Han Gagas
Republika, 28 Maret 2010
Hatiku gamang saat kaki menjejak pematang dan menyusuri setapak. Gelap turun sempurna memerangkap semua rumah dan pepohonan. Bulan, walau separo, cahayanya berhasil membuat bayang-bayang pohon memanjang dan membesar, dan angin menjadikannya bergoyang-goyang. Di depan, nampak sebuah rumah limasan kabur disinari lampu senthir, membiaskan sinar suram. Lengang.
Karso menggamit pundakku saat tiba di pelataran. Lalu kami menaiki undhak-undhakan. Berhenti sejenak, mengatur napas. Ia mengetuk pintu pelan-pelan. Suaranya menghunus sunyi malam.
Sepi. Tak ada jawaban.
Siang tadi, Karso mengajakku membeli kembang tujuh rupa di Pasar Legi dan jarum emas di Toko Koh Yan, sebagai piranti kekebalan.
“Kau tahu sendiri, kawan-kawan terjagal ajal. Tak ada jalan lain, kita harus pasang susuk pada Eyang Warok !”
Kata-kata Karso memupuk kecemasanku. Memencarkan cairan takut ke penjuru pikiranku.
Pintu masih terjalin rapat. Karso mengetuknya lagi. Lebih keras.
Sekarang keadaan memang berubah drastis. Semua orang sangat berhati-hati bahkan terhadap kerabat dan tetangga sendiri. Kabar terbunuhnya para jenderal di Jakarta itu menyulut bara api hingga di pelosok desa ini. Menghancurkan perasaan damai, menukarnya dengan pembunuhan keji anggota BRP . Aku yang hanya simpatisan dan senggakan kabarnya juga masuk daftar.
Suara tokek mengagetkan lamunanku. Pintu masih membatu. Karso mengetuknya lagi, lebih keras, lebih kerap. Suaranya tersela langkah kaki pelan mendekat. Karso menghentikan ketukannya.
“Siapa?” Terdengar suara perempuan.
“Saya, Eyang Putri. Karso dari Tambakbayan.”
“O, Karso, dengan siapa?”
“Hargo, Eyang Putri. Murid Kyai Basir,” tambah Karso.
Aku tak tahu kenapa guru ngajiku itu harus disebut, mungkin karena Kyai Basir adalah orang NU yang tersohor dan bisa diterima semua kalangan.
Selot pintu ditarik, daunnya membuka separo, menampakkan seraut rupa perempuan tua terkurung ruangan gelap, tanpa cahaya.
“Masuk!”
“Terima kasih, Eyang Putri.”
Kami melangkah masuk. Selot didorong, pintu menutup kembali. Mataku terpicing karena gelap. Hanya menangkap sosok Eyang Putri bergerak ke ruang belakang. Hatiku lebih tenang karena sudah berada di dalam.
Namun gelap memercikkan lagi api kecemasanku. Syukurlah, tak lama, sepotong cahaya memberkas di gedheg dan senthong . Diikuti langkah kaki mendekat, membuat berkas itu makin benderang.
Sosok laki-laki kurus, muncul dari pintu sambil membawa lampu ting bersuluh kecil. Berjalan kukuh, makin lama nampak wajah perseginya yang brewok. Ia, Eyang Warok Wulunggeni.
Hatiku langsung bergetar! Bagaimana tidak, berita kesaktiannya begitu menancap di benakku. Kabarnya, pada jaman perang, berkat Aji Pulosani dan Jimat Wesi Kuning, semua senapan Belanda tak mampu menembus tubuhnya dan hanya membuat tulangnya benjol-benjol karena pelor yang terpental. Dulu sewaktu aku kecil, pernah melihat aksinya mbarong di atap rumah, memanjat pohon kelapa dan turun meluncur dengan kepala menghadap bawah. Aksi yang tak masuk akal.
“Duduk, Nak!”
“Nuwun, Eyang.”
Kami duduk di kursi kayu, menghadap meja panjang. Eyang Warok menaikkan lampu dan mencantolkannya pada sebuah pengait di tiang rumah. Sinar temaram menyapu seluruh ruangan, menyinari barong macan di atas almari tua dan seperangkat perlengkapan reog yang tertata di sudut ruangan. Sepasang kepala rusa diawetkan tergantung pada gebyok ukiran jati. Bayangan tanduknya memanjang berkejaran, menimpa jaring laba-laba yang terkoyak.
Eyang Warok berjalan mendekat lalu duduk di depan kami. Memandangku dan Karso bergantian. Hatiku berdesir!
Karso segera mengulurkan bawaan dan tangan Eyang Warok menerimanya dengan lekas. Di usianya yang berkisar delapan puluh tahun nampak kulit tangannya masih liat. Bungkusan daun pisang itu dibuka. Tangannya memilah-milah, lalu ditutupnya dengan menusukkan batang lidi. Ganti bungkus kertas yang dibuka, menghitung jumlah jarum emas, lalu ditutup.
“Tunggu sebentar…” ucap Eyang Warok sambil berdiri.
Ia berjalan ke belakang. Lampu ting bersinar lembut menyentuh punggungnya. Bayangan tubuh kurusnya memanjang hingga mengenai gedheg rumah. Lalu bayangan itu menghilang ke dalam senthong.
Karso diam. Matanya mengatup. Senyap kembali memerangkap. Gendang telingaku memeka. Udara terasa beku. Hening.
Ruang belakang terdengar menderakkan suara. Eyang Putri keluar membawa nampan berisi sepasang cangkir. Aroma kopi panas dan kental melayang, menari hingga rongga hidung, membangkitkan seleraku. Bau kopi khas hasil tumbukan sendiri.
“Silakan diminum…”
“Terima kasih, Eyang Putri.”
Eyang Putri kembali ke belakang. Langkahnya pelan, ujung jarik yang dikenakannya menyentuh lantai tanah. Menggesek seperti ular.
Karso menyeruput kopinya. Aku mengikuti. Benar-benar racikan yang pas. Mantap. Aku jadi ingat, Eyang Putri semasa gadisnya pernah membuka warung kopi. Kabarnya, ia juga seorang warok, walau perempuan. Ketika berjualan wedang kopi hingga larut malam, ia pernah digoda seorang lelaki nakal. Saat si lelaki minta api untuk rokoknya, ia mengambil begitu saja bara panas dengan tangannya lalu disorongkan pada lelaki itu. Sontak merah padam muka lelaki iseng itu, dan tanpa permisi ia langsung lari terbirit-birit.
Pintu senthong berderit menyentak pikiranku. Eyang Warok membawa nampan berisi sepasang gelas dan lepek. Kembang tujuh rupa yang kami bawa tadi, sekarang telah bercampur dalam air di gelas. Di lepek, dua irisan uwi bersisihan, konon semua susuk bersemayam padanya. Ia kembali duduk. Wajahnya nampak merapuh. Kerut-merut muka perseginya lebih kentara karena tersepuh keringat tipis. Konon kabarnya, berhubungan dengan ilmu gaib menyita banyak energi.
“Silakan dihabiskan!”
Eyang Warok menyorongkan lepek dan gelas ke depan kami. Tiba-tiba benakku disergap wejangan agar berhati-hati pada hal-hal sirik. Jauhi ilmu santet, Jaran Goyang, dan kebal. Aku gamang, namun ingatan tentang kematian Kang Pur, Parikesit, Sasmita, dan Tejo lebih kuat menancap dan menggulung wejangan itu.
Karso mengambil uwi dengan jepitan jempol dan jari telunjuknya. Kepalanya mendongak dan layaknya minum pil ia dorong uwi itu ke tenggorokannya. Lalu meraih gelas, dan menenggaknya hingga habis. Karso menepuk pahaku, menebalkan nyaliku. Kegamanganku menyurut. Aku tak mau mati ketika anak-anakku masih kecil. Aku meraih uwi dan segera menelannya, lalu meminum habis air kembang. Tandas sudah. Hanya menyisakan ampas yang tersangkut di rongga mulut dan bonggol kembang di dasar gelas.
Konon uwi dan air kembang itu untuk melancarkan susuk ke posisi masing-masing. Kata Karso, sepasang susuk akan menetap di kedua alis mata agar kewibawaan merasuk dan kepala tahan pukul, dua pergelangan tangan agar kekuatan memukul berlipat, dada agar kebal senjata, pinggang agar tulang punggung membaja, dan dengkul supaya kuat menendang.
Tiba-tiba muncul sepasang kelelawar terbang mengitari limasan lalu hinggap di atas barong macan. “Hati-hati!” suara berat Eyang Warok mengagetkanku. Ia langsung berdiri dan bergegas ke pintu. Udara terasa panas.
Aku mendengar derap langkah mendekat. Eyang Putri tiba-tiba sudah ada di depanku, ia segera mematikan suluh lampu, gelap kembali menyergap. Suara kelelawar berdericit ke seantero ruangan. Perasaan aneh dan ngeri menyelimutiku.
“Kalian larilah lewat pintu belakang lalu susuri setapak di dalam hutan! Kalian pasti selamat,” suara Eyang Putri berirama cepat.
“Tidak, Eyang Putri. Kami di sini saja,” kata Karso.
Aku diam, lebih karena dikuasai keterkejutan. Kaki-kaki menderap makin keras, dan terdengar gemuruh di pelataran.
“Wulunggeni! Keluar kau!!” Teriak seseorang dari luar, meledakkan kecemasanku. Jantungku berdetak kencang. Tiba-tiba rasa takut merajam.
Selot pintu ditarik, kulihat segerombol orang di pelataran mengacungkan montik (golok). Jantungku serasa copot, terlihat paling depan Warok Wirodigdo dan seorang yang bersenapan.
Eyang Warok berjalan keluar dijajari Eyang Putri. Mereka langsung berhadapan dengan Warok Wirodigdo dan seorang bersenapan itu.
“Ada apa Wiro?” tanya Eyang Warok.
“Aku tak mau basa-basi! Kau selama ini yang menyokong BRP. Aku mengantarkan Bapak ini untuk menangkapmu!” jawab Warok Wirodigdo.
“Tapi apa salahku, Wiro?! Bukankah aku hanya berkesenian saja? Tak lebih!” Sikap Eyang Warok menegas.
“Aku tak peduli! Kata Bapak ini, kau harus dilenyapkan!”
Warok Wirodigdo langsung menyerang. Semua orang menyingkir. Mereka tahu, senapan dan senjata tajam tak berguna dalam pertarungan itu. Ilmu kanuraganlah yang utama.
Eyang Warok melompat ke pelataran diikuti Warok Wirodigdo. Mereka membuat arena pertarungan yang luas. Orang-orang mengerubung Eyang Putri, mengeroyok perempuan tua itu. Karso segera membantunya.
Dadaku berdegup keras. Cemas merayapi sekujur tubuhku. Suara debum memekakkan telinga. Juga pelor yang ditembakkan. Letupan montik berbenturan berpijar di mana-mana. Kulihat sepasang kelelawar bersimbah darah, berkelojotan di tanah. Kematian merajam benakku kuat-kuat. Wajah anak-anakku membayang jelas.
Paku-paku menancapi pikiranku: antara lari melewati pintu belakang atau memilih pertarungan.
Dan… tubuhku bergetar! Serasa menebal pelan-pelan, membesar. Ototku mengencang, tulangku mengeras-berderakan. Aku merasa ilmu kebal merasuki tubuhku hingga sumsum tulang. Jantungku terpacu, nyaliku membaja! Aku mengamuk seperti banteng terluka.
Ponorogo&Solo, Jan 2010
————————-
Han Gagas (Rudy Hantoro), lahir 21 Oktober di Ponorogo. Alumni Geodesi UGM Jogja. Bosan menulis artikel ganti cerita. Artikel2nya dimuat koran dan dalam buku McDonaldisasi Pendidikan Tinggi (Kanisius; 2002).
Cerpennya dimuat pelbagai media massa nasional dan daerah seperti Kompas, Republika, Seputar Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Global, Solopos, JogloSemar, Merapi, Gong, Littera, dll. Bukunya: Jejak Sunyi (Mediatama, 2008), Sang Penjelajah Dunia (Republika, 2010), Tembang Tolak Bala (LKiS, 2011).
Mengelola Bengkel Sastra Cawe2 (Graha Aksara) & redaksi Pawon. Sesekali mengisi workshop penulisan kreatif yang diselenggarakan lembaga, komunitas, dan sekolah. Selain menulis, mantan aktivis HMI MPO dan Sekjen KM UGM ini bekerja paruh waktu sebagai surveyor. Berkeluarga dengan Siti Muslifah -dosen UNS Solo- dan dikaruniai dua anak: Galuh Rana & Revo Samudra Aksara. Face book: Han Gagas.
Sumber: http://han-gagas.blogspot.com/2010/09/susuk-kekebalan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 01 April 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar