Ian Ahong Guruh*
http://boemipoetra.wordpress.com/
Minggu (1/8) malam kemaren, aku mendapat sms dari teman, “Ayu Utami ke Yogyakarta besok, senin jam 19.00..”. Waduh, senin malam. Pasti sudah lelah karena seharian harus mengurus penjualan majalah, mengambil majalah di agen, mengantar ke pelanggan2. Setelah itu, mengajar di sebuah bimbel, lalu melanjutkan mengantar. Baru malam sekitar jam tujuh selesai. Apakah sempat dan kuat? Tapi karena penasaran atas nama yang membuat kontroversial ini, dan terlebih sudah kucicipi rasanya Saman dan Larung, kedua novel pertama Ayu Utami. Kayaknya nama Ayu Utami sebegitu menjadikanku penasaran hingga aku mengusahakan untuk datang.
Untungnya waktu mengijinkan dan fisikpun dapat diajak kompromi. Banyak hal yang ada di kepala perihal nama Ayu Utami sebelumnya. Memang awalnya penuh praduga dan penasaran. Pertama kali mendengar nama dia dari beberapa teman yang mengkritik karya-karyanya, terutama Saman dan Larung. (Perihal kontroversi ini teman2 bisa coba buka google dan ketik kata “sastrawangi” dan “Perang Sastra boemipoetra vs TUK”. Lalu, untuk tercetak ada Politik Sastra karya Saut Situmorang dan Jurnal boemipoetra). Seorang teman kampus sebelah bilang dia itu feminis tapi malah mengobyekkan perempuan. Karya-karya dia bukanlah karya feminis, kata dia. Lalu, teman satu kampus bilang kalau karya dia sungguh dibesar-besarkan. Namun, menurut media arus utama, dia dicitrakan sebagai penulis besar dan terkenal. Wah-wah, ada2 aja orang kontroversial begini, yang kalau kita menyangkut dia, kita berada di pihak pro atau kontra, hampir tak bisa netral.
Akhirnya aku sempatkan baca novel Saman dan Larung, walau dua2nya pinjem..wk…wk.wk..(gaul bro). Saat membacannya, biasa-biasa saja. Datar, memang agak asik di bagian-bagian bercinta itu. Wah, imajinasi pornoku disenangkan nih. Gamblang dan menyenangkan. Bikin birahi.he..he.he…(ttiitt). Tapi, ada kata2 yang menyakitkan mataku, kata2 yang diucapkan seorang pastur lelaki, wisanggeni, terhadap perempuan gila haus seks. Bunyinya kurang lebih mengatakan andai dia perempuan dan perempuan gila itu laki-laki, dia pasti akan lebih gampang memuaskan hasrat birahi perempuan gila itu. Wah, udah mulai ndak beres ni, batinku. Ini seperti menyetujui perempuan lebih sebagai pemuas seks melulu. Tapi, secara umum biasa saja. Ide2nya juga biasa, cara penyajiannya biasa. Ada orang yang bilang plot-nya bagus dan pembaharu. Tapi aku pikir plot-nya lebih canggih Atheis karya K.Mihardja yang ditulis tahun 1943. Di Atheis, penutup cerita sudah ada di bab pertama, lalu plot berbalik dari masa lalu menuju awal, kembali pada bab pertama. Tapi, kata-kata terakhir dirancang untuk menjawab misteri di bab awal. (novelnya ada di perpus USD). Singkatnya, aku pikir Ayu Utami biasa-biasa saja.
Demikian prolognya sebelum diskusi ma Ayu Utami di Yayasan Umar Kayam, Senin (02/08).
Aku datang terlambat, entah berapa menit. Waktu datang sudah ramai, juga dia bicara apa tak jelas. setelah berusaha nyambung, baru aku tahu dia bicara tentang khasanah nusantara, juga tentang penulisan-penulisan sastra, terutama perihal sejarah yang terlupakan. Dia sebut-sebut FPI dan krisis pasca-reformasi adalah kekerasan terhadap umat beragama.. juga dia sebut religiositas kritis. Religiositas kritis itu istilah yang dia pakai untuk menekankan bahwa kita bsa beriman sambil tetap kritis, bahwa berpikir, kritis tidak harus meninggalkan iman. Ayu Utami ambil contoh para pemikir yang “Eropa, Kiri, rasional” yang mengatakan meninggalkan iman itu merupakan suatu tahap selanjutnya (ini kayaknya tahap2nya August Comte dech..bukan semua bilang gitu, Nietzsche aja yang Atheis ndak mempermasalahkan politheisme (baca Anti-christ dan The Gay Science)).. Hmmm……bahasanya aneh dan tak aku mengerti…..
Setelah ada kesempata bertanya, kok ndak ada yang tanya ya? Ya udah, iseng aja sambil makan gorengan dan kacang aku tanya. “apa yang Anda maksud dengan khasanah nusantara? Terus, tentang FPI, apakah Anda memuat hingga aliran dana dari mana, lalu pendukung politiknya dari mana. Terus, kata “religiositias kritis” serta stereotip2 dia tentang agama yang timur dan barat yang rasional, gak beda jauh ma jaman penjajahan yang slogan rasisnya si Kipling terus didengung-dengungkan bahwa barat adalah barat, timur adalah timur, keduannya tak mungkin bersatu. Gak ada bedannya ma zaman penjajahan dong dia?
Ayu menghindari menjawab pertanyaan2ku atau lupa ya? Dari tiga itu, cuman satu yang dijawaba…waduh2..tobat…ya udah, biar temen2 dapet jatah kan nanti ada dinamika lagi. Setelah itu, ada sepasang pria dan perempuan paruh baya yang bertanya, tapi menurtku mereka seperti inferior dan termakan mitosnya Ayu Utami yang ada di media masa. Merek tampak kagum sama Ayu. Bahkan ada yang mengatakan, aku sudah membaca semua karya Ayu Utami.
Setelah itu, ada seorang temanku menanyakan rentetan pertanyaan, ada lebih dari sepuluh kalau gak salah. Dari reaksi Ayu ma temanku itu, baru aku sadar, kayaknya si Ayu ini memang suka ndak njawab pertanyaan nih. Bahasa gaulnya, ngeles gitu bro..kecuali, dia memang gak paham pertanyaannya. (Hanya Ayu tahu mana yang benar, tapi kayaknya kedua tuduhanku kok gak enak semua ya? ha..ha.h.a.)
Contohnya, membantah klaim Ayu bahwa bilangan berbasis 10 merupakan bilangan berbasis tubuh dan bilangan berbasis 12 adalah bilangan berbasis alam, temanku berkata bahwa matematika berbasis bilangan sepuluh, yang menurut Ayu berbasis tubuh, sebenarnya bukanlah berbasis tubuh. Di esai karangan Alan Bishop berjudul “Western Mathematics: A Secret Weapon of Cultural Imperialism” dijelaskan ada 600 bahasa di Papua New Guinea dan ratusan sistem berhitung. Dan yang banyak yang berbasis tubuh, bukan cuman bilangan sepuluh. Tubuh yang bilangannya sepuluh tu cuman jari. Kenapa dikaitkan dengan tubuh bilangan sepuluh? Bilangan-bilangan lain juga ada yang menggunakan tubuh untuk berhitung. Lalu, pertanyaan menarik, temanku ini membantah pernyataan Ayu bahwa sastra memang mainnya halus, tidak terang-terangan. Dia mengambil contoh puisi2 Wiji Thukul yang blak-blakan. Apakah itu dianggap bukan sastra? Temanku ini mengingatkan pertanyaanku tentang FPI yang belum dijawab tadi. Terus, temanku juga membantah bahwa sastra itu tidak berbahaya bagi kekuasaan, lalu dia menanyakan kenapa sastra, dari sastra kanan hingga kiri, tidak diajarkan di sekolah menengah?
Jawaban2 Ayu kurang lebih seperti ini, jika aku ingin mengangkat bilangan berbasis 12 bukan berarti tidak ada bilangan lain. Dan Ayu menuduh temanku berpikir dikotomi ( berpikir seperti hitam putih dan tidak ada warna lain). Jadi, Ayu mengambil perumpamaan, jika aku mengatakan Romo Mangun bagus, bukan berarti aku mengatakan Pramoedya jelek. Kok bisa dikotomi? Anda harus meninggalkan pemikiran dikotomi. Ha? Padahal kan temanku itu bilang dia ingin menanyakan perihal bilangan yang berbasi tubuh kok bisa hanya bilangan sepuluh? Bukankah ini sama sekali ndak nyambung? Tanya A jawabnya B. Aku jadi berpikir tentang dua kemungkinan tadi, dia ngeles atau memang gak nangkep ya.
Ini terjadi lagi saat dia jawab pertanyaan tetnang FPI. Dia bilang tadinya masalah tu di toleransi dan kekerasan pada kebebasan beragama, seperti yang dilakukan FPI. Dan novelnya Bilangan Fu dia tulis untuk mengkritik itu. Aku tanya tadi, kritiknya sampai gak dari mana dukungan politis terhadap golongan ini? Berapa dana yang masuk dan dari mana danannya yang mengalir ke FPI. Contohnya. Terus, dia seperti biasa, ngeles lagi.h.eh.eh.e. dia bilang, ya, itu sudah ada di alam bawah sadar saja. Bahwa kalau ini pasti ada kepentingan politisnya dan ada dukunganya, jadi bukan agama semata. Bawah sadar? Mang alam pikiran semua orang kayak gitu? Wah2, jawabannya benar2 bikin kepalaku yang lagi pusing tambah pening.h.e.h.he.h.e.eh….terus dia malah cerita bagaimana “heroisme” JIL saat diserang FPI. Dari situ, JIL dikabarin polisi akan diserang FPI dan Ayu menyumpulkan memang ada hubungan antara mereka berdua. Loh..loh…kok malah narsi2an cerita diri sendiri mbak? Terus pertanyaanku tentang samapai mana karya dia mengkritik gerakan2 kekerasan beragama itu tak dijawab dech.
Ayu, dalam menjawab, juga tidak konsisten. Ini terlihat dari cara dia menjawab bantahan temanku tentang klaim dia bahwa sastra mainnya halus, tidak eksplisit. Terus, Ayu jadi bicara bahwa seni itu tidak ada larangannya. Termasuk sastra, jadi bisa saja sastra yang main halus ada, terang2an juga ada..Eh, ini dia mbantah klaim dia sendiri nih si Ayu.
Yang tragis lagi, pertanyaan terakhir temanku bahwa sastra juga berbahaya tidak dijawab..ha..ha.ha.h.a.ha..(ayo kenapa coba?)
Terus, ada penanya lagi yang menarik, dia tanya kenapa sebagian besar sastra yang mengunkap sejarah g30s hanya menjadi anti-thesis (lawan atau kebalikan) dari versi resmi Soeharto yang menuduh PKI sebagai dalangnya? Kita butuh perspektif baru, seperti bahwa rejimnya setelah 65 bukanlah militer, tapi jendral. Bapak aku militer tapi rendahan, sekarang cuman bisa jadi satpam R.S itu udah mending. Teman aku bapaknya nganggur. Perspektif apa yang ditawarkan karya Anda?
Ayu, kali ini tidak menjawab, juga tidak ngeles, jadi cuman mengiakan bahwa kita butuh perspektif baru. Terus gak dia menceritakan peristiwa para tahanan yang akhirnya akrab dengan militer2 rendahan. Ada penulis yang disuruh bikin surat cinta untuk keasih oleh seorang militer. Dia bilang, benar, ini memang rejim jendral. Waduh2..ini ya ndak beda jauh. Dia ndak menjawab tentang apa yang ditawarkan karya dia.
Diskusi berakhir pukul 09. Jadi hanya sekitar dua jam saja. Waktu segitu relatif sebentar untuk hitungan diskusi buku sastra, apalagi kali ini temanya luas karena Ayu mempersilahkan siapa saja menanyai dia dengan tema bebas. Kenapa begitu cepat? Teman aku ada yang sampai geleng2 kepala, “kok wes bubar?” katanya.
Setelah acara selesai, kami ngobrol2 dan seorang teman lagi (pokoke ndak nyebut merek, cuman teman2..ha..hah.a.) bilang “iki mbake kaya presiden Bemu pas neng kongres mahasiswa, jawabane personal2 dan ndak cerdas. Ndak konsisten dan suka mbulet2.” Terus, aku tanyakan temanku yang menanyakan banyak pertanyaan tadi, “piye pendapatmu?” Kecewa, sudah berkali2 aku dengar tentang dia. Tapi ini benar kongkrit dia di sini. Dan, “mengecewakan”. Seorang teman yang nge-fans sama Ayu Utami, semula berencana ingin foto bersama, lalu dia membatalkan niatnya. Katanya malu, juga ndak bawa kamera. Aku tawarkan temanku yang ada kamera, karena dia kebetulan wartawan dan setelah acara mewawancarai Ayu. Tetap ndak mau juga ambil foto bersama Ayu temanku yang nge-fans ini. Hmmm, apa dia masih ngefans ya ma Ayu setelah diskusi dan mengetahui Ayu suka ngeles (atau memang ndak paham pertanyaan?) juga kata2 temanku yang bilang “kecewa!” ini cukup mendengung-dengun di telinga walaupun dia sudah tahu dia tak bisa berharap banyak dari Ayu, tapi jawaban2nya itu lebih2 bikin dia “kecewa!”..
Akhirnya aku pulang dan terheran2, kok bisa ya penulis menang hadiah Prince Claus Award? Memang aku sudah pernah baca tulisan Katrin Bandel tentang ini, cuman masih heran aja rasanya. Gak nyangka sebegitunya…
Wah2..Ayu Utami, kau lebih dari yang aku kira sebelumnya……***
* Ian Ahong Guruh, mahasiswa Sastra Inggris, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar