Jumat, 01 April 2011

Untuk Apa Memetakan Penyair Sumatera?

Udo Z. Karzi*
Cybersastra.net, 5 Sep 2003

Aku membaca esai Isbedy Stiawan Z.S., “Jakarta dan Tabung Orba” (Lampung Post, 3 Agustus 2003). Isbedy menyikapi acara Temu-Dialog Penyair se-Sumatera di Padang, Sumatera Barat, 8–13 Agustus 2003. Isinya sama seperti kebanyakan esai yang terbit di koran-koran: daftar sekian banyak nama penyair, media, dan institusi kepenyairan.

Pola serupa juga aku temukan dalam esai Gus tf, “Kepenyairan Sumatera” (Media Indonesia, 3 Agustus 2003). Penyair asal Solok, Sumatera Barat, itu menyebut nama-nama yang secara kebetulan muncul di media massa, terutama yang terbit di Jakarta. Seolah-olah, yang disebut penyair itu hanyalah mereka yang karya-karyanya dimuat di koran Jakarta atau kumpulan puisinya diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar.

Ini sebuah kekeliruan. Isbedy pun demikian, setidaknya, dalam beberapa esainya sehingga muncul penegasan semacam ini, “Saya sependapat dikatakan Agus Hernawan (baca: “Mau Apa Temu-Dialog Penyair Sumatera”, Padang Ekspres, 27 Juli 2003) bahwa Sumatera–pulau yang luasnya selebar Inggris sampai kini tidak memiliki media yang signifikan dan berkualitas. Ironis memang, Sumatera tidak memiliki jurnal, majalah, atau penerbitan sekelas Kalam, Horison, Jurnal Prosa, Jurnal Puisi, Jurnal Cerpen, Media Indonesia, Koran Tempo, Kompas, penerbit buku Indonesia Tera, Bentang, Jendela, Jalasutra, Senayan Abadi, Gama Media, dan masih banyak lagi.” Lalu, Isbedy berkutat pada isu-isu lama: Jawa dan Bali dominan karena diuntungkan berbagai faktor…. Tak perlu aku kutip lagi soal itu di sini.
***

Apa yang menyebabkan penyair menjadi istimewa atau paling tidak merasa harus diistimewakan sehingga kalau ada penyair yang “pensiun” dalam arti tidak menulis lagi, beramai-ramailah penyair yang masih menulis syair dan lumayan produktif menggugat atau menangisi “kematian” sang penyair?

Bersyukurlah mereka yang dianugerahi semangat tinggi menyair, sehingga masih menjadi penyair sampai tua, bahkan sampai meninggal. Namun, penyair yang tidak lagi membuat syair, apakah dengan begitu ia tak bisa lagi disebut penyair? Adakah seorang pensiunan penyair seperti layaknya seorang pensiunan pegawai negeri? Bagaimana pula dengan karya-karya mereka yang sudah lama pensiun? Apakah mereka tidak layak masuk dalam peta kepenyairan terkini meskipun mereka masih hidup?

Seorang “pensiunan penyair” berkata, “Ternyata lebih nikmat membaca, apa saja. Soalnya, apa lagi yang mesti ditulis karena semua sudah ditulis orang.” Bagaimana kita mengartikan ini? Rasa frustrasi, sinisme, atau kritik? Tersirat dalam pikiranku, orang masih menulis (puisi, cerpen, artikel, atau apa pun) di media massa untuk melakukan komunikasi. Tidak lebih tidak kurang. Syair? Pernah suatu ketika aku begitu keranjingan dengan puisi, sehingga semua jenis puisi yang diterbitkan dalam bentuk buku atau dimuat di media massa, aku baca dan mulai membuat puisi. Namun, ketika–sama dengan cerpen–aku menemui nama-nama yang sama dari waktu ke waktu, aku cuma bisa bilang: “Bosan!”

Tentu saja aku tidak bisa begitu mengecilkan arti sebuah karya puisi dan penyair yang menulisnya. Aku akui, mungkin, aku tak mampu melakukan hal yang sama apalagi lebih baik dari itu. Aku hanya teringat pada kampung halamanku. Di desaku yang kini disebut pekon, puisi tak pernah ditulis. Puisi atau apa pun namanya dalam bahasa Lampung hanyalah sesuatu yang diciptakan, mungkin spontan untuk merayu muli sikop (gadis cantik) yang kebetulan lewat. Tak ada orang yang mengaku telah menciptakan sajak. Tak ada yang mengaku dirinya penyair. Syair itu hanya hadir seperti angin lalu. Hanya berarti bagi yang mengucapkan dan seseorang yang dituju. Begitulah.
***

Sumatera gudangnya penyair. Aku sepakat! Tapi pertanyaannya: penyair itu apa? Penyair Sumatera itu yang mana? Perlu benarkah peta penyair Sumatera itu? Bukankah Sumatera telah menjadi Indonesia? Padahal, nama Indonesia sebagai tanah, bangsa, dan bahasa itu baru ada setelah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Dan, sampai sekarang pun keindonesiaan kita masih tetap bermasalah.

Aku teringat Ajib Rosidi. Ia pernah mengatakan bahasa Melayu tidak sama dengan bahasa Indonesia. Bahasa Melayu adalah bahasa daerah. Di Sumatera, daerah-daerah yang dapat diidentifikasi berbahasa Melayu hanyalah sebagian Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Palembang. Bagaimana dengan bahasa Batak, Aceh, dan Lampung? Ini cukup menjadi soal ketika hendak membuat peta penyair Sumatera.

Ini soal tradisi saja. Bicara syair, dalam budaya lama–belajar dari bahasa Lampung misalnya–syair-syair tak pernah ditulis, ia hanya dihapalkan dan disampaikan. Setelah itu, dilupakan tak mengapa. Tentu saja, kalau ini terus berlanjut, bukan mustahil tradisi bersyair, lisan atau tulisan, pelan-pelan tergerus zaman. Dalam pada itu, kita sepakat terus melestarikan tradisi bersyair itu. Agar tak mudah lupa, sudah saatnya menyeimbangkan antara keberadaan kelisanan dan keberaksaraan.

Jika ada ide membuat peta penyair atau yang lebih luas lagi peta sastrawan Sumatera, aku pikir akan bagus sekali. Hanya, peta yang dibuat tentunya bukan “peta politik penyair”. Sebab, kecondongan itu selalu ada. Gugat-menggugat, antikritik, dan segala jenis keluhan selama ini tak lebih dari pernik-pernik keterkungkungan kaum penyair atau sastrawan.

Tak perlu diributkan soal seseorang yang berhenti bersyair. Sebab, pada akhirnya sastrawan adalah politikus, yang perlu menyosialisasikan pemikiran politiknya (dalam bentuk karya sastra), memerlukan media sosialisasi kalau bukan kampanye seni, yang kadang merasa perlu mendapatkan kewewenangan, kekuasaan atau legitimasi dari masyarakat, serta memperluas wilayah “kekuasaan”-nya ke seluruh antero jagad.

Kesan proyek politik ini menjadi kuat jika penyair malah kembali membangun sentimen lama: soal sentralisme, otonomi, keuangan, ketidakadilan media pusat seraya menyodorkan segudang kelemahan-kelemahan di daerah. Revitalisasi sastra pedalaman atau apa pun namanya terbukti hanya membuat penggagasnya kini berada di puncak popularitas. Setelah itu, berhenti! Jadi, tak perlu ada pemilihan presiden penyair Sumatera atau apa pun namanya.

Peta penyair harus diakui penting bagi mereka yang benar-benar belum pernah masuk ke dunia syair atau berkunjung ke surga para penyair. Walaupun begitu, ia tetap penting dibuat. Bukan untuk sebuah monumen, tetapi untuk bisa menyelami lagi apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, dan bagaimana (semacam 5W + 1H). Tidak sekadar peta, barangkali saja dibutuhkan sebuah mekanisme komunikasi di antara pekerja syair, pengawas syair, atau pemantau syair. Ketimbang mengembangkan rasa curiga di antara kita, lebih baik, misalnya, membangun jaringan penyair se-Sumatera untuk menciptakan suasana yang memungkin saling berkomunikasi, berbagi cerita, dan membangun kreativitas baru.

*) Penyair. Buku kumpulan puisi dwibahasa Lampung-Indonesianya: Momentum (2002).
Sumber: http://cabiklunik.blogspot.com/2003/09/esai-untuk-apa-memetakan-penyair.html

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Azis Masyhuri A. Qorib Hidayatullah A.C. Andre Tanama A.S. Laksana Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Malik Abdurrahman Wahid Abidah El Khalieqy Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adi Prasetyo Afnan Malay Afrizal Malna Afthonul Afif Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Himawan Agus Noor Agus R. Sarjono Agus Sri Danardana Agus Sulton Agus Sunyoto Agus Wibowo Ahda Imran Ahmad Fatoni Ahmad Maltup SA Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Musthofa Haroen Ahmad Suyudi Ahmad Syubbanuddin Alwy Ahmad Tohari Ahmad Y. Samantho Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ajip Rosidi Akhmad Sekhu Akmal Nasery Basral Alex R. Nainggolan Alexander G.B. Almania Rohmah Alunk Estohank Amalia Sulfana Amien Wangsitalaja Aming Aminoedhin Aminullah HA Noor Andari Karina Anom Andi Nur Aminah Anes Prabu Sadjarwo Anindita S Thayf Anindita S. Thayf Anitya Wahdini Anton Bae Anton Kurnia Anung Wendyartaka Anwar Nuris Anwari WMK Aprinus Salam APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arief Budiman Ariel Heryanto Arif Saifudin Yudistira Arif Zulkifli Arifi Saiman Aris Kurniawan Arman A.Z. Arsyad Indradi Arti Bumi Intaran Ary Wibowo AS Sumbawi Asarpin Asbari N. Krisna Asep Salahudin Asep Sambodja Asti Musman Atep Kurnia Atih Ardiansyah Aulia A Muhammad Awalludin GD Mualif Aziz Abdul Gofar B. Nawangga Putra Badaruddin Amir Bagja Hidayat Bakdi Sumanto Balada Bale Aksara Bambang Agung Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Bedah Buku Beni Setia Benni Indo Benny Arnas Benny Benke Bentara Budaya Yogyakarta Berita Duka Berita Utama Bernando J Sujibto Berthold Damshauser Binhad Nurrohmat Bonari Nabonenar Bre Redana Brunel University London Budi Darma Budi Hutasuhut Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Buku Kritik Sastra Bung Tomo Burhanuddin Bella Butet Kartaredjasa Cahyo Junaedy Cak Kandar Caroline Damanik Catatan Cecep Syamsul Hari Cerbung Cerpen Chairil Anwar Chamim Kohari Chavchay Saifullah Cornelius Helmy Herlambang D. Zawawi Imron Dad Murniah Dadang Sunendar Damhuri Muhammad Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Dante Alighieri David Krisna Alka Deddy Arsya Dedi Pramono Delvi Yandra Deni Andriana Denny Mizhar Dessy Wahyuni Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewey Setiawan Dewi Rina Cahyani Dewi Sri Utami Dian Hartati Diana A.V. Sasa Dianing Widya Yudhistira Dina Jerphanion Djadjat Sudradjat Djasepudin Djoko Pitono Djoko Saryono Dodiek Adyttya Dwiwanto Dody Kristianto Donny Anggoro Donny Syofyan Dony P. Herwanto Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi Dudi Rustandi Dwi Arjanto Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi S. Wibowo Dwicipta Dwijo Maksum E. M. Cioran E. Syahputra Egidius Patnistik Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Darmoko Eko Hendrawan Sofyan Eko Triono Elisa Dwi Wardani Ellyn Novellin Elokdyah Meswati Emha Ainun Nadjib Endro Yuwanto Eriyanti Erwin Edhi Prasetya Esai Evi Idawati F Dewi Ria Utari F. Dewi Ria Utari Fadlillah Malin Sutan Kayo Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Alayubi Fakhrunnas MA Jabbar Fanani Rahman Faruk HT Fatah Yasin Noor Fatkhul Anas Fazabinal Alim Fazar Muhardi Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Fikri. MS Frans Ekodhanto Fransiskus X. Taolin Franz Kafka Fuad Nawawi Gabriel García Márquez Gde Artawa Geger Riyanto Gendhotwukir Gerakan Surah Buku (GSB) Ging Ginanjar Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gufran A. Ibrahim Gunoto Saparie Gusty Fahik H. Rosihan Anwar H.B. Jassin Hadi Napster Halim HD Halimi Zuhdy Hamdy Salad Hamsad Rangkuti Han Gagas Haris del Hakim Hary B Kori’un Hasan Junus Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana Hasyuda Abadi Hawe Setiawan Helvy Tiana Rosa Hendra Makmur Hepi Andi Bastoni Herdiyan Heri KLM Heri Latief Heri Ruslan Herman Hasyim Hermien Y. Kleden Hernadi Tanzil Herry Lamongan Heru Emka Hikmat Gumelar Holy Adib Hudan Hidayat Humam S Chudori I Nyoman Darma Putra I Nyoman Suaka I Tito Sianipar Ian Ahong Guruh IBM. Dharma Palguna Ibnu Rusydi Ibnu Wahyudi IDG Windhu Sancaya Iffah Nur Arifah Ignas Kleden Ignasius S. Roy Tei Seran Ignatius Haryanto Ignatius Liliek Ika Karlina Idris Ilham Khoiri Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indah S. Pratidina Indiar Manggara Indra Tranggono Indrian Koto Insaf Albert Tarigan Ipik Tanoyo Irine Rakhmawati Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Norman Istiqomatul Hayati Iswara N Raditya Iverdixon Tinungki Iwan Gunadi Iwan Nurdaya Djafar Jadid Al Farisy Jakob Sumardjo Jamal D. Rahman Jamrin Abubakar Janual Aidi Javed Paul Syatha Jay Am Jaya Suprana Jean-Paul Sartre JJ. Kusni Joanito De Saojoao Jodhi Yudono John Js Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Paket Hemat Junaidi Abdul Munif Jusuf AN Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Katrin Bandel Kedung Darma Romansha Khairul Mufid Jr Ki Panji Kusmin Kingkin Puput Kinanti Kirana Kejora Ko Hyeong Ryeol Koh Young Hun Komarudin Komunitas Deo Gratias Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias Korrie Layun Rampan Kritik Sastra Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie Lathifa Akmaliyah Latief S. Nugraha Leila S. Chudori Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Lenah Susianty Leon Trotsky Linda Christanty Liza Wahyuninto Lona Olavia Lucia Idayani Luhung Sapto Nugroho Lukman Santoso Az Luky Setyarini Lusiana Indriasari Lutfi Mardiansyah M Syakir M. Faizi M. Fauzi Sukri M. Mustafied M. Yoesoef M.D. Atmaja M.H. Abid M.Harir Muzakki Made Wianta Mahmoud Darwish Mahmud Jauhari Ali Majalah Budaya Jejak Makmur Dimila Malkan Junaidi Maman S Mahayana Manneke Budiman Mardi Luhung Mardiyah Chamim Marhalim Zaini Maria Hartiningsih Mariana Amiruddin Martin Aleida Marwanto Mas Ruscitadewi Masdharmadji Mashuri Masuki M. Astro Media Dunia Sastra Media: Crayon on Paper Mega Vristian Melani Budianta Mezra E Pellondou MG. Sungatno Micky Hidayat Mikael Johani Mikhael Dua Misbahus Surur Moch Arif Makruf Mohamad Fauzi Mohamad Sobary Mohamed Nasser Mohamed Mohammad Takdir Ilahi Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Muhibbuddin Muhammad Nanda Fauzan Muhammad Qodari Muhammad Rain Muhammad Subarkah Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun AS Muhyidin Mujtahid Munawir Aziz Musa Asy’arie Musa Ismail Musfi Efrizal Mustafa Ismail Mustofa W Hasyim N. Mursidi Nafi’ah Al-Ma’rab Naqib Najah Narudin Pituin Naskah Teater Nasru Alam Aziz Nelson Alwi Neni Ridarineni Nezar Patria Ni Made Purnamasari Ni Putu Rastiti Nirwan Ahmad Arsuka Nirwan Dewanto Noval Jubbek Novelet Nunung Nurdiah Nur Utami Sari’at Kurniati Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurhadi BW Obrolan Odhy`s Okta Adetya Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Orhan Pamuk Otto Sukatno CR Pablo Neruda Patricia Pawestri PDS H.B. Jassin Pipiet Senja Pramoedya Ananta Toer Pranita Dewi Prosa Proses Kreatif Puisi Puisi Pertemuan Mahasiswa Puji Santosa Pustaka Bergerak PUstaka puJAngga Putu Fajar Arcana Putu Setia Putu Wijaya R. Timur Budi Raja Radhar Panca Dahana Rahmah Maulidia Rahmi Hattani Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rambuana Ramzah Dambul Raudal Tanjung Banua Redhitya Wempi Ansori Reiny Dwinanda Remy Sylado Resensi Revolusi Ria Febrina Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Richard Strauss Rida K Liamsi Riduan Situmorang Ridwan Munawwar Galuh Riki Dhamparan Putra Rina Mahfuzah Nst Rinto Andriono Riris K. Toha-Sarumpaet Risang Anom Pujayanto Rita Zahara Riza Multazam Luthfy Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roland Barthes Romi Zarman Romo Jansen Boediantono Rosidi Ruslani S Prana Dharmasta S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabine Müller Sabrank Suparno Safitri Ningrum Saiful Amin Ghofur Sajak Salamet Wahedi Salman Rusydie Anwar Samsudin Adlawi Sapardi Djoko Damono Sarabunis Mubarok Sartika Dian Nuraini Sastra Using Satmoko Budi Santoso Saut Poltak Tambunan Saut Situmorang Sayuri Yosiana Sayyid Madany Syani Sejarah Sekolah Literasi Gratis (SLG) Sem Purba Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Shiny.ane el’poesya Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sindu Putra Siti Mugi Rahayu Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soeprijadi Tomodihardjo Sofyan RH. Zaid Sohifur Ridho’i Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sonya Helen Sinombor Sosiawan Leak Sri Rominah Sri Wintala Achmad St. Sularto STKIP PGRI Ponorogo Subagio Sastrowardoyo Sudarmoko Sudaryono Sudirman Sugeng Satya Dharma Suhadi Sujiwo Tedjo Sukar Suminto A. Sayuti Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sunlie Thomas Alexander Suryadi Suryanto Sastroatmodjo Susilowati Sutan Iwan Soekri Munaf Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Sutrisno Buyil Syaifuddin Gani Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Winarsho AS Tengsoe Tjahjono Th. Sumartana Theresia Purbandini Tia Setiadi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus Wijanarko Udo Z. Karzi Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Urwatul Wustqo Usman Arrumy Usman Awang UU Hamidy Vinc. Kristianto Batuadji Vladimir I. Braginsky W.S. Rendra Wahib Muthalib Wahyu Utomo Wardjito Soeharso Wawan Eko Yulianto Wawancara Wayan Sunarta Weni Suryandari Wiko Antoni Wina Karnie Winarta Adisubrata Wiwik Widayaningtias Yanto le Honzo Yanuar Widodo Yetti A. KA Yohanes Sehandi Yudhis M. Burhanudin Yukio Mishima Yulhasni Yuli Yulia Permata Sari Yurnaldi Yusmar Yusuf Yusri Fajar Yuswinardi Yuval Noah Harari Zaki Zubaidi Zakky Zulhazmi Zawawi Se Zen Rachmat Sugito Zuriati