Hamsad Rangkuti*
Kompas, 24 Agus 2008
DALAM acara Temu Sastra, Masyarakat Sastra Asia Tenggara di Palangkaraya, yang tidak dihadiri F Rahardi, saya menganjurkan—dan ini memang tugas saya karena saya diundang untuk itu—agar para pengarang muda tidak menghabiskan perhatian dan waktunya untuk main akrobat dengan kata-kata karena ada kecenderungan pada kaum muda—seperti saya waktu muda—untuk cenderung berakrobat dengan kata-kata (Kompas, 15/7). F Rahardi kemudian menulis tanggapan di media ini berdasarkan potongan ucapan saya yang dia ramu dengan imajinasinya sendiri. Tanggapan jenis itu pernah juga dia tulis mengenai pernyataan saya bahwa ”Sastra = kebohongan”. Nada kedua tulisannya sama, yaitu nada seorang penilik sekolah atau pertanian dengan fatwa-fatwa tegas: ”ini salah, itu kurang bagus, begini, begitu” kepada para guru atau petani yang keringat dan darahnya menjadi satu dengan pendidikan dan tanah pertanian. Sebagaimana guru dan petani Indonesia yang sopan dan rendah hati (boleh juga rendah diri) di hadapan pejabat penilik, saya pun hanya manggut-manggut takzim. Itu saya lakukan pada tindakan F Rahardi untuk ”meluruskan” saya (ini istilah Rahardi sendiri). Kini sang penilik itu dengan lantang menulis lagi di koran ini untuk kembali ”meluruskan saya”. Tapi, karena ini era reformasi dan para petani atau guru tidak selalu harus takzim pada teguran mereka yang gemar menjadi penilik, saya kemukakan beberapa jawaban. Jawaban ini sama sekali bukan tindakan untuk ”meluruskan”: F Rahardi, karena berbeda dengan Rahardi yang dengan gaya penilik berfatwa saya ”jelas salah” dan jenis-jenis itu, saya tidak begitu yakin apakah saya salah atau benar dan Rahardi salah atau benar. Toh, pembaca lebih cerdas dari yang sering kita duga.
Pengarang muda (atau tua) memang tidak sepatutnya main akrobat kata-kata. Entahlah kalau pengarang itu memang mau jadi politikus yang ahli dan gemar akrobat kata-kata. F Rahardi mengatakan bahwa tren penulisan prosa dewasa ini cenderung mengutamakan style. Lepas dari benar tidaknya ucapan dia, para pengarang sejati tidak ada urusannya dengan tren. Apakah Marguez ikut-ikutan tren? Kalau Chairil Anwar ikut-ikutan tren yang ada waktu itu, saya kira sastra Indonesia tidak akan mencatat nama Chairil Anwar sebagai sastrawan hebat. Kalau Rendra juga ikut-ikutan tren tahun 50-an, buat apa kita semua membaca dan menghargai Rendra. Salah satu saran saya buat pengarang muda, juga buat pengarang tua seperti F Rahardi kalau dia masih mengarang, jadilah diri sendiri dan jangan ikut-ikutan tren.
Tren mengutamakan style tentu tidak ada hubungannya dengan akrobat kata-kata. Lagi pula F Rahardi hanya menyederhanakan saja waktu mengatakan bahwa tren dunia mengutamakan style. Dunia atau bukan, pengarang sejati tidak mengutamakan style karena style adalah hasil pergulatan pengarang sejati dengan hidup. Novel Jelinek dan novel-novel Orhan Pamuk adalah novel-novel hebat dan tidak ada pada mereka aksi genit akrobat kata-kata dan mengutamakan style. Begitu juga dengan Naipaul. Semua novel ini sudah beredar terjemahannya dalam bahasa Indonesia, jadi gampang dicari. Mungkin saya salah contoh karena mereka memang bukan pengikut tren alias kurang trendy.
Ada pernyataan menarik lain dari F Rahardi, yaitu ”Pada perkembangan lebih lanjut, terutama pada prosa yang ditujukan semata-mata sebagai hiburan, plot menjadi hal utama. Tokoh diciptakan demi kelancaran plot. Itulah yang terjadi pada ”sastra sinetron kita”. F Rahardi yang menyebut-nyebut Iwan Simatupang tentu ingat esai terkenal Iwan yang berjudul ”Mencari Tokoh bagi Roman” dan pentingnya tokoh bagi sastrawan. Justru soal tokoh inilah yang paling gawat pada sinetron-sinetron kita. Semua tokoh dalam sinetron tidak ada yang kuat dan mengesankan maka plotnya pun membosankan. Sinetron kita mungkin style-nya ikut tren, tapi tokoh-tokohnya payah sampai-sampai hal dasar tokoh pun tidak jelas (latar belakang, pekerjaan, etnik, pendidikan, hobi, dsb) sampai sinetron berakhir.
Mengenai fatwa Rahardi bahwa saya di Palangkaraya itu, seyogianya cukup bercerita bagaimana proses kreatifnya berlangsung, tentu saya terima dengan takzim. Tentu dia berfatwa begitu karena saya bukan orang sekolahan dan hanya otodidak. Lain kali kalau ada undangan untuk cerita proses kreatif, saya akan cerita proses kreatif. Saya tahu diri hanya akan bicara proses kreatif saja. Di luar itu pasti salah. Dan kalau ada undangan dari sana-sini untuk membicarakan urusan di luar proses kreatif, saya akan menolak dan menyarankan panitia untuk menghubungi F Rahardi saja. Karena, meskipun F Rahardi sama seperti saya sama sekali bukan orang sekolahan (saya hanya sampai SMP), dia jauh lebih pandai daripada saya, lebih canggih, lebih teoretis, dan lebih trendy.
Yang paling membuat saya kagum dan takjub dalam tulisan Rahardi adalah pernyataannya bahwa saya cemburu kepada sastrawan muda, khususnya Triyanto dan Afrizal. ”Cerpen Triyanto dan esai Afrizal Malna, inilah, dugaan saya, (saya = F Rahardi) yang membuat Hamsad melontarkan ‘Akrobat Kata-kata‘ itu.” Untuk urusan ini, mohon janganlah F Rahardi suka menduga-duga. Afrizal dan Triyanto menulis bukan baru kemarin sore. Sewaktu saya masih menjadi Pemimpin Redaksi Horison, saya berkali-kali memuat tulisan mereka, jadi mengapa saya harus cemburu dan mengapa baru sekarang saya buka suara! Kalau F Rahardi menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal Malna hanya akrobat kata-kata, itu sepenuhnya urusan dia dan tak perlu membawa-bawa saya. Kalau F Rahardi menganggap Afrizal dan Triyanto pengarang muda, lantas siapa pengarang tua selain dia dan saya? Atau Rahardi juga masih mau mengaku muda?
Apakah Rhoma Irama kebakaran jenggot karena cemburu kepada Inul atau karena memang ada yang membakar jenggotnya, itu urusan dia dan saya juga tidak tahu apa penyebabnya karena tidak bertanya. Apakah F Rahardi kebakaran jenggot (saya bohong—istilah F Rahardi berimajinasi—karena Rahardi tidak punya jenggot) pada pernyataan saya karena cemburu kepada saya yang cuma bakat alam, atau karena mencari simpati alias cari muka Triyanto yang sekarang menjadi pengurus Pena Emas, itu tak mau saya bahas. Buat apa bergunjing kalau kita bisa berkarya. Tapi, mengatakan saya jealous alias cemburu kepada Afrizal Malna atau Triyanto? Please dong ach (pakai bahasa Inggris juga dong). Pertama, saya tidak pernah menganggap tulisan Triyanto dan Afrizal akrobat kata-kata (ini sepenuhnya anggapan Rahardi); kedua, karena anggapan itu anggapan pribadi F Rahardi, maka kecemburuan juga boleh jadi kecemburuan pribadi Rahardi yang seolah-olah mau ditimpakan kepada saya.
Apakah kekuatan novel Ayu Utami tentu masih bisa diperdebatkan. Apakah kekuatannya ada pada style (seperti kata Rahardi), pada bagian Prabumulih (seperti kata saya), pada politik propaganda terpadu (seperti kata Katrin Bandel), atau pada urusan seksnya (seperti dibicarakan banyak orang). Saya kira pembahasan masalah ini urusan orang sekolahan atau urusan F Rahardi meski dia bukan orang sekolahan.
Saya berpendapat dan saya yakini bahwa sastra yang baik bukanlah akrobat kata-kata. Boleh saja F Rahardi punya pendapat berbeda. Adapun akrobat atau cari perhatian tentu tergantung dari konteksnya dan tergantung dari kualitasnya. Ketika ada acara gamelan atau konser musik klasik, dan orang-orang sedang menikmatinya, bisa saja F Rahardi mencoba datang dengan kelompok drumband melagukan mars lalu melintas di sana. Kadang-kadang kita bisa saja berakrobat dengan kata-kata seperti dilakukan F Rahardi dalam tulisannya menjelaskan ini dan itu. Sebatas akrobat kata-kata mungkin belum terlihat. Tapi, coba dipraktikkan dan ha ha ha setelah itu mari kita bicarakan lagi hasilnya.
Terakhir, dan ini penting, adalah soal kebohongan dalam sastra. Saya pernah mengemukakan bahwa ”sastra = kebohongan”. F Rahardi sebagaimana dia katakan pernah ”meluruskan” (sumpah, kata ”meluruskan” ini dari Rahardi sendiri lho). Maka, ketika penerbit meminta saya memasukkan tulisan Rahardi di buku saya, saya setuju saja agar semua orang bisa membaca tindakan ”meluruskan” itu yang tentu saja tidak ada gunanya. Saya sampai sekarang tetap beranggapan bahwa ”sastra = kebohongan”, dan semua orang saya kira paham maksudnya. Betulkah saya harus menjelaskan kepada Rahardi bahwa kata kebohongan di sana adalah kiasan, perumpamaan, dan sebagainya. Sebagai bukan orang sekolahan yang tak paham teori-teori, saya menyebutkan bahwa sastra = kebohongan.
Meskipun banyak bagian dalam sastra berakar atau mengacu pada kenyataan, sastra adalah fiksi alias kebohongan. Tentu saja kalau saya katakan kebohongan, maka tidak ada kaitannya dengan kebohongan para petinggi atau politisi yang gemar korupsi serta menebar janji palsu. Apakah Sukri benar-benar membawa pisau belati seperti yang digambarkan dalam cerpen saya ”Sukri Membawa Pisau Belati” sama sekali tidak penting. Apakah Garin tua dalam ”Robohnya Surau Kami” AA Navis benar-benar ada dan benar-benar membunuh dirinya gara-gara kata-kata Ajo Sidi, sama sekali tidak penting. Sastra bagi saya adalah sebuah kebohongan kreatif, kebohongan yang indah untuk mengajak pembaca melihat kenyataan dengan lebih baik lagi. Putu Wijaya pernah mengatakan bahwa karya-karyanya adalah sebuah Teror dan F Rahardi menulis Pidato Akhir Tahun Seorang Germo. Bagi saya kedua ungkapan itu bukan fakta. Sebagai seorang sastrawan, saya mengaku dengan jujur bahwa ”sastra = kebohongan” dan saya tidak perlu tersipu atau pura-pura alim untuk membuat macam-macam argumentasi moral yang baik-baik untuk menutupinya atau sekadar ”meluruskannya”. Itu sebabnya, saya tidak pernah menganggap F Rahardi seorang germo karena toh karya sastra = kebohongan. Entah kalau Rahardi sendiri menganggap bahwa dia tidak berbohong dan dirinya memang benar-benar germo.
Sudah ah, saya mau kembali berbohong, eh menulis karya sastra, kebohongan yang indah.
*) Cerpenis, Pemenang Khatulistiwa Award, Penghargaan Khusus Kompas 2001, Mantan Pemred Horison.
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2008/08/wacana-akrobat-kata-kata-kebohongan-dan.html
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel GarcÃa Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar