Minggu, 17 April 2011

Ngobrol Bareng Ayu Utami

Ian Ahong Guruh*
http://boemipoetra.wordpress.com/

Minggu (1/8) malam kemaren, aku mendapat sms dari teman, “Ayu Utami ke Yogyakarta besok, senin jam 19.00..”. Waduh, senin malam. Pasti sudah lelah karena seharian harus mengurus penjualan majalah, mengambil majalah di agen, mengantar ke pelanggan2. Setelah itu, mengajar di sebuah bimbel, lalu melanjutkan mengantar. Baru malam sekitar jam tujuh selesai. Apakah sempat dan kuat? Tapi karena penasaran atas nama yang membuat kontroversial ini, dan terlebih sudah kucicipi rasanya Saman dan Larung, kedua novel pertama Ayu Utami. Kayaknya nama Ayu Utami sebegitu menjadikanku penasaran hingga aku mengusahakan untuk datang.

Untungnya waktu mengijinkan dan fisikpun dapat diajak kompromi. Banyak hal yang ada di kepala perihal nama Ayu Utami sebelumnya. Memang awalnya penuh praduga dan penasaran. Pertama kali mendengar nama dia dari beberapa teman yang mengkritik karya-karyanya, terutama Saman dan Larung. (Perihal kontroversi ini teman2 bisa coba buka google dan ketik kata “sastrawangi” dan “Perang Sastra boemipoetra vs TUK”. Lalu, untuk tercetak ada Politik Sastra karya Saut Situmorang dan Jurnal boemipoetra). Seorang teman kampus sebelah bilang dia itu feminis tapi malah mengobyekkan perempuan. Karya-karya dia bukanlah karya feminis, kata dia. Lalu, teman satu kampus bilang kalau karya dia sungguh dibesar-besarkan. Namun, menurut media arus utama, dia dicitrakan sebagai penulis besar dan terkenal. Wah-wah, ada2 aja orang kontroversial begini, yang kalau kita menyangkut dia, kita berada di pihak pro atau kontra, hampir tak bisa netral.

Akhirnya aku sempatkan baca novel Saman dan Larung, walau dua2nya pinjem..wk…wk.wk..(gaul bro). Saat membacannya, biasa-biasa saja. Datar, memang agak asik di bagian-bagian bercinta itu. Wah, imajinasi pornoku disenangkan nih. Gamblang dan menyenangkan. Bikin birahi.he..he.he…(ttiitt). Tapi, ada kata2 yang menyakitkan mataku, kata2 yang diucapkan seorang pastur lelaki, wisanggeni, terhadap perempuan gila haus seks. Bunyinya kurang lebih mengatakan andai dia perempuan dan perempuan gila itu laki-laki, dia pasti akan lebih gampang memuaskan hasrat birahi perempuan gila itu. Wah, udah mulai ndak beres ni, batinku. Ini seperti menyetujui perempuan lebih sebagai pemuas seks melulu. Tapi, secara umum biasa saja. Ide2nya juga biasa, cara penyajiannya biasa. Ada orang yang bilang plot-nya bagus dan pembaharu. Tapi aku pikir plot-nya lebih canggih Atheis karya K.Mihardja yang ditulis tahun 1943. Di Atheis, penutup cerita sudah ada di bab pertama, lalu plot berbalik dari masa lalu menuju awal, kembali pada bab pertama. Tapi, kata-kata terakhir dirancang untuk menjawab misteri di bab awal. (novelnya ada di perpus USD). Singkatnya, aku pikir Ayu Utami biasa-biasa saja.

Demikian prolognya sebelum diskusi ma Ayu Utami di Yayasan Umar Kayam, Senin (02/08).

Aku datang terlambat, entah berapa menit. Waktu datang sudah ramai, juga dia bicara apa tak jelas. setelah berusaha nyambung, baru aku tahu dia bicara tentang khasanah nusantara, juga tentang penulisan-penulisan sastra, terutama perihal sejarah yang terlupakan. Dia sebut-sebut FPI dan krisis pasca-reformasi adalah kekerasan terhadap umat beragama.. juga dia sebut religiositas kritis. Religiositas kritis itu istilah yang dia pakai untuk menekankan bahwa kita bsa beriman sambil tetap kritis, bahwa berpikir, kritis tidak harus meninggalkan iman. Ayu Utami ambil contoh para pemikir yang “Eropa, Kiri, rasional” yang mengatakan meninggalkan iman itu merupakan suatu tahap selanjutnya (ini kayaknya tahap2nya August Comte dech..bukan semua bilang gitu, Nietzsche aja yang Atheis ndak mempermasalahkan politheisme (baca Anti-christ dan The Gay Science)).. Hmmm……bahasanya aneh dan tak aku mengerti…..

Setelah ada kesempata bertanya, kok ndak ada yang tanya ya? Ya udah, iseng aja sambil makan gorengan dan kacang aku tanya. “apa yang Anda maksud dengan khasanah nusantara? Terus, tentang FPI, apakah Anda memuat hingga aliran dana dari mana, lalu pendukung politiknya dari mana. Terus, kata “religiositias kritis” serta stereotip2 dia tentang agama yang timur dan barat yang rasional, gak beda jauh ma jaman penjajahan yang slogan rasisnya si Kipling terus didengung-dengungkan bahwa barat adalah barat, timur adalah timur, keduannya tak mungkin bersatu. Gak ada bedannya ma zaman penjajahan dong dia?

Ayu menghindari menjawab pertanyaan2ku atau lupa ya? Dari tiga itu, cuman satu yang dijawaba…waduh2..tobat…ya udah, biar temen2 dapet jatah kan nanti ada dinamika lagi. Setelah itu, ada sepasang pria dan perempuan paruh baya yang bertanya, tapi menurtku mereka seperti inferior dan termakan mitosnya Ayu Utami yang ada di media masa. Merek tampak kagum sama Ayu. Bahkan ada yang mengatakan, aku sudah membaca semua karya Ayu Utami.

Setelah itu, ada seorang temanku menanyakan rentetan pertanyaan, ada lebih dari sepuluh kalau gak salah. Dari reaksi Ayu ma temanku itu, baru aku sadar, kayaknya si Ayu ini memang suka ndak njawab pertanyaan nih. Bahasa gaulnya, ngeles gitu bro..kecuali, dia memang gak paham pertanyaannya. (Hanya Ayu tahu mana yang benar, tapi kayaknya kedua tuduhanku kok gak enak semua ya? ha..ha.h.a.)

Contohnya, membantah klaim Ayu bahwa bilangan berbasis 10 merupakan bilangan berbasis tubuh dan bilangan berbasis 12 adalah bilangan berbasis alam, temanku berkata bahwa matematika berbasis bilangan sepuluh, yang menurut Ayu berbasis tubuh, sebenarnya bukanlah berbasis tubuh. Di esai karangan Alan Bishop berjudul “Western Mathematics: A Secret Weapon of Cultural Imperialism” dijelaskan ada 600 bahasa di Papua New Guinea dan ratusan sistem berhitung. Dan yang banyak yang berbasis tubuh, bukan cuman bilangan sepuluh. Tubuh yang bilangannya sepuluh tu cuman jari. Kenapa dikaitkan dengan tubuh bilangan sepuluh? Bilangan-bilangan lain juga ada yang menggunakan tubuh untuk berhitung. Lalu, pertanyaan menarik, temanku ini membantah pernyataan Ayu bahwa sastra memang mainnya halus, tidak terang-terangan. Dia mengambil contoh puisi2 Wiji Thukul yang blak-blakan. Apakah itu dianggap bukan sastra? Temanku ini mengingatkan pertanyaanku tentang FPI yang belum dijawab tadi. Terus, temanku juga membantah bahwa sastra itu tidak berbahaya bagi kekuasaan, lalu dia menanyakan kenapa sastra, dari sastra kanan hingga kiri, tidak diajarkan di sekolah menengah?

Jawaban2 Ayu kurang lebih seperti ini, jika aku ingin mengangkat bilangan berbasis 12 bukan berarti tidak ada bilangan lain. Dan Ayu menuduh temanku berpikir dikotomi ( berpikir seperti hitam putih dan tidak ada warna lain). Jadi, Ayu mengambil perumpamaan, jika aku mengatakan Romo Mangun bagus, bukan berarti aku mengatakan Pramoedya jelek. Kok bisa dikotomi? Anda harus meninggalkan pemikiran dikotomi. Ha? Padahal kan temanku itu bilang dia ingin menanyakan perihal bilangan yang berbasi tubuh kok bisa hanya bilangan sepuluh? Bukankah ini sama sekali ndak nyambung? Tanya A jawabnya B. Aku jadi berpikir tentang dua kemungkinan tadi, dia ngeles atau memang gak nangkep ya.

Ini terjadi lagi saat dia jawab pertanyaan tetnang FPI. Dia bilang tadinya masalah tu di toleransi dan kekerasan pada kebebasan beragama, seperti yang dilakukan FPI. Dan novelnya Bilangan Fu dia tulis untuk mengkritik itu. Aku tanya tadi, kritiknya sampai gak dari mana dukungan politis terhadap golongan ini? Berapa dana yang masuk dan dari mana danannya yang mengalir ke FPI. Contohnya. Terus, dia seperti biasa, ngeles lagi.h.eh.eh.e. dia bilang, ya, itu sudah ada di alam bawah sadar saja. Bahwa kalau ini pasti ada kepentingan politisnya dan ada dukunganya, jadi bukan agama semata. Bawah sadar? Mang alam pikiran semua orang kayak gitu? Wah2, jawabannya benar2 bikin kepalaku yang lagi pusing tambah pening.h.e.h.he.h.e.eh….terus dia malah cerita bagaimana “heroisme” JIL saat diserang FPI. Dari situ, JIL dikabarin polisi akan diserang FPI dan Ayu menyumpulkan memang ada hubungan antara mereka berdua. Loh..loh…kok malah narsi2an cerita diri sendiri mbak? Terus pertanyaanku tentang samapai mana karya dia mengkritik gerakan2 kekerasan beragama itu tak dijawab dech.

Ayu, dalam menjawab, juga tidak konsisten. Ini terlihat dari cara dia menjawab bantahan temanku tentang klaim dia bahwa sastra mainnya halus, tidak eksplisit. Terus, Ayu jadi bicara bahwa seni itu tidak ada larangannya. Termasuk sastra, jadi bisa saja sastra yang main halus ada, terang2an juga ada..Eh, ini dia mbantah klaim dia sendiri nih si Ayu.

Yang tragis lagi, pertanyaan terakhir temanku bahwa sastra juga berbahaya tidak dijawab..ha..ha.ha.h.a.ha..(ayo kenapa coba?)

Terus, ada penanya lagi yang menarik, dia tanya kenapa sebagian besar sastra yang mengunkap sejarah g30s hanya menjadi anti-thesis (lawan atau kebalikan) dari versi resmi Soeharto yang menuduh PKI sebagai dalangnya? Kita butuh perspektif baru, seperti bahwa rejimnya setelah 65 bukanlah militer, tapi jendral. Bapak aku militer tapi rendahan, sekarang cuman bisa jadi satpam R.S itu udah mending. Teman aku bapaknya nganggur. Perspektif apa yang ditawarkan karya Anda?

Ayu, kali ini tidak menjawab, juga tidak ngeles, jadi cuman mengiakan bahwa kita butuh perspektif baru. Terus gak dia menceritakan peristiwa para tahanan yang akhirnya akrab dengan militer2 rendahan. Ada penulis yang disuruh bikin surat cinta untuk keasih oleh seorang militer. Dia bilang, benar, ini memang rejim jendral. Waduh2..ini ya ndak beda jauh. Dia ndak menjawab tentang apa yang ditawarkan karya dia.

Diskusi berakhir pukul 09. Jadi hanya sekitar dua jam saja. Waktu segitu relatif sebentar untuk hitungan diskusi buku sastra, apalagi kali ini temanya luas karena Ayu mempersilahkan siapa saja menanyai dia dengan tema bebas. Kenapa begitu cepat? Teman aku ada yang sampai geleng2 kepala, “kok wes bubar?” katanya.

Setelah acara selesai, kami ngobrol2 dan seorang teman lagi (pokoke ndak nyebut merek, cuman teman2..ha..hah.a.) bilang “iki mbake kaya presiden Bemu pas neng kongres mahasiswa, jawabane personal2 dan ndak cerdas. Ndak konsisten dan suka mbulet2.” Terus, aku tanyakan temanku yang menanyakan banyak pertanyaan tadi, “piye pendapatmu?” Kecewa, sudah berkali2 aku dengar tentang dia. Tapi ini benar kongkrit dia di sini. Dan, “mengecewakan”. Seorang teman yang nge-fans sama Ayu Utami, semula berencana ingin foto bersama, lalu dia membatalkan niatnya. Katanya malu, juga ndak bawa kamera. Aku tawarkan temanku yang ada kamera, karena dia kebetulan wartawan dan setelah acara mewawancarai Ayu. Tetap ndak mau juga ambil foto bersama Ayu temanku yang nge-fans ini. Hmmm, apa dia masih ngefans ya ma Ayu setelah diskusi dan mengetahui Ayu suka ngeles (atau memang ndak paham pertanyaan?) juga kata2 temanku yang bilang “kecewa!” ini cukup mendengung-dengun di telinga walaupun dia sudah tahu dia tak bisa berharap banyak dari Ayu, tapi jawaban2nya itu lebih2 bikin dia “kecewa!”..

Akhirnya aku pulang dan terheran2, kok bisa ya penulis menang hadiah Prince Claus Award? Memang aku sudah pernah baca tulisan Katrin Bandel tentang ini, cuman masih heran aja rasanya. Gak nyangka sebegitunya…

Wah2..Ayu Utami, kau lebih dari yang aku kira sebelumnya……***

* Ian Ahong Guruh, mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati