Medan. Tindakan itu menimbulkan reaksi kalangan sastrawan di Jakarta ataupun Medan.
Di Medan, Zakaria M. Passe, Sori Siregar, dan Rusli A. Malem membuat stensilan protes. Di Jakarta, Trisno Sumardjo, D. Djajakusuma, Umar Kayam, Taufiq Ismail, dan Slamet Sukirnanto menandatangani pernyataan protes.
Pada 22 Oktober 1968, lewat redaksi Harian Kami, Ki Pandjikusmin mencabut cerpennya dan menganggap tak pernah ada. “Sebermula sekali bukan maksud saya untuk menghina agama Islam, tujuan sebenarnya adalah semata-mata hasrat pribadi saya untuk mengadakan komunikasi langsung dengan Tuhan, Nabi Saw, sorga dll. Di samping menertawakan kebodohan di masa regime Soekarno. Tapi rupanya saya telah gagal, salah menuangkannya dalam bentuk cerpen; alhasil mendapat tanggapan di kalangan umat Islam sebagai penghinaan terhadap agama Islam,” demikian Ki Pandjikusmin.
Tapi, kehebohan berlanjut di Jakarta. Kantor majalah Sastra di Kramat Sentiong 43 didatangi sekitar 50 pemuda. Mereka mencorat-coreti dinding: HB Jassin Kunjuk, HB Jassin tangan kotor Gestapu PKI, Ini Kantor Lekra, Majalah Sastra Anti Islam. Penanggung jawab majalah Sastra, Darsjaf Rachman dan H.B. Jassin, pada 28 Oktober 1968 akhirnya mengeluarkan surat pernyataan maaf. Tapi suasana bertambah panas ketika Menteri Agama K.H. Mohd. Dahlan menyatakan bahwa cerpen Langit… menghina Tuhan, agama, para nabi, malaikat, kiai, Pancasila, dan UUD 1945, dan menganggap penulisnya atau penanggung jawabnya patut diajukan ke muka pengadilan.
Setelah melalui silang pendapat seru, akhirnya H.B. Jassin diajukan ke pengadilan. Di persidangan, Jassin menolak membeberkan identitas Ki Pandjikusmin. Sikap itu berpegang pada Undang-Undang Pers 1966—yaitu bila sang pengarang sendiri tidak membuka identitasnya, redaksi mempunyai hak tolak untuk memberitahukan identitas pengarang sesungguhnya. Tak tampilnya Ki Pandjikusmin mengundang banyak spekulasi. Setahun sesudah peristiwa, tajuk rencana Indonesia Raja masih menulis: Ki Pandjikusmin, Tampillah Engkau Sekarang Sebagai Ksatria. Belum lagi banyak tafsiran tentang Ki Pandjikusmin. Ada anggapan Ki Pandjikusmin adalah singkatan dari “kibarkan panji-panji komunis internasional”. Ada yang menduga Ki Pandjikusmin tak lain adalah H.B. Jassin sendiri. Dalam tanya-jawab persidangan, H.B. Jassin mengatakan bahwa sang pengarang adalah pelaut. Alamatnya berpindah-pindah. Sampai saat pengadilan saja, Jassin mengaku hanya mengenal dia melalui surat-menyurat.
Setelah meneliti surat-surat H.B. Jassin dan menemukan beberapa kertas lusuh tulisan tangan asli Ki Pandjikusmin, TEMPO berkesimpulan alamat “pengarang misterius” ini memang berpindah-pindah dan terkesan menutup diri. Tanggal 31 Juli 1967, saat mengirim cerpen berjudul Bintang Maut, alamatnya di Kebonkosong Bunderan No. 94 F, Jakarta. Dalam surat pengantarnya ia mengatakan bila tak memenuhi syarat, mohon cerpen dikembalikan. Oktober 1967, H.B. Jassin menjawab ke alamat itu: “Cerpen saudara, Bintang Maut, yang dikirim dengan nama samaran Ki Pandjikusmin, sedianya telah kami setujui untuk dimuat dalam majalah Horison. Kebetulan, bulan November, Sastra akan terbit kembali. Dengan seizin redaksi Horison, bolehkah kami memuat cerpen Saudara itu dalam majalah Sastra?” Di akhir surat, Jassin melampirkan formulir daftar pengarang dan meminta Ki Pandjikusmin mengisinya untuk dokumentasi. Sekaligus, Jassin meminta ia melampirkan foto.
Surat itu dijawab oleh Ki Pandjikusmin pada 12 Oktober 1967 ke rumah Jassin, Jalan Siwalan 3 Mahoni. Anehnya, alamatnya berbeda dan dikirim dari Jawa Timur, yakni Jalan Krida No. 5, Probolinggo. Isinya adalah dia tak berkeberatan apabila naskahnya dimuat di majalah Sastra, tapi dia tidak mau mengisi lampiran dan foto. Alasannya, sebagai pengarang, karya-karyanya dianggap belum memadai dan memuaskan hati.
Bintang Maut akhirnya dimuat dalam majalah Sastra pada November 1967. Cerpen Domba Kain selanjutnya dimuat di majalah Sastra edisi Mei 1968. Artinya, sebelum Agustus 1968, sudah dua cerpen Ki Pandjikusmin yang dimuat di Sastra. Dalam dokumentasi H.B. Jassin, TEMPO juga menemukan naskah Ki Pandjikusmin berjudul Hujan Mulai Rintik, yang merupakan naskah sambungan cerpen Langit Makin Mendung dan belum pernah dipublikasikan.
Syahdan, pada 1970, majalah Ekspres pimpinan Goenawan Mohamad menurunkan laporan utama tentang H.B. Jassin dan Ki Pandjikusmin. Adalah Redaktur Pelaksana Usamah yang berhasil menemuinya. Artikel majalah Ekspres, yang antara lain ditulis oleh redaktur Taufuq Ismail, itu tak menyebut nama asli Ki Pandjikusmin dan juga tak menampilkan foto Ki Pandjikusmin. Majalah ini juga kemudian menulis identitas sang “misterius” ini agak lengkap.
Pandjikusmin lahir dari keluarga Islam. Nama Kusmin diambil dari nama ayahnya saat kecil, sementara Pandji nama kakeknya dari pihak ibu. Ayahnya menikah lagi dalam pengungsian pada 1945, di Malang. Sejak berumur lima tahun, ia ikut ibu tiri. Ibu tirinya adalah seorang Protestan. Ia disekolahkan di sekolah Kristen di Malang dan oleh ibunya dan dididik sebagai Protestan.
Semasa sekolah dasarnya di Malang, ia sering tak naik kelas. Tingkah lakunya bandel, sehingga ibu tirinya mengirim ke Asrama Katolik Boro di Kulonprogo, Yogya. Selama tiga tahun dia diasuh oleh Pastor Harsosusanto dan Bruder Themoteus. Di sinilah ia kemudian dibaptis menjadi seorang Katolik. Setamat SD di Bruderan Boro, Kulonprogo, ia melanjutkan studi ke SMP Kanisius Salatiga.
Tahun 1956, lulus dari SMP Kanisius, ia pergi ke Semarang. Di Semarang, ia masuk SMA Protestan—yaitu SMA Masehi, tapi ia tetap Katolik. Beberapa bulan kemudian, ayahnya, yang telah menetap di Jakarta, menikah kembali. Ibu tirinya meninggal. Upacara pernikahan secara Islam ini mengetuk hatinya. Penghulu dan doa-doa yang dibaca membuat ia terkenang akan masa kecilnya. Sejak itu, Ki Pandjikusmin memutuskan kembali masuk Islam. Ia meninggalkan SMA Masehi Semarang, lalu akhirnya pindah ke Akademi Pelayaran Nasional. Selama enam tahun ia menjalani wajib dinas di Jakarta.
Setelah heboh cerpen Langit Makin Mendung, Ki Pandjikusmin ternyata masih mengirim naskah ke Horison. Pada 1970, ia mengirim cerpen berjudul Petasan dalam Sampah. Naskah itu tidak dimuat karena tidak lolos kriteria Taufik Ismail. “Kalau saya jadi redaktur Sastra, Langit Makin Mendung pun tidak saya loloskan. Itu cerpen jelek. Metafora Ki Pandjikusmin sangat sederhana dan kekanakan. Tuhan melayang di atas, memakai kacamata seperti orang tua. Imajinya begitu miskin,” tutur Taufiq kepada Dharmawan Sepriyossa dari TEMPO. Pada 20 Oktober 1971, sang pengarang misterius mengirim cerpen berjudul Dia Tidak Tidur. Yang ini dimuat di Horison edisi Desember 1972. Bila kita tilik alamat suratnya, kini ia berpindah lagi, yaitu Jalan Perhutani I Jalan Rajawali 40 Surabaya. Jadi, semenjak 1967, berdasarkan surat-surat lusuh itu, Ki Pandjikusmin tampaknya telah berpindah empat kali: Jakarta, Probolinggo, Singapura, dan Surabaya.
Selepas tahun 1972, kiriman karya-karyanya tak dapat ditemukan lagi pada arsip-arsip perpustakaan Jassin. Adakah kemampuan menulisnya punah? Bila demikian, berarti Ki Pandjikusmin hanya berhasil menulis segelintir cerita. “Dia tak terus-menerus menulis. Dia hanya meletup sekejap saja,” demikian komentar Taufiq Ismail. Ataukah ia memakai nama samaran lain? Sesungguhnya, seperti jawabannya kepada majalah Ekspres, kala itu tak ada niatan dalam dirinya untuk menjadikan dirinya misteri. Ia mengatakan, sebenarnya ia bersedia tampil saat itu. Tapi karena melihat Jassin sudah mengatasi sendiri, ia merasa tak pantas melangkahi orang tua.
Bila masih sehat, pengarang misterius itu kini umurnya sekitar 55 tahun. Adakah saat 40 hari peringatan meninggalnya Jassin kemarin di TIM dia diam-diam menyelinap di antara pengunjung? Atau, akankah dia datang pada acara “In Memoriam H.B. Jassin” yang akan diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta, Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, dan Fakultas Sastra UI bulan depan? Ataukah dia sudah betul-betul lepas dari dunia sastra—melupakan masa lalunya sehingga saat kematian Jassin pun ia tak menyempatkan diri menghormatinya?
24 April 2000
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar