Nurel Javissyarqi
http://pustakapujangga.com/?p=501
Setiap penyair mempunyai pamor tersendiri, memancarkan kharisma masing-masing, menebarkan daya pikat sekuat pencariannya menyetubuhi hidup dalam kehidupan. Mereka berjenis-jenis burung mengisi hutan belantara, memadu kicauan, kadang berbentur saing, demi telinga yang menyusuri tapakan sunyi, menuju dataran tinggi kesaksian.
Dalam belantara kata bersimpan sejarah bersama kandungannya pelbagai pengetahuan, mengikuti putaran bumi mengelilingi matahari, memusari milenium cahaya, mendekami relungan kelam kemanusiaan. Renungan hari-hari peperangan, di antara berkabar pendapat, membagi-bagi bebijian perolehan, rasa buah-buahan, pula saling hadiahi berita ke tanah-tanah yang dipijaknya.
Ia yang hadir di penghujung abad dengan sayap-sayap berkilauan atas mempurnakan pendapatan abad silam-semilam akan cukup lama dikenang, jikalau aku masih ragu menyebutnya abadi. Atau yang mampu menjebol tanggul kebuntuan untuk paras cantik kebijakan dunia sealunan sejati rasa; keadilan demi kemakmuran bersama.
Paz, pemilik background antropologi, dengan leluasa menyinahui gejala-gejala terkandung dalam gerak peredaran bumi. Bacaannya yang menawan pada sejarah panjang perpuisian, dan menemui belahan-belahannya di berbagai negeri lain, cukuplah bisa meringkas sebagai pengetahaun tersendiri bagi jiwanya.
Ku kira gaya Paz membaca pelbagai keilmuan puitik seimbang, berusaha seobyektif mungkin demi tiada pemberontakan di kemudian hari. Ia penggal kebijakan kuasa, lewat memadukan harmoni berserakan sedari puing-puing kepurbaan direkatkan kemenjadian atas keadaan diri. Menempati pribadinya di sudut lapang serupa teaterawan telah akrab batasan panggung, serta jangkauan cahaya sejarah yang diyakininya.
Bersegenap pengetahuan diimani mampu menjelma kata-katanya menyihir. Atau diri memiliki keyakinan lebih itu, menujum yang diandaikan para penerusnya sudi mendengar setiap lekuk-liku ocehannya. Melalui esai-esainya ia tebarkan faham seolah pewaris abad 20 serta abad-abad sebelumnya, dan yang memberi pencerahan selanjutnya.
Tidak diragukan, yang langsung menelan tutur katanya tanpa curiga, sebab tersedot nilai-nilai kebenaran logika yang diusungnya, merasa jadi bagian sejarah kata-katanya. Tertarik bagaikan jarum terikat kuat pada lempengan magnet, imbasnya banyak corak perpuisian semodel pencarian di atas perolehan kepenyairannya.
Mereka terpedaya mengamini, mengusahakan diri sampai tetahap ditentukannya, seperti perkawinan silang burung-burung hampir sejenis menghasilkan bentuk percontohan, jenis Paz. Di sini tak menafikan beburung saling belajar, demi mempurnakan fitroh diembannya. Namun kukira seorang penyair bukan sejenis burung pentet, yang lihai memainkan suara-suara burung lain hingga lupa kodrat suara aslinya.
Kemarin diriku menziarahi percandian peninggalan kerajaan Majapahit, sambil jiwa ini teruapi bencah tanah tua nenek moyang, debu-debunya purbawi mengabarkan jalinan riwayat terus terdengar, bagi bathin senantiasa merawat kepekaan. Aku telusuri kembali siapakah Paz? Penyair yang meninggal di tahun 1998, di mana waktu tersebut aku sedang getol-getolnya membabat alas jiwa, perbanyak memuntahkan kalimah semasa di Jogjakarta.
Octavio Paz pernah berujar: “begitu banyak teori, dan tak satu pun yang benar-benar meyakinkan.”
Dan diriku yang dipenuhi keyakinan atas tapak langkah kaki seiring takdir diberikan, terpukau dengan karya-karya nun purna penggarapannya, meski dari seorang tak banyak kubaca guratannya. Adalah sepotong wajah, selembar puisi pun dapat dijelajahi masa-masa silam sang penyampai atas segala daya tercenung. Lalu perasaan sampai kala merasai kesaksiannya luar biasa bereaksi dalam tubuh seorang diri.
Kali ini aku petik buah puisinya yang bertitel:
TETANGGA JAUH
Semalam pohon abu
Nyaris bicara-
Tapi tak.
Dan entah di tahun berapa, aku mengguratkan jawaban puisi tersebut dengan pahatan penaku, bertinta warna merah sebagaimana di bawah ini:
JAWABAN NUREL
Sapaanmu meragukanku
diri
memendam rindu
dendam, cemburu.
Untuk puisi Paz di atas, aku dapatkan di buku berjudul OKTAVIO PAZ, Puisi dan Esai Terpilih, Penerjemah Arif B. Prasetyo, Cetakan Pertama, Mei 2002, Bentang Budaya Yogyakarta. Dan di bawah ini, aku kan mencoba meneruskan melalui sesirat karyanya tersebut, ke dalam bentukan penafsiran.
Tetangga Jauh:
Suara lain yang tak terdengar telinga jasad, tapi terngiang sekabar berita yang disampaikan angin perkiraan, musim cuaca rindu, kawasan terdekat akrab, namun masih punya sekat. Bukan jarak, tetapi serasa masa peralihan, wilayah penerjemah, di situ Paz berkehendak mensucikan tradisi puitika, seperti yang ia utarakan:
“Kita bukannya tengah mengalami akhir puisi seperti kata sebagian orang, tetapi akhir dari tradisi puitik yang dimulai Zaman Romantik agung: tradisi yang memuncak bersama para penyair Simbolis dan memasuki wilayah senjakala yang menakjubkan dengan datangnya kaum seniman garda-depan abad kita. Seni yang lain kini menyembul di ufuk fajar.”
Yang menujum punya pengharapan, akan berjubel penerima, yang menjual doa-doa semakin banyak mengamini, lantas puncaknya, jiwa dihisap digiring menuju jurang lamunan. Cita-cita melenakan tapak pencarian lama, yang disampaikan menjelma buah simalakama bagi melayarkan sampan pelita hatinya. Para pencari di belakangnya terpesona kilauan agung kalimah, silau gelap mata melangkah, terbentur lupa.
Tidakkah penyadaran berimbas kelupaan lainnya? Yang diterima sekarang, belum tentu berguna sama di kemudian. Seperti bisikan tetangga jauh, ataupun dokter mendiagnosa pasien, adanya kumandang berbeda dari obat-obatan; sugesti mencanangkan kesembuhan.
Pada gilirannya, penyampai ditinggalkan kehendak masing-masing pribadi, yang tidak puas mendedah bangsanya dari ahli bedah yang kurang dikenalnya. Maka awan perkiraan tiada lagi dijadikan tolak ukur dalam membaca pegunungan tinggi diliputi kabut. Namun atas seluruh daya mereka insaf menyimak sejarah pertikaian bangsanya, sebagai suara lain (para pencari setelahnya) sedari yang lain (suara Paz), dan tak berlaku sama meski adanya seirama.
Olehnya, pokok bukan pokok, sebab jiwa terbelah sejumlah tirai kabut yang melingkupi bathin tiap pencari. Sang nabi meneruskan jejak para nabi sebelumnya, kumandang itu menyempurnakan kehadiran lama, menancapkan tonggak lain di sisinya.
Atau gema suara universal selalu berkembang, lebih jauh dari keberadaan awal. Lewat menolak sisi-sisi melenakan, tak harus menunggu fajar, senjakala pun hadirkan gemintang. Makin tenang lagi hakiki berkumandang, di bencah bathin pelosok lain yang tidak terdengar.
Semalam pohon abu
: Sejarah dimumikan, mitos diucapkan ulang dari mulut ingin tersimak kekal, atas alam kekekalan yang diandaikan. Yang dilahirkan dinaya puitik, keringat berasal bacaan lama, bertapa meyakini siratan cahaya kesaksian dalam gua. Lalu keluar merasa telah dicernakan kediriannya, membawa yang dianggap mampu mensucikan sesamanya.
Ia genggam biji-bijian misalkan buliran jagung, ditebarkan di lahan-lahan diperkirakannya subur, sebagai penyimpan ide. Ia membelah kesilauan kabut, mengendap mengikuti laluan lawas, sambil membuat tapakan lain bagi kehadirannya; warna berbeda demi dianggap pencerah jaman sesudahnya.
Tidakkah kita curiga? Penanam jagung juga menyebarkan hama. Bersamaan tangannya memberi hasrat meneruskan salamnya? Jika kita tak mau mencium punggung jemarinya, meski yang digagas seolah berasal perkawinan silang, dari darah negeri kita pijak, nuanse puitik terhirup sehari-hari.
Yang pernah membelai membelah tubuh, bukan kepemilikan meski sedenyutan rasa, seperti ia merasai sendiri, kita pun menikmati. Kesendirian bulan sewarna muasal datangnya daya tarik, tapi yang mendengar suara sebelumnya, pula berdaya goda.
Laksana orang berjalan di atas bumi, dibutuhkan oleh orang-orang di bawahnya. Atau kematian memerlukan denyutan hidup sebagai saksi balasan, dan kesaksian tak harus mengamini.
Nyaris bicara-
: Paz yang mempercayai hadirnya sejenis wahyu turunnya puisi, seperti sabdo pandito ratu dalam istilah Jawa. Ia (:puisi) bukanlah kehendak untuk mengatakan sesuatu, melainkan sesuatu yang terucap, dan tak dapat ditarik kembali (Octavio Paz Lozano, lahir di Mexico 31 Maret 1914, meninggal tertanggal 19 April 1998).
Ada sisi kesamaan, antara penyair dengan seorang raja; medan pengalaman, kekuasaan benda, tanda, dan kesunyian paling dingin melebihi rasa hilangnya nyawa, kala kata-katanya tak mampu menggerakkan persendian jiwa. Lebih buruk dari memperistri budak paling hitam; hilangnya wibawa, sebab yang terucap tak terlaksana.
Paz melewati jalan berbisik. Menyusuri gelombang udara, kabar bayu pada daun-daun terjatuh, terus sembunyi menjadi misteri tiada terfahami, kecuali senada capaiannya terasa dangkal. Yang digemakan rahasia intinya hati, membuyar tak jadi kerahasiaan puitis. Seperti batu ditelanjangi alur waktu, ditarik ucapannya: “Nyaris bicara-“
Ada dinaya lain, hantu sesal serupa gadis telanjang di sebuah lukisan realis, senantiasa dijejali ruang-waktu menyungkup; gugusan takdir di ujung belati, sebentangan rambut dengan bayangnya memendar. Demikian wewarna lamat menyusuri jalur rahasia, benang melintang di depan mata, matahari selalu memancar, dan kedipan menyimpan suatu kecewa.
Penyesalan itu rahasia terungkap dari keangkuhan bicara melalui kata-kata. Makna hidupnya meminta jatah; adanya diingat, lebih banyak dilupa. Hanya bersuara lain yang sama darinya dapat berbangkit. Sayang kembali semula, begitulah kepada titik was-was dalam tanda hidup ke masa depannya.
Tapi tak
: Akhir yang meragukan. Betapa daya luar biasa, tinggal sejengkal saja, keraguan datang tiba-tiba menghakimi. Seayunan pedang melesat, tetapi sebelum menimpahi sasaran, ada secercah cahaya membuat hawatir. Aturan tidak terlihat; di mana perasaan memasok tenaga, hati menggerakkan kelenjar berkekuatan ke sebuah keinginan.
Jikalau dilukiskan, di ujung jalan tempatnya tega; kausalitas ngigirisi, sebab akibat yang mengandung gemas sekaligus cemas. Kesuntukan kesumat namun juga lenyap oleh angin lewat, ingatan yang terhapus.
Telempap lain, tumbuh igauan-igauan sejarah semakin merangsek di malam-malam dengan lampu terbatas, terus perbanyak jumlah di tempat remang, di sudut ruang, di tengah-tengah belukar yang tidak keluar.
Apa yang ditakutnya? Cemas dirinya lenyap di bawah terang benderang? Bayang-bayang gesit menyelinap, bukan kerja sugesti, atau demikian?
31 Agustus 2010
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Azis Masyhuri
A. Qorib Hidayatullah
A.C. Andre Tanama
A.S. Laksana
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Malik
Abdurrahman Wahid
Abidah El Khalieqy
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adi Prasetyo
Afnan Malay
Afrizal Malna
Afthonul Afif
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Himawan
Agus Noor
Agus R. Sarjono
Agus Sri Danardana
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Agus Wibowo
Ahda Imran
Ahmad Fatoni
Ahmad Maltup SA
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Musthofa Haroen
Ahmad Suyudi
Ahmad Syubbanuddin Alwy
Ahmad Tohari
Ahmad Y. Samantho
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ajip Rosidi
Akhmad Sekhu
Akmal Nasery Basral
Alex R. Nainggolan
Alexander G.B.
Almania Rohmah
Alunk Estohank
Amalia Sulfana
Amien Wangsitalaja
Aming Aminoedhin
Aminullah HA Noor
Andari Karina Anom
Andi Nur Aminah
Anes Prabu Sadjarwo
Anindita S Thayf
Anindita S. Thayf
Anitya Wahdini
Anton Bae
Anton Kurnia
Anung Wendyartaka
Anwar Nuris
Anwari WMK
Aprinus Salam
APSAS (Apresiasi Sastra) Indonesia
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arief Budiman
Ariel Heryanto
Arif Saifudin Yudistira
Arif Zulkifli
Arifi Saiman
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arsyad Indradi
Arti Bumi Intaran
Ary Wibowo
AS Sumbawi
Asarpin
Asbari N. Krisna
Asep Salahudin
Asep Sambodja
Asti Musman
Atep Kurnia
Atih Ardiansyah
Aulia A Muhammad
Awalludin GD Mualif
Aziz Abdul Gofar
B. Nawangga Putra
Badaruddin Amir
Bagja Hidayat
Bakdi Sumanto
Balada
Bale Aksara
Bambang Agung
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Bedah Buku
Beni Setia
Benni Indo
Benny Arnas
Benny Benke
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita Duka
Berita Utama
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
Binhad Nurrohmat
Bonari Nabonenar
Bre Redana
Brunel University London
Budi Darma
Budi Hutasuhut
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Buku Kritik Sastra
Bung Tomo
Burhanuddin Bella
Butet Kartaredjasa
Cahyo Junaedy
Cak Kandar
Caroline Damanik
Catatan
Cecep Syamsul Hari
Cerbung
Cerpen
Chairil Anwar
Chamim Kohari
Chavchay Saifullah
Cornelius Helmy Herlambang
D. Zawawi Imron
Dad Murniah
Dadang Sunendar
Damhuri Muhammad
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Dante Alighieri
David Krisna Alka
Deddy Arsya
Dedi Pramono
Delvi Yandra
Deni Andriana
Denny Mizhar
Dessy Wahyuni
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewey Setiawan
Dewi Rina Cahyani
Dewi Sri Utami
Dian Hartati
Diana A.V. Sasa
Dianing Widya Yudhistira
Dina Jerphanion
Djadjat Sudradjat
Djasepudin
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Dodiek Adyttya Dwiwanto
Dody Kristianto
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dony P. Herwanto
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi
Dudi Rustandi
Dwi Arjanto
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi S. Wibowo
Dwicipta
Dwijo Maksum
E. M. Cioran
E. Syahputra
Egidius Patnistik
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Darmoko
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Triono
Elisa Dwi Wardani
Ellyn Novellin
Elokdyah Meswati
Emha Ainun Nadjib
Endro Yuwanto
Eriyanti
Erwin Edhi Prasetya
Esai
Evi Idawati
F Dewi Ria Utari
F. Dewi Ria Utari
Fadlillah Malin Sutan Kayo
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Alayubi
Fakhrunnas MA Jabbar
Fanani Rahman
Faruk HT
Fatah Yasin Noor
Fatkhul Anas
Fazabinal Alim
Fazar Muhardi
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Fikri. MS
Frans Ekodhanto
Fransiskus X. Taolin
Franz Kafka
Fuad Nawawi
Gabriel García Márquez
Gde Artawa
Geger Riyanto
Gendhotwukir
Gerakan Surah Buku (GSB)
Ging Ginanjar
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gufran A. Ibrahim
Gunoto Saparie
Gusty Fahik
H. Rosihan Anwar
H.B. Jassin
Hadi Napster
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamdy Salad
Hamsad Rangkuti
Han Gagas
Haris del Hakim
Hary B Kori’un
Hasan Junus
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
Hasyuda Abadi
Hawe Setiawan
Helvy Tiana Rosa
Hendra Makmur
Hepi Andi Bastoni
Herdiyan
Heri KLM
Heri Latief
Heri Ruslan
Herman Hasyim
Hermien Y. Kleden
Hernadi Tanzil
Herry Lamongan
Heru Emka
Hikmat Gumelar
Holy Adib
Hudan Hidayat
Humam S Chudori
I Nyoman Darma Putra
I Nyoman Suaka
I Tito Sianipar
Ian Ahong Guruh
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Rusydi
Ibnu Wahyudi
IDG Windhu Sancaya
Iffah Nur Arifah
Ignas Kleden
Ignasius S. Roy Tei Seran
Ignatius Haryanto
Ignatius Liliek
Ika Karlina Idris
Ilham Khoiri
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indah S. Pratidina
Indiar Manggara
Indra Tranggono
Indrian Koto
Insaf Albert Tarigan
Ipik Tanoyo
Irine Rakhmawati
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Norman
Istiqomatul Hayati
Iswara N Raditya
Iverdixon Tinungki
Iwan Gunadi
Iwan Nurdaya Djafar
Jadid Al Farisy
Jakob Sumardjo
Jamal D. Rahman
Jamrin Abubakar
Janual Aidi
Javed Paul Syatha
Jay Am
Jaya Suprana
Jean-Paul Sartre
JJ. Kusni
Joanito De Saojoao
Jodhi Yudono
John Js
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku Paket Hemat
Junaidi Abdul Munif
Jusuf AN
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Katrin Bandel
Kedung Darma Romansha
Khairul Mufid Jr
Ki Panji Kusmin
Kingkin Puput Kinanti
Kirana Kejora
Ko Hyeong Ryeol
Koh Young Hun
Komarudin
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Penulis Katolik Deo Gratias
Korrie Layun Rampan
Kritik Sastra
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
Lathifa Akmaliyah
Latief S. Nugraha
Leila S. Chudori
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Lenah Susianty
Leon Trotsky
Linda Christanty
Liza Wahyuninto
Lona Olavia
Lucia Idayani
Luhung Sapto Nugroho
Lukman Santoso Az
Luky Setyarini
Lusiana Indriasari
Lutfi Mardiansyah
M Syakir
M. Faizi
M. Fauzi Sukri
M. Mustafied
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.H. Abid
M.Harir Muzakki
Made Wianta
Mahmoud Darwish
Mahmud Jauhari Ali
Majalah Budaya Jejak
Makmur Dimila
Malkan Junaidi
Maman S Mahayana
Manneke Budiman
Mardi Luhung
Mardiyah Chamim
Marhalim Zaini
Maria Hartiningsih
Mariana Amiruddin
Martin Aleida
Marwanto
Mas Ruscitadewi
Masdharmadji
Mashuri
Masuki M. Astro
Media Dunia Sastra
Media: Crayon on Paper
Mega Vristian
Melani Budianta
Mezra E Pellondou
MG. Sungatno
Micky Hidayat
Mikael Johani
Mikhael Dua
Misbahus Surur
Moch Arif Makruf
Mohamad Fauzi
Mohamad Sobary
Mohamed Nasser Mohamed
Mohammad Takdir Ilahi
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Nanda Fauzan
Muhammad Qodari
Muhammad Rain
Muhammad Subarkah
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun AS
Muhyidin
Mujtahid
Munawir Aziz
Musa Asy’arie
Musa Ismail
Musfi Efrizal
Mustafa Ismail
Mustofa W Hasyim
N. Mursidi
Nafi’ah Al-Ma’rab
Naqib Najah
Narudin Pituin
Naskah Teater
Nasru Alam Aziz
Nelson Alwi
Neni Ridarineni
Nezar Patria
Ni Made Purnamasari
Ni Putu Rastiti
Nirwan Ahmad Arsuka
Nirwan Dewanto
Noval Jubbek
Novelet
Nunung Nurdiah
Nur Utami Sari’at Kurniati
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurhadi BW
Obrolan
Odhy`s
Okta Adetya
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Orhan Pamuk
Otto Sukatno CR
Pablo Neruda
Patricia Pawestri
PDS H.B. Jassin
Pipiet Senja
Pramoedya Ananta Toer
Pranita Dewi
Prosa
Proses Kreatif
Puisi
Puisi Pertemuan Mahasiswa
Puji Santosa
Pustaka Bergerak
PUstaka puJAngga
Putu Fajar Arcana
Putu Setia
Putu Wijaya
R. Timur Budi Raja
Radhar Panca Dahana
Rahmah Maulidia
Rahmi Hattani
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rambuana
Ramzah Dambul
Raudal Tanjung Banua
Redhitya Wempi Ansori
Reiny Dwinanda
Remy Sylado
Resensi
Revolusi
Ria Febrina
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Richard Strauss
Rida K Liamsi
Riduan Situmorang
Ridwan Munawwar Galuh
Riki Dhamparan Putra
Rina Mahfuzah Nst
Rinto Andriono
Riris K. Toha-Sarumpaet
Risang Anom Pujayanto
Rita Zahara
Riza Multazam Luthfy
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roland Barthes
Romi Zarman
Romo Jansen Boediantono
Rosidi
Ruslani
S Prana Dharmasta
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabine Müller
Sabrank Suparno
Safitri Ningrum
Saiful Amin Ghofur
Sajak
Salamet Wahedi
Salman Rusydie Anwar
Samsudin Adlawi
Sapardi Djoko Damono
Sarabunis Mubarok
Sartika Dian Nuraini
Sastra Using
Satmoko Budi Santoso
Saut Poltak Tambunan
Saut Situmorang
Sayuri Yosiana
Sayyid Madany Syani
Sejarah
Sekolah Literasi Gratis (SLG)
Sem Purba
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Shiny.ane el’poesya
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sindu Putra
Siti Mugi Rahayu
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soeprijadi Tomodihardjo
Sofyan RH. Zaid
Sohifur Ridho’i
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sonya Helen Sinombor
Sosiawan Leak
Sri Rominah
Sri Wintala Achmad
St. Sularto
STKIP PGRI Ponorogo
Subagio Sastrowardoyo
Sudarmoko
Sudaryono
Sudirman
Sugeng Satya Dharma
Suhadi
Sujiwo Tedjo
Sukar
Suminto A. Sayuti
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sunlie Thomas Alexander
Suryadi
Suryanto Sastroatmodjo
Susilowati
Sutan Iwan Soekri Munaf
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Sutrisno Buyil
Syaifuddin Gani
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Winarsho AS
Tengsoe Tjahjono
Th. Sumartana
Theresia Purbandini
Tia Setiadi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus Wijanarko
Udo Z. Karzi
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Urwatul Wustqo
Usman Arrumy
Usman Awang
UU Hamidy
Vinc. Kristianto Batuadji
Vladimir I. Braginsky
W.S. Rendra
Wahib Muthalib
Wahyu Utomo
Wardjito Soeharso
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wayan Sunarta
Weni Suryandari
Wiko Antoni
Wina Karnie
Winarta Adisubrata
Wiwik Widayaningtias
Yanto le Honzo
Yanuar Widodo
Yetti A. KA
Yohanes Sehandi
Yudhis M. Burhanudin
Yukio Mishima
Yulhasni
Yuli
Yulia Permata Sari
Yurnaldi
Yusmar Yusuf
Yusri Fajar
Yuswinardi
Yuval Noah Harari
Zaki Zubaidi
Zakky Zulhazmi
Zawawi Se
Zen Rachmat Sugito
Zuriati
Tidak ada komentar:
Posting Komentar