Sabtu, 24 September 2011

Pledoi Sejarah Kebudayan Indonesia

Diana A.V. Sasa
http://dianasasa.blogspot.com/

“Sejarah senyap adalah sebuah metode dan usaha menggali kuburan ingatan kolektif dari persemayaman yang dipaksakan; sebuah ikhtiar mencabuti kembali patok-patok nisan tanpa nama dan mendengarkan tutur dari alam kubur kebudayaan Indonesia tentang apa yang sesungguhnya terjadi”

Emboss palu-arit tercetak samar di kertas putih bersih itu menghadirkan kembali rasa getir trauma masa lalu. Judul dengan warna merah menyala di samping logo penerbit bak darah mengalir, mengingatkan pada betapa banyak darah tertumpah yang menjadi tumbal gambar itu.

Desain sampul Lekra Tak Membakar Buku: Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965 yang disusun Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan ini dibuat jelas bukan tanpa alasan. Selain peraturan pelarangan gambar itu masih belum dicabut, Lekra (Lembaga kebudayaan Rakyat) dalam sejarah memang selalu berada dalam bayang-bayang partai berlambang dua benda tajam senjata kaum tani itu, PKI (Partai Komunis Indonesia). Jika Lekra maka PKI, karena PKI maka (pasti) jahat, kejam, sadis, dan layak digorok. Sebuah peng-gebyah uyahan-yang keblinger berpuluh tahun.

Rhoma dan Muhidin adalah dua orang muda yang usianya belum juga genap 30, tapi kepeduliannya pada dokumentasi sejarah bangsa begitu besar. Rhoma adalah periset muda yang telah melahirkan pelbagai karya sejarah seperti Seabad Pers Kebangsaan (1907-2007), Seabad Pers Perempuan (1908-2008), Almanak Partai Politik Indonesia, dan Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia (1908-2008). Muhidin adalah penulis muda yang namanya wira-wiri di media nasional dan telah melahirkan berpuluh buku sastra maupun esai. Dialah pemimpin riset Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia yg ditulis 25 penulis muda yang usianya masih di bawah 25 tahun. Mereka berdua ini selama 17 bulan dengan getih menyusuri kembali lembar demi lembar Harian Rakjat dalam lembab almari perpustakaan sunyi di pusat kota Jogjakarta dengan satu semangat: selamatkan aset sejarah sebelum kalah dengan rayap!

Sebanyak 15 ribu artikel budaya Harian Rakjat dalam ejaan lawas dan tulisan kecil-kecil mereka baca dengan tekun, mereka catat bagian-bagian pentingnya (karena tidak boleh menggunting apa lagi menfotokopi karena merusak kertas yang sudah rapuh itu), untuk kemudian menuliskannya kembali dengan beberapa tambahan intepretasi. Mereka menyuguhkan dengan apa adanya peristiwa-peristiwa kebudayaan yang terjadi sepanjang rentang waktu revolusi 1950-1965. Fakta demi fakta diuraikan. Dan hasilnya: Lekra tak hanya mengurusi soal sastra yang selalu diperdebatkan dengan Manikebu, tapi juga film, musik, seni tari, seni pertunjukan (ketoprak, wayang, ludruk, drama, reog), buku, pers, dan kebudayaan secara umum.

Buku ini, meski disebut sebagai “buku putih”, tapi bukanlah sebuah pledoi buta terhadap Lekra. Ia adalah ikhtiar memberi kesempatan bagi mereka untuk berbicara apa sesungguhnya yang telah mereka lakukan semasa kurun 15 tahun yang bergemuruh itu.
Jika boleh disandingkan, buku ini adalah jawaban paling serius dari Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI yang disusun DS Moeljanto (DSM) dan Taufik Ismail (TI) sekira tahun 1995 silam.

TI dalam pengantarnya mengatakan bahwa Prahara Budaya disusun dengan ketulusan hati ingin meluruskan sejarah. Buku itu ditujukan bagi pembaca muda yang tak mengalami peristiwa tersebut. Sementara Muhidin dan Rhoma dalam pengantarnya mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku ditujukan untuk mengingat kembali peran Lekra dalam kebudayaan Indonesia pada masa itu dengan apa adanya agar generasi yang tak mengalami peristiwa tersebut memperoleh informasi sejarah yang berimbang.

Jika Prahara Budaya bersampul “merah” itu disusun oleh dua budayawan lanjut usia (baca: tua) yang sangat antipati terhadap Lekra, maka buku ini disusun dua orang muda enerjik dari masa yang sudah sangat jauh berbeda tatkala Lekra berdiri kukuh. Meski ketebalan hanya berbeda kurang dari 60 halaman, tapi perbedaan di antara keduanya terlihat prinsipil.

Dalam Prahara Budaya, tak jelas disebutkan posisi DSM dan TI sebagai apa selain nama mereka tercantum disampul—mungkin lebih tepat jika disebut editor jika bukan kolektor—dari kliping koran, majalah, dan makalah kebudayaan di seputar tahun 60-an. Dokumen-dokumen itu disajikan mentah, sedikit pengantar dan komentar di bawah, yang kadang tak ada kaitannya dengan bahasan di atasnya, dan perubahan judul (tanpa penjelasan mengapa diubah dari aslinya) di sana sini.

Tulisan pengantar yang dibuat TI pun lebih banyak mengungkap ketaksetujuannya atas dasar iman dan pengalaman subjektif; tak terungkap argumen yang sifatnya ilmiah. Sistematika penyusunan dan kronologi peristiwanya juga tak tertata dengan baik. Sehingga buku ini sangat jauh dari ilmiah—lebih tepat disebut buku pembunuhan telak Lekra. Lebih banyak menyajikan konflik, saling tuduh, saling tuding, dan maki bak prahara seperti judulnya. Hasilnya: Lekra adalah organ kebudayaan kaum preman yang tak berotak, tukang keroyok, dan pembuat onar panggung kebudayaan.

Sementara Lekra Tak Membakar Buku, dihadirkan dengan sistematika dan kronologi yang runtut. Mulai dari apa dan bagaimana Lekra, riwayat Harian Rakjat, dan satu demi satu diuraikan bagaimana kerja Lekra dalam sastra, film, senirupa, seni pertunjukan, seni tari, musik, buku dan penerbitan. Melalui riset mendalam (seperti yang selalu diajarkan seniman organik Lekra), sepak-terjang seniman dan pekerja budaya Lekra menghalau serangan imperialisme budaya dan modal yang bersekutu dengan kekuatan feodalisme lokal diulas ulang. Sambil sesekali memasukkan kutipan-kutipan dari sumber asli disertai catatan rujukannya. Juga dilampirkan keterangan akronim, berikut data-data hasil rapat, susunan pengurus, anggota pimpinan pusat, pengumuman, dan keputusan-keputusan penting Lekra dari rapat-rapatnya.

Dalam “panggung” Lekra Tak membakar Buku ini, terungkap banyak realitas menarik yang banyak tak diketahui publik. Di antaranya adalah instruksi pada semua utusan Kongres I Lekra dari seluruh cabang di Indonesia pada Januari 1959 agar tak hanya membawa bahan untuk diperdebatkan, tetapi juga membawa alat musik, mainan anak-anak, kerajinan tangan, pakaian daerah, cerita-cerita, ornamen-ornamen, penerbitan, dan lagu-lagu daerah masing-masing. Semua itu digelar dalam sebuah bazar besar sehari sebelum hingga kongres berakhir. Pengunjung pameran mencapai 15000/malam; sebuah jumlah yang tak kecil pada masa itu.

Tak sekadar memajangnya, mereka juga mematok program untuk menginventariasi kekayaan-kekayaan cipta budaya Nusantara yang terserak ribuan jumlahnya itu sehingga tak dicaplok bangsa lain seperti kasus lagu Rasa Sayange beberapa waktu lalu.
Seniman-seniman Lekra juga giat menyerukan agar pemerintah memperkeras sikap dengan gambar-gambar dan lukisan cabul dalam bentuk dan kegunaan apa pun seperti ilustrasi, poster, dekor, ornamen, tekstil, dan sebagainya. Kita tak perlu ribut dengan kontroversi RUU pornografi hari ini jika saja mendengarakan apa kata seniman Lekra puluhan tahun silam.

Lekra tak membiarkan anggotanya menempuh jalan kebudayaan dengan ugal-ugalan. Setiap seniman mesti bertanggung jawab pada rakyat yang menjadi basis dayaciptanya. Lekra juga menekankan agar dalam proses mencipta (seperti sastra) selalu melalui riset ilmiah bukan ongkang-ongkang kaki sambil merokok dan menenggak alkohol. Sikap Lekra Jelas di sini bagaimana Lekra berpihak dalam peran budayanya dengan memundaki tiga asas: bekerja baik, belajar baik, dan bermoral baik.

Lekra Tak Membakar Buku adalah sebuah pembelaan atas tuduhan yang sering dilontarkan “lawan” budayanya pada masa itu. Salah satunya adalah bahwa Lekra organ budaya pembakar buku. Buku ini bersikap jelas dan tegas: TIDAK! Lekra percaya bahwa buku mampu mengubah dunia, tapi tidak sembarang buku. Buku yang mampu “mengubah” adalah buku yang isinya digali langsung dari perikehidupan rakyat melalui gerakan turun ke bawah dan bukan mimpi-mimpi kosong yang melulu menjual kepalsuan hidup dari kamar salon. Lekra memang melakukan “teror” atas buku-buku penandatangan Manikebu dan juga pentolan-pentolan Masjumi dan PSI yang terlarang. Tapi Rhoma dan Muhidin ini memberi dalih bahwa tak ada bukti Lekra mengorganisasi pembakaran buku yang mereka tak sukai yang kemudian menjadi judul bagi buku ini.

Terlepas dari beberapa kesalahan ketik di sana sini, buku ini adalah dokumen sejarah yang disusun anak muda generasi sekarang dengan “semangat ilmu pengetahuan” dan keseriusan di atas rata-rata. Muhidin dan Rhoma menasbihkan buku ini sebagai sebuah dokumen sejarah kebudayaan kita yang hilang dan terputus atas nama dendam politik yang terus diwariskan pada generasi muda.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati