Minggu, 17 April 2011

IN BED WITH AYU UTAMI

Saut Situmorang
http://boemipoetra.wordpress.com/

Ada 10 + 1 cara untuk membawa Ayu Utami, Si Parasit Lajang, ke tempat tidur: (1) jangan janjikan perkawinan, karena (2) itu tidak dirasakan perlu, karena (3) dia memang tidak peduli soal itu, walau (4) sebenarnya sih dia juga amat peduli, cuma soalnya perkawinan itu kan sebuah konstruk sosial, sebuah idealisasi, sebuah mitos yang disejajarkan dengan kelahiran dan kematian, yang melanggengkan dominasi laki-laki atas perempuan, terutama perkawinan antara satu laki-laki dengan beberapa perempuan atau poligami. Idealisasi perkawinan masyarakat patriarki yang kebanyakan merugikan kepentingan perempuan itu (poligami dan kekerasan domestik) telah membuatnya (5) trauma, bukan terhadap laki-laki (seperti yang dikira banyak orang, misalnya seorang ibu pendakwah di televisi) tapi justru terhadap sesama perempuan! Para sesama perempuan ini, yaitu “perempuan-perempuan pemuja perkawinan”, tidak sadar bahwa mereka telah tunduk dan melanggengkan nilai-nilai patriarki dengan sikap mereka yang mengagungkan arti perkawinan antara laki-laki dan perempuan [tentu akan sangat menarik, bagi kita, untuk mengetahui apa yang terjadi pada perkawinan pasangan lesbian dan gay, kaum queer itu, dalam masyarakat patriarki, menurut Ayu Utami!] dan sikap mereka itulah yang membuatnya trauma. Para perempuan tersebut telah jadi pencemburu, pendengki pada perempuan lain karena mereka tidak mendapat suami, tidak laku, perawan tua. Sindrom perawan tua inilah yang jadi trauma, jadi luka itu, dan untuk menunjukkan bahwa sindrom perawan tua itu juga cuma sebuah konstruk sosial, maka perkawinan antara laki-laki dan perempuan mesti ditolak. Tapi walaupun perkawinan adalah sebuah konstruk sosial, tidak begitu saja orang bisa memasukinya. Diperlukan juga (6) bakat untuk merealisasikannya dan faktor ini pula yang tidak dimiliki Ayu Utami. Tidak adanya bakat untuk segala yang formal dan institusional telah juga membuatnya menolak perkawinan antara laki-laki dan perempuan. (7) Demografi juga sebuah faktor menentukan, menurutnya. Perkawinan antara laki-laki dan perempuan tidak menarik baginya karena adanya tuntutan untuk menghasilkan keturunan, untuk beranak-pinak. Dia tidak mau menambah angka pertumbuhan penduduk dengan membelah diri dalam sebuah proses reproduksi. Tapi, walau anti reproduksi genetik, Ayu Utami, ternyata, tidaklah anti (8) seks! Syukurlah. Siapa bilang seks itu tidak enak dan perlu, tidak menyebabkan ketagihan! Tidak ada itu free sex bahkan yang one-night-stand sekalipun, dan justru karena tidak gratis itulah maka kita kecanduan, bukan! Dan kalau (9) sudah terlanjur asyik melajang begini, untuk apa lagi sebuah perkawinan, yang nota bene cuma sebuah formalitas perizinan untuk berhubungan seks doang! Kalau ada yang terkagum-kagum terpesona pada kelajangan yang parasit macam begini dan pengen tahu apa sih penyebabnya, maka ternyata semuanya ini bisa jadi begini hanyalah karena alasan psikologis, bukan ideologis ?(10) Ayu Utami cuma tidak mudah percaya kok! Kritis, bisa jadi. Bukankah merupakan sebuah bukti sikap kritis pertanyaan atas konsep perkawinan antara laki-laki dan perempuan dan reproduksi genetik berikut ini: “Tapi, siapa yang bisa jamin bahwa pasangan tak akan bosan dan anak tidak akan pergi?”!

Kesepuluh hal di atas merupakan (+1) “sikap politik seks”, “ideologi tempat tidur” yang mesti dipahami oleh setiap laki-laki yang ingin mengajak Ayu Utami tidur, walau cuma sekedar sebuah one-night-stand doang.

Tapi tentu saja ada detil-detil lain yang juga mesti diperhitungkan oleh setiap laki-laki pemuja Si Parasit Lajang penulis novel sensasional Saman ini. Bukankah, kata orang, sesuatu yang terlalu mudah didapat biasanya tidak meninggalkan kesan yang cukup menawan untuk dikenang? Cuma separuh ilusi, sesuatu yang cepat retak dan gagal menjadi abadi, menjadi fantasi. Easy-come-easy-go-ism.

Tubuh yang indah adalah sebuah foreplay yang mesti ada dalam ars sexu?lis à la Ayu Utami. Jangan nyatakan birahimu dengan sekuntum mawar merah, itu mah udah kuno hah! Say it with your body, your hard and beautiful body! Ingat kan pepatah itu: Good man is hard to find, but hard man is good to find! Sebagai laki-laki Dunia Ketiga, kau tentu suka nonton film action Hollywood atau mini-series di televisi, bukan? Nah, tipe laki-laki bertubuh ideal Utamian itu adalah si jago karate asal Belgia Jean-Claude van Damme (terutama waktu dia masih memakai gaya rambut cepak Magelangan itu) atau si dewa laut David “Baywatch” Haseldoff. Sexual politics posmo, atau post-Kate Millett feminism, telah mengharuskan laki-laki untuk juga memiliki tubuh yang indah dan menggairahkan perempuan. Militer dan olahragawan adalah sexual symbols abad 21 ini, bagi Sang Ayu. Kekuasaan para senator-orator Athena sudah berlalu, sekarang adalah zaman para gladiator Sparta. Untuk produk lokal, mungkin semacam blasteran antara Taufik Hidayat dan… Wiranto! Jangan lagi jadi anggota Taman Bacaan dan tenggelam dalam komik (yang underground sekalipun), apalagi Kho Ping Hoo. Mulailah ikut aerobics atau Tae-Bo. Karena good man is hard to find, but hard man is (van damme) good to find!

Dulu perempuan adalah korban pasif dari ideologi wham bam, thanks mam perkawinan patriarki, tapi sekarang politik kesetaraan jender telah menciptakan para Parasit Lajang yang tahu dan memburu apa-apa yang mereka mau, khususnya soal anatomi tubuh. Revolusi selera ini juga bisa dilihat pada para selebriti pornografi terutama para artis film XXX, para bintang laki-laki BF, para superstar para Ayu Utami dunia.

Hal lain yang mesti diingat setiap laki-laki pemuja Parasit Lajang kontemporer adalah – nikmatilah seks! The pleasure of sex, kalau mau kebarthes-barthesian. Lakukanlah seks demi kenikmatan seks itu sendiri, sex for sex’s sake, bukan demi yang lain, apalagi demi mendapatkan keturunan. Kalau kau mampu nge-seks minimum 25 menit, dengan basa-basi awal tak lebih dari cuma 5 menit, maka kau sudah sangat dekat dengan fantasi Samanismemu! Kau sudah lulus ujian Kamasutra Jahudi yang berat itu! Kau sudah mengerti Sigmund Freudmu! Eureka!!!

Pernah nonton Sex and Zen, film alegori Buddhis yang berdasarkan novel paling lama yang pernah dicekal dalam sejarah peradaban manusia itu, yaitu sejak zaman Dinasti Ming Cina? Minimalisme koan Zen yang khas budaya samurai, dalam film tersebut, telah dikembalikan ke selera baroque fiksi wuxia daratan Tionggoan. Alegori menggantikan haiku, kungfu ketimbang kendo. Verbalisme ketimbang kematangan konsep. Feminisme radikal posmo yang dipretensikan oleh judul buku Si Parasit Lajang ternyata cuma mengingatkan saya pada slapstick pseudo-cersil Sex and Zen – yang dalam film tersebut dengan apik dibawakan oleh aktor eksil orang awak dari Petisah, Medan sono, Lo Lieh-locianpwe – tapi minus imajinasi film dimaksud.

Sangat sulit membayangkan betapa seorang novelis kontemporer, yang bahkan diklaim telah melakukan sebuah “revolusi estetika” dalam fiksi kontemporer Indonesia, ternyata begitu membosankan “coretan-coretan biografis pendeknya”, yang nota bene cuma ditulis untuk media cetak yang gaul, ngepop. Bahasa yang sama sekali nggak kita banget, terlalu prosais mirip tulisan-tulisan di majalah dinding sekolah menengah kota-kota besar Indonesia, plus isu-isu yang dalam perspektif “cultural studies koran” pun terasa begitu tidak newsgenic, cuma menambah kesan betapa permainan font, warna, dan ilustrasi Si Parasit Lajang terasa sangat superfisial, dibuat-buat, sekedar biar dianggap beda belaka. Arty-farty. Eufemisme pretensi kerendahhatian ambisi dalam disclaimer Pra-Gagas buku – bahwa Ayu Utami bercerita dengan “ringan” tentang “hal remeh yang merupakan jerawat di muka raksasa persoalan”, yaitu “berbagai peristiwa di sekitar” yang kita anggap “biasa” dan “cenderung” lewatkan, padahal “berasal dari persoalan besar yang sering tak [kita] sadari” – gagal untuk menyembunyikan klaim terselubung betapa besar sebenarnya misi yang dibayangkan diemban buku “Seks, Sketsa, & Cerita” Ayu Utami ini.

Sebuah contoh berikut ini saya harap bisa menunjukkan apa yang saya anggap sebagai salah satu kontra-diksi antara teks dan konteks yang merupakan persoalan besar yang tak disadari, mungkin karena dianggap “hal remeh” seperti yang dikesankan, tanpa ironi sedikitpun, oleh Pra-Gagas buku di atas.

Kalau kita hubungkan judul buku Si Parasit Lajang dengan kenyataan diri penulisnya yang hidup “kumpul kebo” dengan seorang laki-laki, maka di manakah “kelajangan” yang diklaim begitu heroik sebagai sexual liberation yang dibedakannya secara hierarki nilai dari perkawinan konvensional itu? Istilah “lajang” dalam bahasa Indonesia mempunyai arti seperti istilah “single” dalam bahasa Inggris, yaitu seseorang yang jangankan menikah, pacar pun gak punya. Jomblo 100%. Seseorang yang hidup sendiri tanpa pasangan, baik yang berbeda jenis kelamin (kalau heteroseksual, seperti Ayu Utami) ataupun yang berjeniskelamin sama (kalau homoseksual), atau “not involved in an established romantic or sexual relationship” menurut Oxford English Dictionary (OED). Bagaimana mungkin Ayu Utami bisa mengklaim dirinya sebagai seorang “lajang”, yang “parasit” lagi, padahal dia hidup kumpul kebo dengan seorang laki-laki! Kerancuan pemakaian istilah seperti ini cukup dominan dalam bukunya itu hingga menimbulkan kecurigaan atas pengetahuannya tentang topik-topik yang dituliskannya. Apa mungkin justru karena kekurangpahaman itulah yang membuatnya cuma bisa menghasilkan tulisan-tulisan “ringan” atas konsep-konsep yang dianggap sangat serius saat ini, terutama di kalangan feminis, di budaya Barat sana! Sebuah parasitisme konseptual!

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati