Agus Sri Danardana
Riau Pos, 17 April 2011
Pendahuluan
Secara arkeologis dan historis, keris telah dikenal masyarakat Indonesia (Nusantara) sejak zaman kuno, sekitar abad ke-5. Prasasti Tukmas di lereng barat Gunung Merapi (Grabag, Magelang, Jawa Tengah) menjadi petunjuk awal keberadaan keris di Indonesia. Meskipun demikian, secara sosiologis, keris baru menjadi bahan perbincangan setelah tersebar laporan-laporan perjalanan laut lintas negeri, seperti Yin Ya Sheng Lan (Pemandangan Indah di seberang Samudera) karya Ma Huan dan Xing Cha Sheng Lan (Menikmati Pemandangan Indah dengan Rakit Sakti) karya Fei Xin, di zaman kerajaan Majapahit (lihat Kong Yuanzhi, Muslim Tionghoa Cheng Ho: Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, 2000:100-101).
Secara umum, keris dimaknai sebagai “senjata tajam yang bersarung, berujung tajam, dan bermata dua (bilahnya ada yang lurus, ada yang berkeluk-keluk)” (KBBI, 2008:681). Dalam perkembangannya, pengertian/makna keris sering mengalami perubahan seiring dengan perkembangan rasa bahasa dan sistem simbol dalam masyarakat penggunanya. Di Jawa, misalnya, keris dianggap sebagai istilah yang tumbuh dari jarwadhosok “akronim”: ke dan ris. Ke akronim dari kekeran “pagar, penghalang, peringatan, pengendalian”, sedangkan ris akronim dari aris “tenang, lambat, halus”. Keris, dengan demikian, dipahami sebagai alat defensif dengan konsekuensi akan pentingnya penekanan tentang kesadaran etis yang mengesampingkan performan keris sebagai senjata tajam yang keras dan agresif. Pengertian seperti itu biasanya berbarengan dengan pemolesan makna simbolis tentang kesejahteraan hidup melalui konsepsi angsar, yakni kepercayaan akan adanya kekuatan dalam karya estetik yang akan dapat mendatangkan keberuntungan. Dalam proses regenerasi, “pesan moral” seperti itu dianggap sebagai wasiat (nasihat peninggalan nenek moyang) yang wajib dijalankan. Di satu sisi, keris ditempatkan sebagai senjata untuk perlindungan diri, di sisi lain keris menjadi simbol kedewasaan, kepercayaan, kebebasan, serta tanggung jawab sosial dalam masyarakat.
Dalam keluarga masyarakat Jawa, seorang ayah biasanya akan memberikan bilah keris kepada anak perempuannya yang akan menikah. Keris itu kemudian diserahkan kepada (calon) suami (untuk disimpan), di samping sebagai tanda adanya ikatan berdasarkan persetujuan keluarga terhadap (calon) menantu, juga sebagai tanda penyerahan tanggung jawab atas anak perempuan dari seorang ayah kepada menantu (dan besan) untuk mendapatkan kasih sayang, perlindungan, dan kesejahteraan. Jika keluarga baru itu kandas (bercerai), keris akan diserahkan kembali ke mertua (disimpan oleh perempuan yang menjanda). Keris akan dikeluarkan kembali jika si janda menikah lagi.
Pewarisan keris dapat pula dilakukan atas dasar kepercayaan kepada pihak lain, bukan atas dasar keturunan (proses regenerasi). Dalam kasus-kasus tertentu, pewarisan keris bahkan terkait dengan simbol garis penerus yang berhubungan dengan kapasitas khusus tertentu dalam tradisi, seperti pewarisan otoritas yang dimiliki seorang tokoh/kerajaan kepada tokoh/kerajaan lain yang dipercaya dapat memegang amanat.
Tulisan ini sebenarnya hendak melihat makna keris tameng sari dalam salah satu sajak Taufik Ikram Jamil, “tameng sari kuserahkan kembali” (Fragmen Waktu, 2010:106-107). Sajak 9 bait itu akan didekati secara mitologis (“kisah masa lalu”) dengan mengaitkannya dengan kepercayaan / pemahaman masyarakat (Riau, melalui Taufik Ikram Jamil) atas keberadaan keris tameng sari.
Sastra dan Mitologi
Dalam salah satu tulisannya, Budi Darma (2004:130) berpendapat bahwa sastra adalah kepanjangan dari mitologi. Seperti halnya dalam sastra, di dalam mitologi terdapat tokoh-tokoh yang mengalami konflik kejiwaan/masalah psikologis sehingga antara sastra, mitologi, dan psikologi sesungguhnya saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Untuk mendukung pendapatnya itu, Budi Darma mencontohkan asal-usul istilah histeria dan narsisme. Konon, kedua istilah itu diambil dari dua nama tokoh dalam mitologi Yunani Kuno yang mengalami masalah psikologi: Histeria dan Narcissus. Histeria adalah tokoh wanita yang mengalami ketidakberesan pada rahimnya. Setiap kali ketidakberesan itu muncul, Histeria selalu berteriak-teriak, kadang menangis, kadang tertawa, dan kadang marah-marah tidak dapat lagi mengendalikan emosinya. Sementara itu, Narcissus adalah tokoh pria (?) yang mencintai dan mengagumi diri sendiri secara berlebihan. Kini, keduanya: histeria dan narsisme digunakan untuk setiap orang (baik pria maupun wanita) yang mengalami gangguan kejiwaan seperti itu.
Sebagai produk budaya, idealnya, mitos akan selalu hidup dan memberi pengaruh terhadap perilaku dan pandangan hidup masyarakat. Mitos bukan sekadar sebuah konsep/gagasan, melainkan suatu lambang dalam bentuk wacana. Mitos, dengan demikian, selalu menghadirkan sebuah sistem komunikasi yang menawarkan pesan masa lalu: ide, ingatan, kenangan, dan bahkan keputusan yang diyakini masyarakatnya (Barthes, 1981:193). Oleh karena itu, dalam kondisi yang benar, mitos dapat mengembangkan integritas masyarakat: memadukan kekuatan kebersamaan yang terpecah serta dapat membentuk solidaritas, identitas kelompok, dan harmonisasi komunal.
Keris Tameng Sari
Pada mulanya, Tameng Sari adalah nama seorang hulubalang (pendekar) kerajaan Majapahit. Ia memiliki sebilah keris yang sangat sakti. Dalam Hikayat Hang Tuah disebutkan bahwa Tameng Sari, karena mengamuk dan hendak membunuh raja Majapahit saat menerima kunjungan hulubalang kerajaan Melaka, mati di tangan Hang Tuah. Atas kejadian itu, keris Tameng Sari dihadiahkan oleh raja Majapahit kepada Hang Tuah. Sejak saat itu keris itu pun disebut keris tameng sari. Konon, keris tameng sari itu pula yang digunakan Hang Tuah untuk membunuh Hang Jebat.
Penghadiahan keris tameng sari dari raja Majapahit kepada Hang Tuah, setidaknya, memiliki dua makna. Di samping merupakan sebuah pengakuan (atas ketangguhan Hang Tuah) dan tanda ikatan persahabatan (antara Raja dan Hang Tuah, Majapahit dan Melaka, bahkan Jawa dan Sumatera), penghadiahan itu juga merupakan simbolisasi dari sebuah prosesi pewarisan otoritas kerajaan Majapahit kepada kerajaan Melaka yang dianggap mampu memegang amanat.
Pertanyaannya sekarang adalah apakah pemahaman seperti itu terlihat pada sajak Taufik Ikram Jamil, “tameng sari kuserahkan kembali”? Lalu, mengapa keris tameng sari dikembalikan? Untuk menjawabnya, mari kita simak terlebih dulu penggalan sajaknya (bait 1) berikut ini:
sumpah itu tak akan pernah terlupakan
makanya keris tameng sari ini sempat lama kusimpan
jadi semerbak kuntum-kuntum bunga
berucap pada negeri-negeri jauh
dengan kefasihan mantera tanpa keluh
Rupanya, bagi si aku lirik, menyimpan keris tameng sari bukan sekadar karena adanya kewajiban pemenuhan atas sumpah/janji, melainkan juga karena adanya pengakuan: dengan kefasihan mantera tanpa keluh atas keberadaan keris tameng sari (dengan segala makna simbolisnya) yang telah mengharum ke negeri-negeri jauh sekalipun. Meskipun demikian, pada bait 2, si aku lirik mencoba menampik hal itu dengan mengatakan, “tapi aku memang bukan yang dulu/sementara itu engkau begitu lembut untuk diri sendiri/hingga aku menduda dari catatan-catatan laku/yang tak panjangkan sua kita/pada tali persaudaraan yang kian pendek”. Oleh karena itu, si aku lirik pun membuat keputusan (bait 3) seperti berikut ini:
lalu kuserahkan kembali keris tameng sari ini
bersama kisah pilu di hulunya
tempat kita sama-sama pernah bergenggam
ketika berbagai mimpi diandam
di tengah jaga yang menjelang
tetapi dalam tidur pun tiada bertemu
nasib baik terpuruk ke dalam angan-angan
Begitulah, setelah membeberkan berbagai kekecewaannya (dengan menyodorkan keironisan-keironisan yang dinyatakan pada bait 4, 5, 6, 7, dan 8), aku lirik menutup sajaknya dengan mengulang keputusannya (bait 9) seperti berikut ini:
kuserahkan kembali keris tameng sari ini
sebelum tikamnya menjadi makin runcing
di tanganku kehilangan kendali
karena jarak yang kian tersarung
untuk kesalahan yang terus terasah
dalam catatan-catatan berbatu
yang telah mencalarkan diri sendiri
demi marwah yang makin basah oleh air mata
Penutup
Melalui pembacaan sederhana seperti itu, dua pertanyaan yang diajukan dapat dijawab. Pertama, keris tameng sari (oleh si aku lirik) tidak hanya dipahami sebagai senjata untuk perlindungan diri, tetapi juga dipahami sebagai simbol ikatan persaudaraan antarkita: aku dan engkau, Melaka dan Majapahit, dan/atau daerah (Riau/Sumatera) dan pusat (Jakarta/Jawa). Kedua, keris tameng sari dikembalikan karena si aku lirik kecewa, merasa telah dikhianati oleh engkau: pemberi keris tameng sari.
Atas dua jawaban itu, patut diduga Taufik Ikram Jamil (melalui sajaknya, “tameng sari kuserahkan kembali” ini) ingin melakukan demitefikasi keris tameng sari.
Lihatan ini, bisa jadi, tidak memuaskan semua pihak. Meskipun demikian, dengan segala kelemahannya, (diharapkan) lihatan ini mampu menggoda pembaca untuk melakukan analisis/penelitian lebih lanjut. n
Agus Sri Danardana, Kepala Balai Bahasa Riau. Menulis esai di berbagai media, dan telah menerbitkan beberapa buku kritik/esai sastra. Sekarang sedang mempersiapkan salah satu buku kumpulan esai sastranya.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2011/04/keris-tameng-sari.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar