Senin, 02 Mei 2011

Multikulturalisme: Basquiat yang Mendobrak Warhol

Faisal Kamandobat*
Kompas, 20 Okt 2007

KITA buka perbincangan multikulturalisme dengan menyebut nama yang tak asing lagi: Jean Michel Basquiat. Mungkin tak ada yang menyangka dia akan menjadi legenda seni rupa. Basquiat lahir dari keluarga negro-Amerika yang berantakan dan tumbuh di lingkungan yang sama. Kasarnya, ia tak memenuhi syarat sukses menurut ukuran borjuis kulit putih: lahir dari keturunan baik-baik, menempuh pendidikan dengan nilai bagus, dan lulus dari universitas yang diperhitungkan.

Akan tetapi, Basquiat lahir ketika perbudakan dan rasisme diolok-olok, nilai konservatif kelas menengah mulai ditinggal perubahan sosial yang gegap, dan sikap akademisme kaku jadi bulan-bulanan kompleksitas sosial.

Di tengah semua itu, seorang perupa genius yang negro ini ternyata tak mungkin dikeluarkan dari sejarah—alih-alih sebagai representasi antiperbudakan dan manifestasi zaman yang semakin terbuka.

Kemunculan Basquiat dibentuk konteks itu, dengan lukisan- lukisan khas ekspresi kaum negro: coretan grafiti, ikon-ikon acak serupa ragam hias primitif, figur-figur anatomi mahapincang, dan warna yang bikin pusing pelukis realis jempolan. Tema-temanya pun tepat dengan bentuk visualnya: candu, blues, jazz, puisi-puisi liar dengan huruf sama liarnya, serta berbagai ikon tradisi kulit hitam.

Ukuran estetika seni rupa modern khas Eropa yang menempatkan individu genius penemu konsep universal lewat permainan garis, bidang dan warna, tentu risi dengan ekspresi seniman seperti Basquiat yang tak mengikuti tahap pembelajaran seni modern. Siapa dan di mana pun—tanpa melewati tahap-tahap itu—jangan harap masuk sejarah seni modern.

Namun, setiap kultur punya tradisi pengetahuan dan seninya sendiri (Negro, Hispanik, Kreol, Anglo-Saxon, dan seterusnya).

Memaksakan klaim universal seni modern tak ubahnya mereduksi bentuk topeng Afrika berdasarkan prinsip geometri Euclid. Dan lukisan-lukisan Basquiat adalah "bentuk lain" di tengah universalitas modernisme yang tunggal itu, beriringan dengan gerakan antirasisme, feminisme, dan seterusnya.

Ekonomi nilai

Membaca Basquiat dari rasisme, meski tak terhindarkan, terasa sentimentil dan kuno (meski rasisme terang-terangan masih jadi bagian sah ketaksadaran kolektif zaman sekarang.) Lebih luas dan aktual membawa Basquiat ke ruang urban, di mana estetika seni modern khas Eropa dengan gaya scientific-nya mulai digeser estetika representasi yang muncul di ruang publik kapitalisme pasar. Pada babak ini, aktor utamanya bukan Basquiat, melainkan si feminin Andy Warhol.

Menghadapi para pelukis Eropa berkarakter filsuf-ilmuwan, Warhol melakukan diplomasi artistik elegan dengan tidak mengikuti logika kompetitornya. Baginya, melukis bukan olah intelektual abstrak serupa matematika atau fisika yang mencari konsep dasar geometri semesta dan realitas, melainkan upaya memotret perubahan sosial historis.

Beda dengan Matisse yang berkeras mencapai garis esensial, atau Picasso yang mendistorsi geometri formal, atau De Chirio yang menangkap (sambil mengkritik) dimensi fisis-matematis manusia lewat lukisannya, pula Dali dan Ernst yang menelanjangi realitas lewat surealisme, Warhol berusaha membedah kondisi manusia kapitalistik. Bagi Warhol, bukan matematika atau fisika, filsafat atau ideologi yang mengubah manusia dan dunia, melainkan modal.

Toh, tanpa modal, fisika, matematika, filsafat, atau ideologi (juga seni rupa!) tak menghasilkan teknologi, sistem nilai, dan jenis budaya yang masif dan populer. Warhol melukis Kennedy dan Marilyn Monroe yang jadi ikon dunia berkat media, Coca- cola yang mengubah pola minum sekian persen umat manusia, sepatu dan tas yang maknanya melampaui fungsinya. Pula Jackie Kennedy yang dengan gaya glamour-konsumtifnya mengubah karakter aristokrat-puritan para politisi Gedung Putih.

Temuan Warhol segera dirayakan kelas menengah Amerika. Bertahun-tahun negeri ini tak mampu menghadapi Eropa dengan kepala tegak. Kultur, sejarah, dan seni mereka dianggap sekadar catatan kaki benua itu.

Berkat Warhol, Amerika tak lagi grogi menghadapi negeri-negeri Eropa kontinental, khususnya yang menjadi laboratorium aktif seni rupa modern, seperti Perancis, Belanda, dan Italia.

Peran negara

Seni khas Amerika lahir dari realitas khas negerinya, di mana kapitalisme membentuk relasi imigran dari berbagai bangsa. Bukan agama dan etnik yang memengaruhi ikatan sosial khas Amerika, melainkan kapitalisme.

Perbedaan budaya digeser dari antarsuku, bangsa, dan agama, ke perbedaan selera produk konsumsi. Paradigma pluralisme tak memadai lagi karena itu lahirlah multikulturalisme.

Dan multikulturalisme memang cocok pada masyarakat kapitalisme lanjut, di mana seluruh aspek kehidupan telah tereduksi pada nilai modal (beda dengan kapitalisme industri di mana seluruh aspek kehidupan belum terekonomisasi).

Dalam kapitalisme lanjut, peran lembaga sosial tak sekuat lembaga finansial. Pengaruh pakar pemasaran, iklan dan bintang film lebih nyata dibandingkan dengan menteri pertahanan, politisi, apalagi birokrat.

Multikulturalisme memahami budaya sebagai pilihan konsumsi individu (seperti musik, film, olahraga, dan mode) serta bukan konstruksi "genetik" sosial historis (seperti ras, bahasa, agama dan etnik).

Namun, multikulturalisme menyimpan dilema. Kemunculan Basquiat dengan lukisan-lukisan grafitinya yang "mencoret" ikon- ikon budaya pasar Warhol menunjukkan bahwa dalam masyarakat kapitalisme lanjut, kendati seluruh aspek kehidupan telah tereduksi menjadi nilai modal, tidak semua kelompok sosial mendapat akses finansial yang sama, persis seperti dialami kaum negro Amerika.

Basquiat menelanjangi visi estetik Andy Warhol dan sekelompok ilmuwan sosial yang demi menjaga ketertiban di lingkungan urban melahirkan jenis seni dan teori sosial mengenai kelompok yang diuntungkan sambil mendiamkan atau menyisihkan mereka yang tertindas dan dirugikan.

Yang menyelesaikan persoalan ini tidak cukup dengan hanya memberi ruang representasi sosial kepada yang dirugikan (subaltern), tetapi juga memberi akses finansial yang memadai.

Dalam hal ini, peran negara (khususnya ekonomi) diperlukan sejauh pada batas yang wajar. Tanpa itu, setidaknya ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, suasana tertib "multikultural" hanya permukaan belaka, tidak menyentuh substansi sesungguhnya. Kedua, kapitalisme lanjut akan mengalami krisis karena jika seluruh ruang telah dijejali lembaga-lembaga finansial, krisis sosial akan terbungkam.

Padahal, kapitalisme membutuhkan kontrol sosial jika tak ingin bangkrut seperti anaknya yang heroik: komunisme.

* Faisal Kamandobat, Penyair, menetap di Majenang, Yogyakarta
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2007/10/multikulturalisme-basquiat-yang.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati