Jumat, 01 April 2011

Godaan Puisi Dalam Politik

Bandung Mawardi*
Pikiran Rakyat, 23 Agus 2008

KONDISI politik Indonesia mulai masuk dalam dunia kata dan imajinasi. Perdebatan dalam wacana pemimpin tua dan muda menjadi ramai dengan sekian pernyataan politik dalam konstruksi bahasa imajinatif. Puisi menjadi pilihan untuk merumuskan pemikiran atas konsep kekuasaan dengan pertimbangan efek estetika dan sosial-politik.

Berita mengejutkan muncul dari Tifatul Sembiring (Presiden PKS) yang membacakan “Mega Pantun” di Bandung (Senin, 2 Agustus 2008) untuk memberi tanggapan balik dan tantangan pada Megawati Soekarnoputri. Pantun itu lahir dari tegangan perdebatan politik mengenai pemilihan presiden 2009 dalam konteks kaum muda dan kaum tua. Kehadiran pantun itu menjadi sesuatu yang unik dan menggelitik sebab tradisi politik Indonesia sejak Orde Baru selalu terkungkung dalam bahasa-bahasa formal dan retorika kaku.

Tifatul Sembiring mengungkapkan bahwa pembacaan pantun itu untuk merespons semua capres. Tifatul dengan eksplisit hendak mengambil posisi beda dari perdebatan panas antarcapres dengan pernyataan-pernyataan politis. Penempatan pantun sebagai hiburan tentu menjadi fenomena menarik dalam perpolitikan Indonesia. Tifatul memberi kesadaran kritis bahwa dalam arus dan alur politik Indonesia membutuhkan hiburan. Hiburan itu dalam pengertian Tifatul adalah pantun politik.

Inilah petikan pantun politik dari Tifatul Sembiring: Anak balita bertopi merah / Topi terbuat dari bahan katun / Daripada ibu jadi pemarah / Lebih baik kita berbalas pantun // Jadi pemimpin mesti telaten / Sambangi rakyat yang tak berbaju / Kalau ibu nak jadi presiden / Monggo kerso silakan maju // Buat apa pergi ke seberang / Airnya susu banyak berbatu / Buat apa melarang orang / Dah terbayang kursi RI satu. Apa pantun ini patut dibaca dan sekadar ditafsirkan sebagai hiburan? Tifatul Sembiring memang genit untuk masuk dalam perdebatan politik yang penuh godaan dan risiko untuk wacana pilihan presiden 2009. Pantun itu lebih dari sekadar hiburan sebab ada substansi mengenai ide, kritik, dan kepentingan politik.

Mengapa Tifatul memilih bentuk pantun? Pertanyaan ini patut diajukan untuk mengetahui peran pantun itu dalam konteks estetika dan politik. Pantun memang memiliki sistem longgar untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran. Pantun dengan konvensi-konvensi estetika (sampiran dan isi) memungkinkan seseorang dengan lihai memainkan bahasa dan imajinasi. Tifatul dengan canggih memilih bentuk pantun itu untuk pengungkapan terbuka dengan tingkat sensitivitas politik yang tinggi. Pantun mungkin jadi juru bicara ampuh untuk Tifatul ketimbang dia membaca teks pidato atau menulis risalah politik untuk publik. Pantun satu sisi menjadi representasi pandangan politik dan di sisi lain menjadi kesadaran estetis pemain politik untuk sadar bahasa dan imajinasi.

Fenomena puisi (pantun) masuk politik memang sesuatu yang masih ganjil untuk konteks Indonesia. Ignas Kleden (Menulis Politik: Indonesia sebagai Utopia, 2001) mengingatkan bahwa puisi dan politik berada dalam ambivalensi yang sama. Puisi dan politik berjumpa dalam serba kemungkinan. Ignas Kladen memberi suatu pemahaman historis bahwa politik mulai zaman Bismarck adalah seni kemungkinan (the art of the possible) dan puisi mulai zaman Aristoteles adalah dunia kemungkinan (the wordl of the possible). Pembayangan Ignas Kleden atas kondisi Indonesia adalah politik sebagai seni kemungkinan bisa menemukan dirinya kembali dalam puisi sebagai dunia kemungkinan.

Pantun politik Tifatul adalah lanjutan dari fragmen politik mutakhir. Kesadaran estetika dan imajinasi dalam lakon politik Indonesia mulai eksplisit melalui iklan-iklan politik dan agenda-agenda politik-kebudayaan. Fenomena mengejutkan mulai kentara pada penampilan iklan politik Sutrisno Bachir (Ketua Umum PAN) menjelang puncak peringatan 100 Tahun Kebangkitan Nasional. Iklan politik itu eksplisit menghadirkan kesadaran estetika dengan pemakaian referensi puisi “Diponegoro” dari Chairil Anwar. Kutipan penting untuk roh iklan politik itu: “Sekali berarti, sudah itu mati.”

Ungkapan itu menjadi acuan untuk interpretasi politis: “sekali berarti” adalah sebuah penegasan bahwa esensi kehidupan adalah perbuatan, kehendak untuk mencipta, dorongan untuk memberi yang terbaik, serta semangat untuk menjawab tantangan zaman. Tafsir itu hendak mencitrakan sosok dan pandangan Sutrisno Bachir mengenai kondisi Indonesia. Sutrisno Bachir lalu dengan taktis memakai ungkapan “hidup adalah perbuatan” sebagai aporisma politik yang estetis dan imajinatif dalam konteks politik. Iklan politik itu jadi bukti kontribusi Sutrisno dalam konstruksi politik Indonesia mutakhir dengan referensi puisi Chairil Anwar dan kesadaran atas imajinasi politik.

Pencitraan Sutrino Bachir dalam iklan politik merupakan realisasi dari kerja sama dengan tim produksi dari Rizal. Sentuhan-sentuhan estetika itu mungkin berasal dari Rizal untuk memberi karakteristik kuat dan implikatif. Iklan politik itu memang sanggup menjadi pusat perhatian publik dan memberi kesan progresif dalam penggarapan iklan sesuai dengan wacana kebudayaan visual mutakhir. Iklan politik dengan referensi puisi mulai mendapatkan perhatian besar dari pemain politik dan publik.

Kesadaran estetis dan imajinasi politik pun kentara dalam iklan politik Rizal Mallarangeng yang memutuskan untuk maju sebagai calon presiden. Aporisma terkenal dari Rizal adalah “If there is a will there is a way” (Jika ada kemauan, selalu ada jalan terbuka). Rizal dengan sadar memilih karakter estetik untuk menjadi jembatan dalam komunikasi dengan publik. Kesadaran itu mulai mengesankan kekuatan dan identitas intelektual dalam pemakaian bahasa Inggris. Rizal cenderung menampilkan diri sebagai sosok intelektual yang patut untuk menjadi pemimpin di Indonesia. Pemakaian bahasa Inggris itu mungkin terasa paradoks dengan kondisi masyarakat literasi Indonesia yang terbiasa masuk dalam wacana politik dengan bahasa Indonesia. Bahasa Inggris memang belum lazim untuk jadi pilihan komunikasi politik dengan publik.

Citra intelektual Rizal mungkin pengaruh selama studi dan menjadi pengajar di Amerika Serikat. Pengaruh itu semakin kentara dengan referensi puisi yang dihadirkan Rizal dalam advertorial di koran nasional. Advertorial dengan judul “Surat buat Semua” mencantumkan kutipan puisi dari penyair Robert Frost dari Amerika. Proses atau jalan politik yang ditempuh Rizal dalam perpolitikan Indonesia ingin menemukan pembenaran dengan acuan ungkapan terkenal dari Robert Frost: “This is a road less-traveled bay”. Rizal dengan kutipan puisi itu membayangkan bahwa ada pertemuan imajinasi dan kondisi riil dalam politik Indonesia.

Sutrisno Bachir dan Rizal Mallarangeng memosisikan diri sebagai pemain dengan referensi puisi. Posisi itu berbeda dengan Tifatul Sembiring yang berani menjadi pemain dengan pantun politik. Tifatul memang selama ini tidak dikenal sebagai penyair, tetapi kehadiran pantun politik itu membuktikan kesanggupan dan kesadaran Tifatul bahwa politik butuh imajinasi atau permainan bahasa yang estetis. Pemain (capres) lain yang belum tampil terbuka dengan iklan politik atau puisi adalah M. Fadjroel Rachman dan Ratna Sarumpaet. M. Fadjroel Rachman memang seorang penyair, esais, dan novelis. Kompetensi sastra itu itu belum jadi juru bicara ampuh dalam komunikasi politik meski Fadjroel Rachman sebelum pencalonan diri sudah menerbitkan buku kumpulan puisi Catatan Bawah Tanah (1993) dan Sejarah Lari Tergesa (2004). Ratna Sarumpaet sebagai seniman yang intens dalam teater dan sempat mengurusi Dewan Kesenian Jakarta juga belum hadir dengan puisi untuk komunikasi politik dengan publik.

Politik Indonesia menjadi ramai dan imajinatif dengan puisi. Pemakaian bahasa dengan bentuk puisi bisa melawan (menandingi) kodifikasi bahasa politik Indonesia yang selama ini cenderung kaku, formal, dan prosais. Politik menjadi pelangi dan reflektif karena puisi memberi hak untuk sekian interpretasi dengan tegangan teks dan realitas. Begitu.***

*) Peneliti Kabut Institut (Solo)
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/esai-godaan-puisi-dalam-politik.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati