Jamrin Abubakar
http://www.kompasiana.com/jamrin_abubakar
MULANYA tidak begitu dikenal dan dianggap biasa saja, namun ketika Seminar Internasional I La Galigo digelar tahun 2002 yang dihadiri sejumlah seniman, budayawan dan peneliti dari berbagai Negara, praktis Desa Pancana begitu terkenal. Terbilang mengejutkan, sebelumnya tak banyak yang tahu kalau desa itu punya latar belakang sejarah dan budaya yang amat menarik. Bahkan merupakan salah satu pusat sastra dunia yang ditulis pujangga asli Bugis.
ejak itu Pancana bukan saja dikenal sebagai salah satu desa kecil (luasnya hanya 9,2 km) di ujung Kabupaten Barru yang berbatasan dengan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan, tapi kini dapat dikatakan sebagai desa internasional di ujung Barru. Padahal dibanding desa-desa tetangga sekitar Pancana tak jauh beda, secara kultural mayoritas penduduknya beretnis Bugis yang hidup dari pertanian kebanyakan menggarap sawah dan sebagian hidup menjadi nelayan.
Namun khusus Pancana, Kecamatan Tanete Rilau punya keistimewaan, bukan saja telah dikenal sebagai salah satu kawasan wisata budaya andalan di Sulawesi Selatan yang selalu mendapat perhatian dan sering dikunjungi wisatawan. Tapi dapat dikatakan ini merupakan daerah wisata sastra yang berawal dari seminar epos I La Galigo yang digagas Dr. Nurjayati Rahman seorang peneliti dari UNHAS. Kumpulan makalah-makalah (dalam bahasa Indonesia & Inggris, dan sedikit cuplikan dalam bahasa Bugis) telah diterbitkan dalam bentuk buku sebagai referensi yang menarik.
Selain itu, di Pancana sering dilaksanakan berbagai jenis pertunjukan seni dan kemah budaya antarpelajar dalam rangkaian acara Sastra Kepulauan salah satu event sastra di Sulsel yang selalu menghadirkan sejumlah sastrawan terkenal. Atraksi para bissu Bugis DARI Segeri (Pangkep) yang semuanya calabai (laki-laki berperilaku perempuan) dengan kekebalan tusukan keris dalam atraksi, beberapa kali tampil mempertunjukkan kemampuan ritualnya di Pancana. Kesenian para bissu yang merupakan tradisi perpaduan seni sastra lisan, seni tari, musik, seni rupa dan instalasi juga berakar dari tradisi yang terkandung dalam epos I La Galigo. Di antara spiritnya mencerminkan kedikdayaan tokoh Sawerigading sebagai tokoh sentral yang memiliki kekuatan-kekuatan supranatural, menguasai tiga dunia; bawah, tengah dan atas hingga berkomunikasi dengan “dewa-dewa.”
Dalam sebuah kunjungan penulis ke Pancana untuk menghadiri Sastra Kepulauan, sempat menyaksikan pertunjukan Puang Matoa Saidi seorang pemimpin kaum Bissu. Bagi komunitas seni tradisi di Sulsel, nama Puang Saidi sangat popular, sudah berkali-kali melakukan pementasan, termasuk ke Bali, bahkan dia menjadi salah satu bagian dari pementasan teater La Galigo untuk pentas keliling di panggung-panggung teater terkenal di dunia. Sebab dalam sureq I La Galigo peran bissu memiliki kedudukan cukup penting dalam berbagai upacara zaman dahulu kala. Namun ketika masa Orde Baru sempat vakum menyusul pemandegan kebudayaan-kebudayaan yang kadang disalahpersepsikan oleh penguasa.
Menuju Pancana
Untuk jalan-jalan ke desa Pancana sangat mudah, karena bukanlah desa yang terisolasi dan masyarakatnya sudah mengikuti perkembangan zaman. Secara geografis berada di tepi pantai berhadapan langsung dengan Selat Makassar, untuk menjangkaunya selain lewat perairan laut, paling mudah ditempuh dengan kendaraan sepeda motor atau roda empat dengan melalui jalan trans Sulawsi dari arah utara maupun dari arah selatan.
Pengalaman penulis yang pernah jalan-jalan ke Pancana dalam rangkaian mengikuti acara Sastra Kepulauan yang dihadiri sejumlah penyair, budayawan, koreografer dan pemerhati seni Indonesia, untuk menuju desa tersebut tidaklah sulit. Paling gampang dan cepat adalah lewat jalur dari arah Kota Makassar bisa ditempuh dengan kendaraan bus penumpang sekitar tiga atau empat jam. Cuma saja pusat permukiman Pancana tidak berada di tepi jalan trans Sulawesi, melainkan mesti berbelok ke arah kiri dari arah selatan sekitar satu kilometer untuk menuju pusat keramaian.
Kampung tua yang tata ruangnya sangat apik dan teratur ini memiliki keindahan alam yang betul-betul mencerminkan suasana pedesaan di tepi pantai yang eksotis. Di tengahnya mengalir sebuah sungai yang cukup deras mengalir membelah permukiman penduduk, namun yang cukup ramai adalah di belahan bagian selatan. Makam para bangsawan dan panrrita (ulama) yang berusia puluhan bahkan ratusan tahun silam masih terpelihara baik. Makam Datu We Tenrri Olle yang cukup besar dan eksotik di antara makam-makam lainnya menunjukkan kebesaran arung Pancana yang kini masih terpelihara baik sebagai salah satu obyek wisata religious.
Colliq Pujie
Populernya Pancana sebagai kampung wisata budaya internasional tidaklah datang begitu saja, melainkan punya latar belakang sejarah cukup panjang. Sekitar abad 19 di desa inilah pernah hidup seorang bangsawan wanita, dikenal sebagai pujangga Bugis yang sangat hebat bernama Ratna Kencana Colliq Pujie Arung Pancana Toa atau biasa disebut hanya Colliq Pujie. Namanya diabadikan pada salah satu jalan di desa Pancana dan nama sebuah Baruga sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa-jasa intelektualnya.
“Colliq Pujie adalah penulis epos terpanjang di dunia dan kisah I La Galigo itu jauh lepih panjang daripada epos Mahabarat dan Ramayana dari India yang selama ini sangat dikenal. Padahal yang sebenarnya epos terpanjang di dunia itu adalah karya sastra yang ditulis orang Bugis,” ungkap Nurhayati Rahman di suatu seminar di Makassar.
Kisah legenda heroisme Bugis itu sangat melegenda telah diterjemahkan dalam bahasa Belanda sejak zaman kolonial dan beberpa tahun silam sebagian kecil episode I La Galigo telah dipentaskan keliling dunia dalam bentuk teater.
Pada zamannya Colliq Pujie punya peran besar sebagai sastrawan yang luar biasa melahirkan maha karya yang sulit dan takkan berulang saat zaman serba canggih ini. Kedudukannya dalam masyarakat bukan saja sebagai intelektual penjaga tradisi leluhur orang Bugis, tapi juga sebagai orang yang disegani punya kemampuan menulis gagasan saat serba keterbatasan alat tulis. Pujangga Pancana itu walau hanya menulis dengan tangan, ia mampu melahirkan kisah-kisah yang melegenda, namun dalam perkembangannya ketika penjajah Belanda masuk, Desa Pancana dan hampir seluruh desa lainnya di Sulsel berada dalam kungkungan, sementara karya-karya Colliq kemudian dibawa pemerintah kolonial ke Negara Belanda. Untungnya nasakah-naskah itu menurut sejumlah peneliti aksara Bugis termasuk Nurhayati Rahman, masih tersimpan dengan baik di Leiden. B.F. Matthes missionaris Belanda pada zaman produktif Colliq Pujie telah menyelamatkan naskah itu sehingga saat ini masih bisa dinikmati hasil salinannya.
Silaturahim budayawan
Dijadikannya desa budaya yang bertaraf internasional, Pancana ingin bangkit mengembalikan citranya yang pernah gemilang pada zamannya tempat lahirnya pujangga Bugis walau dengan semangat baru. Yaitu menjadi arena silaturahim para budayawan Indonesia maupun dari Negara lain dengan menjadi tuan rumah event seni budaya bertaraf internasional.
Sejumlah budayawan tanah air pernah mempresentasikan karya-karyanya di Pancana dalam bentuk pembacaan puisi, workshop dan orasi budaya. Di antaranya WS. Rendra, Ikra Negara, Zawawi Imron, Afrizal Malna,Halim HD dan sejumlah seniman dari Makassar. Setiap ada event selalu dipadati pengunjung terutama mahasiswa, masyarakat Pancana sendiri dan masyarakat desa tetangga selalu memberi dukungan.
Bahkan beberapa kali ada event budaya, penduduk desa Pancana selalu merelakan rumahnya dijadikan tempat penginapan bagi seluruh tamu dari luar. “Rumah saya sudah beberapa kali menjadi tempat tamu menginap setiap ada kegiatan kesenian di desa ini dengan permintaan kepala desa. Kita juga menyediakan makanan dengan biaya yang sudah diberikan dari panitia kegiatan atau pemerintah,” kata seorang pemilik rumah tempat penulis menginap.
Menurut beberapa warga yang dimintai tanggapannya, mengaku setiap ada kegiatan kesenian sangat senang, karena selain desanya ramai dikunjungi orang yang pasti berbelanja, juga desanya makin terkenal. “Hampir setiap tahun di desa Pancana ada kegiatan kesenian yang ramai dilaksanakan di baruga,” kata seorang penduduk Pancana.
Keistimewaan lain Pancana sebagai kampung budaya adalah dibangunnya sebuah baruga besar (Baruga Colliq Pujie) di tengah perkampungan masyarakat. Baruga tersebut dibangun atas dukungan pemerintah untuk dijadikan pusat kebudayaan berbagai aktivitas sosial masyarakat setempat. Bukan hanya untuk festival kesenian namun juga bagi kegiatan masalah pembangunan desa, bahkan pelantikan pejabat di jajaran Pemkab Barru juga biasa dilaksanakan di baruga.()
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar